Rabu, 12 Mei 2010

Menjelang Kelahiran koloni Milaniti (2)


Gerimis rintis di luar jendela, sepotong sore yang sendu, serentetan lagu-lagu Jepang dari CD yang dihadiahkan seorang sahabatku terdengar syahdu, uhm..perpaduan yang sempurna untuk menimbulkan kesan mellow di hatiku.

Aku tengah merevisi naskah. Beberapa first reader sudah memberikan komentar, cenut-cenut kepalaku saat mendengar komentar mereka,

“ Alurnya nggak jelas, flashbacknya membingungkan. Klimaksnya yang mana?nggak jelas. Trus karakter tokoh-tokohnya kurang kuat” kata Iinesta.

“ Trus kok nggak ada roman-romannya. Nggak seru ah, kudu ada prikitiw..prikitiwwnya dong” ia berargumen.

Oke…baru dari satu orang

“ Mba…deskripsi tokohnya kurang greget, klimaks ceritanya sudah okey kok. Cuman kurang aura pinky-pinky nya” begitu kira-kira komentar Penny di email yang panjang lebar.

Fiuhhh dua orang.

“ Kalo menurutku, jangan diberi label novel, kasih tulisan catatan perjalanan aja. Kalau novel itu harus jelas alurnya, tokoh-tokohnya dan trus harus ada roman-roman..cinta-cintanya. Bumbu itu bikin cerita jadi sedap. ” komen Intan,salah satu yang ikut baca naskahku.

Fine, tiga orang…

Aku tersenyum, rada pahit. Oke, semua komentar mengenai naskahku aku cukup setuju dengan mereka. Terutama tentang penokohan yang karakternya kurang kuat. Ruh koloni Milanisti yang kurang terlihat. Tidak terlalu sulit untuk merevisi beberapa komentar mereka. Beberapa malam merevisi dengan memoles beberapa bagian membuatku semakin merasa okey dengan naskahku. Ternyata dengan mendengarkan komentar dari orang lain, aku bisa mendapat feedback sudut pandang yang lain, sesuatu yang aku lewatkan.

Tapiiiii….saran untuk memasukkan aura pinky-pinky nya ini revisi terberat. Banyak pertimbangan, sampai kepalaku pusing. Haduuuhhh…it’s hard to write this

Cuman…mungkin benar juga kata mereka.. Awas ya para first reader..kalo jadi enggak bagus ehehehe…

Okey, dengan suasana semellow ini. Aku mencoba merevisi dengan memasukkan aura pinky-pinky (sedikit) ke dalam naskahku. Ughh…beberapa baris kalimat, berhenti sejenak..menarik nafas panjang. Menuliskan lagi dengan mengerak-gerakkan jari jemari di atas keyboard, berhenti lagi..mengacak-acak rambutku. Eggghhh…nggak suka. Tapi harus…menghidupkan yang sudah mati. Fiuuuuhhh…

Selasa, 04 Mei 2010

Happines dan Fulfilment dalam Pekerjaan


Setiap orang mempunyai saat kapan ia mau menyerap informasi dari luar, mendengarkan kata orang, membaca buku, melihat alam sebagai pertanda, untuk dapat mengubah cara pandangnya terhadap hidupnya sendiri. Dan hal itu juga terjadi padaku. Pemahaman baru mengenai kebahagiaan (Happines) dan Fulfillment (Kepuasan/pemenuhan). Ok, pemahamanku akan choice to be Happy, rasanya semua orang juga setuju, yakni dimana kehidupan memilih untuk bahagia, sekarang ini juga, di sini, tanpa menunggu hal-hal yang kita pikir hal itu adalah sumber kebahagiaan kita terwujud.

Tapi aku telah melewatkan kata “pemaknaan”, pemaknaan pada setiap hal yang dilakukan dalam hidup. Dalam kegiatan bekerja, meluangkan waktu untuk diri sendiri, sahabat, dan keluarga.

Apa yang engkau maknai dari pekerjaanmu?

* Aku memaknainya sebagai sesuatu yang harus kulakukan, hal itu memberikanku “rutinitas” yang membuatku merasa berguna, memperoleh penghasilan tetap, kemapanan dan keseimbangan.

* Tapi juga di sana berpenghuni pemantik stress, proporsi waktu yang banyak tersita (entah efektif entah tidak), kompetisi, rutinitas yang membosankan, tekanan, kewajiban sehingga terkadang harus melakukan hal yang tidak kusukai.

* Lalu dimana enjoyment? Fulfillment? Apakah aku cukup puas telah menghabiskan berjam-jam di kantor hanya dengan menerima gaji setiap bulan? Tik tik..tikk..aku berpikir, mungkin aku telah salah memaknai pekerjaanku.

Bagaimana mencintai pekerjaan kita? Begitu tanya seseorang di sebuah acara yang runtut kuikuti setiap malam itu. “ Untuk apa mencintai pekerjaan kita, pekerjaan tidak mencintai kita kembali? Cintailah dirimu, keluargamu, kekasih, sahabat melalui pekerjaanmu”. Jawab Rene Suhardono, si motivator itu. Hmm..jadi pekerjaan adalah alat. Melakukan sesuatu dalam pekerjaan atas dasar kontribusi yang dapat kulakukan, kontribusi seperti kata yang lebih pas daripada pemenuhan kewajiban. Kontribusi memberikan nilai, dimana kehadiran kita dalam pekerjaan saat terasa signifikan bila ada atau tidak ada kita.

Fullfilment/kepuasan/pemenuhan…kadang hal itu terpinggirkan saat kita bekerja. Seperti merasa bahwa yang dapat memberikan kita fulfillment adalah hal-hal lain seperti liburan, jalan-jalan. Padahal dalam pekerjaan kita juga dapat mendapatkan fulfillment, bila kita memaknai pekerjaan dengan lebih mendalam.

Kita terkadang harus melakukan pekerjaan yang tidak semuanya kita sukai, tapi lakukanlah itu dengan penuh suka cita agar kita bisa mempunyai waktu/sarana/uang untuk melakukan hal-hal yang kita sukai. Hehehe…juga uang/sarana adalah alat bukan tujuan. I got his point! Aku tersenyum dan mendapatkan sudut pandang yang baru.

Bagaimana menurutmu, masih mau dibelit rutinitas membosankan dari pekerjaanmu?

Senin, 26 April 2010

Menanti Kelahiran "Koloni Milanisti"


Teh hangat sudah tinggal setengah gelas, malam beranjak naik, dan suara-suara di luar masih sesekali terdengar. Kau bertanya kenapa kali ini segelas teh hangat bukan secangkir kopi seperti biasanya? Humm ya, aku harus menjaga dosis kopiku agar kesehatan tidak terganggu :p

Humm..penat, dengan pekerjaan, dengan pikiran yang berseliweran, dengan hal-hal yang membutuhkan energi. Aku akan memulai rutinitas malamku, berkutat dengan naskah yang aku selalu bilang “tinggal finishing..tinggal finishing!”
Tapi nyatanya, mungkin sudah lebih dari sebulan aku bilang seperti itu dan naskahku belum kelar juga. Makanya saat ini aku membuka lembar word baru untuk menuliskan tulisan ini, beralih dari naskah yang saat ini sudah 237 halaman itu. Kepalaku buntu, terkadang lelah menguras energi untuk menyelesaikannya. Dalam perjalanan menuliskan novel pertamaku ini, sungguh bukan sebuah proses yang mudah. Mood yang naik turun, waktu tersisa yang semakin menyempit, semangat yang terkadang surut. Aku pernah ada dalam suatu titik dimana aktivitas menulis yang biasanya selalu menyembuhkan, mencerahkan dan menentramkan terkadang berubah menjadi menyiksa. Bolak balik kubaca naskah itu lagi, lagi dan lagi…men-scroll naik turun, kuruntuti lagi barisan kalimat-kalimatnya, rasanya tidak pernah puas untuk memperbaikinya. Dan yang lebih memberatkan terkadang saat kepala beku kehabisan energi untuk dibagi untuk menulis.

Menjalankan sesuatu yang membutuhkan konsistensi jangka panjang seperti menulis sebuah buku, memang bukan hanya harus pintar membagi waktu, tapi juga membagi energi. Bagaimana tidak, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, terkadang energiku juga sudah tak lagi penuh. Menjelang malam saat berubah haluan berprofesi sebagai penulis, tapi seringkali mendapati energi sudah hampir habis. Maka eksesnya dopping secangkir kopi hampir tiap malam menemaniku menyelesaikan naskah itu.

Harus kuakui bahwa hampir dua tahun perjalanan menuliskan naskah bukuku memang bukan waktu yang singkat. Deadline yang berkali kali harus mundur, excuse karena pekerjaan, dan urusan-urusan yang harus didahulukan. Dan kini aku sadar pentingnya konsistensi dalam melakukan apapun. Untuk apa aku menulis?untuk apa aku membuat buku itu?
Aku menjawab pertanyaan yang kubuat pada diriku sendiri itu. Aku memvisualisasikannya dalam pikiranku bila pada akhirnya bukuku bila terbit, seperti resep para pemimpi lainnya. Di penghujung kelahiran bukuku ini, aku menyadari bahwa aku menulis karena sebuah misi. Misi keberadaanku di dunia ini, karena aku yakin setiap manusia membawa misinya sendiri. Aku menulis karena ada misi yang harus kusampaikan pada baris-baris kalimatku, pada paragraf-paragrafku, yang semoga sampai pada pembaca yang meruntuti barisan kalimat di bukuku kelak. Semoga!

Kini, tengah menunggu revisi dari first reader dengan sedikit berdebar. Cover awal sudah siap, sinopsis sudah selesai dibuat. Dan sesegara mungkin akan kuserahkan naskahku pada takdir, setelah aku berjuang sampai akhir.

Koloni Milanisti, segeralah lahir….karena engkau lahir membawa misiku

Selasa, 09 Maret 2010

Takdir Terkunci di Barcelona


Angin Mediterania Barat bertiup tak begitu kencang menjelang akhir Bulan September, membuat sepanjang jalan Las Ramblas yang membelah kota Barcelona begitu nyaman untuk dilewati. Jajaran pepohonan di kanan kiri jalan jantung kota ini nampak bisu ikut menyimak pembicaraan kami. Burung-burung merpati yang beterbangan di sepanjang jalan turut menguping bahasa aneh yang mungkin belum pernah mereka dengar.

”Bagaimana Barcelona menurutmu?” ia bertanya sambil merapikan kameranya.

” Seperti surga yang asing, uhm..cantik, mempesona, hidup, tapi denyutnya belum kurasakan dengan penuh.” Hanya jawaban itu saja yang mampu mampir di kepalaku yang saat ini tengah beku. Beku, yah beku karena harus bekerja keras memerintahkan agar degup jantungku tetap tenang.

“Uhmm.. begitu ya? tapi mungkin sebentar lagi surga itu akan terasa seperti rumah bagimu. Eh, mampir minum kopi sebentar yuk, Bar La Questas itu langgananku, kopinya mantap,” ajaknya sambil menunjuk sebuah bar di antara deretan bangunan di sepanjang Las Ramblas.

Aku bergegas mengikuti langkahnya yang panjang-panjang menuju sebuah bar yang nampak ramai. Aku benar-benar buta daerah yang baru kujejaki selama dua hari ini. Bahasa yang cepat dan nadanya mendayu-dayu berdesingan di telingaku tanpa bisa kumengerti satupun artinya. Ah, mungkin hanya Gracias, Senorita, sedang kosakata yang lainnya aku tak mengerti sama sekali. Orang-orang dengan wajah asing berlalu lalang dengan urusan dan pikirannya masing-masing, membuatku merasa terkucil. Hanya wajah orang yang tengah meneliti menu bar di sampingku saja yang kukenali. Hingga entah mengapa tiba-tiba sebuah pertanyaan menyeruak “Untuk apa berkelana sejauh ini?” pertanyaan itu membuatku tersenyum sekilas. “Demi menemuinya tentu saja!” bisik hatiku, mencoba meyakinkan tekadku lagi. Setengah mati aku mencari kesempatan mengikuti seminar ataupun workshop di Spanyol untuk bisa menemuinya lagi, hingga pada akhirnya jagat raya mau bekerjasama membantuku menemukannya. Keikutsertaanku pada workshop tentang stem cell di Barcelona Genomic Regulation Center selama seminggu merupakan alasan yang sempurna untuk mencarinya, menemuinya. Aku tersenyum dalam hati menyadari bahwa terkadang cinta sanggup membuat seseorang melakukan hal-hal yang tak terduga.

Aku memandang wajahnya sekilas saat ia memesan cappucino hangat pada pelayan bar La Questas. Ah, Mas Elang tidak banyak berubah, wajahnya yang khas Jawa tulen dan sepasang mata hitam granitnya, kini bisa kulihat lagi setelah begitu lama tak melihatnya. Hatiku menghangat tiba-tiba, kuhembuskan nafas perlahan, menekan kegugupan yang melanda. Mungkin memang dia! benarkah, Tuhan? lelaki yang kukunci dalam hatiku sekian lama itu, kini telah ada di depan mataku. Dan kini melemparkan senyuman yang bisa membuatku tersedak saat menyesap coffee latte yang baru saja disajikan.

’’Uhm..ada apa?“ tanyaku dengan ekspresi keheranan melihat senyum di wajahnya. Ia tersenyum lagi, dengan sepasang mata hitam granitnya yang dalam, menyilaukan hatiku. ”Ah Tuhan, memang tidak sia-sia aku mengejarnya kemari,” kataku dalam hati. Walaupun sebenarnya aku menyadari peluang yang sama sekali tidak meyakinkan.

”Lama juga kita nggak ketemu ya, Cha?uhm..sekitar satu tahun sejak kita bertemu di Yogya. Kau nampak semakin dewasa sekarang” ia menyesap kopi di cangkirnya, dan memandangku seketika. Deg, takdir jatuh!

” Waduh...makin dewasa apa makin tua nih maksudnya?ehehe. Waktu kan terus berjalan Mas, hidup terus berjalan, tiap orang terus berubah. Mas Elang juga berubah, tambah apa ya,” aku berpura-pura menelitik perubahan yang ada pada dirinya.

” Tambah rontok nih rambut, gara-gara stress mikirin tesisku yang nggak selesai-selesai ehehe” tawanya yang renyah menghangatkan udara di sekitar kami dan menghangatkan seluruh ruangan di hatiku tentu saja.

Saat terakhir kali melihatnya, eh tunggu! pertama kali sekaligus juga berarti terakhir kali melihatnya satu tahun yang lalu di sebuah seminar nasional bioteknologi di Jogya. Tapi apa aku harus menyalahkan Tuhan bila pertemuanku yang hanya sesaat dengan Mas Elang saat itu menimbulkan loncatan-loncatan listrik dalam hatiku, memicu jantungku berdetak begitu cepat saat melihatnya dan membuatku berkeyakinan untuk ”mengejar”nya?. Ah, ”mengejar cinta”, rumus yang sebelumnya tak pernah ada dalam kamus hidupku. ” Aku percaya Tuhan akan memberikanku seseorang yang tepat di waktu yang tepat, semua indah pada satina,” jiahh..kalimat pamungkas yang terkesan filosofis dan bijak, kalimat andalan saat orang-orang di sekelilingku menanyakan soal pernikahan dan jodoh. Tapi pertemuanku dengan Mas Elang pada akhirnya membawakan kesadaran bahwa aku telah salah mengartikannya, karena seharusnya ada peran usahaku, perjuanganku untuk menemukan orang yang tepat dan menentukan waktu yang tepat.

Dan apakah sekali lagi aku harus menyalahkan Tuhan bila ternyata setelah Dia menganugerahiku sebentuk perasaan yang kunamai cinta itu, Dia segera membawa Mas Elang pergi diterbangkan mimpi-mimpinya ke Negeri Spanyol. Aku tersenyum getir saat mengetahui ia melanjutkan studinya di bidang biologi molekuler di Barcelona, tempat yang sebelumnya tidak pernah terlintas di kepalaku, selain kukenal karena klub sepakbola tempat Lionel Messi merumput itu. Dan lagi-lagi aku semakin penasaran apa rencana Tuhan karena tak jua mengerti mengapa perasaan yang kukira akan layu sebelum berkembang itu tetap bertahan hingga kini. Seperti perasaan aneh dan mistis yang kuberi nama ”keyakinan” bahwa dengan dialah akan kuhabiskan sisa hidupku. Titik, tidak ada satu keraguanpun tentang itu!

”Bagaimana coffee latte nya? Enak?” pertanyaannya memecah lamunanku. Aku buru-buru meneguk lagi coffee latte dari cangkir di hadapanku.

”Uhmm..enak”, jawabku singkat sambil mengacungkan ibu jariku. Sebenarnya jauh lebih enak daripada coffee latte yang sering menjadi teman nongkrongku di cafe-cafe sambil berlama-lama berkelana di dunia maya. Yah kopi, yang membuat semua temanku geleng-geleng kepala mendapatiku begitu hangat bersenyawa dengan butiran-butiran pekat yang menawarkan aroma dan rasa yang tak tergantikan itu.

Sedari tadi sebenarnya hatiku mencari-cari, bertanya dan mencari jawab, apakah sebuah ruang yang selama ini hampa di hatiku telah menemukan penghuni yang ditakdirkan untuk mengisi. Aku selalu meminta persetujuan hati dan kepalaku untuk menentukan hal apapun dalam hidup, menikmati kolaborasi mereka dalam setiap langkah-langkahku.

Ah, penat baru terasa menjelang sore hari, setelah melewatkan waktu mengitari kota Barcelona nan molek ini. Mengagumi detail La Sagrada Familia yang terkenal itu, mengunjungi miniatur Spanyol di Spanish Village dan menikmati pertunjukan flamenco, benar-benar membawaku ke dunia yang sama sekali berbeda. Surga itu kini kian terasa akbrab dan dekat. Saat malam menjelang, ia mengajakku ke Via Campanile, tempat mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di Barcelona biasanya berkumpul. Berkenalan dengan beberapa teman Mas Elang dan menghabiskan waktu bersendau gurau dengan komunitas orang Indonesia di Barcelona sungguh menyenangkan. Senang rasanya bertemu dengan teman sebangsa di suatu tempat yang jauh dan asing. Sajian makan malampun sangat istimewa, Paya hangat dihidangkan untuk memuaskan lidah kami. Paya memang cocok untuk lidah orang Indonesia karena makanan ini berupa nasi yang dimasak dengan telur dan olive serta kerang-kerangan. Paya ditemani dengan Escvaliva (potongan terung dan paprika dengan minyak zaitun), sajian khas kota ini. Aku telah merasa Barcelona adalah rumah. Dan hati dan kepalaku membisikkan keputusan mereka padaku, bahwa nama itu, wajah itu dan sepasang mata hitam granitnya, kupercaya dialah orangnya yang selama ini bersembunyi.

***

Gemerlap pesta kota, seolah gemetar flamenco mengalun jiwa

Kududuk terhanyut nuansa, di sudut semarak Plaza Catalonia

Kala sepasang mata menatapku manja, mengajak berdansa

Sapanya queire usted bailar conmigo?”

Alunan suara khas milik Fariz RM mendendangkan lagu Barcelona-nya di earphone membiusku dalam suasana saat menikmati hari terakhirku di Barcelona. Besok harus segera meninggalkan kota nan cantik ini. Harus? Ufff..andaikan ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Aku mencopot earphoneku saat melihat langkah-langkah panjang Mas Elang terlihat menuju Plaza Catalonia, tempatku duduk sekitar setengah jam lalu menantinya.

” Pantas saja Mas Elang betah ya tinggal di sini. Uhmm..kotanya begitu cantik, hidup terasa lebih berwarna,” ujarku saat duduk bersama di depan Plaza Catalonia. Malam mulai merambat naik, lampu-lampu jalan nampak berkerlap-kerlip di kejauhan.

“ Ah, itu karena Icha baru beberapa hari tinggal di sini, bila sudah lama rasanya bosan juga. Hidup juga akan mengalir dalam rutinitas, tekanan dan hambar. Aku sudah kangen masakan ibu, pengen makan serabi notokusuman, sudah ingin kembali ke tanah air.” Mas Elang menjawabku, namun mata hitam granitnya itu memandangi bulan yang mulai berangkat menunaikan tugasnya. Purnama di langit Barcelona, seperti polesan lipstik di moleknya wajah bidadari. Aku tersenyum kecil mendengar jawabannya. Pandanganku menyalang dan merasakan kehidupan di sini terasa berbeda. Sulit membayangkan ada sebuah kehidupan yang dijalaninya di belahan bumi ini, jauh dari kehidupanku, hal yang tak tergambarkan sebelumnya.

”Aku merasa lelah,” ucapnya tiba-tiba, entah ditujukan pada siapa. Matanya tak jua lepas menyusuri bentukan mahakarya piazza di kejauhan. Lalu tiba-tiba mata hitam granitnya mengarah padaku, aku menahan nafas.

”Kau sepertinya punya dua sayap yang kokoh? Kau bisa terbang kemanapun yang kau mau, meraih apapun yang engkau inginkan. Apa kau tidak pernah merasa lelah?” Ia bertanya sambil diakhiri dengan senyumnya yang mengembang samar. Dan atas nama malam yang begitu molek di Barcelona, sungguh aku ingin detik berdetak lebih lambat.

” Uhmm..aku ke sini karena sudah merasa lelah, aku ingin meminjam sesuatu untuk bersandar. Aku mendengar bisikan kalau aku harus mencarinya di sini ehehe,” aku menjawabnya dengan penuh canda, berusaha mengembalikan ritme detak jantungku yang mengalami percepatan. Aku khawatir ia mendengar degup jantungku yang menyuarakan daya hidup tentang pencarian cinta.

” Icha, apa yang terjadi ya kira-kira bila kita dipertemukan bertahun-tahun yang lalu?” kali ini raut mukanya terlihat lebih santai.

” Mas Elang pernah berpikir setelah Adam dan Hawa dipisahkan, sebenarnya Adam yang mencari Hawa, atau malah sebaliknya? atau mereka berdua memang saling mencari dan akhirnya bertemu di Jabal Nur?” Keningnya terlihat berkerut mendengar pertanyaanku, aku merasa ia nampak semakin ganteng bila sedang berpikir.

”Uhm..pasti Hawa yang mencari Adam! ya kan?” jawabnya nakal sambil melirikku. Senyumnya mengembang membuatku merasa kikuk. Fiuhh..jawabannya menyebalkan, aku meninju lembut bahunya menandakan protes akan jawabannya. Tapi segera ia melanjutkan lagi,

” Kata Eyang Plato, semula kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Suatu pasangan diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya, tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Aku menyimak ceritanya, tak peduli hembusan angin malam yang menciumi syal di leherku.

”Suatu hari, karena takdir tertentu yang tak terjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak bila mereka mengikuti panggilan itu, mereka akan bertemu kembali. Jadi, begitulah jawabanku” lanjutnya dengan wajah yang meyakinkan.

” Curang, jawabannya nyontek ufff ” tukasku singkat. Tapi sebenarnya aku mengagumi jawabannya yang begitu mengena tadi. Dan benarkah Barcelona adalah Jabar Nurku? entah mengapa tiba-tiba aku merasakan sebuah perasaan yang aneh saat memikirkan hal itu. Tangannya melambai pada seorang penjual bunga di depan plaza, setangkai mawar merahpun berpindah ke tanganku.

” Sesuai budaya di sini, setangkai mawar merah untuk si jelita, hanya mengikuti tradisi. Entah mengapa orang-orang di sini selalu mengumbar romantisme, bahkan mengkomersialkannya. Cinta rasanya ada di setiap jengkal tanah negeri ini, tapi entah mengapa tak disisakannya untukku..ehehe” tawanya renyah menghangatkan udara di sekeliling Plaza yang bertambah dingin seiring malam yang kian merambat naik.

“ Tak mengapa, karena aku membawakanmu sekeranjang penuh dari tanah air, jadi salah kalau kau mencarinya di sini..hihi” kataku mencandainya. Ia membalas dengan senyumnya yang mengembang mempesonakanku.

“Mana?aku harus menelitinya lebih dulu sebelum kuambil...jangan..jangan..ehehe,” tawanya terkekeh.

”Ufff memang susah mencintai seorang peneliti,” ups kalimatku meluncur tanpa bisa kutarik ulang. Semu merah merona di wajahku bersaing dengan purnama di kejauhan. Mata hitam granitnya mencari-cari mataku, dan senyumnya samar mengembang. Ah Tuhan, kuharap saat ini Engkau mengunci takdirku di sini.***


(Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan naskah ini tanpa menyebutkan sumbernya)

By Siwi Mars Wijayanti

Ingin Bicara Tentang Senyuman


Bila senyuman bisa diindentikkan dengan suasana penuh kebahagiaan, maka kali ini aku ingin mengingat senyuman-senyuman itu...

Apakah karena aku tengah bahagia? mungkin saja begitu.

Bagaimana dengan engkau? uhmm...bila detik ini engkau tidak bahagia maka kupastikan ada sesuatu yang salah dengan dirimu. ya..dengan dirimu sendiri.

Saat ini aku sedang berpikir, apakah setiap senyuman mempunyai maknanya sendiri? ataukah manusia bila hatinya sedang senang dan bahagia, ia akan tersenyum?

Apakah saat kita tersenyum..kita merasa pernah ada pada tataran kebahagiaan itu..?.


Dulu senyuman yang lebar, tawa yang renyah kurasakan saat berkumpul bersama teman-teman sebaya, walau hanya sekedar ngumpul-ngumpul bicara tentang apa saja...tentang kecengan masing-masing atau kecengan bersama (ops...), tentang shopping, tentang kuliah, tentang bola, tentang musik...Ah, teman-teman, banyak sekali jalur hidup dan macam-macam yang pernah kita bicarakan.

Masihkah kini? ya...masih, tapi cerita itupun sudah beralih rupa..tapi kadang dengan senyuman yang sama. Kita bercerita tentang hal-hal yang sudah sama sekali berbeda, kita bertumbuh dan berkembang, tapi kita masih bisa tersenyum dan tertawa bersama. Walau dalam tawa yang buta, karena mungkin hanya telinga yang menangkap ritmis tawa mereka di ujung telepon.


Senyum pula saat kita meraih apa yang kita inginkan, gelar pendidikan yang didapat..meraih mimpi-mimpi kita masing-masing. Tersenyum pula melihat orang-orang di sekitar kita ikut bahagia. Dan kalian juga bahagia, kita bahagia. Kita tersenyum...kita tertawa, dan orang menggangap itu bahagia.

Saat jalur-jalur hidup telah kita bawa menuju jalur kita masing-masing (kawan, ”kita bawa’ bukan jalur-jalur hidup itu yang membawa kita—itu menurutku), banyak yang telah terjadi, dan kita masih terus sanggup tersenyum.

Saat kita sudah bergelut dengan dunia pekerjaan dan orang-orang telah menggangap kita sebagai orang dewasa, apakah kita telah kehilangan keriangan itu?

Apakah orang-orang dewasa tidak boleh mempunyai keriangan itu? sepertinya tidak. Dan kita sampai saat ini tidak kehilangan keriangan itu bukan? ataukah itu berarti kita belum cukup dianggap dewasa..ehehe...alur pikiranku berbolak balik tak menentu.


Ada banyak alasan yang membuatku tersenyum, bahkan terkadang tanpa membutuhkan alasan. Ada banyak orang yang mampu membuatku tersenyum, hingga terkadang tidak harus ada seseorang yang mampu membuatku tersenyum...karena ada banyak orang....umm, malam ini aku menulis dengan berbelit-belit.

Salahkan aku kalau engkau membacanya sampai berkerut-kerut...

Ah, salahku..padahal aku ingin membuatmu tersenyum..karena aku ingin bicara tentang senyuman.

Baiklah, senyuman bukan untuk dibicarakan...


Dunia, tidakkah engkau merekam terlalu banyak senyuman dalam hidupku?

Untuk itu aku berterima kasih....

Kawan, tersenyumlah! aku suka keriangan yang ada pada kalian...hidup yang berwarna ada pada senyum kalian...


-- Aku menikmati saat tersenyum sendiri, bersama orang lain, bersama dunia, bersamaNya-

Senin, 22 Februari 2010

Menjadi Bahagia Tanpa Syarat


Malam beranjak naik, rintis air hujan berpacu di luar jendela, kopi tinggal menyisakan sesapan terakhir saat ringtone Yogyakartaku berbunyi…sms masuk,
X : Hai
Humm, sms dari sahabat dekatku..sms yang aneh, singkat dan sangat retoris. I think something goes wrong overthere..dahiku berkerut, mungkin ada sesuatu yang terjadi dengannya. Jarak yang begitu jauh tentu saja tak bisa membuatku bertemu untuk saling mengobrol langsung. Lalu segera saja kuraih HPku dan membalas pesannya
Me : hai..Hai…uhmm kenapa?
Tak harus menunggu lama, bliiip ringtone Yogyakartaku berbunyi lagi
X : enggak, hanya lelah
Fiuhh semakin aneh jawabannya, tak biasanya ia ngirit ngomong begitu..lelah? no wonder..pekerjaan..dan pekerjaan lagi yang menjadi titik pangkalnya. Tapi “lelah” yang ia ungkapkan pasti lebih daripada alasan pekerjaan. Kubalas lagi
Me : Whoaaa..sama, pengen nyenengin diri sendiri
Kujawab seperti itu karena akupun tengah “letih” karena banyak hal yang saling bertabrakan, menyita waktu, terpaksa menyingkirkan hal-hal yang seharusnya segera fokus untuk dikerjakan. Dan hal itu menyita energi, maka rasaya ingin menyenangkan diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang aku suka atau sedikit menghadiahi diri sendiri dengan sesuatu yang menyenangkan.
Jawaban smsnya lagi, kubuka dan tulisannya membuat dahiku berkerut,
x : kesenangan itu hanya sementara
Weh..weh…entah kesambet apa dia, tersenyum sejenak dan dengan tak sabar aku membalas pernyataannya
Me : He2x..tidak pernah ada yang semu dan sementara seperti juga tidak pernah ada yang abadi. Bila menurutmu itu sementara, lalu apa yang abadi?
Jawabanku mungkin bukannya membuatnya menjadi semakin membaik tapi mungkin ia tengah bersungut-sungut membaca jawabanku yang membuat kepalanya cenut-cenut,
X : bahasa apa itu?waduuhh..makin puyeng
Aku tergelak membaca jawabannya, aku tahu pasti apa yang ia rasakan, kondisi seperti apa yang membuatnya merasa “lelah” dan merasa tidak bahagia.
Me : Halah bahasa biasa aja. X, aku hanya tidak ingin membuat syarat untuk menjadi bahagia. Ya begini ini, dengan segala ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaanku, aku bahagia..ehehe..oeyyy jangan pingsan ya..
X : boleh aku tanya, apa itu mudah?
Pertanyaannya kali ini serius, aku berpikir sejenak. Menghabiskan sisa kopi dalam cangkirku dan kembali meraih HP.
Me : uhmm mudah saja, cukup dengan tidak harus menunggu sesuatu yang kita inginkan terwujud untuk jadi bahagia, tidak harus menunggu punya gaji ataupun karir selangit, tak harus menunggu jatuh cinta, tak harus menunggu menikah, tak harus menunggu punya rumah atau kuliah lagi di luar negeri atau apapun. Menikmati hidup dengan segala ketidaksempurnaannya, memang terkadang tidak mudah, tapi aku memilih itu,
Aku cukup puas dengan jawabanku, kata-kata dari mana? Entahlah…
X : terima kasih, aku sudah bisa tidur
Aku tersenyum lega. Tapi percakapan singkat itu membuat aku berpikir. Menjadi bahagia tanpa syarat? Sudah agak lama menerapkan “ilmu” ini dan sejauh ini sangat menolongku untuk menghadapi hidup dalam detiknya yang terus berjalan. Aku ingin menjadi manusia yang seperti itu, melepaskanku dari beban-beban yang harus dipikul kemana-mana.
Manusia, terkadang aku merasa manusia terlalu sering mensyaratkan sesuatu untuk menjadi bahagia sehingga terasa begitu rumit. Bahagia menjadi mahal, menjadi berhala. Orang harus mempunyai pekerjaan yang bagus, gaji yang cukup, rumah yang nyaman, menikah dan mempunyai keluarga yang terlihat bahagia entah atas nama komitmen atau hanya kontrak-kontrak hidup yang dibuat dua orang yang berbeda. Manusia harus begini…harus begitu..bila tidak begini berarti kau tidak sukses, bila tidak begitu berarti kau tidak bahagia..ah, mereka seragam sekali dalam hal itu, terkadang membuatku geleng-geleng kepala dan tersenyum. Tak heran, tak juga ingin menghakimi. Mungkin saja mereka yang benar, dan aku yang salah, atau sebaliknya, atau tidak ada yang benar atau mungkin semuanya benar, entahlah…
Hanya saja aku tengah mencoba tidak lagi mensyaratkan sesuatu untuk bahagia. Menerima hidup akan lebih menenangkan, tapi bukan berarti membuat urat perjuangan putus atau kemauan untuk mengejar impian menjadi melempem.
Aku, sebebas udara. Kebebasan bukan berarti ketiadaan tanggung jawab, tapi mempunyai kebebasan untuk memilih dan melibatkan diri sepenuhnya pada pilihanku.
Selamat hidup kawan,