Rabu, 14 Desember 2022

Kisah tentang Lahirmu, Nak



Perawat kembali mendekati kami, yang tengah menunggu dengan cemas di Ruang IGD RS Ananda Purwokerto.

             “ Bu, dari dokter Ika, ibu dan bapak diberikan pilihan. Mau operasi Caesar saja atau mau dicoba induksi bila mau mencoba persalinan normal (per vaginam). Kondisi bayi sejauh ini dalam keadaan baik, silahkan dipertimbangkan dulu ya bu,” kata si perawat yang barusan berkonsultasi dengan dokter ika via telpon.

Jam tiga tadi, ketika terbangun saya tiba-tiba merasa ada merembes. Jangan-jangan ketuban rembes, pikir saya. Seketika gelisah dan membangunkan suami saya. Ketika aliran rembesan terasa lebih deras, kami memutuskan untuk langsung ke rumah sakit. Dini hari saat hujan gerimis. Setelah dicek, benar saja bahwa ketuban rembes, tapi belum ada tanda pembukaan dan kami harus memutuskan langkah selanjutnya.

            “ Kalau diinduksi nanti efeknya bagaimana mbak?” tanya saya, agar ada gambaran dari pilihan-pilihan yang akan diambil.

        “ ya mules-mules bu. Tapi belum tentu efeknya sama, ada yang sudah diinduksi tapi pembukaannya tidak maju-maju, ada yang kemudian cepat maju pembukaannya,” begitu terang perawat yang menangani saya.

Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba induksi, ada seperti pil kecil yang diberikan di bawah lidah. Kata perawatnya, saya akan diobservasi selama 6 jam untuk melihat perkembangannya, bila tidak ada progress yang bagus, akan dicoba diinduksi lagi untuk 6 jam lagi.

        Kami kemudian menunggu di ruangan rumah sakit, sembari menunggu Ibu saya datang dari Kebumen.  Sebenarnya beberapa hari lalu ibu sudah datang, tapi tanda-tanda persalinan belum datang juga. Sekitar pukul 8 pagi, rasanya masih biasa-biasa saja. Saya masih sarapan seperti biasanya. Hanya saja karena ketuban sudah rembes, jadi saya tidak boleh beraktivitas seperti biasa, diminta berbaring di ranjang saja. Rasa mules-mules yang mulai datang dan pergi mulai menghampiri jam 9. Dan kemudian jam 10an, perawat datang untuk mengecek kondisi saya.

         “ Wah bu sudah pembukaan 4, kita bersiap ke ruang persalinan ya”, kata perawat yang datang mengobservasi.

Tiba di ruang persalinan, saya melihat ada sekat-sekat bilik yang dibatas tirai putih. Saya ditempatkan di pojok paling kanan. Rasa mules dan sakit mulai semakin sering saya rasakan. Bilik di sebelah kiri saya terdengar gaduh teriakan-teriakan kesakitan si ibu. Membuat hati saya kecut. Suara-suara gaduh itu cukup menggangu saya yang juga tengah merasakan sakit. Semakin lama rasa sakit itu semakin intens, jadi nggak sadar saya mencengkeram tangan suami saya untuk mengalihkan rasa sakit. Rasa sakitnya memang sedemikian intensnya, dan rasa ingin mengejan untuk terasa otomatis. Padahal dari yang saya baca dan cari-cari info soal persalinan, ibu nggak boleh mengejan sebelum pembukaan penuh (10). Tapi dorongan mengejan seperti otomatis terasa, dan rasa sakitnya semakin lama semakin luar biasa.

           “ Dokter, ini anak saya tambah kesakitan harus bagaimana?” tanya Ibu saya dengan gelisah. Saya pun menangkap rasa cemas, gelisah di muka ibu saya.

       “Nggak papa bu, malah bagus kalau makin sakit, artinya pembukaannya bertambah,” terang dokternya. Suaranya lamat-lamat kudengar, karena rasa sakit yang hampir di luar ambang batas tadi lumayan membuat saya nggak fokus. Saya hanya ingat harus mengatur ritme nafas yang diajarkan salah satu akun yang saya ikuti di Youtube, untuk meminimalisir rasa sakit.

Akhirnya di bilik itu hanya saya dan suami saja, karena perawat meminta ibu saya menunggu di luar ruangan saja. Mungkin ia melihat ibu saya yang terlalu cemas. Yang saya ingat, ibu pernah cerita saat dulu menunggu persalinan adiknya, malah ibu yang pingsan hehe..jadinya biarlah ibu menunggu di luar ruangan saja.

Dokter dan perawat nampaknya fokus menangani pasien di bilik sebelah kiri saya yang “heboh” tadi itu. Baru setelah selasai, mereka menghampir saya sekitar pukul 12.30an.

          “ Loh ini anteng-anteng aja tapi udah pembukaan lengkap. Ayo bersiap ke bilik persalinan”. Saya dan suami kaget, senang dan juga cemas. Pengalaman yang sama sekali baru untuk kami.

Ada sekitar 6 orang yang seingat saya yang menangani saya waktu itu. Dokter, bidan dan perawat. Mereka nampak santai seperti melihat bahwa kejadian-kejadian di ruangan itu merupakan kejadian yang sangat biasa. Mereka memberikan instruksi posisi, dan memberi aba-aba kapan harus mengejan,

Ternyata dorong mengejan itu ketika gelombang mules itu datang. Beberapa kali para petugas medis itu memberi aba-aba yang menyemangati saya untuk mengeluarkan sekuat tenaga untuk mengejan.Sementara suami memegangi bahu saya, turut memberikan dukungan dan semangat untuk saya yang sudah mulai kelelahan.

Tapi yang saya rasakan, sakitnya sudah tidak seintens ketika induksi menuju pembukaan lengkap. Justru saat-saat mengejan untuk melahirkan rasa sakitnya lebih terkontrol. Hanya saja fokusnya untuk mendorong mengejan untuk mengeluarkan si baby boy.

         “ Ayo bu, kali ini harus lahir bu. Dorong sekuat tenaga bu.” Begitu dorong semangat para petugas medis kala itu.

Dan akhirnya entah untuk dorongan berapa kalinya, akhirnya si baby boy gantengku, Arsyanendra Radeva Pramadana, Lahir juga kedua.

Si bayi yang suka nendang-nendang dan muter-muter di dalam perut saya itu lahir juga. Tangisnya pecah, hati saya juga tak terkira. Begini rasanya melahirkan.

Tapi rasa lega berganti dengan keingintahuan, apakah bayi saya sehat dan normal?

Belum juga hilang rasa sakit usai melahirkan bayi, terlalu belum selesai sampai disitu. Masih ada tahapan mengeluarkan plasenta (ari-ari) bayi, yang ternyata prosesnya tak kalah sakitnya. Dan setelah itu, dokter ika sudah datang untuk menjahit robekan di jalan lahir. Rasanya tuh “  sudahlah mau diapain aja, yang penting bayi saya sudah lahir” hehe. Karena sempat membatin..Ya ampun, begini banget prosesnya….heheh begitu pikir saya waktu itu.

Begitu tak terlupakan…campuran rasa sakit, lelah luar biasa tapi juga bahagia tak terkira.

Beberapa saat perawat membawa bayi saya ke ruang untuk inisiasi menyusui dini. Ada rasa baru yang tak tergambar saat ia diserahkan dalam dekapku. Anakku..

Tak terasa ya nak, kisah lahirmu ini sudah setahun yang lalu..setahun ini yang penuh kisah. Menjadi ibu baru, orang tua baru.

Ada hari hari dimana tidur hampir tak pernah bisa nyenyak lagi, juggling membagi waktu antara pekerjaan dan mengasuhmu. Ada kalanya tiba-tiba mood begitu berubah ketika lelah, kemudian airmata tak terbendung lalu menangis tanpa sebab. Tapi tak ada yang bisa menggantikan rasa ketika kamu menatapku saat menyusui, senyummu yang entah bagaimana caranya selalu membuat hati bunda meleleh nak..tawanya yang renyah, teriakanmu yang nyaring.

Kamu, semangat bunda untuk menjalani hari-hari yang ke depan. Pijar energi yang selalu membuncah untuk memberikanmu yang terbaik apa yang bisa bunda berikan.

Tumbuhlah dengan sehat dan bahagia, anakku.

 -Sehari setelah ulang tahunmu yang pertama, 14 Desember 2022-


Rabu, 09 Maret 2022

Cerita Tentang Dapur


The Kitchen is the heart of the home

Dapur ini menyimpan cerita tentang perjuangan, makanya saya membuat tulisan ini untuk sekedar mengenangnya. Mungkin sekaligus mengingatkan pada diri sendiri, hey...kamu itu masih mampu lho untuk mewujudkan apa-apa yang kamu inginkan.

Hanya saja mungkin perlu waktu..

Perlu waktu.

Dulu saya punya bayangan seperti apa dapur yang saya inginkan hehe, hobi berselancar di pinterest desain- desain dapur yang sungguh menarik hati, kemudian saya simpan di satu folder tersendiri. Walaupun pada saat itu, untuk mewujudkannya entah kapan. Terkadang suka atau tidak suka, banyak hal dalam hidup ternyata memerlukan kemampuan finansial yang cukup untuk menjadikan rencana-rencana untuk mewujud. Mungkin itulah penting mempunyai perencanaan keuangan ya.

Dan cerita tentang dapur ini bermula ketika saya “nekad” untuk merenovasi rumah. Awalnya masih ada sisa tanah di belakang rumah yang pada saat itu saya ingin memaksimalkan lahan agar rumah sedikit lebih luas. Dapur lama di rumah sangat sempit, mungkin sekitar 2 x 3 meter saja. Rumah ini saya beli dari orang yang awal membangunnya, jadi saya harus terima desain rumah apa adanya. Jadi proses renovasi lahan belakang (dan akhirnya merembet ke teras depan) adalah ruangan yang dari awal mendapat “sentuhan” desain ala ala saya hehe.

Proses renovasi dimulai pada akhir tahun 2019, dengan pikiran yang “sangat polos” waktu itu.

“Kan hanya nambah ruangan saja, kasih sekat sekat,’cukuplah uang tabungan,” begitu pikir saya. Makanya saya nekad manggil tukang untuk merenovasi. Tapi begitu saya minta kalkulasi perkiraan biaya renovasinya, senyum saya langsung kecut haha…di depan tukangnya saya masih berlagak sok cool, tapi dalam hati terkaget kaget juga.

Dari biaya kalkulasi perkiraan pak tukang itu, saya paling hanya punya tabungan 1/3 nya saja waktu itu. Ya ampun, saya memang clueless soal bangun atau renovasi rumah. Apalagi bapak sudah tidak ada, alhasil tidak ada “laki-laki” yang bisa diminta pertimbangan atau bisa ditanya tanya. Jadinya pernekadan terjadilah hehe.

Metamorfosis dapur

Jadi dapur ini memang menyimpan cerita perjuangan banyak hal. Setiap sisi bercerita tentang beberapa projek penelitian yang saya garap agar ada pemasukan lebih, ada insentif publikasi dari institusi, dan kerjaan sabet sana sini hehe. Dapur yang saya pilih sendiri desain dan materialnya, sampai granit dan motif dinding dapurnya. Saya masih ingat harus membawa keramik dinding dapur dengan sepeda motor, karena nanggung pas mau di go-car kan. Beberapa kali harus ke gudang stok granit, mengambil granit yang saya beli, dan nampak krik krik di antara para laki-laki di gudang granit tersebut.

            “ Suaminya lagi kemana mbak?” tanya pegawai di gudang stok granit waktu itu. Mungkin dilihatnya aneh, perempuan “nyasar” ke gudang stok granit.

Suaminya belum direncanakan mas! Wkwkwk..eh enggak gitu lah jawabnya. Saya hanya menjawab dengan senyuman saja. Waktu itu saya belum menikah.

Dapur ini pada prosesnya memerlukan waktu untuk sedikit demi sedikit mewujud seperti bayangan saya. Dari akhir Tahun 2019 dan renovasi selesai sekitar Bulan Agustus 2020, masih seadanya. Kemudian proses demi proses akhirnya di awal Tahun 2022 saya bisa memandangi dapur versi “yang saya mau” sejak dulu. Ada kepuasan di situ, ada rasa pencapaian terselip di antaranya.


“ih, cuma dapur gitu aja kok”
 mungkin ada yang berpikir begitu, haa ya biarkan karena memang dapurnya ya hanya gitu aja kok hihi.

Tapi cerita di baliknya, yang membuat saya ingin mengenang dengan menuliskannya.

Pergantian waktu malam nanti, usia saya bertambah lagi. Terkadang dengan makin “matangnya” usia (makin tua maksudnya buuu), terkadang kita jadi semakin kecil hati untuk mempunyai mimpi ataupun rencana-rencana. Apakah karena jadi semakin mudah merasa lelah ya? Entahlah.

Energi pun seringkali terasa berbeda dibanding kala usia masih lebih muda. Saya saat ini juga seorang ibu, yang terkadang sering dihinggapi beraneka macam rasa dan beraneka peran yang harus dijalani.

Tapi cerita tentang dapur ini, setidaknya mengingatkan pada saya bahwa perjuangan dan kerja keras (dan sedikit cerdas mungkin hehe), memang tidak selalu memastikan bahwa semua mau kita akan terwujud. Ternyata bukan itu.

Tapi lebih pada kebanggaan pada dirimu sendiri, bahwa kamu bersungguh-sungguh pada semua apa yang kamu upayakan.  Mungkin memang manusia dicukupkan untuk berupaya ranah itu, karena soal hasil ada tangan-tangan Tuhan yang tak perlu kita ragukan. Tak perlu kita risaukan. Iya kan?

Sekian cerita saya soal dapur yang membuat tulisan saya ngelantur hehe,

Salam


Senin, 10 Januari 2022

Arsyanendra, Cinta tak bersyarat itu


Hujan di luar jendela menderas, malam pun sudah cukup larut, sementara saya sesekali menengok ke samping memastikan si kecil masih tertidur. Akhirnya mau ditidurkan juga, setelah sedari siang nemplok terus begitu posesif pada bundanya.

Jangan tanya rasanya badan, pegel-pegel nggak jelas. Yang saya ingat terakhir tidur nyenyak ya saat sebelum lahiran. Sejak menjadi ibu baru, badan lungkrah kurang tidur, kadang mood berubah ubah nggak pasti hehe. Tapi jangan tanya juga rasa bahagianya, tak bisa terejakan kata kata.

Arsyanendra Radeva Pramadana, nama yang kami sematkan padanya. Nama yang sudah dipilih mungkin sejak bulan ke delapan usia kehamilan saya. Laki laki yang berpengetahuan, pembawa kebahagiaan, berkedudukan tinggi dan dermawan. Itulah arti nama yang semoga serupa doa doa kami untuknya,

Ketika ia dilahirkan, saya pun dilahirkan sebagai ibu. Yang memulai hidup baru, yang begitu berubah dan berbeda dengan hidup sebelumnya. Fase kehamilan saya rasanya tidak terlalu banyak drama, hanya mual mual sedikit meriang di awal-awal kehamilan, tapi setelahnya tidak terlalu banyak keluhan yang berarti. Periode kehamilan saya lebih banyak dihabiskan untuk kerja dan kerja.

Tapi melewati proses persalinan dan kemudian anak saya terlahir rasanya begitu mengubah hidup. Beginikah rasanya menjadi ibu…

Melewati proses induksi karena ketuban rembes tapi belum ada pembukaan, sampai melalui fase pembukaan demi pembukaan yang rasanya sulit pula digambarkan kata kata. Sakit yang baru kali ini saya rasakan sebegitu tinggi kadarnya. Hingga proses persalinan sampai akhirnya ia lahir juga. Pecah tangisnya terngiang di telinga saya. Sementara saya rasanya masih mengawang-awang, ada perasaan lega, bahagia, sakit, lelah bercampur campur menjadi rasa yang beraneka.

Deva, begitu kami memanggilnya. Mahluk kecil itu merubah hidup saya. Hari ini tepat 4 minggu, ia telah menghiasi kehidupan kami. Menjadi orang tua ternyata proses belajar yang tiada henti. Semuanya terasa baru, kadang ada campuran rasa cemas, bingung, tapi ketika menatapnya lahir perasaan yang sulit saya ungkapkan.

Ada rasa cinta yang tak kukenali sebelumnya. Ada rasa ingin memberikan yang terbaik untuknya, ada rasa ingin menjagainya, namun ada kalanya menyelusup rasa bersalah saat rasanya saya belum bisa menjadi ibu yang baik. Ada campuran rasa yang pelan pelan saya perlu cerna dan terima

Arsyanendra, anakku. Terimakasih telah memilihku menjadi ibumu. Mari belajar bersama sama, Mungkin semuanya terasa baru tapi waktu demi waktu akan kita lewati bersama.

Bersama, Arsyanendra-ku.