Minggu, 27 Desember 2020

Luncurkan Website Akademis Sebagai Bentuk Kontribusi



Hi senang berjumpa lagi website ini!

Agak lama nggak posting di website ini, karena sebulanan terakhir saya sedang menggarap website baru saya. Aih, iya saya punya website baru yang lebih berisi akademis, berfokus pada artikel tentang studi lanjut ke luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Hihi keliatannya serius banget ya! 

Sebenarnya hal ini berkaitan dengan beberapa komtemplasi saya akhir-akhir ini soal “ikigai”, seperti yang saya posting pada postingan saya sebelumnya. Saya berpikir bahwa ingin hidup saya harus mulai lebih terarah lagi, terlebih pada hal-hal yang saya senangi, dan siapa tau dapat memberikan kebermanfaatan pada banyak orang. Saya banyak berdiskusi dengan sahabat saya, dan akhirnya berkolaborasi untuk meluncurkan website official di https://siwiwijayanti.my.id/

Selama ini saya membuat dan menulis di website siwimars.com autodidak saja, dari coba sana sini jadi memang secara tampilan website dan fitur masih sederhana. Karena memang ini website personal, yang isinya gado gado segala macam rasa tulisan bisa muncul di website ini. Di website saya yang resmi yang bertajuk “Inspirator Akademia” itu, insyaAllah akan dikelola dengan lebih serius. Aih Inspirator Akademia itu tadinya semacam tajuk yang berat sekali untuk saya.

“hehe ya biar ada labelnya. Semacam personal branding gitu,” kata si sahabat yang membantu mengkonsep dan mengeksekusi tehnis website-nya. Ya sudah, saya manut saja haha.

Ternyata saya menikmati secara rutin menghidupi website baru saya itu, walaupun kalau nulis artikel baru agak lama, karena lebih pakai mikir dibanding mau ngepost di website ini. Karena di website tersebut, bahasa saya juga berbeda, topiknya juga tentu saja berbeda dengan di siwimars.com. Kalau di sini, saya bisa menulis aja saja, dengan gaya bahasa santai seperti sedang membicangi sahabat, sedangkan di https://siwiwijayanti.my.id/, saya harus menulis dengan gaya yang lebih semi-formal. Tapi saya seneng-seneng saja sih, karena membagikan beberapa informasi tentang studi lanjut di luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Saya yakin ada banyak orang yang lebih kompeten, lebih berpengalam dan lebih-lebih lainnya, namun mungkin “tidak dituliskan”. Nah, maksud saya menghidupi website tersebut tentu mencoba share informasi-informasi yang saya ketahui atau berdasarkan pengalaman saya studi di luar negeri serta mempublikasikan jurnal ilmiah.

Sudah sekitar sebulan sejak diluncurkannya website tersebut, Alhamdulillah responnya cukup baik. Peringkat DA (domain authority) dan PA (Page authority)-nya sudah langsung 5 pada bulan pertama. Yang kata sahabat saya itu oke banget, hehe sebelumnya mana paham saya soal DA-PA begituan lah hehe. Ada pula banyak DM di IG saya yang mengucapkan terimakasih atas informasi-informasi yang saya berikan. Atapun menanyakan hal-hal yang ingin ia ketahui tentang studi lanjut. Dan itu menyelusupkan saya bahagia, bahkan terharu. Ih, saya berguna juga ya! Hahah gitu sih rasanya,

 “Ada kebahagiaan-kebahagiaan yang saya dapatkan dari menulis, dan itu tidak bisa ditukar”

Akhirnya saya sampai kembali pada pemahaman itu, bahwa panggilan hidup ada pada menulis. Doakan ya untuk terus konsisten menghidupi website saya tersebut. Silahkan mampir-mampir juga lho!

Kelak website ini juga akan dipermanis kok, biar saya tetap betah menulis di sini dan semoga kalian juga masih betah terkadang mampir ke mari. Karena website ini, tentu saja rasanya seperti rumah saya. Dimana saya saya bisa sharing perasaan, pemahamaan dan pengalaman saya. Terimakasih telah membersamai saya selama ini.

Salam cinta.

Sabtu, 17 Oktober 2020

Menemukan IKIGAI Dalam Diri





Kamu ke depan pengennya mau bagaimana? Maksudnya tuh kamu kelak ingin dikenal sebagai apa yang “bener benar kamu banget”?

Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang, yang tiba-tiba menggugah kesadaran saya kembali. Selama ini seingat saya nggak ada yang tiba-tiba menanyakan hal itu. Bahkan saya pun lupa kapan terakhir kali saya bertanya hal itu pada diri saya sendiri.

Saya lupa, atau sebenarnya melupa.

"Kalau waktu dan energimu habis untuk melakukan yang nggak sesuai dengan apa yang mau kamu tuju atau apa yang kamu inginkan itu. Nanti kamu akan merasa tersesat,” tambahnya.

Rasanya aku makin “dihantam” oleh pernyataannya tadi itu.

Habis menghadapi pertanyaan seperti itu, saya jadi mikir haha. Beberapa tahun belakangan ini, saya lama sekali tidak mempertanyakan lagi apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup, atau istilahnya “the purpose of life” atau “a reason for being”  

Pembahasan tentang hal-hal seperti ini mungkin kadang terasa absurb, ataupun dibilang eksklusif, ataupun mungkin saja ada yang bilang “nggak ada guna”nya. Ya sudahlah hidup ya dijalani aja, nggak usah repot-repot mikirin a reason for being-kita. Sehingga ada banyak orang menjalani kehidupan dengan seadanya, dengan tanpa arah yang jelas.

Ada juga orang-orang yang paham bahwa itu sangat penting, tapi dalam pencariannya belum nemu-nemu juga. Nah itu saya! Haha..

Saya tuh kalau ditanya seperti itu masih bingung lho, apa sebenarnya a reason for being saya. Kalian pernah dengar IKIGAI?. Ada buku best seller yang ditulis oleh Hector Garcia dan Francesc Miralles yang berjudul “IKIGAI-The Japanese Secret To a Long and Happy Life” ini memang sangat menarik perhatian saya. Sampai saat ini, saya belum selesai membacanya, karena membaca bab demi bab rasanya perlu dicerna perlahan.

Kata Ikigai merupakan istilah bahasa Jepang untuk menjelaskan kesenangan, gairah dan makna kehidupan. Kata tersebut berasal dari iki, yang berarti kehidupan dan gai, yang artinya nilai. Dijelaskan pula bahwa Ikigai-lah yang dinilai dapat memberikan motivasi kuat yang menjalani hidup dengan bergairah dan semangat. 

Nah, untuk menemukan ikigai, para ahli merekomendasikan untuk memberi empat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti :

·       Apa yang saya sukai?

·       Apa yang bisa saya lakukan dengan baik?

·       Apakah kemampuan saya itu layak mendapat bayaran?

·       Apa yang dibutuhkan dunia dari saya?

Dan pertanyaan dari teman diskusi saya tadi itu memantikkan kembali pertanyaan itu dalam diri saya. Dulu saya merasa menemukan kesenangan dan kebahagiaan lebih pada aktivitas menulis. Saya dulu rajin menghidupi blog ini karena passion saya pada menulis. Saya juga banyak berkenalan dengan orang-orang baru melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga sepertinya lebih dikenal karena tulisan-tulisan saya. Tapi selama ini saya memang hanya menganggapnya hanya sebagai hobi semata. Sementara di sisi hidup yang lain, saya lebih banyak berkecimpung di dunia akademik, apalagi setelah saya menyelesaikan jenjang pendidikan S3. Waktu dan energi saya hampir semuanya tercurahkan untuk aktivitas pekerjaan saya sebagai akademisi. Mungkin karena itulah, saya tidak lagi “sempat” mempertanyakan lagi apa sebenarnya yang betul-betul saya maui.

Karena sebenarnya di dunia akademisi ini saya belum nemukan rasa "passion" yang sebenarnya. Saya bukan akademisi yang dengan penuh gairah meneliti pada suatu bidang yang membuat saya betul-betul tertarik. Tapi bukan berarti juga saya merasa menderita pada apa-apa yang tengah saya lakukan dan jalani. Saya cukup menikmati dan merasakan dinamika pekerjaan selama ini, jadi karir juga melaju cukup bagus. Oleh karena itu, ketika saya mendapati diri saya sudah "terlalu jauh" berjalan di dunia akademisi, jadi dalam pikiran saya kemarin-kemarin ya sudah dijalani saja. Rencana saya ke depan juga akhirnya tertuju pada titik yang dianggap pencapaian tertinggi dari seorang akademisi dosen, misal pengen jadi profesor.

Tapi akhir akhir ini saya berpikir : "apa sih arti jadi profesor buat saya?" . Ternyata bagi saya, hal itu tidak lebih dari sebuah gelar, seperti juga gelar-gelar pendidikan yang sudah saya raih. 

Sepertinya saya membutuhkan sesuatu yang lebih membuat saya "bergairah', menemukan passion. Menemukan Ikigai-saya sendiri. Sepertinya ada hal lain yang perlu ditemukan. Sepertinya ada sisi lain atau sisi lama yang justru itulah sesungguh-sungguhnya saya. Walaupun itu bukan berarti kemudian mengindahkan dunia akademisi yang telah lama saya jalani. Dunia yang telah memberikan penghidupan bagi saya, dan juga sarana  berbagi sedikit ilmu yang telah saya dapatkan pada generasi berikutnya. 

“Some people have found their ikigai, while others are still looking, though they carry it within them. Our ikigai is hidden deep inside each of us, and finding it requires a patient search.

Begitu yang tertulis di buku itu. Bahwa mungkin Ikigai itu bersembunyi ada dalam diri kita, dan menemukannya membutuhkan kesabaran dalam pencarian. Terkadang saya melihat orang-orang pada usia muda telah menemukan Ikigai-nya, namun ada juga yang terus mencari-cari. Mungkin perjalanan pencarian itu juga penting, seperti tagline-blog saya “Sebuah Catatan Perjalanan Ke Dalam Diri”.

Belum menemukan Ikigai, justru membuat saya lebih berkeinginan untuk lebih sering membicangi diri saya sendiri. Mencoba memahami rasa-rasa yang muncul dari aktivitas saya sehari-hari. Tergoda untuk mencobai  beberapa hal, untuk kemudian semoga menemukan apa Ikigai saya yang sebenarnya. 

Terus berjalan dalam pencarian. Terus menikmati setiap langkah-langkah penemuan.

Menemukan diri sendiri. ***

Purwokerto. 16 Oktober 2020. Tulisan di tengah gerimis yang membasahi sore ini. 

Jumat, 09 Oktober 2020

Membincangi Ego Diri


Mendung sudah mulai terlihat di luar jendela. Purwokerto hampir setiap sore kini diguyuri hujan. Sayang memang, karena itu artinya saya lagi-lagi tidak bisa jalan kaki sore di GOR, yang letaknya hanya di samping kantor kampus. Rutinitas jalan sore sudah hampir sebulanan ini merupakan kebiasaan baru yang ternyata nagih banget untuk dilakukan. Tepatnya semenjak badan saya mulai “protes” dengan terdeteksinya kadar tertentu di badan saya yang di atas normal. Fase-fase sakit kemarin cukup membuat saya down dan merasa tidak berdaya, karena selama ini saya merasa-nya sehat-sehat saja. Hanya saja, yang mungkin tidak disadari adalah saya terlalu memacu tubuh, pikiran dan energi saja di luar ambang batas keseimbangan.

“Iya sih memang sibuk banget…tapi kan sebenarnya semuanya hampir bisa dikatakan dapat terselesaikan dengan baik kan?”—dulu saya berpikir seperti itu.

Sampai akhirnya tubuh saya mengirimkan “warning” itu

Dan keadaan itu membuat saya banyak merenung dan berpikir. Sepertinya ada pola yang harus saya rubah. Yang berubah banget terutama pastilah pola makan saya agar berupaya untuk menormalkan kembali kondisi tubuh. Dan itupun ternyata tidak mudah, karena seringkali kita makan makanan tertentu sebagai “comfort food” yang setelah makan, mood kita terasa lebih baik. Mungkin itu yang sering kita dengar sebagai emotional eating, yakni dengan makan makanan tertentu untuk membuat perasaan ataupun mood kita menjadi lebih baik. Pernah nggak kalian kayak gitu?

Dulu ketika sudah seharian lelah bekerja ngerjain ini itu, pikiran pertama yang terlintas ketika hendak pulang ke rumah itu..”mau makan apa ya yang enak?” Waktu itu pembelaan yang ada di pikiran saya adalah hal itu sah dilakukan sebagai reward, kompensasi karena sudah bekerja dan berupaya keras seharian. Dan parahnya karena saking lelahnya, habis makan biasanya ketiduran. Mungkin pola ini yang lama-lama membuat tubuh saya protes. Kebanyakan kerjaan, energinya seringkali habis, bahkan mungkin sebenarnya defisit. Namun, ini tidak saya sadari.

Saya beberapa waktu lalu mendengarkan paparan Reza Gunawan, praktisi kesehatan hoslistik pendiri klinik True Nature Holistic Healing yang membahas tentang toxic success. Intinya sih “sukses beracun” itu terjadi ketika kita bisa menjadi sakit secara mental, jiwa, pikiran hingga fisik dikarenakan oleh proses perjuangan menuju sukses yang tidak sehat”.

Sepertinya itulah pesan yang tubuh saya sedang ingin sampaikan. Dulu, beberapa temen pernah mengatakan saya orangnya itu ambisius, dan selama ini saya menyangkalnya.

“Enggak ah, perasaan normal-normal saja. Saya memang orangnya high achiever, pekerja keras, kuat tekad mewujudkan apa yang ingin saya raih. Nggak salah juga kan?” itu sih dalam hati saya selalu menyangkalnya demikian.

Soalnya bagi saya ambisius itu terdengarnya negatif gitu. Hingga kemudian beberapa saat lalu saya berbincang dengan seseorang, dan iseng bertanya “memangnya aku terlihat ambisius ya?”

“Kalau aku, mengukur seseorang itu ambisius negatif atau tidak, ya pada poin keseimbangannya sih. Persepsi kebanyakan orang, ambisius itu punya keinginan sangat kuat untuk mencapai sesuatu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan,”- begitu tutur seseorang itu.

Jleb nggak sih rasanya? Jawabannya itu memang tidak eksplisit bilang saya termasuk kategori ambius. Tapi kalimatnya itu membuat saya berpikir seketika bahwa kemungkinan saya memang mengindahkan prinsip prinsip keseimbangan itu. Terlalu banyak kerja, istirahatnya kurang, males olahraga, makan-nya nggak sehat.

Tapi memang susah sebenarnya ya kita mengukur keseimbangan? Selama ini saya merasanya sehat sehat saja, sampai suatu ketika tubuhnya merespon dan protes. Dan kemudian itu membuat saya berpikir.

“ Memang sih, PR terbesar orang hidup itu ya adil untuk membagi porsi pada hak dan kewajiban. Dan seringkali kita belum mengetahui berapa sebetulnya takaran porsi untuk adil itu, sebelum kita mengalami sesuatu yang nggak enak pada diri kita.” Tutur seseorang tadi itu.

Itu persis yang terjadi pada diri saya.

“ Setelah aku pelajari, ternyata dalam diri kita sendiri ada banyak entitas ego. Dimana kalau kita ngga bisa berkomunikasi baik dengan mereka, hidup kita isinya akan jadi ribet terus. Misalnya gini: ada entitas ego yang menginginkan kita sukses dalam karir. Maka dia akan memacu kita untuk terus bekerja sekeras mungkin untuk mencapai apa yang menurut kita menjadi sebuah standar sukses. Apa entitas ego ini salah? Nggak, karena memang di situlah peran dia. Tapi kelemahannya, dia nggak peduli bahwa kapasitas tubuh kita bisa mengimbangi nggak dengan ritme kerja kerasnya? Nah, sementara itu ada entitas ego yang lain yang menginginkan kita hidup seimbang, demi kesehatan tubuh. Di situlah konflik antar entitas ego bisa terjadi.”Begitu pendapat teman diskusi saya itu. Berat ya kalimatnya ya? Hehee ampun memang lah wkwk..

Tapi isinya jleb jleb..saya mungkin harus lebih banyak membicangi ego saya, untuk berupaya paling tidak agar lebih seimbang lagi memperlakukan jiwa, pikiran dan tubuh. Mungkin kalau tidak seperti ini, akan saya terus menjalani hidup dengan terus tidak mengindahkan keseimbangan. Memacu diri tanpa tahu batasannya.

Kadang-kadang hidup begitu ya, ada saatnya kita menjeda dan berpikir kembali tentang pola bagaimana kita menjalani hidup. Kalau saya pikir, hidup itu tentang terus belajar dan belajar tanpa henti. Belajar membincangi diri, termasuk ego-ego di dalam diri. Itulah yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sembari melajukan langkah langkah kaki dalam rutinitas jalan sore. Dengan semilir angin, suara musik di earphone dan perbincangan perbincangan saya dengan diri sendiri.

Salam hangat dari sore-nya Purwokerto yang bergelayut mendung.


Sabtu, 01 Agustus 2020

Ketika Kembali Lagi ke Kota yang Kusebut Rumah, Glasgow.



Menjelang sore bus yang saya tumpangi dari Birmingham Coach Station merapat ke Buchanan Bus Station, terminal bus-nya Glasgow. Saya memilih untuk menggunakan bus daripada kereta karena harga tiketnya lebih murah dibanding kereta. Sementara saya tidak lagi memiliki Railcard, kartu langganan tahunan kereta api di UK yang dari keanggotaannya itu kita bisa memperoleh diskon 30% saat menggunakan jasa kereta api. Memang menggunakan moda transportasi bus lebih lama sih, tapi saya nggak keberatan sama sekali. Sekalian piknik juga dong dari Birmingham ke Glasgow menikmati perjalanan di sepanjang jalan.

Sejak back for good ke Indonesia di awal tahun 2016, saya kembali lagi mengunjungi Glasgow Tahun 2017, kemudian ini kunjungan kali kedua untuk menjejakkan kaki lagi di kota tercinta ini. Kota yang masih saja seperti rumah. Langit Glasgow gloomy ketika saya menggeret koper keluar dari Buchanan Bus Station. Mata saya langsung menjelajah mengamati pemandangan yang biasanya terasa familiar ketika saya masih tinggal di Glasgow. Perut saya terasa lapar, karena sejak pagi hanya makan seadanya membeli cheesecake dan sekotak anggur di tempat istirahat pemberhentian bus sepanjang perjalanan dari Birmingham ke Glasgow. Memang kalau pas lagi di UK saya puas-puasin membeli buah dan kudapan dessert yang kalau di Indonesia harganya lumayan, sedangnya kalau di UK terasa murah. Dan entah kenapa buah-buahnya fresh enak bangeeet, atau mungkin karena merasa lebih murah ya belinya haha.

Karena perut yang terasa lapar,  akhirnya saya melipir ke KFC Glasgow di City Centre. Tempat makan penuh kenangan, karena dulu kalau lagi pengen makan di luar ya paling sering KFC di city centre ini menjadi tujuannya. Selain karena salah satu tempat makan di antara sedikit tempat makan Halal di Glasgow, rasanya juga enaaaak terutama hot wings nya aduhai. Lalu saya duduk makan hotwings dan french fries sambil melihat pemandangan dari jendela. Ya ampuun, tiba di Glasgow lagi tentu rasanya menyenangkan. Rasanya seperti pulang, walaupun kali ini sendirian. Teman-teman yang dulu membersamai ketika kuliah di Glasgow juga hampir semua sudah kembali ke Indonesia. Hanya tinggal beberapa sahabat yang masih tinggal di Glasgow karena menikah dengan orang Glasgow, ataupun yang bekerja di Glasgow. Ada pula sahabat dulu kuliah master, yang kembali ke Glasgow karena menempuh studi PhD.


Usai puas menyantap hot wings, saya menuju ke bus stop untuk menunggu bis ke arah West End, karena saya akan menginap di The Kelvin Hotel yang terletak di daerah west end. Sebelum berjalan menuju hotel, saya sempatkan untuk ke Tesco sebentar membeli air minum, camilan dan lagi-lagi buah. Ya ampun, menjelajah ke Tesco aja berasa nostalgia!

Rencananya sebelum sahabat saya Mbak Isnia, sampai di Glasgow, saya membooking penginapan di The Kelvin Hotel yang dekat dengan lokasi konferensi yang saya hadiri di University of Glasgow. Baru setelah Mbak Isnia datang dari Birmingham, kami akan share penginapa di daerah City Centre. Begitu sampai di Kelvin Hotel, saya dibantu oleh staff hotelnya yang ramah. Sambil membantu proses check in dia ngajar ngobrol, dan begitu antusias ketika saya bilang bahwa dulu saya kuliah di Glasgow dan kembali lagi untuk bernostalgia dan menghadiri seminar. Ramah dan helpfull, itulah kesan awal saat saya tiba di Kelvin Hotel. Letaknya sangat dekat dengan flat saya dulu di 21 Hillhead Street, jadi kawasan sekitar hotel terasa sangat familiar. Dekat pula dengan Botanic Garden yang dulu kalau bosen, tinggal di taman situ saja untuk sekedar jalan-jalan dan nongkrong-nongkrong menikmati pemandangan yang hijau hijau. Pegawai hotel yang ramah itu membantu menggotong koper super berat saya ke tinggal 3, letak kamar single room yang book. Kamarnya sederhana, awalnya rada rada berkesan gimanaaa gitu. Karena bangunannnya memang bangunan arsitektur lama, apalagi dekorasi kamarnya vintage gitu, ada lukisan jadul hahaah. Jarang jarang lho di Glasgow sama berasa serem mistis..tapi setelah agak lama, rasanya itu hilang juga, berganti kantuk yang luar biasa. Usai sholat saya merebahkan diri, sambil menikmati gerimis di luar jendela. Ah kembali lagi ke Glasgow, kota yang seringkali kusebut rumah, saya tidak sabar untuk kembali menengok University of Glasgow esok hari.

Ruang makan di The Kelvin Hotel


Jumat, 31 Juli 2020

Mengunjungi Tapak Sejarah Shakespeare di Stratford Upon Avon


Udara pagi Birmingham yang sejuk mengiringi langkah-langkah kaki menuju stasiun kereta, yang akan membawa saya ke Stratford Upon Avon. Tadinya tidak ada rencana sama sekali akan mengunjungi kota kecil ini saat menyusun rencana perjalanan selama dua minggu di UK. Tapi karena saya memutuskan untuk tinggal di Birmingham selama 2 hari, sementara sahabat saya, Mbak Isnia sibuk ikut seminar, jadinya daripada saya krik-krik di Birmingham, akhirnya saya memutuskan untuk ke Stratford Upon Avon.

Kereta yang membawa saya dari Birmingham ke Stratford Upon Avon tidak terlalu penuh, sehingga saya dengan leluasa menikmati suasana di balik jendela kereta. Saya selalu suka mengamati pemandangan di luar jendela ketika dalam perjalanan. Hijaunya ladang-ladang, domba domba lucu yang asyik merumput serta kincir angin di kejauhan. Rasanya tenang, indah dan damai. Hal inilah salah satu yang selalu saya rindukan untuk mengulang kembali suasana ketika saya masih tinggal di UK. 
Selama empat tahun tinggal di UK dari Tahun 2011 hingga 2016 awal, saya tidak pernah saya jalan-jalan ke luar kota sendirian. Pasti biasanya dengan teman-teman bareng-bareng atau paling enggak berdua. Tapi kali ini berkelana sendirian memang terasa berbeda rasanya. Setelah sekitar 1 jam perjalanan dari Birmingham, saya tiba di stasiun Stratford yang sedang direnovasi, suasana terasa sepi, mungkin karena weekday juga. Stratford terletak di wilayah Warwickshire, sekitar 22 mil (35 km) sebelah tenggara Birmingham. Salah satu yang membuat terkenal kota ini tentu saja karena daya pikat William Shakespeare. Siapa yang nggak tau Shakespeare ya kan?

Walaupun secara pribadi, saya nggak favorit-favorit banget karya-karyanya Shakespeare, tapi tentu saja pengen juga dong mumpung sedang di UK, untuk melancong mencari jejak sejarahnya Shakespeare. Jadi memang tujuan wisata ke Stratford ini ya demi melihat tempat tinggalnya penulis besar Inggris tersebut hehe.

Saya langsung melangkahkan kaki menuju rumah tinggal Shakespeare tersebut, dengan bantuan google maps. Saya tidak berencana untuk  membeli paket tiket bis karena rencananya hanya jalan-jalan sekenanya saja, tanpa ada target-target tertentu. Menikmati suasana di sepanjang jalan, dengan bentuk bentuk bangunan yang khas memanjakan mata. Sekitar 20 menit jalan kaki dari stasiun kereta api, saya sampai di area rumah tempat lahir Shakespeare. Terletak di Henlet Street, rumah yang diyakini dimana William Shakespeare lahir di sana pada Tahun 1564 dan menghabiskan masa kecilnya. 


                                                                               Rumah lahir Shakespeare

Sebenarnya rumahnya terlihat sederhana, tapi katanya untuk rumah abad-16 itu dianggap hunian yang cukup besar. Secara artitektur juga biasa saja, tapi melihar sejarah ada di depan mata sungguh istimewa. Bisa melihat sendiri rumah lahir Shakespeare dan lingkungan sekitarnya jadi kebayang seperti apa kehidupan dulu saat Shakespeare masih hidup. Kotanya kecil tapi menyenangkan, kumpulan turis kebanyakan terpusat di sekitar area rumah tinggal Shakespeare karena di sekitar situ banyak cafe, charity shop dan museum shakespeare centre. Saya memuaskan diri menjelajah ke toko oleh oleh khas shakespeare yang berisi pernak pernik lucu tentang sang penulis itu. Untuk kenang-kenangan saya membeli magnet kulkas yang bergambar rumah lahir Shakespeare itu. Yah, ringan di kantong dan ringan untuk dibawa. 



Saya kemudian menghabiskan waktu berjalan jalan di daerah sekitar situ, asik melihat melihat di Charity shop dan membeli beberapa barang barang lucu. Saya memang gemar banget lihat lihat ke Charity shop, semacama toko barang second dalam kondisi yang masih bagus. Soalnya sering nemu barang barang lucu dan harganya terjangkau.  Dan sebenarnya yang bikin saya seneng juga suasananya, soalnya kebanyakan Charity Shop itu dilayani oleh orang orang yang volunteer bekerja disitu. Jadi entah kenapa ya...auranya itu bikin hepi,

"Owh this is so lovely, isn't?" komentar seorang perempuan yang sudah berumur 60 tahunan yang bertugas di kasir, sambil menimang hiasan rumah yang saya beli. 
Begitulah, senyum..kalimat yang bikin adem, lalu dapat barang kece dengan harga yang murah. Kombinasi yang pas untuk hunting-hunting barang kece di UK. 

Saya kemudian menghabiskan waktu berjalan jalan ke daerah sekitar kanal, duduk duduk di rumput menikmati kanal yang tenang serta turis-turis yang tengah menanti jadwal kapal yang akan membawa mereka menikmati kanal. Saya sebenarnya pengen juga naik kapal dan berkeliling, tapi krik krik juga sendirian dan takut jadwal keretanya mepet. Memang yah, jalan jalan sendirian itu terkendala nggak ada yang leluasa motretin haha, sementara saya suka foto foto gitu. Akhirnya saya banyak foto foto suasana kotanya saja. 


Cantik kan kotanya, so kalau kamu punya waktu bisa banget untuk singgah di kota kecil ini. Mengunjungi tapak tapak sejarah Shakespeare. ***

Catatan perjalanan Agustus-September 2019


Senin, 25 Mei 2020

Cerita Tentang Rumah Mint


“Iya bu, tapi kalau harus bener-bener nyicilnya maksimal 1/3 dari penghasilan emang kudu yang cicilan sekitar 15 tahun,” begitu curhat seorang kawan yang tengah mencari rumah--Mencari tanah untuk membangun rumah, lebih tepatnya.

Dari curhatnya itu, saya kembali sadar bahwa mempunyai rumah pada saat ini memang tidak mudah dan butuh perjuangan. Punya cicilan selama 15 tahun nggak kebayang sih capeknya kayak apa, walaupun nilai uang cicilannya akan terus turun. Tapi pengalaman pernah punya cicilan tiap bulan itu rasanya nggak enak, kayak punya tanggungan gitu. Tapi di sekitar kita, banyak yang mengambil cara ini untuk memiliki rumah, biar nggak numpang sama mertua ataupun karena keinginan ingin mandiri. Saya pun membeli dengan cicilan kok.

Saya dulu belum terlalu “kenal” dengan financial planning. Jadi pengelolaan keuangan lebih ke asal-asalan saja, asal aman.Tujuan finansial juga nggak begitu jelas, mungkin karena masih sendiri jadi belum menganggap perencanaan keuangan itu penting. Tapi ada satunya sih nggak saya amati, kok dulu belajar ekonomi di sekolah nggak pernah diajari gini-gini ya? Coba gitu diajari financial planning, how to spending, how to saving ataupun investasi. Karena ternyata pengetahuan tentang hal hal tersebut sangat berguna untuk kehidupan kita.

Dulu, tujuan finansial saya paling-paling buat travelling. Karena saya suka jalan-jalan, dan menganggap pengalaman menjelajah itu hal yang berarti dalam hidup. Lalu sekitar 1 tahun sebelum saya pulang ke Indonesia, ada teman yang menawari saya rumah. Dia mau pindah ke lain kota karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sana. Waktu ditawari rumah, saya merasa belum kepikiran memiliki rumah.
            
Nantilah, masih sendiri juga”-mungkin ini yang membuat saya merasa belum perlu. Ditambah juga, waktu itu saya belum memantapkan hati untuk tinggal di Purwokerto.

Tapi akhirnya saya pun memutuskan membeli rumah--bukan rumah temen saya yang nawari itu sih. Tapi yang tidak banyak tahu bahwa saya menghabiskan tabungan saya agar memperbesar DP rumah sehingga cicilan yang harus saya tanggung nggak terlalu banyak. And then, kejutan setelahnya adalah saya nggak dapat beasiswa perpanjangan Dikti untuk menyelesaikan S3 saya di Glasgow. Itulah yang membuat saya jualan tempe, bakso, sate, bolak balik Glasgow-Edinburgh tiap minggu pas Ramadan untuk jualan, agar saya tetap survive.

Ada satu momen yang masih terus saya ingat, ketika saya ikut bazar Ramadan di Glasgow. Seorang teman dari Indonesia yang order masakan saya mengabarkan nggak bisa ke bazar karena anaknya masih tidur. Makanya saya mengantarkan ke rumahnya seusai kegiatan bazar. Dengan membawa orderan, saya ke rumah teman Indonesia tersebut. Sampai di pintu, saya serahkan orderan masakannya…tapi si mbaknya malah mrebes mili,

Lalu saya yang tadinya biasanya saja, jadi tertular ikut mrebes mili. Ah, kami yang hidup di negeri jauh dari Indonesia, mungkin memang tahu betul perjuangan masing masing dari kami. Cerita-cerita itulah yang membuat saya cinta sama rumah yang saya sebut Rumah Mint itu.

Sekarang, rumah mint sedang direnovasi karena pengen nambah dapur yang lebih luas di belakang. Karena saya suka masak dan dapur sebelumnya cuma secuil hehe. Sebenarnya soal finansial, saya termasuk pemain aman, tapi kok ya nekadan. Saya bingung juga menyebutnya tipe apa kalau baca di Buku-nya Mbak Prita Ghozie, perencana keuangan favortit saya. Saya tipe no-utang utang club untuk soal konsumtif-dan renovasi rumah bukan kebutuhan urgent, jadi jelas saya mengambil biaya renovasi dari tabungan. Oke itu sifat pemain aman-nya ya. Tapi nekadan-nya itu ketika udah hire tukang dan tau perkiraan biaya renovasinya yang bikin tercengang hahah..

Ternyata ya bikin bangunan jaman now mantep banget ya biayanya. Akhirnya rada ngebut juga kerjanya agar ada pemasukan pemasukan tambahan, dan Alhamdulillah masih aman sampai sekarang. Tapi perencanaan keuangan itu penting banget sih, sama punya tujuan finansial biar hidup lebih tertata rasanya. Dan, hidup dengan situasi finansial yang aman itu juga membawa ketenangan hati juga lho. Saya banyak mendengar permasalahan keuangan, bahkan katanya soal finansial juga berpengaruh pada kehidupan rumah tangga. Ada satu kalimat dari mbak prita ghozie yang saya suka banget, intinya bahwa kita hidup itu sesuai dengan kemampuan finansial kita. Dengan slogannya Live a Beautiful Life!
Kapan kapan saya review bukunya Mbak Prita ya.


Rabu, 20 Mei 2020

London : Sepenggal Cerita Tentang Kembali



London, Akhir Agustus 2019


Akhirnya saya menemukan koper besar saya setelah sekian lama menanti di tempat pengambilan koper Etihad di Bandara Heathrow, London. Hati saya rada deg-degan selama di pesawat, mikirin gimana nanti ke Flat Mita, sahabat saya dimana saya akan tinggal selama 2 hari di London. Biasanya saya selalu memesan tiket langsung ke Glasgow ketika mau “mudik”. Tapi kali ini saya memutuskan untuk memesan tiket ke London, alasan utamanya pasti karena harga tiket PP Jakarta-London lebih murah dibandingkan saya langsung PP Jakarta-Glasgow. Memang perjalanan ini ada sebagian yang menggunakan dana riset saya, karena ada tujuan akademik yang berhubungan dengan riset yakni presentasi di IMAV (International Meeting on Arbovirus) di Glasgow. Tapi saya juga modus memanfaatkan momen itu untuk mengambil cuti selama 2 minggu untuk “kembali” ke UK dan berencana untuk jalan-jalan di beberapa kota. Dan tentunya, ya merogoh kocek sendiri dong dari tabungan. Makanya tetep berhemat termasuk juga untuk tiket pesawatnya. Kedua, saya juga berencana untuk ke Birmingham, ketemu dengan sahabat saya mbak Isnia yang juga ikut konferensi di sana. Jadi okelah ya rute-nya dari London ke Birmingham, baru ke Glasgow.

Masalahnya, saya belum pernah ke London sendirian hihi. Kalau terbang pulang pergi ke Glasgow ya sering selama studi dulu, dan Glasgow itu rasanya sudah seperti rumah. Sudah terbiasa sesampainya bandara Glasgow yang kecil dan tidak terlalu ramai tinggal naik taksi atau ngebis. Sudah familiar dengan tempat dan rute-rutenya. Tapi London? Ish…hati saya agak-agak ciut.

Aku selalu males lewat London, ngantri keluar bandaranya panjang banget. Ribet pula,” kata salah satu sahabat saya. Hummm okee..dududu

Dan bener juga sih, karena Heathrow itu bandaranya gede banget jadi memang harus sabar mengantri. Di imigrasi sih mulus-mulus saja, mungkin karena visa saya tipe yang business (academic) ya jadi nggak ditanya macem-macem. Begitu keluar, yang pertama kali saya lakukan itu beli paket data, ganti nomer UK sementara. Soalnya saya butuh banget akses internet untuk cari informasi gimana menuju flatnya Mitha. Memang sih udah diancer-ancerin, naik subway ini, pindah ke jalur itu..habis itu jalan kaki. Awalnya membayangkan udah bikin hati ketar ketir. Karena saya itu nyasaran, trus..tau dong jalur subway-nya London..hadeww runyam. Kalau di Glasgow itu cuman lingkaran doang jalurnya, kalau London mah ampun.Tapi bagaimanapun saya harus mengumpulkan tekad, lha mau gimana lagi?

Begitu saya ganti kartu, minta tolong diaktifkan, dan tersambung ke internet kemudian whatapps aktif, hati saya agak lega. Saya kirimkan pesan ke Mitha kalau saya sudah sampai di Heathrow dan hendak mencari jalan menuju flatnya. Saya pun mengirimkan pesan-pesan pada keluarga dan orang terdekat kalau saya sudah sampai dengan selamat. Saya jadi kepikir sih, orang tua saya (yang sekarang tinggal ibu) tuh ajaib sih. Hampir nggak pernah lho cemas nanya-nanya…nanti kamu gimana? Naik apa…bla bla blaa..enggak!

Yang penting saya komunikasikan saya mau kemana, dimana, dan selalu kasih kabar via whataps ataupun telpon or  videocall. Udah. Saya bersyukur untuk itu sih..

Dengan bertanya ke petugas, saya mencari jalur dari di Bandara Heathrow yang ke arah akses subway/underground dan harus turun naik. Walaupun ada tangga berjalan, tetep aja ya koper segede gaban dan tas punggung bikin tarik nafas panjang-panjang. Tapi ternyata London memberi sambutan hangat, ketika saya tengah kerepotan dengan koper saya ketika di tangga. Dengan serta merta lho, ada orang yang bantu ngangkatin. Saya cuma bengong, dengan gesture bilang  “Udah nggak usah, itu berat”. Tapi dianya selow-selow aja dan bilang “ no problem” sambil senyum.
Hati rasanya menghangat dong kalau dapat kebaikan-kebaikan dari orang nggak kenal kayak gitu. Ya karena orang membantu tanpa syarat, tanpa pretensi apa apa. Dia bantu ya karena pengen bantu aja. Dan ternyata itu terasa banget bikin hati hangat. Dan mungkin juga karena tadinya saya nggak berharap banyak. Sejak dulu sebenarnya dari dulu saya nggak terlalu suka London. Ke London itu mirip rasanya kalau saya ke Jakarta, pengen cepet-cepet balik hihi. Apa yaa…kesan saya London itu kaku, dingin, orang orangnya sibuk nggak ramah. Eh tapi agenda mudik kali ini disambut dengan ramah.

Setelah men-top up kartu Oyster yang masih saya simpen, saya kemudian naik subway sesuai jalur yang sudah disebutkan Mitha. Seingat saya, harus sekali pindah jalur kemudian dari stasiun terdekat dengan flat Mitha harus jalan kaki. Dan Alhamdulillah dong, saya nggak nyasar dan nggak seserem yang saya bayangkan sebelumnya. Dari stasiun (lupa dong apa namanya haha)- saya jalan kaki ke arah flat Mitha. Saya pakai google map jadi lumayan banget menolong untuk sampai ke flat Mitha. Walaupun lumayan juga ya, geret geret koper dan tas punggung…setelah perjalanan dari Purwokerto-Jakarta; Jakarta-Abu Dhabi, dan Abu Dhabi-London. Rasanya badan udah campur aduklah haha..tapi pemandangan di kanan kiri kembali membuat saya mengenang nostalgia. 

Ada Tesco di pinggir jalan, lalu bis-bis berwarna merah khas London yang membuat saya seperti disambut kembali ke tanah Inggris Raya. Udara akhir bulan Agustus juga belum terlalu dingin, dan memang London tidak sedingin Glasgow. Membuat jalan kaki dari stasiun ke arah Flat Mita yang sekitar 20 menitan itu terasa nyaman. Kali ini Mitha tinggal di Zona 1, dulu banget pas saya mengunjunginya Tahun 2017 awal, dia masih tinggal di Zona 3 yang daerahnya agak kurang nyaman. Kali ini daerahnya terasa nyaman banget, dan akhirnya saya sampai dong di Flat Mitha dengan lancar selamat. Berasa prestasi gitu hahah..

Saya tiba di Flat Mitha dan rasanya udah pengen mandiiiiii. Sambil cerita ke sana kemari, dia menawari makan. Ada ayam goreng dan sayur, tentu menu yang istimewa di London. Saya bersyukur bisa punya tempat untuk numpang tinggal dan akan menemani saya jalan jalan selama di London. Thank you, Mitha!

Dari sepenggal cerita ringan ini, saya belajar sih bahwa berbuat baik dengan tulus itu akan terasa lho di hati orang lain. Dan kebaikan itu ternyata bahasa universal yang mampu menyentuh hati semua orang.***

-Cerita perjalanan saya ke UK Agustus-September 2019 lalu yang belum sempat tertulis-