Minggu, 19 Mei 2013

(Hanya) Untukmu



Menjelang beberapa saat berangkat ke Maroko, entahlah aku dilanda semacam perasaan “nano nano”. Mungkin karena akan menjelajah negeri jauh yang belum kutahu bagaimana rupanya, dan bahasanya saja bukan bahasa Inggris hingga sepertinya agak butuh usaha untuk bisa menaklukkan Maroko.
            “ Bisakah ketemu sebentar sebelum aku pergi?” pintaku. Sepertinya selalu begitu bila aku akan pergi beberapa lama. Jauh menjadi kata yang tak asing lagi bagi kami. Bertemu versi kami memang bukan berarti bertatap muka yang tak lagi berhalang monitor. Tapi pertemuan tetaplah pertemuan.
            “ Kalau nemu wifi, akan kutinggalkan pesan” kataku.
Akan kubawa kamu selalu dalam perjalananku, dalam kelanaku ke tanah-tanah asing. Melihat peradaban yang lain, orang-orang yang berbeda, bahasa yang tak lazim, perilaku orang-orang yang tak biasa. Doamu menyisipkan selalu keberanian dan keyakinanku. 
            “ Tak usah susah-susah cari wifi, berceritalah banyak-banyak nanti bila sudah kembali,” begitu katamu.
Akan kubagi cerita nanti, bukan hanya padamu pasti. Karena kaupun ingin aku membagi cerita petualanganku pada orang-orang yang haus petualangan juga, atau setidaknya ingin mendengarkan ceritaku.
Sampai jumpa pada postingku setelah kembali. Mungkin kau akan membuka blogku di antara detik-detik sibukmu dan entah kenapa aku ingin menunjukkan foto-foto ini padamu. Aku tahu pasti kau paling suka aku dengan longdress seperti ini. Bunga-bunga sudah mulai bermekaran di Glasgow, cantik. Aku ingin menunjukkannya padamu dimana tanah yang tengah kujejaki kini.
  


*Maafkan, tulisan nggak jelas ini, mungkin karena rindu yang datang terlalu terburu-buru.
21 HillheadStreet Glasgow, 8.45 pm menunggu jadwal keberangkatan ke Maroko beberapa saat lagi.




Selasa, 14 Mei 2013

Tentang Perempuan



Ah tiba-tiba saya tergelitik menulis tentang perempuan. Mungkin karena akhir-akhir ini saya membacai beberapa tulisan tentang perempuan, ataupun mendengar berita-berita menyoal perempuan. Membaca tulisan yang cukup menghentak milik okke sepatu merah di sini : http://blog.sepatumerah.net/2013/05/tolong-jangan-ajari-ibu-saya/ dan juga membaca status salah seorang  motivator yang entah mengapa menyentil syaraf pikir saya. Saya memang tidak sepenuhnya tidak setuju dengan beliau, hanya terasa ada yang bergejolak dalam diriku.
Mungkin karena tulisan itu memberikan kesan perempuan begitu dependen terhadap laki-laki. Dan hal itu membuat kepala saya yang seharusnya memikirkan tentang data-data presentasi, semalam rasanya ingin mengeluarkan unek-uneknya.
Saya sering sedih melihat perempuan-perempuan yang kurang berdaya. Padahal perempuan mempunyai banyak sekali potensi untuk mengembangkan dirinya. Mereka menjadi dependen terhadap laki-laki, seringkali terutama pada sisi ekonomi. Depedensi inilah yang terkadang menjadikan bargaining position perempuan menjadi lemah. Kasus-kasus KDRT yang kemudian tak pernah terlaporkan, pelecehan atau eksploitasi TKW.
Saya ingat saat di Dubai saat kembali ke Glasgow. Seorang perempuan berumur 40 tahunan menghampiri saya, kebingungan mencari gate, sendirian dan tidak bisa berbahasa inggris. Dia mengaku bekerja di Qatar. Ah, prihatin. Saya antarkan beliau ke gate yang semestinya, dan memastikan ia menunggu di tempat yang benar.
Memang aliran emansipasi wanita telah banyak mengubah pandangan baik perempuan ataupun laki-laki terhadap posisi perempuan. Posisi-posisi pekerjaan yang bagus sudah banyak terbuka untuk perempuan, bahkan sudah masuk ke ranah politik dan posisi-posisi publik. Tapi tetap saja, depedensi perempuan terlihat masih luas menggejala.
Saya feminis? Mungkin. Saya hanya ingin perempuan-perempuan lebih berdaya sehingga ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sebagai perempuan, saya tidak pernah menolak kodrati perempuan untuk mengurus rumah tangga, melahirkan, menyusui, melayani suami, memasak atau istilahnya perempuan itu “kudu pinter masak, macak, manak”. Istilah itupun pasti sering kau dengar. Saya tidak pernah mempersoalkan kodrati perempuan akan hal-hal tersebut. Bagi saya itu refleksi kelembutan perempuan untuk bisa mengurus suami, keluarga dan anak-anak sebagai generasi penerus. Tapi perempuan selayaknya pula diberikan kesempatan untuk mengapreasi dirinya sendiri, memberdayakan dirinya sendiri. Dualitas peran perempuan inilah yang dari dulu saya kagumi. Tidak meninggalkan kodratinya sebagai perempuan, tapi mampu menghidupi hidupnya dengan karya. Entah apapun itu.
Saya hanya sedih melihat perempuan-perempuan yang seringkali tidak berdaya secara ekonomi. Mungkin kalian melihat beberapa wawancara perempuan-perempuan dalam lingkaran tokoh politik yang tengah berperkara dan semarak beritanya akhir-akhir ini.
            “ Ya bagaimana lagi, anak saya dua, selama ini saya tergantung pada suami saya”. Begitu kalau tak salah dengar dari istri seorang yang sedang menjalani perkara tersebut.
Saya hanya ingin perempuan mendapat kesempatan untuk menunjukkan potensinya, mendapat pendidikan, kesempatan dalam pekerjaan, politik, tanpa mengingkari kodratnya sebagai perempuan. Banyak yang mencibir feminis sebagai perempuan yang lupa kodratnya. Perempuan sombong yang mau mengangkangi peran laki-laki. Semua orang punya pandangan sendiri-sendiri, namun saya pikir emansipasi bila ditempatkan pada tempatnya akan melahirkan banyak anak-anak negeri yang hebat.
Saya teringat buku “Ku antar kau ke Gerbang” (Ramadhan KH) yang menceritakan tentang Ibu Inggit ganarsih, istri Soekarno. Sayang saya belum berkesempatan membacanya secara lengkap. Inggit Ganarsih menunjukkan ia dapat menjalani berbagai peran dengan apik sebagai perempuan.

Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja” (hal 99)

Begitu ia dengan lembutnya menjalani kodrati perempuan, tapi ia juga berperan dalam tahun-tahun sulit perpolitikan Soekarno. Sampai-sampai Prof. S.I Poeradisastra dalam kata pengantarnya menuliskan : “Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia
Sebagai ibu, kekasih, kawan.  Sesungguhnya perempuan bisa memainkan berbagai peran dalam satu diri.
Entahlah mengapa saya tiba-tiba tertarik menuliskan tentang ini. Saya hanya ingin menyeru agar perempuan berdaya. Perempuan bisa berdaya dimana saja, tidak musti kerja kantoran. Banyak ibu-ibu yang sukses bekerja di rumah, berbisnis, berkarya, mengajar, menulis. Ada banyak potensi yang ada dalam diri perempuan.
Perempuan dengan kelembutannya menjadikan pelukan hangatnya tempat pulang paling menentramkan.
Perempuan dengan keberaniannya mampu menghadapi apa saja, dalam kondisi-kondisi yang sulit sekalipun.
Perempuan dengan ketegarannya menghadapi saat-saat sulit dan nestapa, tapi tetap mengalunkan doa dan semangat untuk orang-orang yang dicintainya.
Perempuan dengan pilihan-pilihan yang diambilnya. Perempuan dengan karya-karyanya. Dengan berbagai perannya mendampingi lelaki tercintanya, menjadi ibu untuk anak-anaknya. Perempuan tangguh yang menjadi dirinya sendiri. Berdampingan dengan laki-laki untuk saling menghebatkan, bukan mengantungkan diri pada lelaki seperti abdi.
Perempuan Indonesia, Mari berdaya.
Jangan sebut aku perempuan sejati bila hidup berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tak butuh lelaki yang aku cintai (Nyai Ontosoroh-Bumi Manusia-Pramadya Ananta Toer).

Glasgow, 14 Mei 2013. Menjelang malam dengan sapuan dingin yang tak seharusnya datang di musim semi yang hangat. Glasgow dan cuaca memang sering tak bersepakat. 


 


The Valiant



Di sela-sela menyiapkan slide powerpoint untuk presentasi esok, Kemarin saya menelpon rumah. Kebetulan masih ada gratisan 1 jam dari Vodafone, jadi lumayan untuk dimanfaatkan. Biasanya kami kontak menggunakan skype namun perlu adik saya standby untuk bisa mengoperasikannya. Kali ini saya menelpon hanya sekedar ingin mendengar suara dan kabar orang tua saya. Sambungan telpon diangkat, suara ibu saya yang menentramkan terdengar. Lalu kami memulai pembicaraan yang normal, dari menanyakan kabar kesehatan, studi dan keadaan rumah. Kata ibu saya, mereka sedang di teras rumah. Saya menelpon waktu selepas magrib di Indonesia. Lalu saya jadi teringat saya hobi sekali ada di halaman rumah saat malam.
            Bukannya langitnya tetap sama?” begitu komentar bapak saat kali terakhir dilihatnya saya kembali asik sendirian di halaman rumah dan memandang-mandang ke atas langit. Bulan lalu sepertinya. Saya hanya tersenyum. Bapak ataupun ibu saya sudah hapal kebiasaan saya untuk menatapi langit seperti tak pernah merasa bosan. Dan memang tak pernah terasa bosan. Saya masih ingat rasanya berada di sebelah jendela bis zena yang lebar membentang, saat malam sudah menua. Kala melintasi kawasan seperti padang, dan yang terlihat hanyalah bentangan langit malam dengan kerlipan bintang-bintang. Beberapa menit lalu, saya kembali menggerakkan jemari mencari tweet saya kala itu. Ah ini dia, 11 April 2013 dinihari.

Bunyi deru laju bis, kerlip gemintang di luar jendela dan perjalanan ke arah timur. Ah, menuju hatimu. Mungkin           
Beberapa orang meretweet-nya, beberapa juga mereplynya. Saya memang selalu merasa terkoneksi dengan bintang-bintang di atas sana itu. Kerlipnya tak pernah gagal mempesona saya semenjak kecil. Dulu saat saya kecil sudah terpesona oleh rasi orion yang dulu saya kira bentuknya seperti boneka di atas langit. Ada kepalanya, dua tangan dan kaki, dan ia mengikutiku terus kemanapun aku berjalan. Bagi saya itu nampak sangat menakjubkan. Lalu berganti tahun saya sangat maniak pada astronomi, sampai tergerak keinginan untuk mengambil kuliah jurusan astronomi kala itu. Saya sering dengan kertas berisi peta bintang dan kemudian menggunakan senter mencocokkan dengan posisi rasi di atas langit. Menunduk dan menengadah, begitu tanpa lelah. Orang-orang desa yang kebetulan lewat sampai mengira saya mencari barang hilang. Sampai saya SMApun, saya masih terkadang belajar di halaman rumah. Di dekat gardu pagar dekat lampunya yang terang dan ada teras kecil untuk duduk. Belajar bernaungkan jutaan kerlip bintang itu masih membekas dalam kenangan.
            Saya punya nama-nama sendiri untuk beberapa bintang, dan saya juga punya bintang yang saya namai dengan nama saya sendiri. “Mars The Valiant” (Mars si Pemberani) di antara rasi Orion yang gagah itu. Saya suka dengan The valiant, si pemberani. Mungkin ingin berani menjelajah, berpetualang ke tanah-tanah yang jauh, dan terlebih lagi berani menjelajah dan melakukan perjalanan ke dalam diri. Semua itu butuh keberanian bukan? Saya ingin berani mengambil risiko, berani mengakui salah saya, mengakui kekurangan, dan berani terus melaju. Ah, pemberani terkadang adalah merasai takut dan cemas tapi tetap meneruskan untuk tetap melangkah.
            Akhir Minggu depan akan ke Maroko,” kataku pada bapak di ujung telepon.
            “ Maroko? dimana itu?” Bagi orang tua saya yang belum pernah sekalipun naik pesawat, Maroko nampaknya jauh dari imaginasi mereka.
            Afrika, umm Afrika Utara” jelasku. Tentu saja masih tak terbayang. Mungkin yang terbayang oleh bapak saya adalah anak perempuannya akan menginjakkan kaki lagi ke tanah antah berantah yang jauh dari daya khayalinya.
Saya kemudian bercerita bahwa ke sana tak butuh visa, dan menjelaskan dengan siapa saya ke sana agar menghilangkan sedikit kekhawatiran mereka. Namun saya tidak tahu pasti apa yang ada di benak mereka. Selama ini saya kemana-mana, dengan hidup nomaden saya mereka tak pernah terlalu rewel dengan berbagai macam detail.
Telpon kemudian ditutup dengan suara parau milik ibu saya. Beliau tak pernah cerewet mereweli saya harus begini begitu, tidak seperti kamu, yang akan memberikan closing yang sudah ratusan kali kudengar.
            “ Baik-baik ya dek,  jangan lupa maemnya, sholatnya, istirahatnya. Sehat ya, ndut ya...bla blaa..” dan anehnya saya ingin mendengar itu beratus-ratus kali lagi.
Tapi ibu saya, hanya berpesan singkat saja, komunikasi kami memang selama ini tidak terbiasa dengan komunikasi verbal yang madu berbunga-bunga. Namun kali ini suaranya parau, menahan tangis.
Dan kalau sudah begitu saya harus menyetel nada suara yang baik-baik saja, Suara yang meyakinkan orang tua yang berjarak lebih dari 7600 miles dari saya percaya bahwa saya baik-baik saja.  Beberapa waktu saat saya masih di Indonesia, terkadang ibu saya menelpon kemudian diam tanpa bicara. Lalu kemudian hanya sms yang terkirim. Kedua orang tua saya sekarang ini rasanya bertambah mellow saja. Dan untuk itu saya harus memastikan bahwa saya baik-baik saja. Bahagia dengan pilihan yang saya ambil, memang ada beban-beban di pundak, tapi harus ditanggung dan akan kutaruh sejenak, dan kemudian akan saya pikul lagi.
Saya akan tetap menjadi Mars, The Valiant mereka. Si pemberani itu. Semoga.

Menulis terkadang upaya saya merapikan kenangan, dan menangkal lupa. Dan tulisan ini salah satunya.
CVR. Glasgow 14 May 2013.

Minggu, 12 Mei 2013

A Good Question




Mengawali minggu pagi yang tenang, dengan membuka HP berisi recent updates teman-teman di BB dan tanda mention twitter. Kubuka perlahan, dan duniaku yang berada dalam lingkaran kosmik yang tunggal seketika pada detik itu pula terkoneksi dengan banyak orang. Dan beberapa distraksi tentu saja. Manusia modern yang aneh, dan tehnologi yang aneh. Kadang sebenarnya jiwa manusia terasa lebih tenang tanpa alat-alat komunikasi itu. Lebih tenang? Ah ketenangan yang didapat dari bersembunyi di liang bukankah terasa seperti prajurit yang kalah perang? Bukankah peperangan sesungguhnya adalah bagaimana membuat hati dan jiwamu tenang di tengah hiruk pikuk dan distraksi?
Aku hanya bertanya, aku tidak ingin menjawabnya. Apa kau punya jawabannya?

Pagi ini mau tak mau distraksi menghampir, dan aku seperti biasanya menghitung dalam hati “ satu, dua, tiga” belum sampai hitungan ketiga rasanya hatiku berkata “ ok, I’m fine”. Tapi aku tidak tahu itu sebuah ketenangan atau sekedar mati rasa? Semacam kekebalan imunitas rasa akibat tempaan panjang?
Aku tidak tahu, aku hanya bertanya.
Kemudian aku menyapa sahabat dekatku yang tengah studi di Aussie via chat skype, berbicara ringan. Sampai pada pertanyaan,
            Kau tau bagaimana membedakan saat Tuhan berkata “tidak” dengan “belum atau tunggu dulu”?” begitu tanyaku.
            Umm, aku tak tahu,”jawabnya singkat.
Membedakan Tuhan berkata “ya” dan “tidak” mungkin terasa lebih mudah, tapi membedakan antara Tuhan berkata “tidak” dan “belum” sungguh butuh upaya yang jungkir balik. Aku pernah mendengarkan sebuah acara seorang motivator terkenal di negeri ini, dan seseorang menanyakan pertanyaan sama yang kuajukan barusan. Jawaban beliau sepertinya tidak menjawab pertanyaan, hanya diakhiri dengan selorohnya,
            Nah itu dia, yang bikin saya jungkir balik untuk mengetahuinya” begitu kata beliau.
Mungkin mencari jawab dengan terus berjalan dan memperhatikan bahasa-bahasa semesta. Mungkin, sungguh aku tidak tahu.
Manusia memang hanya sedikit tahu. Karena itu Tuhan ada.
Hidup memang penuh ketidakpastian. Karena itu doa menjadi kebutuhan.
Aku terus berjalan dengan pertanyaan-pertanyaan. Seseorang bilang hidup kadang adalah tentang melontarkan sebuah pertanyaan bagus dan bergerak mencari jawabannya. Entahlah, mungkin memang begitu.
Banyak orang yang melabeli pertanyaan-pertanyaan itu tanda “kegalauan”. Sayangnya sekarang ini banyak orang yang memberikan label “galau” sebagai sebuah fase yang negatif. Galau banyak diartikan menjadi sebuah ketidakstabilan, ketidakpastian, ketidaktenangan. Ya, memang ada rasa seperti itu, tapi bukahkah hidup diberi nutrisi oleh ketidakpastian hidup, kebimbangan? Karena itulah manusia bergerak maju, mencairkan kestagnanan.
Galau dan ketidakpastian adalah anak tangga yang menaikkan hidup ke anak tangga pemahaman hidup berikutnya.
Bila seorang manusia tak pernah mempertanyakan hidupnya, mau kau beri nama dan makna apa hidupmu?
Aku hanya sekedar bertanya!
Sungguh.

 
Glasgow, Minggu 12 Mei 2013.


Sabtu, 11 Mei 2013

My Path



Miss you, Sahabat!

Sabtu pagi yang sepi, hanya bersama secangkir kopi dan data-data yang harus kuanalisis untuk presentasi lab meeting senin depan. Sesekali menengokimu dari jauh, sambil berharap astralku bisa melihatmu sejenak hari ini, aku rindu. Lalu jari-jariku seperti biasa asyik bergerak menjelajah di laptopku, dan entah mengapa ada rasa ingin mengunjungi blog sahabat lamaku yang sudah lama vacum, tidak ada update lagi tulisan-tulisannya semenjak dua tahun terakhir. Dan menemukan kembali tulisannya, tentangku. Postingannya sudah lama sekali, Selasa, 27 November 2007. Saat-saat terakhir akan meninggalkan Jogya dulu. Aku ingin me-reposting tulisannya di sini :

Saat Sahabat Pergi

Satu persatu sahabat pergi, mungkin karena memang telah tiba masanya, seperti halnya hari ini. Apakah memang mereka pergi? Kepergian hanya perubahan dimensi ruang, karena menurutku, senyatanya mereka tetap ada, hadir dan menempati penggalan ruang hidupku. Seperti hari ini, tidak bisa kubohongi hati kecilku, sedih tapi juga bahagia. Sedih karena secara dimensi ruang kita akan merenggang jarak. Bahagia karena dia akan menapaki episode kehidupan selanjutnya, merajut mimpi yang telah sekian lama dalam pelukan Tuhan. Kebersamaan dengannya memberikan warna baru bagiku, tentang perjuangan meraih mimpi. Biarkan mimpi tak selamanya menjadi mimpi. Belajar tentang bagaimana nrimo…..Belajar tentang berdamai dengan hati, berdamai dengan diri sendiri. Tapi kepergianmu dari dimensi ruangku saat ini menyeruakkan sepi.

Hari ini engkau pergi, sepi menghampiri pelukaan, karena tanpamu, tak ada lagi teriakan-teriakan di tengah malam saat-saat kita menjadi seteru karena jagoan kita bertanding. Milan! Forza Italia! Begitu slalu katamu, yang satu ini jelas-jelas kita berbeda, karena aku bilang Liverpool! England, The Three Lions! Meski di saat-saat akhir kemarin kita sepakat untuk menangis, karena Inggris tersisih dari Euro 2008. Tak ada Inggris di Euro 2008, ibarat makan nasi tanpa lauk! Hambar! Trus siapa yang kudukung nanti? Yang jelas aku tetap tak akan membelot ke Italia (hehehehe….).

Aku tak mau mengatakan ini perpisahan, karena perpisahan selalu menyakitkan, tentu engkau tahu khan? Duh, aku nggak tau mesti nulis apalagi, yang jelas, selamat jalan kawan……Raih mimpi ke negeri Azzuri…..Perugia menantimu…….

Our Togetherness!!..aih kami masih unyu-unyuuu...



Aku lupa entah kapan kali terakhir bertemu dengannya. Jarak, ruang, waktu dan jalur-jalur hidup yang berbeda terkadang menghilangkan kami. Tapi tentu saja aku sejatinya tak pernah lupa, aku masih kadang menengok jalur hidupnya melalui media sosial. Kadang bertukar komentar lalu hilang, mungkin memang kami susah kembali seperlintasan. Tapi jejak jejak masa lalu bersamanya memperkaya hidupku.
Dia, yang dengan berani membelokkan jalur hidupnya, dari seorang sarjana kimia, kemudian tersesat bekerja di sebuah bank, lalu melalui pencarian-pencarian hidup dan akhirnya berani memutuskan mengambil master di bidang psikologi sesuai dengan minatnya. Tidak banyak orang yang seberani itu, tentu saja aku belajar banyak darinya tentang keberanian. 
Dia, sepertinya orang pertama yang mengenalkanku akan betapa nikmatnya “bertukar kepala” atau kini istilahku “orgasme otak”. Dia, salah seorang yang dikirim Tuhan untuk memantik syaraf-syaraf kepalaku untuk berdenyut, mengembang sehingga dunia  nampak semakin luas dan berwarna.
Aku mengenangnya. Saat dulu aku leluasa meminjam koleksi buku-bukunya kala membeli buku dulu menjadi sesuatu yang masih “mahal” untukku. Buku Gede Prama, Andrea Hirata kulahap habis dan kemudian menjadi topik bertukar kelapa yang selalu menarik di antara kami. Dari dia pula, aku terpesona dengan yoga dan belajar autodidak walaupun sedikit.
Kami dulu sama-sama penggila kopi, hingga terakhir kudengar dia telah banyak menguranginya. Aku juga, dan sepertinya alasan kami berbuat itu sama. Mungkin karena hanya orang-orang tertentu yang mampu membuat kami yang keras kepala mau mendengarkan.
Aku merinduinya. Kini ia telah menjadi seorang ibu dari seorang gadis cilik yang cantik, bekerja di kementerian kesehatan dengan berbagai aktivitasnya. Aku menengok hidupmu dari jauh, Mba anik. Semoga suatu saat ada selintasan jalur hidup yang mempertemukan kita kembali. Terimakasih telah berbagi salah satu jalur hidup.
Apakah kita masing-masing pergi dan meninggalkan? tidak. Persis seperti katamu :
Apakah memang mereka pergi? Kepergian hanya perubahan dimensi ruang, karena menurutku, senyatanya mereka tetap ada, hadir dan menempati penggalan ruang hidup


My Path. Your Path. Our Path of life.
21 Hillhead street, Glasgow. 11 May 2013.

Kamis, 09 Mei 2013

Seperti Layang-Layang




Beberapa hari lalu kuset lagi jam tanganku, waktu Glasgow.  Sedangkan jam di handphone dan di komputerku masih kubiarkan dengan waktu Indonesia. Perlahan jam tanganku kuputar enam jam lebih lambat daripada waktu Indonesia.
Kenapa saat di Indonesia, aku hanya mempunyai satu waktu, waktu Indonesia saja. Hanya terkadang mengingat saat ada jadwal skype dengan sang supervisor, namun selebihnya, waktuku hanya tunggal, waktu Indonesia. Aku sepertinya tak butuh dan tak mau tahu waktu-waktu lainnya. Ah, mungkin waktu Aussie terkadang, saat sahabatku yang tengah studi di JCU masih tetap menjalinkan ceritanya.
Dan kenapa aku kini mempunyai dua waktu (lagi)?
Waktu identik dengan kegiatan apa yang tengah dikerjakan manusia yang tengah menjalani waktunya. Pagiku dengan aktivitas beberes, menyiapkan sarapan, membuka laptop dengan secangkir kopi, sekarang ini adalah waktu siangmu. Sedangkan waktu menjelang malamku adalah diniharimu, saat lelap menyeberangi mimpi-mimpimu. Aku mengingat waktumu.
Aku hampir tak pernah lupa menyadari waktu. Kini aku mempunyai dua waktu, walaupun hidup dalam waktu tertentu.
Aku ternyata seperti layang-layang yang tak ingin terlepas dari talinya. Lihatlah layang-layang yang terbang di atas langit sana. Terkadang terlihat sendirian di antara langit biru itu. Lepas, bebas dalam ketinggian. Meliuk-liuk terbang menari bersama angin. Ia nampak tak pernah gentar dengan angin kemanapun akan dibawanya. Orang-orang yang melihat dari bawah melihatnya sebagai layang-layang yang terbang mesra memacari angin. Tapi orang-orang itu jarang bisa melihat siapa yang memegangi tali benang layang-layang itu.
Aku, seperti layang-layang itu.
Terbang jauh dalam ketinggian. Dalam aliran angin yang kadang tak bisa kuduga membawaku kemana.
Aku seperti layang-layang itu, menari bersama ketidakpastian arah angin.
Aku mungkin seperti layang-layang itu, terbang bebas tanpa terlihat terikat, ataupun mengikatkan dirinya.
Tapi aku, layang-layang itu.
Si layang-layang yang terikat pada tali yang seseorang pegang. Dimana aku tahu kemana harus pulang.
Aku, si layang-layang yang mencoba terus tegar saat terpaan angin mengencang karena ada si pemegang tali yang siap memberikan dukungan.
Aku, si layang-layang. Nampak sendirian di langit lepas, karena tak banyak yang melihat siapa yang memegang kendali tali benang.
Dan aku si layang-layang, selalu punya engkau bila aku hendak pulang.
Hingga suatu saat, akan kuajak engkau bersama terbang.
Aku adalah pulangmu, Kamu adalah pulangku.

Glasgow, 9 May 2013

Selasa, 07 Mei 2013

Memasak dan Obrolan tentang Rasa


Dulu saat saya kecil merasa terpaksa bila disuruh-suruh memasak, cuci piring, cuci baju dan segala macam pekerjaan perempuan. Tapi “rasa terpaksa” itu lama-lama menjadi biasa. Biasa itu ternyata berbahaya. Rasa biasa terkadang membuat kita menekan banyak rasa ke kurva standar, sehingga kadang kita mengabaikan rasa-rasa yang kita punya. Saya juga tak pernah menolak dan protes bila ibu saya bereksperimen dengan rambut saya yang panjang dulu saat SD, tapi paling sampai gerbang saya sudah memburakkan rapi jalinya tatanan rambut saya. Saya tidak punya kebiasaan untuk mengungkapkan apa yang saya sukai atau apa yang tidak saya sukai. Anak baik adalah anak yang penurut, itu pikir saya waktu kecil
            “ Ayo mau beli mainan apa, nanti budhe belikan?” begitu ketika diajak jalan-jalan budhe saat kecil pun saya menggeleng. Tidak usah, kata saya. Anak baik tidak boleh minta macam-macam, itu yang ada di kepala saya.
Kenapa saya tak punya cerita harus dipaksa-paksa berangkat sekolah seperti adik saya yang susahnya bukan main bila waktu pagi tiba untuk ke sekolah? Kenapa saya tak punya kisah-kisah mbolos sekolah, tengilnya ulah-ulah anak beranjak remaja? Anak baik harus rajin belajar, begitu doktrin di kepala saya.
Hahaha kalau dipikir saya lucu ya waktu kecil, pun saya tidak tahu siapa yang mendoktrin itu semua berada di otak saya. Orang tua saya bukan tipe orang tua garis “keras” yang harus begini harus begitu. Dulu, saya memang berpikir begitu, sehingga mostly cerita saya terdengar lebih lempeng dibanding anak-anak yang lain.
Tapi sebenarnya sekarang saya menyadari bahwa butuh sebuah proses panjang untuk bisa menemukan seorang saya yang berani memutuskan apa yang saya suka, atau apa yang saya tidak suka. Dalam hidup, manusia akan ada pada titik-titik dia mengetahui hal-hal apa yang ia sukai, akan dihadapkan pada persimpangan, pilihan-pilihan hidup dan banyak hal lainnya. Banyak yang menemukannya di awal, ada yang sedikit terlambat, ada pula yang terbilang sangat terlambat.
Manusia yang jujur akan perasaannya sendiri. Saya tiba-tiba terpikir akan hal tersebut.
            “Manusia bukan siapa-siapa sebelum ia mewakili perasaannya sendiri” (Fadh Djibran)
Kutipan di atas mungkin tak sepenuhnya tepat kalimatnya, aku lupa bunyi teks aslinya, tapi mungkin kira-kira begitu.
Bukankah sering kita menyembunyikan perasaan kita sendiri, sampai-sampai kadang kita tak lagi peka mendeteksinya. Saya bukan ingin sedang mengatakan agar seseorang harus mengatakan atau mengungkapkan semua rasa yang dirasai masing-masing kita. Saya hanya ingin memastikan bahwa kita mengerti rasa yang kita rasai. Kita mewakili perasaan kita sendiri. Tidakkah kau pikir betapa seringnya kita memerangi perasaan kita sendiri? Tidakkah kau merasa lelah? 
Bukankah berdiri dan hidup dengan perasaan kita sendiri terasa lebih membebaskan? Lebih hidup?
Rasa itu hal yang sangat pribadi, setidaknya menurut saya. Tidak ada satu orangpun yang mampu mengklaim mengetahui rasaku, dan juga saya tak pernah sanggup memastikan bagaimana rasamu, rasa kalian. Kecuali jika saya mengatakannya pada kalian, atau kalian mengatakannya pada saya. Itupun dengan asumsi bahwa apa yang kalian atau saya katakan adalah rasa yang sebenarnya.
Rasa, tiba-tiba saya sangat tertarik dengan satu kata ini. Rasa ternyata begitu unik dan ajaib. Apakah karena ia juga bisa berubah-ubah?
Seperti di awal tulisan ini saya bilang tidak suka bila harus disuruh-suruh masak. Dulu saya berpikir, pasti karena Ibu tidak suka masak jadi saya sebagai anak perempuan satu-satunya harus bisa masak agar saya saja yang bertugas memasak (ahaha beneraan itu yang dulu terpikir). Karena saya ingin jadi anak baik, jadi saya nurut (polosnyaaa hihi).
Tapi sekarang, saya suka memasak. Bahkan terkadang memasak bagi saya adalah terapi jenuh, terapi stress. Seni memasak dengan menghasilkan rasa yang pas menurut lidah saya, sekarang ini menjadi hal yang menyenangkan.
Lihatlah rasa itu bisa berubah terhadap hal yang sama. Tapi setidaknya saya tahu apa yang saya rasakan. Apa menurut kalian kalimatku itu terdengar aneh? Memang ada ya orang yang tidak tahu perasaannya sendiri? Menurutmu? Ehehe..
Ah, betapa randomnya alir pikiran saya. Lebih baik saya merasai masakan saya hari ini sebelum saya bertambah random.


Seperti Cah Bayam Rindu Tahu
                                                             
Kambing dibumbui sesukanya
Random ya menunya seperti randomnya alur pikiran saya? Ehehe masa berkuah dan berkuah. Itu enggak dimakan dalam waktu yang sama kok. Cah bayam tahu itu berkawan telor ceplok tadi siang. Jadi....Ah, tak usah kau tanya berapa kali saya makan hari ini *langsung kabuuur...

Glasgow, 6 May 2013. 8.30 pm menunggu maghrib..hiyaaa jam segini belum juga gelap.
Semoga  saya dan kalian  semua semakin bisa mewakili perasaan masing-masing.

Senin, 06 Mei 2013

Di Sambut Musim Semi Glasgow



Ini daun2 ijo bukan sengaja berseni fotografi, tapi karena kamera nyungsep pake self timer LOL


Pagi ini, cericit burung di pohon  belakang flatku membangunkanku lebih awal dibanding alarm sholat subuhku. Ah Glasgow kadang-kadang memang lebih “ndeso” dibandingkan Indonesia. Di daerah tempat tinggalku, walau dekat sekali (5 menit dari Kampus Utama) namun sangat nyaman untuk tinggal. Tenang, karena tidak ada kendaraan yang lalu lalang, hanya beberapa orang berjalan kaki lewat. Di belakang flatku ini juga masih sering kutemukan tupai berkejar-kejaran ataupun cericit burung. Aku betah di flat ini walau terus saja berpindah-pindah, karena posisiku yang terkadang pulang ke Indonesia untuk riset.
Dan kini kepulanganku ke Glasgow disambut musim semi yang tahun lalu kulewatkan karena tengah berada di Indonesia. Saat kulangkahkan kaki meninggalkan bandara Glasgow, udara masih terasa brrr..musim semi yang palsu. Begitulah cuaca Glasgow, sepertinya nggak jauh-jauh dari dingin.
            “ Spring comes late,” begitu kata bapak pengemudi taksi yang mengantarkanku ke 21 Hillhead street, flatku.
Kembali lagi, rasanya masih aneh. Walau Glasgow sedari awal menginjakkan kaki di sini sudah terasa familiar. Berangkat ke Glasgow kemarin rasanya seperti “hanya” berangkat ke Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia saja. Persiapan juga seadanya, seperti biasa. Mungkin karena aku terbiasa pergi, walau sejujurnya meninggalkan Jogya terasa berat.
Kembali ke Glasgow berarti pula harus memulai hidup lagi dari awal. Menata lagi kamarku karena selama pulang kamarku disewakan. Kali ini aku kembali ke kamar awalku saat pertama kali ke Glasgow, kamar yang berada di bagian belakang flat, lebih kecil dibanding kamar utama. Tadaaa..kamar kosong, flat juga kosong karena Ari sedang di perpus GCU dan tidak pulang, sedangkan Elli (flatmate cinaku) juga tengah keluar.
Untung Ari meninggalkan ayam ungkep di kulkas dan nasi, sehingga bisa mendiamkan perutku yang keroncongan ehehe.
 Ah Glasgow, masih tetap dengan baunya yang sama. Aku sering mengidentifikasi apapun dengan bau, begitu pula kota tertentu mempunyai khas baunya sendiri. Dan kini kuhirupi lagi udara Glasgow, baunya yang khas itu. Dan mulailah aku menata hidup di sini lagi. Kau takkan pernah mengerti ribetnya nomaden bila belum pernah merasainya. Hidup yang menetap itu kadang sesederhana kamu tau dimana kau letakkan penggunting kuku, dimana gunting, penjepit kertas yang biasanya kau letakkan. Bros, dokumen, alat mandi yang selalu sudah tersusun rapi tempatnya. Tapi aku sering kali bergulat dengan hal-hal kecil seperti itu, karena aku selalu berpindah-pindah. Mungkin memang sudah saatnya harus berlabuh #ups.
            “ Kenapa nggak beli lampu emergency? “ katamu suatu saat ketika aku bilang kosan di Jogya gelap saat mati lampu. Sayang, bila aku harus membawa lampu emergency kemana-mana nanti dimana kuletakkan alat mandiku? Aku biasa pergi-pergi dengan tas punggung hanya berisi laptop, alat mandi dan baju ganti. Selama kepulanganku ke Indonesia beberapa bulan lalu, entah berapa kali aku harus pergi ke berbagai kota.
Dan biarlah kini Glasgow memelukku lagi. menyedikan tempat berlabuh sementara waktu. Maka kamar sudah mulai kutata lagi, walaupun masih berantakan.


Paling enggak kasurnya segera bisa kutata dan siap untuk melabuhkan mimpi #zzzzz

Dan mulai menumpuk stok makanan, bumbu-bumbu. Maka segera aku jalan-jalan sebentar menuju Halal Butcher untuk membeli daging kambing, ayam, bayam, bawang dan cabai (ini yang paling penting ehehe).
Kususuri jalanan yang hampir tiap minggu kulalui. Iyah aku ke Halal butcher kalau nggak hari sabtu ya minggu, karena agak susah untuk pergi belanja bila weekday karena harus di lab. Masih tetap sama, hanya saja bunga-bunga sudah mulai mekar warna warni walaupun belum begitu sempurna. Musim semi yang membangunkannya dari musim dingin yang beku. Kafe-kafe pinggir jalan, orang-orang yang berlalu lalang, masih Glasgowku yang dulu. Orang-orang masih banyak yang mengenakan boots walau musim semi sudah tiba. Sedangkan aku, manusia tropis ini dengan pedenya keluar hanya dengan double sweater dan sandal ahaha.

Yak narsis dulu sebelum berangkat belanjaaaa ehehe ;p 

Kafe-Kafe pinggir jalan


Ada juga yang jual sayur dan buah segar lhoo


Ini nih penampakan Halal Butcher El Baracca

barang belanjaaan...masak-masak lalu makaaaan...= ndut
Sampai ke toko halal, belanjaanku masih tetap hampir sama, si bapak penjualnya pun masih sama. Beruntung rasanya walau di negeri antah berantah begini, masih bisa menikmati daging halal dan bahan-bahan masakan yang masih bisa membuatku masak untuk memuaskan lidah jawaku.
Glasgow, menyambutku dengan ke”hangat”annya yang sederhana, tanpa selebrasi yang rupa-rupa. Ia seperti laut, yang selalu menyediakan dirinya menerima aliran sungai dari manapun.
Glasgow, aku kembali lagi. Siap menikmati hidup dengan semua kelokan dan warna warnimu. Merasai semua anugerahNya. 

Bunga-Bunga Glasgow yang mulai bermekaran


21 Hillhead Street, Glasgow,  May 2013