Jumat, 13 September 2019

Glasgow dan Perubahan


Bus menuju London hanya tinggal beberapa jam lagi meninggalkan Glasgow. Saya sudah merapikan koper dan barang-barang yang jadi beranak pinak. Dan sibuk berusaha menentramkan hati saya yang rasanya tengah tak menentu.

Antara ingin segera pulang, menemui senyum ibu di rumah dan meninggalkan Glasgow. Glasgow yang..entahlah!

Glasgow yang sama dengan kehangatan dan ramah senyum sapa orang orangnya. Yang masih saja dengan cuacanya yang seringkali berubah ubah. Gloomy yang menghiasi hari, namun kebaikan orang orangnya membuat hati selalu menghangat. Yang selalu menyambut dengan tangan terbuka tiap kali saya pulang padanya.

Tapi Glasgow juga tak lagi sama, karena tiada lagi sahabat sahabat, orang orang yang dulu bersama sama sekehidupan selama saya di Glasgow. Semuanya berubah, tak lagi sama. Tanpa mereka, ada rasa yang hilang. Ada sebuah lubang kehilangan yang besar. Bahwa saya datang sebagai outsider, bukan lagi sebagai penghuni seperti dulu. Yang selama empat tahun telah menganggap tempat ini sebagai rumah. Bahwa jalan jalan seperti Byres road, Greatwestern Road atau kawasan city centre begitu diakrabi. Ketika berbelaja ke Tesco, Sainburry atau Lidl kembali mengingatkan akan kebiasaan waktu dulu.

Bahwa pernah kujalani kehidupan di sini, ketika berjuang menyelesaikan studi S3 di University of Glasgow. Masa masa yang tak mudah, tapi juga masa masa yang sungguh menyenangkan. Mungkin itulah yang membuat perasaan saya tak menentu. Ketika selintas demi selintas kenangan hadir di ingatku. 

Lalu saya diingatkan kembali..
Bahwa hidup harus terus berjalan..yah harus terus berjalan. Kembali ke rutinitas pekerjaan. Perjalanan ke UK selama 2 minggu ini rasanya cukup lama. Dari perjalanan Purwokerto-Jakarta kemudian terbang ke Abu Dhabi- lalu tiba di London. London kemudian bergeser ke Birmingham, pergi ke Stratford Upon Avon kemudian baru ke Glasgow. Rasanya lama kutinggalkan meja kerja dan kampus bersama rutinitas harian yang biasanya padat merayap. Pergi pagi pulang sore ataupun bahkan malam untuk urusan pekerjaan.

Rindu juga dengan canda tawa teman teman sekantor saya. 
Sayapun rindu rumah. Selain tentu saja rumah orang tua saya di Kebumen, saya rindu rumah saya di Purwokerto yang kosong selama saya pergi. Semenjak punya rumah, memang saya cepat rindu pulang.
Saya ingin kembali menata lagi rumah mint saya.

Ya, Glasgow memang salah satu rumah hati saya.. yang selalu menyimpankan rindu. Tapi hidup saya ada di Indonesia kini. Semoga jetlag fisik dan rasa tidak terlalu lama sehingga saya bisa segera ngebut kerja lagi..hehe

Lantai 9, Euro Hostel Glasgow. 12 Sept 2019

Rabu, 11 September 2019

Cerita dari Birmingham Coach Station




Dari ruang tunggu Birmingham Coach Station saya mengamati orang-orang yang berlalu lalang, sibuk dengan tujuan mereka masing masing. Terminal, stasiun, bandara seringkali merupakan tempat yang tepat untuk mengamati orang orang. Baru saja nampak di depan saya melangkah bapak paruh baya, dengan senyumnya yang tersungging, dengan gerak bahunya yang kentara bahwa dia tengah bahagia. Sementara ketika saya menyalangkan mata ke arah depan. 

Perhatian saya tertuju pada seorang laki-laki yang tengah mengamati jadwal keberangkatan. Mata saya tertuju pada kruk kanan kiri yang nampak menyangga tangannya. Tas punggung besar nampak dipikulnya. Kemudian pandangan saya turun kearah bawah, dan seketika hati saya terkesiap menyadari bahwa kaki-nya hanya satu. Celana panjang sebelah kirinya diikat. Nampak dari kejauhan, dia kemudian berjalan dengan kruk-nya menuju tempat duduk.

Melihat pemandangan tadi, seketika membuat saya berpikir..dan merasa beruntung anggota badan saya masih lengkap. Tadi pagi dengan perjuangan saya menggeret koper dari penginapan saya, Ibis Budjet Birmingham ke Birmingham Coach station. Sudah jamak kalau disini kemana mana jalan kaki. Maka dengan beberapa kali berhenti sembari melihat google map, saya menyeret koper dan membawa tas punggung. Beberapa hari di UK, membiasakan kembali kemana-mana jalan kaki. Pegel? Iyaa banget. Karena kebiasaan di Indonesia yang kemana-mana naik motor, atau ada Gojek, Grab dll. Saya sih membayangkan, dengan kedua kaki yang masih normal saja saya ngos ngosan sampai Birmingham Coach Station. Bagaimana si mas mas dengan satu kaki tadi? Namun dia nampak baik baik saja, bepergian sendiri tanpa bantuan orang lain.

Kadang-kadang kita ternyata kurang bersyukur ya dengan apa yang kita punya. Maunya banyak ini itu, merasa belum lengkap..belum bahagia kalau belum meraih ini itu. Namun terkadang ini diingatkan dengan hal-hal sederhana seperti yang saya temui hari ini.

Saya ada di Birmingham menunggu jadwal perjalanan menuju Glasgow. Yang mungkin saja beberapa orang juga ingin merasakan bagaimana rasanya menginjakkan kaki di Britania Raya. Tuhan, kembali lagi bermurah hati membuat saya merasakan lagi kesempatan pulang di negeri ini.

Mungkin ada banyak hal yang belum saya raih..tapi hari ini saya diingatkan lagi untuk bersyukur dengan apa yang saya punyai. Berkah Tuhan yang selalu melimpah untuk saya. Terimakasih.***
  
Birmingham coach station-4 September 2019


Jumat, 30 Agustus 2019

Secangkir Kopi di Abu Dhabi




Secangkir coffee latte kupesan dari gerai kopi Costa yang kujumpai di Terminal 3 Abu Dhabi International Airport. Sembari menunggu jadwal penerbangan berikutnya menuju London yang masih beberapa jam lagi. Sayang memang, setelah kutanya pada petugas ternyata tidak memungkinkan untuk membuat visa transit untuk keluar jalan-jalan sebentar memanfaatkan fasilitas free tour airport. Harusnya memang sebelumnya diurus dulu. Ah perjalanan kali ini memang tanpa perencanaan yang jelas hehe. Himpitan jadwal kerjaan menjelang berangkat membuat persiapan ala kadarnya banget. Nggak sempet nyari oleh oleh khas Indonesia untuk supervisor saya di Glasgow nanti. Baru ngeh juga saya ternyata nggak bawa sambungan charger colokon 3. Printilan-printilan seperti itu terlewatkan karena persiapan yang ala kadarnya. Ah ya sudahlah, dinikmati saja segala keseruan keseruan yang ada.
Di tengah membalas satu-satu pesan yang masuk dari beberapa orang, ada satu pertanyaan dari sahabat saya yang menggelitik,
“Eh, kan sering pergi-pergi gini, biasanya gimana cara move on ketika masa transisi dari satu momen ke momen yang lain?” begitu tanyanya,
Ealaah, pertanyaannya berat. Tapi membuat saya berpikir juga sih. Salah satu kesulitan manusia itu memang living in the momentLiving in the now. Bagaimana untuk hidup pada saat ini, fokus pada masa sekarang yang terjadi. Selalu ada tarikan tarikan perasaan dan memang ketika dalam bepergiaan, fluktuasi perasaan perasaan seperti itu memang lebih terasa.
      Dalam perjalanan saya ke Gambir saja, masih ada beberapa telpon dan whataps-whataps urusan  pekerjaan. Dan yang tidak saya menyangka justru di situ saya merasa bahwa saya merindukan pekerjaan dan orang-orang yang biasa bekerja dengan saya. Di momen itu saya tiba tiba merasa beruntung. Mungkin saja banyak di luar sana yang menganggap pekerjaan itu beban berat atau hal yang tidak menyenangkan. Saat itu saya merasa beruntung karena walaupun sering ngeluh karena kebanyakan kerjaan, tapi saya  tetap menikmatinya. Menikmati segala lelah, rusuh, dan penatnya kerjaan yang sering kali datang bertubi menghampiri. Dan satu lagi yang membuat saya merasa beruntung, yakni pada saat itu juga saya menyadari, lebih tepatnya kembali menyadari bahwa saya punya rekan rekan kerja yang asik dan menyenangkan. Ini membuat ketika deraan pekerjaan datang, walau lelah namun tetap terasa tidak terlalu memberatkan.
        Ketika pergi, entah mengapa kita menjadi lebih jelas untuk mengerti perasaan perasaan kita sendiri. Lebih banyak mengamati orang-orang, dan mengamati diri kita sendiri. Dalam pergi ke tempat tempat yang jauh, ada jeda yang istimewa di sana. Yang sering luput kita dapat dalam rutinitas sehari-hari yang rasanya sering berlarian. Waktu cepat berlalu, namun makna sering kali terluput. Dan mungkin dengan pergi dan mengambil jeda, serupa memberikan waktu bagi jiwa untuk kembali lebih mengamati diri sendiri.
          Kembali ke pertanyaan sahabat saya, “bagaimana caranya untuk move on dari satu momen ke momen yang lain?" Apalagi ketika kita merasai momen yang istimewa, kemudian harus kembali menjalani kehidupan yang lain lagi. Iya bayangkan hanya selang beberapa jam, hidup bisa langsung berubah. Berada di tempat antah berantah, sendirian. Tentu saja hidup berubah, mengadaptasi perubahan demi perubahan. Mungkin itulah mengapa terkadang kita butuh perjalanan. Bagaimana caranya move on? Pertanyaan itu mungkin salah jika dialamatkan ke saya. Saya pun masih kesusahan menghadapi ketika kadang perasaan masih ditarik-tarik oleh momen momen di masa belakang yang tetap hadir di masa kini. Lha Glasgow aja selalu narik narik pulang..seperti saat ini. Membuat saya mengerahkan tabungan dan energi untuk mengurus perjalanan saya pulang ke Glasgow.
Ah pulang, bukankah sebuah kata yang istimewa?
Semoga saya menemukan pulang.
Perjalanan kali ini saya tidak langsung menuju Glasgow. Tapi melalui London, karena ini berjumpa dengan Mita, sahabat saya plus jalan-jalan di London. Lalu lanjut ke beberapa kota sebelum pulang pada Glasgow.
        Daripada  mempertanyakan bagaimana caranya move on dari satu momen ke momen lain yang cepat berganti, saya cenderung untuk lebih banyak belajar menerima. Termasuk menerima ketika beberapa momen enggan pergi dari hati. Biarkan..kalau memang seperti itu adanya. Mungkin memang ada momen momen istimewa yang terus terpatri dalam hati. Ah biarkan saja…
Ada sebuah kalimat yang saya lupa kubaca dimana “ketika kita menyangkal suatu perasaan tertentu, maka perasaan itu akan semakin mengekal’.
Dan ternyata, belajar menerima pun tidaklah mudah. Apalagi ketika belajar menerima hal hal yang tidak kita rencanakan, tidak kita sukai, atau yang tidak kita inginkan. Tapi kadang hidup, membuat kita harus belajar menerima hal hal tersebut. 
Coffee lattee saya sudah mulai mendingin, orang orang di depan saya berlalu lalang dengan urusan dan tujuannya masing masing. Saya masih di sini, bersama secangkir kopi dan pikiran pikiran saya sendiri. ***

Abu Dhabi International Airport, 30 Agustus 2019

Kamis, 11 April 2019

Cerita dari Kedai Kopi



Hujan belum lagi reda, saya masih bersama alunan samar musik di kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi tempat pindah kerja usai dari kampus. Ritme kerja memang berubah jauh sejak mendapat tugas tambahan sebagai Sekretaris Jurusan akhir januari lalu. Seharian bisa ngerjain ini itu, tapi di akhir hari berasanya nggak ngerjain apa apa. Karena yang dikerjakan biasanya hal-hal administrasi, rapat, urusan panitia ini itu. Habis waktunya untuk mengerjakan yang bukan “kerjaan sendiri”.
Pekerjaan yang semenjak pulang dari kuliah di Glasgow sudah padat, sekarang sudah semakin padat merayap. Tapi mungkin  kondisi seperti itulah yang saya butuhkan saat ini.
Makanya, seringkali saya mampir ke kedai kopi ini usai dari kampus untuk menyelesaikan kerjaan saya sendiri. Seperti nulis manuscript artikel jurnal yang susah sekali mencari waktu ketika berada di kampus. Selain kadang waktunya memang nggak sempat, juga distraksinya banyak. Bila di sini, lumayanlah cukup produktif, dan hasil artikel yang terbit pun mulai bertelur satu per satu. Saya tidak ingin pekerjaan tambahan menjadi sekjur membuat publikasi ilmiah saya macet. Banyak orang ketika terjebak dalam tugas tambahan, akhirnya melupakan atau tak sempat waktu untuk menulis publikasi.
Saya sendiri, tidak menyangka ketika saya pada akhirnya memutuskan untuk bersedia untuk duduk dengan tugas tambahan. Semenjak jadi dosen, saya tidak pernah berpikir untuk mau ataupun berkeinginan ke arah situ. Saya menilai diri sendiri sebagai pribadi yang tidak terlalu bagus jiwa kepemimpinannya. Saya dulu yang pernah bertanya pada teman-teman semasa kuliah S1 :
            “Kerjaan apa ya yang nggak usah ketemu atau ngobrol dengan banyak orang?”
Begitu lontaran pertanyaan saya. Mencerminkan betapa payahnya kemampuan interpersonal saya dengan orang lain. Dan rasa rasanya berinteraksi dengan orang lain membutuhkan energi yang banyak dan melelahkan.
            “Pegawai perpus tuh, nggak usah ketemu sama orang banyak” jawab sahabat saya dulu sewaktu jaman kuliah S1.
Tapi hidup terus berubah, mungkin saya juga banyak berubah. Walaupun secara pribadi, saya masih saja pribadi yang introvert, yang kadang habis energi ketika banyak berinteraksi dengan orang, kemudian butuh waktu sendiri untuk mencharge energi. Tapi kehidupan berubah, dan saya harus mencoba melenturkan diri pada perubahan.
Pada akhirnya saya bersedia untuk menjajal untuk bekerja dengan tugas tambahan, dengan risiko pekerjaan akan tambah banyak, nggak bisa "ngilang-ngilang", dan waktunya akan banyak tersita untuk urusan pekerjaan. Satu hal lagi, risiko nya adalah nggak bisa apply post-doc dikti atau program lain yang mengharuskan meninggalkan kampus dalam jangka waktu yang agak lama selama periode dengan tugas tambahan. 
Jadinya ketika melihat pengumuman Dikti untuk tawaran post doc 3 bulan tahun ini saya cuma melihat dengan nanar *risiko harus diterima 😁
Kadangkala, kita harus menjajal untuk keluar dari zona nyaman. Mungkin saatnya untuk melemparkan lagi titik yang harus saya kejar. Beberapa tahun belakangan, saya tidak punya titik yang saya kejar. Dulu saya selalu melemparkan titik ke depan, dan membiarkan diri saya untuk berupaya mewujudkannya.
Sudah agak lama, saya tidak punya titik itu lagi. Saya kebingungan ketika akan melempar titik itu...mau ngapain lagi? mau mengejar apa lagi? Kali ini, saya menemukan titik yang ingin saya tuju.
Karena itulah, saya sering ada di kedai kopi ini, agar mempunyai lebih banyak waktu dan energi untuk menulis publikasi-publikasi ilmiah dan hal-hal lainnya.
Karena saya ingin membiarkan diri saya menapaki jalan untuk menuju titik yang saya lempar itu.
Mungkin ini untuk seseorang yang pernah berkata pada saya
“ Seeing you grow up and jump as high as possible is my happiness”

Atau mungkin ini untuk diri saya sendiri.***



Society, 11 April 2019



Selasa, 05 Februari 2019

Glasgow dan Sepenggal Cerita Hidup




“ Kita cenderung mengingat hal-hal yang indah yang pernah terjadi dalam hidup kita. Mungkin itulah yang membuat kita kuat untuk menghadapi kehidupan selanjutnya”


Kalimat itu saya dengar di serial drama korea “Encounter” yang baru-baru ini saya lihat. Mungkin benar juga kalimat tersebut.
Kita cenderung mengingat hal-hal yang indah, dibandingkan ketika menghadapi masa masa sulit. Itulah kenapa, ingatan tentang Glasgow hampir selalu tentang kenang yang indah. Tiap kali melihat postingan beberapa akun IG yang saya follow tentang Glasgow, ada desir rindu itu. Rindu mengenang segala macam kehidupan yang pernah terjadi. Juga rindu untuk mengunjungi tempat itu lagi.

Padahal masa-masa itu, bisa dibilang merupakan saat saat yang banyak kesulitan. Saya sering dihadapkan pada kondisi yang serba tidak pasti. Terutama yang berurusan dengan studi saya hihi..
            “ Please send me asap (as soon as possible-red)”
            “ Could you finish it soon..
Kalau udah membaca email dari supervisor semacam ini. Deg! Saya harus siap sedia. Kuliah di luar negeri memang tekanannya berbeda. Karena lingkungan dan bahasa yang berbeda. Seringkali saya merasa “bego” banget, trus mau nanya-nanya rasanya gimanaa gitu. Stress-nya lumayan nampol pokoknya. Apalagi kalau berurusan dengan kerjaan lab hehe. Ketika harus presentasi untuk seminar internal atau eksternal, haduuuuh rasanya deg degan dan mulesnya berhari hari haha..
Beda banget sih sama kalau kerja di sini. Ibaratnya semua kerjaan di kampus sini masih dalam tataran “ I can handle it!” cuma butuh kerja lebih keras ataupun lebih lama kalau banyak yang harus dikerjain.
Tapi selama studi di Glasgow, rasanya seringkali harus menghadapi situasinya yang saya nggak tau bisa apa enggak. Mewek malem malem begitu baca email supervisor.. pernah, terus jalan ke lab sambil nangis.. pernah. Ataupun diam diam ke toilet lab karena pengen nangis nggak ketauan pun pernah.

Padahal supervisor saya sebenarnya baik. Baik banget malahan..cuma agak rewel hehe. Saya semakin merasa supervisor saya baik banget itu bahkan ketika saya sudah back for good ke Indonesia. Dia masih ngirimi external hardisk berpasword, nanyain kabar kalau ada berita bencana di Indonesia, bahkan nanyain gimana cara memberikan sumbangan untuk korban bencana. Pengalaman mendengar banyak cerita cerita “menyeramkan” dari beberapa temen yang juga studi PhD membuat saya bersyukur punya supervisor yang baik.

Tapi tetap aja ya, hubungan student-supervisor yang hampir 4 tahun tetep aja ada masa-masa kala dia sensi dan marah. Tapi lagi lagi kalau sekarang lebih terkenang banyakan yang baik-baiknya.
Saya masih ingat, betapa melegakannya saat saat jam pulang dari lab. Lab saya pindah ke daerah Garscube setelah saya menginjak tahun ke-empat studi. Bus nggak ada yang sampai ke sana. Jadi tiap hari setidaknya saya harus jalan kaki 2 kali 30 menit untuk pulang dan pergi. Dan letak lab saya itu hampir kayak antah beratah, semacam daerah pinggiran Glasgow yang jarang pemukiman. Ketika jam pulang dari lab, berjalan kaki menuju bus stop rasanya pikiran saya sudah senang. Bahkan rencana untuk mampir ke Morrison –Salah satu nama supermarket di Glasgow-aja bawaannya udah happy!. Mampir ke Morrison untuk beli buah, atau kadang memburu ikan yang harganya lagi diskon. Salah satu supermarket favorit saya di Glasgow!

Sayangnya waktu tahun 2017 lalu kembali ke Glasgow, saya tidak sempat ke Morrison dekat bus stop ke arah lab saya. Waktu itu 2 minggu rasanya singkat dan terlalu banyak yang ingin saya lakukan.
Saya tidak tahu kenapa masih saja ada rindu itu.
Padahal hidup saya di Glasgow adalah barisan hari hari yang sederhana
Rutinitas yang biasa saja. Memasak seusai pulang lab, berkumpul bersama teman-teman, ataupun jalan jalan di akhir pekan.
Iya saya rindu.




Untukmu yang Menggangap Hidupnya “Begini gini Aja” #10yearschallenge


Kalian pernah nggak merasa “hidupku kok begini gini aja ya”? hayoo pernah enggak? hehe jangan khawatir, saya juga kok pernah merasa begitu.

Terkadang melihat kehidupan teman-teman seangkatan yang sudah begini sudah begitu..jadi rasanya kok saya begini gini aja.  Apalagi dengan era sosial media sekarang ini, semuanya berseliweran tiap harinya yang menyebabkan benih-benih “comparing to others” itu mudah sekali menggejala.

Itulah mengapa kita sering merasa “kok hidupku begini gini aja ya”. Apalagi kalau tidak terjadi perubahan perubahan signifikan dalam hidup di permukaan. Maksud saya di permukaan itu yang terlihat jelas seperti lulus kuliah, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak, punya rumah dan hal hal yang membuat perubahan hidup bisa terlihat dengan jelas.

Sebagian besar orang yang fokus melihat pada perubahan perubahan di permukaan ini. Saya pun terkadang begitu.

Mari lihat ke dalam. Lihat ke dalam..
Satu-satunya yang tahu pasti perubahan dalam hidup adalah dirimu sendiri. Namun seringkali kita lebih sering berfokus pada hal-hal di permukaan dibandingkan perjalanan ke dalam diri.

Look at the details,
Kita sering lupa mengapresiasi diri sendiri, terhadap keberanian-keberanian yang pernah kita buat dalam mengambil keputusan dalam hidup. Terhadap kerja keras yang telah kita upayakan. Terhadap upaya upaya kita untuk menerima kehidupan yang terjadi. Saya, bukan lagi saya 10 tahun yang lalu. Tentu saja kalian juga.

Beberapa waktu lalu sempat menjadi trend 10 years challlenge, yang menampilkan foto 10 tahun yang lalu dibandingkan dengan foto sekarang. Kita kebanyakan lebih banyak menilik seberapa orang berubah secara penampilan, soalnya yang nampak memang hanya gambar dalam foto. Tapi perjalanan selama 10 tahun terakhir yang persis tau pasti adalah diri kita sendiri. Ini yang seringkali kita lupa.

Kalau saya melihat foto di atas, yang sebelah kiri itu ketika saya sedang short course bahasa Italia di Perugia. Foto tersebut diambil seusai kuliah di salah satu gedung Universita per Stranieri di Perugia. Saya masih nampak polos dan kurus di foto tersebut, tapi senyumnya nampak masih sama dengan foto sebelah. Yang berbeda dan tidak orang lain lihat adalah..senyum sebelah kiri adalah semacam senyum penaklukan mimpi mimpi, kemenangan atas perjuangan tak kenal lelah..dan kebanggaan. I proud of myself. Gampang sekali untuk mencintai diri sendiri waktu itu. Kalian mungkin pernah juga ada dalam tahap itu.

Tapi senyum sebelah kanan, adalah semacam senyum yang mengatakan betapapun hidup memberikan banyak jalan sulit, kehilangan orang orang tercinta, bahkan kehilangan harapan..tapi hidup terus berjalan dan dihadapi dengan senyuman. Dan senyum itu adalah upaya belajar untuk bisa mencintai diri sendiri kembali.  Mungkin juga kalian pernah ada dalam tahap betapa sulitnya kembali mencintai diri sendiri lagi. Iyah, hidup terkadang berjalan tidak sepenuhnya seperti yang kita inginkan. Tidak seperti yang kita rencanakan.

Tetaplah berjalan..Tetaplah hadapi. Lalu mungkin.. di sepanjang jalan ke depan, kita akan menemukan harapan lagi.***


Selasa, 13 November 2018

Kacamata tentang Kebahagiaan




Hari ini tak sengaja mendapati postingan Mas Andi Arsana, dosen Geodesi UGM di IG story-nya, tentang perjalanannya menuju sebuah meja yang merupakan titik temu antara tiga negara Slovakia, Hongaria dan Austria setelah mengikuti lomba the Falling Walls Lab di Berlin, Jerman. Jadi kalau duduk di meja segitiga itu, kita berada di tiga negara yang berbeda. Untuk sampai di situ, dari Ig story-nya beliau bercerita harus terbang dari Berlin ke Wina, kemudian ke Bratislavia naik bus, lalu menyewa supir taksi untuk menuju ke meja segitiga itu. Sempat mereka berhenti dan kebingungan untuk mencapai tempat itu. Sepertinya lokasinya sulit dijangkau, sampai harus jalan kaki..dan sampailah ia ke meja berbentuk segitiga, dengan tiga kursi panjang yang mengelilinginya. Dengan muka penuh antusias, beliau mengucap dalam videonya,

            “ Hey akhirnya sampai juga...ini adalah meja yang menandakan tiga negara..bla bla..bla..”
Saya mengeryitkan dahi, hanya kayak gitu doang tempatnya? Heheh...namun, sedetik berikutnya saya kembali diingatkan..betapa nilai sesuatu menjadi sangat berbeda bagi setiap orang. Bagi seorang Mas Andi yang selama ini bergelut di dunia perbatasan, mungkin itu keinginan yang sudah dipendam sejak lama. Hingga bisa mencapai tempat itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
Seperti juga saya diingatkan pada seseorang yang mengirimkan pesan via FB messenger ke saya. Si bapak yang tidak saya kenal sebelumnya itu bercerita akan ke Edinburgh, dan dia nanya apakah saya tahu dimana makamnya Adam Smith. Dia tahu kalau Adam Smith itu dimakamkan di Canongate Kirkyard Edinburgh, tapi dia nanya siapa tau saya tahu ancer-ancernya. Ya ampun, biasanya orang ke Edinburgh itu ya pengennya ke tempat seperti Kastil Edinburgh ataupun Calton Hill. Lha ini, niat banget pengen nyari kuburannya Adam Smith!
            “Saya dulu itu terinspirasi Adam Smith gara gara dosen saya banyak cerita soal Adam Smith,” si bapak itu bercerita.
Hal tersebut semakin mengingatkan saya bahwa tiap orang punya kebermaknaan hidup yang berbeda masing-masing.
Hal hal yang menurutmu luar biasa, bagi orang lain mungkin saja hanya receh. Ataupun sebaliknya, hal hal yang menurutmu biasa saja, bisa saja menjadi hal luar biasa jadi orang lain.
Ada orang yang merasa keliling ke berbagai negara itu menantang dan memuaskannya, namun ada orang yang kepuasannya ada pada membuat kreasi craft, memastikan anaknya hapal Juz sekian, atau ada pula yang menilai kebermaknaannya pada dedikasi pada pekerjaannya.
Tiap manusia rasanya punya pijar kebahagiaannya masing-masing, yang tentu saja berbeda-beda.
Namun yang saya jumpai, kadangkala orang memakai kacamatanya sendiri untuk melihat kebermaknaan orang lain. Orang memakai standarnya sendiri, untuk melihat orang lain.
Memang dalam perjalanan hidup manusia, ada hukum yang tak terucapkan bahwa ada beberapa hal yang dijadikan standar pencapaian hidup seseorang. Dimana ada alur menjalani bangku sekolah, kuliah, mencari pekerjaan, menikah, punya anak, yang rasanya ada timeline tertentu yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Hingga orang orang yang tidak sesuai dengan timeline itu, sepertinya menjadi “orang yang berbeda”.
Saya dalam beberapa kesempatan interaksi sosial adakalanya merasa “direndahkan” hanya karena belum menikah. Bahasa-bahasa yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit tersampaikan bahwa “saya sudah, kamu belum”. Beberapa orang merasa “lebih” karena mereka sudah, dan saya belum. Memang ada orang orang yang mengganggap menikah itu pencapaian, ada pula yang enggak lho. Jangan lupa.
Tekanan sosial juga bukan main derasnya lho bagi para barisan “belum menikah” seperti saya. Masih ditambahi judgement-judgement mereka sendiri, tanpa ingat bahwa tiap orang punya ceritanya sendiri yang tidak perlu dibagikan pada orang lain.
Sama halnya dengan pasangan yang belum punya anak misalnya. Ada sahabat saya yang mengalami tekanan baik dari sosial umum, bahkan dari keluarganya hanya karena ia belum hamil juga. Ada sahabat saya lainnya juga yang baru baru ini mengunggah tulisan di IG storynya. Ia baru saja wisuda PhDnya di salah satu universitas di UK. Sepertinya ada orang yang berkata padanya begini :
            “ Kapan nih mbak punya anak. Apa nggak pengen punya anak kayak keluarga-keluarga yang lain?”
Ya ampun basa basi-nya sadis banget sih menurut saya. Kita nggak tahu apa yang telah diupayakan sahabat saya itu selama ini untuk memiliki momongan. Ataupun kita juga nggak tahu apakah sahabat saya itu memang pengen punya anak atau tidak. Bukan hak kita untuk tahu.
Banyak orang bertanya tentang “Kapan?” yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan.
Menilik lagi pada kisah di atas tentang Mas Andi dengan meja segitiganya atau si bapak dengan kuburan Adam Smithnya. Tiap manusia punya ceritanya masing-masing. Punya pijar bahagianya sendiri-sendiri. Punya apa-apa yang dirasa penting, berharga, bermakna dan apa yang membuat bahagia..sendiri sendiri.
Tidakkah hidup menjadi lebih tenang, ketika kita bisa saling menghargai hal-hal yang sangat pribadi itu?
            “Mesakke (kasihan banget) mbak , di rumah sendirian. Sepi banget pastinya”
Orang lupa, bahwa kalau dia merasa lebih bahagia dengan  hidup ramai, di tengah banyak orang..belum tentu orang lain. Ada orang yang lebih nyaman sendiri, walau tetap menikmati berinteraksi dengan orang lain, tapi ia butuh mencharge energinya dengan lebih banyak sendiri. Saya stress lho kalau terlalu lama harus berada dalam pertemuan banyak orang. Iya, tiap orang punya keunikannya masing-masing..hal ini yang seringkali dilupakan.
Sayangnya, beberapa orang masih memandang kebahagiaan orang lain dengan standar kacamatanya mereka sendiri. ***