Senin, 17 Mei 2010

Engkau...


Aku adalah engkau

Engkau adalah aku

Aku, cerminmu,

Kau, bayangku

Kau, hilangku yang kutemukan

Kutantang takdir atas rasaku itu

Yang kini menjungkalkanku

Karena engkau adalah Ia

(15 maggio 2010.22.17)

Aku benci aku kalah tanpa peperangan yang gigih, hanya karena aku tidak tahu senjata apa yang harus kupakai, siapa yang harus kubunuh, siapa yang harus kubuat menyerah..dan tiba-tiba menemukan diriku kalah……..Mars, The God of War, kali ini kau harus memaafkan dirimu sendiri. (22.53)

Sabtu, 19 Desember 2009

Tentangmu


Tentang ketidakpastian..ketidaktahuan

Tentangmu...apalagi tentang kita, harus apa dan bagaimana

Sampai kapan akan bertahan?

Sampai kapan...

Sampai lelahkah?sampai aku kalahkah? atau sampai kapan?

Beritahu aku

Aku bertahan, dulu karena aku yakin,

Kini, bahkan karena ketidakpastian

Seperti pernah kubilang, ketidakpastian hidup justru terkadang jalan yang paling mudah untuk menemukanNya.

Aku...engkau, adakah kita diberikan takdir untuk berada dalam satu perlintasan lagi

dan kemudian sejalur berjalan?

Seperti dulu kita adalah bidak-bidakNya yang dijalankan untuk dipertemukan

Apakah aku harus meminta takdir untuk sejalan dengan mauku kali ini?

Sudahlah, urusan takdir bukan urusan kita

Ada setapak jalan ke depan yang ingin kumaknai dengan perjuangan

Kumaknai dengan perwujudan impian-impianku

Kumaknai dengan syukurku akan hidup

dan mungkin terkadang syukurku akanmu

Dan mungkin sekedar meluangkan waktu, menitipkan doa-doa sebelum tidur untukmu

menyeberangi samudra sejengkal itu.



(saat alnilam, alnitak dan mintaka berkerling di sabuk Orion padaku)

18.12.09 10.45 p.m

Senin, 18 Mei 2009

Alur Takdir Jatuh di Roma



Magnet itu menarikku, memandangnya

Sepasang mata hitam granit, dan seketika takdir jatuh

Namun lantas lepas dari genggaman

Dibawa pergi riak air sungai Tiber

Dilarikan bandara kecil Ciampiano

Dilupakan waktu

Tapi seperti lembaran serat kalatidha

Melantunkan sesulihan, menonggak kisah masa depan

Sajak berikutnya masih bertanda koma

Kuncup mawar sepertinya telah mekar

Semerbaknya tertangkap urat saraf olfactoriku

Menggerakkanku mengejar takdir

Yang sempat terlewatkan

Tunggu



10.11 am. 17 maggio09

Saraf olfactori : sel-sel pembau yang berhubungan dgn urat-urat syaraf menuju otak

Serat kalatidha : buku/kitab yang ditulis pada abad ke-19 oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita yang memuat wawasan kesejarahan dan sering dipandang sebagai buku ramalan sejarah jawa.

Sabtu, 14 Februari 2009

For Class A Prajab 2009 : Thanks For All:)

Rasanya sesak melihat deretan bangku dan kursi kosong tempat kita semua biasanya makan bersama. Harusnya aku memilih untuk makan di luar saja, daripada harus makan di ruangan yang telah kalian tinggalkan. Benar sekali kata Fanny, lebih baik kita berpisah dengan orang sekaligus dengan tempatnya, karena bila masih berada di tempat yang sama saat orang-orang sudah meninggalkan kita, rasanya amat menyesakkan. Deretan bangku kosong itu bercerita bahwa biasanya walaupun dengan aba-aba formal sebelum dan sesudah makan, tapi kita selalu bisa menikmatinya. Disana kita biasa ngobrol, berceloteh tentang apa saja, kita pernah dinesu-nesuni para brimob yang marah dengan tingkah kelas kita yang kadang telatan dan“terlalu kreatif “merubah jadwal (remember that moment? ehehe)
" Kalian tau, jam berapa seharusnya makan siang!!!, memang ada virus di kelas ini!kalo dibiarkan terus menerus akan menular ke semua orang!" ihihi gitu marah-marahnya si Brimob-brimob itu.
- Deretan bangku-bangku tempat makan kita-

Namun kemarin siang, deretan bangku itu kosong, tak ada lagi kalian. Memandang deretan bangku-bangku itu menghadirkan rasa sentimental tersendiri, seperti ada yang telah pergi dari dalam hati.
Aku, Fanny dan Irma terlarut dalam rasa kesedihan mendalam sesudah makan siang, dan tak kuasa menahan bulir airmata yang mencoba menuntaskan rasa, Sebuah rasa kehilangan teman-teman seperti kalian semua, yang telah menjadi keluarga besar kelas A.
Sesuai makan siang, kami kembali ke lantai 1 sambil menunggu travel yang akan membawa kami ke Purwokerto jam 2 siang, tapi saat menuruni tangga menuju lobi lantai 1, yang terlihat adalah kursi-kursi kosong tempat kita biasanya berkumpul dengan aktivitas kita masing-masing.


- Lobi kelas kita, tempat kita biasa berkumpul-

Biasanya ada yang duduk leyeh-leyeh membaca koran, berfoto-foto narsis (kelas kita adalah kelas ternarsis bukan?), berlatih senam poco-poco dengan bimbingan si mahaguru poco-poco mas Hendri (pake G) yang membawa kita sebagai juara 1 poco-poco ehehe (inget yel-yel kita “Go Go A...Go Go A.. U’U). Atau saat malam, kalian menghabiskan waktu bermain monopoli, pak Dono menyalurkan kemampuan memijitnya ehehe, atau makan bakso bareng-bareng.
Bahkan malam sebelumnya sampai jam 1 dini hari sesuai inaugurasi, kita masih berkumpul mengungkapkan kesan dan pesan masing-masinng. Tapi kemarin siang, tak ada lagi kalian semua.
Dan rasa kehilangan itu menyeruak begitu dalam.
Tak akan mendengar lagi teriakan “Ayo kelas A..kelas A kumpul!!!”, mendengar ketokan pintu dan teriakan Fanny membangunkan kita semua.
Aku kehilangan ritme. Sebuah proses normal saat-saat perpisahan, aku tahu. Tapi aku pulang membawa hati yang penuh dengan kenangan kalian semua. Kelas A yang super unik, dengan karakter kita masing-masing yang membuat kita saling melengkapi dan pada akhirnya tercipta sebuah kebersamaan indah. Kini memang tak harus berkumpul jam 5.30 pagi untuk senam pagi, minum teh sambil makan telor ehehe, nggak harus ikut kelas ataupun baris berbaris ala brimob, tapi semuanya akan terkenang dan tersimpan slalu. -kebersamaan kita-

Selamat kembali ke dunia masing-masing, selamat jalan, kawan!. Dunia membutuhkan tangan-tangan kita untuk terus berkarya dan menunjukkan prestasi. Aku bangga dan beruntung bisa mengenal kalian semua dengan potensi, kualitas dan personalitas yang luar biasa.
Semoga jalur hidup di masa mendatang akan membawa kita semua berkumpul lagi!
Miss U all...

Rabu, 11 Februari 2009

Isyarat Kegamangan

Bulir air hujan malam ini berteriak dalam diam

Bertanya kemana ia akan dijatuhkan

Sahdunya yang menduakan

Dilemanya yang membutakan

Membiaskan pesona yang telah menggelapkan nurani

Hingga kutampik setengah hati

Mengerjap tersenyum dan berbalik diam mengatupkan penjelasan

Merajuk hati berdamai lagi

Bilakah ia mau setuju, untuk kesekian kali

Hingga ia mendengar cerita si bangku tua

Tentang dua orang yang duduk bersama

Dengan tatapan mata penuh rasa

Tapi menyerah akan batasan pada akhirnya


Bangku Koridor LPMP. 8.febbraio.09 22:06


(Dibacakan pada lomba puisi, Prajab 2009. 11.02.09)