Kamis, 25 November 2010

The Tide Rises...The Tide Falls


Pernah terpikirkah bahwa suatu saat kalian akan dilupakan semua orang..ditelah waktu..ditelan bumi, dan keberadaanmu tak pernah ada lagi?

It sounds terrible right? Tapi bukankah cepat atau lambat hal itu akan terjadi? Kita sebagai manusia hanyalah sebuah noktah kecil dalam rentangan waktu yang sangat lebar. Duapuluh tahun lagi…lima puluh tahun lagi…seabad lagi…bila lingkaran waktu-sebagai ukuran manusia- masih terus berputar. Dimana kita dalam rentangan sejarah manusia yang begitu lebar itu?

Sebuah pertanyaan terlontar di antara sesi “speaking class” siang menjelang sore itu, “ mungkin anak..atau cucu kalian akan masih ingat bila kalian semua meninggal dunia, tapi kemudian..hanya tinggal nama yang teringat, lalu apa lagi?” Tanya Mr.Arif dengan gaya ekspresifnya saat membahas sebuah puisi karya Henry Wadsworth Longfellow bertajuk “ The tides rises the tides fall”

Pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan yang selalu bisa meluruskan lagi jalur-jalur hidup yang terkadang membelok-belok yakni,

“ Apa sih bedanya dunia tanpa kamu..dibandingkan dengan adanya kamu?” pertanyaan ini kalau tidak salah dilontarkan Rene Suhardono, pengisi acara Motivatalk yang rutin kuikuti itu. Maksudnya, keberadaan kita seharusnya bisa memberikan lebih banyak makna. Ironi nggak sih kalau dunia sama sekali tidak ada bedanya saat kita ada atau tiada? Bila tak bedanya, mungkin kita gagal memainkan misi pribadi yang seharusnya diperankan. Begitukah?

Pertanyaan ini juga membawaku ke pertanyaan lain yang sejalur yakni what is the goal of your life?” tujuan hidup, yang tentu berbeda artiannya dengan “target” ataupun “keinginan”. Tujuan hidup, yang apabila kita mati besok..atau sesaat lagi, tak akan pernah ada kata menyesal, karena kita telah berada dalam tujuan hidup yang kita tentukan, entah telah selesai atau belum..that’s not the point.

Pertanyaan ini berhasil membuatku berpikir ulang tentang jalur-jalur hidup, menyusun lagi beberapa hal, dan mengambil keputusan.

Tentang tujuan hidup, aku kembali teringat kalimat-kalimat Rene dengan gayanya yang santai dan semau gue itu..

Kagak peduli elu punya karir selangit, rumah mewah, mobil berapa, rekening di bank berapa..kagak penting itu..siapa peduli? Tapi..apa sih kontribusimu pada sesama manusia? Apa sih kontribusimu pada dunia? “

Humm…bila ada waktu, atau saat kalian tengah bersedia sejenak untuk “menghentikan hidup” cobalah memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu…

Hidup detik ini, saat ini..sudah seharusnya diisi dengan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Karena kita sedang membuat “jejak-jejak sejarah”

Dunia terus berjalan, berjalan dan terus berjalan…tak pernah peduli dengan bagaimana kita, apa yang tengah terjadi..

The day return, but never again

Return the travelers to the shore

The tide rises..the tide falls…

(oase kecil di tengah jalur-jalur hidup yang tengah membelok-speaking class, Tue 23 rd nov’10)


Rabu, 17 November 2010

Tuhanku, Yang Kukenal Hari Ini


Alloohu Akbar, Alloohu Akbar, Laa ilaaha illalloohu walloohu Akbar Alloohu Akbar wa lillaahil-hamdu). Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar dan kepunyaan Allah-lah segala pujian.

Gema takbir sedari kemarin sore berkumandang hikmat di surau dan masjid, pertanda hari Raya Idul Adha akan menjelang. Seruan itu…takbir yang mengagungkan namaMu itu..mengingatkanku akan Engkau yang kukenal…

Kalian mengenal Tuhan seperti apa? Apakah ada perbedaan perkenalanmu denganNya dari waktu ke waktu?

Saat kecil dulu, Tuhan kukenal sebagai “Si Penentu Dosa dan Pahala” atau “Hakim Agung” yang nantinya akan memutuskan manusia akan masuk surga atau neraka. Tuhan menyuruhku menjalankan salat lima waktu, puasa ramadhan, dan rukun-rukun iman dan islam lainnya. Kemudian dipagari dengan wejangan “ kalau bertindak begini dosa, kalau engkau puasa di hari “ini” pahalanya akan berlipat “sekian” kali dan sebagainya”

Begitulah dulu aku mengenalNya, seperti yang dikatakan kyai di surau tempatku mengaji, atau kata orang-orang yang sudah tua. Mungkin orang-orang tua sudah mengenal Tuhan dengan lebih baik karena mereka telah hidup lebih lama dariku, begitu pikirku dulu.

Lalu kehidupan berjalan, sampai pada di titik ini, hatiku terusik untuk kembali mempertanyakan, siapa Tuhan yang kukenal hari ini?

Tuhan yang kukenal saat ini, adalah Tuhan yang menciptakan sepotong senja yang ranum, ataupun hujan gerimis yang menyempurnakan saat-saat aku menyesap secangkir kopi. Tuhan yang meniupkan kerlip bintang-bintang di langit tua, yang sejak dulu kupandangi dengan takjub, kurangkai-rangkai dengan berpandu peta langit dan lampu senter di halaman rumah. Tuhan yang menciptakan orang-orang yang kemudian berpapasan jalur hidup denganku, dengan memberikan senyuman, cinta, hidup yang lebih berwarna, ataupun bahkan memberikan “soal ujian hidup”.

Tuhan yang menganugerahkan tempat-tempat di bumi yang begitu menarik, yang selalu ingin kujejaki. Yang membuatku menjatuhkan cinta pada tempat-tempat atau pada orang-orang yang terkadang tak terduga.

Tuhan yang diam dan tersenyum saat melihatku menarik-narik tanganNya, memaksaNya menuruti mauku, lalu menuntunku untuk akhirnya mengerti akan jalur-jalur takdir yang dijatuhkan. Tuhan yang selalu saja Maha Misterius yang tiba-tiba memberikan kejutan pada rencana-rencana hidup yang kususun rapi.

Tuhanku yang memberikanku kesedihan, saat-saat jatuh, serta kenestapaaan dengan maksud membuatku lebih kuat, tegar dan semakin luas mampu menerima kebahagiaan. Karena segala sesuatu terjadi untuk sebuah tujuan yang baik, aku ingin selalu percaya itu. Tuhanku, yang mewujudkan impian-impianku dengan caranya yang luar biasa unik, dan menjawab “pertanyaan-pertanyaan nakalku akan hidup” dengan caraNya yang ajaib.

Tuhanku yang kukenal hari ini, aku ingin belajar berbuat baik bukan karena embel-embel pahala atau surga. Rasanya sudah rikuh untuk menghitung pahala ataupun mengharapkannya. Beragama bukan jual beli, yang mengharapkan untung. Sudah sungkan pula meminta-minta surgaMu, serasa menjadi manusia yang mempunyai maksud tersembunyi dalam berbuat kebajikan.

Sungguh setuju aku dengan perkataan seorang sufi, Rabi’ah al-Adawiyah Seandainya aku beribadah hanya karena ingin masuk ke dalam surgaMu maka jangan Engkau masukkan aku ke dalam surgaMu. Begitu juga seandainya aku menjauhi maksiat, dosa, hanya karena takut dengan nerakaMu, maka masukkan aku ke nerakaMu

Bukankah dengan berbuat baik kita merasa menjadi manusia yang lebih baik, merasakan energi positif, dan merasakan cinta dari kebahagiaan diri sendiri dan orang lain. Berbuat baik bukankah ternyata bukan untuk siapa-siapa kecuali untuk kita sendiri? Bila sudah seperti itu, rasanya pahala sudah tidak terlalu menggiurkan lagi, karena justru ada rasa “surga” yang tercipta pada perbuatan kebaikan itu sendiri.

Tuhanku, yang kukenal hari ini…yang membiarkanku sebebas udara, karena Dia membuatku berkata “ Aku ingin menjadi diriku sendiri, dalam versi yang terbaik”, menjadi aku yang mengetahui makna bahagia, ukuran sukses dan ukuran “hidup” versiku sendiri. Dan mengenalMu menurut versiku sendiri…

Aku ingin mengenalMu secara pribadi, bukan berdasarkan apa kata orang lain. Karena untuk mengenalMu, mencintaiMu..seperti juga rasa cinta pada manusia, bukankah harus kukenal secara pribadi? Tiada yang lebih pribadi dari mencoba untuk mengenalMu dengan menjalani setiap lajur peristiwa dalam hidupku, dan menyadari hadirMu di situ.

Perkenalanku denganMu mungkin akan terus berubah seiring waktu, seiring peristiwa hidup yang terlalui, seiring sejauh mana perjalanan ke dalam diri yang kulakukan. Tapi satu hal yang selalu ingin kukatakan,

Tuhanku, “Aku suka menjadi manusiaMu

Minggu, 07 November 2010

Sebuah Paradoks Pagi

6.56 am. Jl Jember No 5 Malang

Pagi yang cerah, hangatnya sinar mentari menyelusup ke kamarku yang pintunya kubiarkan terbuka. Malang, biasanya sering mendapati paginya yang muram, makanya begitu menyenangkan mendapati pagi yang berbinar-binar seperti pagi ini. Secangkir kopi dan alunan “the music of my heart”-lagu jadulnya N’sync- melengkapi setting pagi ini, dan aku bersyukur untuk itu. Walau tak bisa pulang mudik ke rumah seperti teman-teman sekelas yang lain, tapi toh pagi ini tetap indah ;p

Sambil membuka-buka email, FB, mengucapkan ulang tahun pada beberapa sahabat yang berulang tahun hari ini, mengirim pesan, people need to be connected to everyone else right?

Beberapa kali mendapat pesan dari sahabat yang tengah menjadi relawan korban meletusnya Gunung Merapi. Terbersit rasa bersalah menikmati pagi seindah ini, tatkala jauh di sana banyak orang yang tengah menderita. Di antara barak-barak pengungsian, yang sumpek, gelap, sempit, dan ala kadarnya untuk menyambung sebuah kehidupan agar tetap berlangsung. Ah, Jogyaku menangis..wajah-wajah penuh nestapa itu, abu-abu yang menutupi kebahagiaan sementara, gemuruh suara Merapi yang meniupkan kekhawatiran dan keresahan. Kehidupan normal yang tercerabut, saat biasanya mereka bisa pagi-pagi menikmati santapan gudeg dan kopi panas, kini mereka tergantung pada pasokan nasi bungkus bantuan. Siapa yang tak lara hatinya, bila melihat tayangan di televisi (entah tayangan tersebut terlalu memblow-up atau tidak) begitu rupa penderitaan yang mereka rasakan. Belum lagi korban-korban Wasior, humm Indonesiaku, aku sedih melihat wajahmu kini. Bencana silih berganti mencerabut kehidupan orang-orang biasa, yang sudah sulit dengan kondisi ekonomi yang pelik.

But there’s a rainbow after every storm…hope so..kalau kita semua bisa belajar dari peristiwa, kita semua pasti menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi apakah Indonesia telah belajar dari bencana? Atau masih saja tuli dengan kata “peduli”?

Merapi mengingatkan lagi, memberikan kesempatan lagi,

Teringat ucapan seorang sahabat saat berbincang-bincang, walau konteksnya bukan tentang bencana tapi rasanya bisa kuambil pembelajaran yang sama. Menurutnya, Tuhan akan terus memberikan ujian-ujian yang “sama” bila pada ujian hidup yang lalu kita belum lulus.

Begitukah? Mungkin juga benar. Bencana-bencana yang sepertinya selalu bergantian datang mungkin adalah soal ujian-ujian yang masih sama, dan kita belum juga lulus.

Debu-debu Merapi menyampaikan pesan-pesan cinta

Pada mereka yang mungkin telah buta akan sesama

Atau telah terlalu tuli dengan kata peduli

Ia membawa cinta berbungkus duka,

Lihatlah cintanya, dan hapuskan duka

Untuk Indonesia, Untuk sesama manusia***

Minggu, 31 Oktober 2010

Seperti Momiji di Langit Kyoto (2)

Angin musim semi menghembus perlahan di taman di dekat Kuil Ginkakuji sore ini. Sengaja aku ingin menghabiskan waktu sambil membaca jurnal-jurnal bahan risetku. Tapi nyatanya pikiranku mengarah pada hal lain. Pada rasa bersalah yang sering kali datang menyeruak. Bilakah rasa cinta ini salah? karena hatiku menjatuhkan pilihan pada orang yang salah. Yah, mungkin bukan pada orang yang salah, namun tentu saja pada waktu yang salah. Mungkin benar cinta tidak pernah salah, namun ia juga bisa datang terlambat. Mungkinkah kebersamaanku dengan Mas Danar selama ini bisa dikategorikan ke dalam suatu perselingkuhan?What? perselingkuhan..kosakata yang memikirkannya saja aku merasa jijik. Aku bukan orang yang seperti itu. Bagaimana reaksi keluargaku bila tahu anak perempuannya yang dikenalnya sebagai perempuan baik-baik, berpendidikan tinggi mempunyai hubungan dengan seorang pria beristri?. Tapi saat seperti ini kemana cinta seharusnya diletakkan?

Tapi ini sungguh tidak seperti itu. Pikirku menenangkan diri. Kepalaku harus bisa mempengaruhi hatiku yang telah sewenang-wenang menjatuhkan pilihan. Entahlah, aku tidak begitu mengerti tentang cinta. Aku hanya tahu aku senang menghabiskan waktu untuk mengobrol apa saja dengannya, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal-hal yang serius, aku bahagia saat padakulah ia bercerita tentang apapun, ataupun kesenangan saat melakukan hal-hal kecil seperti memasak bersama sampai kebersamaan kami di laboratorium.

Oh Dita…kau benar-benar telah bermain api! Terdengar suara dalam diriku. Tidak! Aku menyayanginya, bukan hanya sekedar cinta eros, bukan cinta picisan. Entahlah, aku bingung, menghembuskan nafas perlahan. Memandang kuil eksotis yang keemasan di kejauhan. Turis-turis yang biasanya berkunjung untuk sekedar membuatnya sebagai background fotopun sudah beringsut meninggalkan kuil itu dalam kesendirian. Daun momiji kemerahan gugur perlahan diterpa angin musim semi menjelang sore. Hmm..kedamaian menyelusup dalam hatiku.

“Wah, ternyata ngumpet disini to Dik, kok nggak ngajak-ngajak mau momiji-gari kesini?”. Tiba-tiba suara yang begitu akrab di telingaku mengagetkan persenyewaanku dengan angin musim semi yang mengenyahkan daun-daun momiji dari tangkai-tangkainya.

“Kata Manami-san, kamu mau jalan-jalan sore ke Ginkakuji. Jadi aku susul kemari. Oh ya, ini aku bawakan sushi isi salmon. Ayo dicobain, ini resep dari Bang Ardan loh, kombinasi Jepang dengan selera Indonesia. Ah, Bang Ardan itu belajar genetika di Tokyo apa belajar masak, kayaknya pulang-pulang ke Medan dia malah ganti profesi jadi koki nanti ehehehe”. Senyumnya mengembang, nampak begitu tampan dengan gurat-gurat kematangannya. Seperti biasa candaaannya yang selalu membuat hariku menyenangkan. Ia menempatkan diri di sampingku, tanpa sungkan mengambil setumpuk buku-bukuku dan meletakkan di pangkuannya. Dengan segera ia membuka tas dan mengeluarkan kotak makanan, menyorongkan segera padaku.

“Wah, terima kasih, mas. Kebetulan belum makan siang tadi.” Tanpa menunggu lama, aku juga langsung melahap sushi isi salmon bikinan Mas Danar yang ternyata rasanya tak kalah dari bikinan restoran Jepang yang biasa kami singgahi di daerah Kamogawa. Aku menggeser letak dudukku agar tidak terlalu dekat dengannya, membetulkan letak rok panjang batikku yang disapu hembusan angin. Dan seperti biasa kamipun berceloteh tentang apa saja. Tentang pekerjaan di laboratorium, teman-teman di Universitas Kyoto, Professor Yamaguchi yang tengah sakit, dan tentang kami, pada akhirnya.

“Dik, aku tidak tahu. Mengapa saat-saat bersamamu aku selalu merasa nyaman. Merasa..aku menjadi diriku sendiri.” Kali ini perkataan Mas Danar yang serius membuat jantung berhenti berdetak beberapa detik . Matanya mencari-cari mataku.

“Uhmm..maaf, Dik. Aku tidak tahu. Sungguh, benar-benar tidak mengerti tentang apa yang terjadi di antara kita. Aku senang saat bersamamu, saat menghabiskan waktu melakukan hal remeh temeh denganmu. Apa saja, asal bisa bersamamu. Melihat kau baik-baik saja, melihat senyummu yang berbinar, melihat kau bahagia dengan kehidupanmu, aku bahagia.” Suaranya menggema di telingaku, membuat pandanganku berkabut. Aku tak berani memandangnya. Jantungku berdenyar hebat. Kulemparkan pandanganku pada onggokan daun momiji yang telah menyerah pada angin musim semi. Tak sanggup ia menentukan pilihan kemana angin akan membawanya pergi. “Bukan..bukan karena aku seorang laki-laki kesepian di negeri orang yang butuh penghiburan. Bila itu yang kau sangkakan. Tidak begitu, aku yakin sekali bukan begitu. Aku tidak pernah mengenal betul arti cinta. Bukan cinta yang kukatakan saat umur belasan saat ucapan cinta diobral. Ataupun bukan kalimat yang kuucapkan pada istriku dulu saat memintanya sebagai pendampingku. Dan, mungkinkah ini cinta?” Kata-katanya kali ini mengambang di udara. Menciptakan kegamangan rasa yang sama.

”Ah..lupakan saja kata-kataku barusan. Sungguh tidak sepantaskan aku mengucapkan hal seperti ini terhadapmu. Maaf.” Matanya luruh, mengarah pada kuil Ginkakuji. Ada kekosongan yang terkuak di sana. Hatiku dilanda gempa bumi. Kata-katanya menggoyahkanku, membuai hatiku sekaligus mengoyaknya pada saat yang bersamaan. Melunglaikan syaraf-syaraf kepalaku, membiarkan hati menentukan pilihannya sendiri. Mungkinkah Mas Danar benar-benar cinta padaku? bukan luapan emosi sesaat? bukan kekosongan rasa lelaki kesepian di negeri orang? Tapi walaupun itu benar adanya, cinta yang diakhiri dengan saling memiliki sekali lagi bukan tujuan pada akhirnya.

” Setauku cinta tidak pernah memerlukan kata maaf, Mas. Aku yakin tidak ada cinta yang salah, walaupun itu datang terlambat. Akupun tak bisa mengatur nasib hingga mencintaimu di waktu yang salah, tapi aku yakin cintaku takkan salah.” Luncuran kata-kataku gamang di udara. Ups..tidak! Kalimatku dengan gamblang menjawab pernyataan cintanya. Matanya mendongak ke arahku, tepat pada mataku. Aku terhenyak sejenak. Ia sungguh nampak begitu mempesona dengan kematangannya. Uff..ada yang menusuk dalam dadaku.

Aku ingin mencintaimu dengan cara yang kuyakini benar, mencintaimu dengan nuraniku. Walaupun terasa sulit, karena aku tetaplah seorang wanita yang masih mempunyai hasrat memiliki. Tapi, aku tidak mau membuat cinta menjadi sebuah kesalahan, terima kasih telah hadir dalam hidupku, Mas.” Entahlah apa yang kuucapkan benar atau salah, aku sudah tidak tahu lagi. Hanya ingin melakukan sesuatu yang kuanggap benar. Walaupun ada setan-setan yang berbisik, ”Dengar Dita, ia mencintaimu juga!Ada banyak cerita indah yang menanti kalian bersama di jalan ke depan!”. Bisikan itu kuenyahkan segera. Bukan untuk membunuh cinta, tapi memastikan jalannya agar tak tersesat.

Ia tersenyum lembut ke arahku. Entah apa maknanya, aku tidak tahu.

”Terima kasih, Dik. Aku mengerti. Kita memang tidak pernah bisa memilih kapan datangnya cinta, ataupun kepada siapa cinta akan dijatuhkan, tapi kita bisa memilih untuk tetap mensikapi cinta dengan cara yang benar.” Senyum kelegaan mengembang di wajahnya, sepertinya ia pun dihinggapi rasa bersalah yang mendalam sebelumnya, sama sepertiku. Namun ada pias di matanya yang tak juga aku mengerti maknanya.

Langit Kyoto yang sedari tadi mendung, mulai meneteskan bulir-bulir air hujan. Ia menarik tanganku untuk segera menepi, menghindarkan diri dari hasrat yang bertopengkan cinta dan mendengarkan lagi nurani. Cintaku yang kali ini seperti daun-daun momiji di puncak musim gugur yang merona merah keemasan, namun harus rela lepas dari tangkainya saat musim berlalu. Namun langit akan selalu mengingat momiji pernah menghiasi dengan keindahan nuraninya.

****