Secangkir kopi susu,
lagu-lagu di youtube dan report yang menanti direvisi. Tapi seperti biasa, ada
sesuatu dalam otakku yang ingin dikeluarkan. Kadang lebih baik menuliskannya
dulu daripada membiarkannya menyumbat isi kepala. Aku memang biasanya begitu,
walau entah apa yang ada dalam pikiranku sebenarnya. Tak ada atau terlalu
banyak? Ehehe.
Pernahkah kalian,
bergerak ke pinggir sejenak dan mengamati.
Mengamati orang-orang
di sekitarmu, ternyata otomatis menjadi sebuah refleksi diri, mengamati diri
sendiri. Hidup sekarang lebih banyak terdistraksi oleh banyak hal. Begitu
membuka timeline twitter, facebook ataupun BBM. Semua orang bergerak, pun
dengan pemikirannya masing-masing, bising. Terkadang bising, apalagi aku turut
bergerak. Mereka menyuarakan apa yang menurut mereka benar, baik, membuat
bahagia atau banyak hal lainnya. Akupun ternyata demikian, aku mengamati diriku
sendiri. Aku bergerak menyuarakan apa yang kuyakini, apa yang menjadi benih
pikirku.
Namun kadang,
bergerak ke pinggir dan mengamati dari kejauhan ternyata bisa lebih memandang
semuanya jauh lebih jelas. Memandang diri sendiri juga menjadi lebih dalam.
Ada banyak kata-kata
defending, penjelasan atas kalimat atau
perkataan yang mungkin menggangu hidup mereka. Aku banyak membacainya,
mengamatinya. Pun pernah melakukan itu. Misalnya saja agak terganggu dengan
teman yang tiap kali mengajak ngobrol, tema favoritnya adalah : kapan nikah? Jangan
lama-lama menikmati kesendirian dan bla bla. Bila sekali dua kali, cukuplah
kujawab dengan senyuman, atau candaan, atau jawaban “doakan saja”, sebuah kalimat
formalitas yang pasti dipakai banyak orang lainnya. Tapi bila berkali-kali,
tentu saja jujur itu menganggu. Tak adakah topik menarik yang lainnya untuk
diperbincangkan? Basa basi atau perhatian ala kultur masyarakat Indonesia
memang kadangkala wagu.
“ Kalau belum nikah, ditanya kapan
nikah? Kalau udah nikah, ditanya kapan punya anak. Tapi kalau habis melayat,
nggak ada ya yang nanya kapan nyusul?” jawabku. Tak biasanya aku bereaksi
seperti itu. Masalahnya aku lupa menghitung berapa kali temanku menanyakan
itu-itu lagi, walau dengan variasi pertanyaan. Kadang antara perhatian dengan
membuat jengah bedanya tipis dan subjektif.
“ Ih, kamu kok ngomongnya begitu”
balasnya sedikit tak menduga balasanku.
“ Bukankah rejeki, jodoh, keturunan
dan mati itu takdir Tuhan? Secara logika sama dong. Kita nggak tahu kapan kita
mati, nggak tau kapan dianugerahi anak, begitupula jodoh”.
Tik Tok Tik Tok, Diam.
Lalu temanku tadi
mengalihkan pembicaraan. Ahaha aku nggak
segitunya kok kalau cuman ditanya sesekali. Sangat maklum dengan pertanyaan
macam begitu. Hanya kadang bila berlebihan, sepertinya patut untuk memberikan
lawan bicara signal bahwa aku tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan
tertentu yang menyudutkan.
“Kamu nyari yang kayak apa lagi sih?
Jangan nyari orang yang sempurna, nggak ada orang yang sempurna. Kamu itu apa
susahnya sih, tinggal tunjuk aja siapapun mau kok. Jangan karir terus yang
dipikir, jodoh juga dong. Karir setinggi langitpun dikejar nggak ada habisnya,
mikir umur juga lah”. Dan banyak lagi yang lain, bila
dikumpulkan pasti bisa berlembar-lembar hehe.
Aku sensi? Nggak juga.
Ada banyak teman-teman yang bereaksi lebih keras dari aku. Biasanya aku jarang
bereaksi bila memang orang itu tidak berlebihan. Oke fine, itu memang kultur
dari basa basi, atau anggap saja sebagai sebentuk perhatian.
Seorang teman yang
mungkin sering menghadapi “soft bullying” ini sampai menulis di statusnya :
kalo
orang tanya "kamu kapan nikah?" itu ibarat kita nengok org sakit trus
tanya "kamu kapan mati?" kami
yg belum nikah ato mereka yg sakit pasti sudah ato sedang berusaha
"keluar" dari kondisi itu. it's the matter of time. and you never
know how hard we've tried.
Dan di statusnya itu masih
saja masih ada juga yang komen nyelekit juga huaaahahaha...ahaha yeah right, stop to please everybody!
Kadang orang tersebut
tak sengaja untuk membuat kita tidak nyaman. Tapi tentu saja, bila kita sampai
dalam posisi tidak nyaman, mengkomunikasikan dengan kata dan cara yang tepat
sepertinya melatih kita seni berkomunikasi dengan dewasa.
Biasanya orang yang judge more, know less. Biasanya
orang-orang terdekat yang tahu kita justru jarang yang kepo macam-macam. Mungkin
karena mereka tahu aku sebenarnya lebih tertarik menyiapkan sarapan pagi untuk
suami daripada berurusan dengan sel-sel di laboratorium #ahaha. Bahwa ada
kumpulan resep masakan di folder bersebelahan dengan folder riset doktoralku#ups.
Dan si Mita ngakak melihat koleksi cerita anak-anak di rak flatku#eh. Tapi
kepanjangan kan kalau harus menjelaskan? Hihi..
Hal di atas hanya
contoh kecil dari judgement yang gampang dilontarkan orang. Mungkin aku juga pernah
menjudge orang lain. Tapi menurutku, setiap orang hidup dengan pertarungannya
sendiri-sendiri, dengan jatah ceritanya sendiri-sendiri. Dengan hal yang
membuatnya bahagia masing-masing.
Aku dengan
pertarunganku sendiri, dengan mewakili rasaku sendiri. Kamu juga, kalian juga.
Semakin banyak aku mendengarkan sahabat yang bercerita padaku, semakin yakin
aku dengan pernyataan itu. Setiap manusia menghadapi pertarungannya masing-masing.
Kadang-kadang perlu
bilang dalam hati “Mind your own bussiness” urusin saja urusanmu sendiri.
Kadang memberikan benteng dari energi-energi negatif lebih membuat hidup
menjadi lebih positif. Jadi mari belajar memfokuskan pada hal-hal yang positif.
Aku tak perlu
mencontek apa yang membuatmu, membuatnya atau membuat kalian bahagia. Aku bahagia
dengan secangkir kopi susu atau teh manis, senja yang lembut, laut, puisi,
senyummu, candamu, hadirmu..eh eh kebanyakan kamunya ahahaha. Tapi mungkin
kalian bahagia dengan belanja di mall, merajut, bekerja, atau gitaran
barangkali..berbeda masing-masing manusia.
Kita adalah rasa yang
kita wakili sendiri-sendiri.
Selamat menghadapi
pertarungan kita masing-masing dengan berani.
#ini tulisan random
amat yaaa ahaha...mari kembali ke report.
Mingu yang penuh
rindu. Glasgow, 23 June 2013. Menanti Maghrib.