Kamis, 16 Juni 2016

Andai






Beberapa saat ini saya berpikir,
Andai saja manusia tugasnya untuk berbahagia,
Mungkin hidup menjadi lebih sederhana.
Namun sayangnya,
Manusia sering dibebani tugas dan tuntutan yang berjenis jenis itu
Yang seringkali itu terlihat menjadi lebih penting,
Bahkan orang mungkin lupa, untuk mempertimbangkan dan menanyakan
Are you happy?
Andai saja manusia tugasnya cukup untuk berbahagia,
Mungkin hidup menjadi lebih sederhana.

Salam 

Selasa, 31 Mei 2016

Cerita Mei






Mei yang gaduh, sehingga entah kenapa tak satu pun ada postingan yang muncul di blog ini hehe. Tak ada waktu untuk menuliskah?
Hidup memang bertambah sibuk, berkejar kejaran dengan jadwal dan waktu. Dengan ini dan itu. Tapi bukan berarti tak ada waktu untuk menulis.
Kita tidak bisa bilang “tak ada waktu untuk seseorang, atau sesuatu yang kita cintai”—
Saya tidak bisa bilang, tidak ada waktu untuk menulis. Karena nyatanya memang tidak demikian, walaupun bagaimanapun kesibukan saya.
Seseorang, sesuatu, apapun yang kita cintai selalu memunculkan alasan untuk menjadikan sebagai prioritas. Karena itulah alasan ketiadaan waktu menjadi tidak relevan.
Saya jarang menulis, karena..satu-satunya yang terpikir oleh saya saat ini ketika hendak menulis adalah soal rindu. Dan saya hendak mencegah itu.
Begitu saya mulai menggerakkan kata-kata, hati dan pikir saya menuju pada tempat di ujung sana. Dan akhirnya apa yang dulu saat khawatirkan sebelum saya pulang, terjadi juga. Itulah yang dengan segala upaya, ingin saya tepiskan.
Lalu kemana langkah-langkah upaya yang selama ini mendekat untuk senantiasa belajar bersyukur? Ah manusia.
Begitulah, sepertinya bulan ini dalam bawah sadar saya, saya hendak mencegah menebarnya kalimat-kalimat pengandaian-pengandaian, dan rindu yang tak bisa ditampik itu.
Bagaimana hidup sekarang, jalani..itulah yang ingin saya tiupkan pada tiap tiap langkah hari.
Mei yang gaduh. Kuliah yang bertumpuk-tumpuk, kemudian saya mulai mencoba iseng bisnis decoupage, penelitian, begitulah hidup saat ini.
Jauh di dalam hati, saya rindu menulis sepotong senja yang ranum, pagi hari dengan matahari yang mengintip dari arah timur, suara katak-katak dini hari yang sering menemani saya terjaga.
Saya rindu menuliskan percakapan-percapakan di kepala, tentang harapan, ataupun tentang kenyataan yang pahit sekalipun.
Tapi tidak kali ini.
Hati saya terlalu sesak oleh rindu.
Mungkin, pada tulisan tulisan berikutnya, kau akan jumpai cerita-cerita yang lain, petualangan yang lain, pemikiran yang lain.
Tapi tidak kali ini.
Mungkin nanti.
 

Selasa, 05 April 2016

Expand Your Comfort Zone




Apa sih yang diinginkan manusia ini? Udah nyaman-nyaman trus disuruh berubah, katanya “kamu nggak akan berkembang atau sukses kalau terus berada dalam zona nyamanmu!”
Sering denger kalimat begitu kan?
Saya juga salah satu yang menganggukkan kepala dan mengaplikasikan kalimat tersebut dalam hidup saya. Terbukti lumayan manjur untuk tetap melekatkan semangat di dalam diri kala kesulitan dan hambatan datang menghadang saat perubahan-perubahan di saat keluar dari zona nyaman terjadi.
Berani memutuskan untuk keluar dari zona nyaman memang “nggak nyaman” karena perubahan awalnya memang membawa serta efek bawaan yang seringkali tidak menyenangkan.
Gede Prama memutuskan untuk berhenti dari kursi tertinggi dunia korporasi di usia yang masih relatif muda dan memutuskan kembali ke Bali, mengajar dan menulis buku-buku tentang spiritual. Fadh Dijbran, memilih untuk berhenti jadi PNS sebuah lembaga pemerintahan dan kemudian fokus menjadi seorang penulis dan founder inspirasi.co.
Rene Suhardono, berhenti dari bankir kemudian menjadi seorang career coach. Itu beberapa contoh orang-orang yang sukses dengan memutuskan untuk mengikuti passionnya, dan keputusan mereka tersebut tentu saja awalnya pasti harus melewati “keluar dari zona nyaman”.
Contoh kecilnya bisa jadi seperti memutuskan untuk melanjutkan studi S3, memulai berbisnis sendiri, mengambil pekerjaan baru dll. Semuanya butuh keberanian.


Lalu apa sih yang sebenarnya dicari? Sejatinya kan manusia itu secara naluriah menginginkan kenyamanan. Lalu kenapa harus repot-repot “keluar dari zona nyaman” sih?

Saya pernah membaca sebuah cerita tentang seorang lelaki nelayan, yang hanya bergi berlayar dan menangkap ikan untuk kebutuhan keluarganya hari ini dan esok. Suatu saat seorang asing datang ke pulau itu dan bertanya :
            “ Kenapa  kau tidak berlayar dan menangkap ikan lebih banyak lagi? Kau bisa menggunakan alat yang lebih baik agar hasil tangkapanmu lebih banyak,” kata si orang asing tadi.
            “ Lalu kalau hasil tangkapanku lebih banyak kenapa? Tangkapanku sehari-hari sudah cukup, dan aku punya banyak waktu luang untuk bersantai. ” tanya si nelayan.
            “ Kau bisa memperbaiki rumahmu, kau bisa menyekolahkan anak-anakmu. Mungkin kamu bisa memperkerjakan orang-orang, atau membangun sesuatu untuk masyarakat desamu.” Jelas si orang asing tadi.
            “ Lalu setelah semua itu?” si nelayan terus bertanya.
        “ Lalu kau bisa menikmati masa tuamu dengan lebih banyak waktu luang untuk beristirahat dengan nyaman,” tambah si orang asing tadi.
            “ Bukankah tanpa harus melakukan semua itu aku sudah mendapatkannya sekarang?” kata si nelayan.
Begitu sih inti ceritanya, saya lupa membaca dimana. Waktu saya membaca cerita itu pertama kali saya manggut-manggut, humm benar juga ya kata si nelayan tadi. Toh nggak usah repot-repot, dia sudah mendapatkan apa yang dikatakan orang asing tadi.

Tapi beberapa saat lalu saya berpikir, ada sesuatu yang kurang pas di sini. Mungkin dengan tetap di zona nyamannya, si nelayan masih akan tetap bisa memenuhi kebutuhan makan dirinya dan keluarganya dan tetap mempunyai banyak waktu luang untuk bersantai santai dan beristirahat.
Tapi si nelayan itu tidak pernah berkembang. Padahal dia punya kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidupnya bahkan memungkinkan untuk berbuat banyak untuk komunitasnya.
Itu sih yang saya pikirkan mengenai cerita di atas tadi. Si nelayan itu enggan keluar dari zona nyamannya dan tidak bisa berkembang.
Dari situlah saya jadi agak mengerti untuk apa sih manusia harus repot-repot keluar dari zona nyamannya? Udah nyaman-nyaman, kok harus berubah.
Kita harus memperluas zona nyaman kita. Mungkin begini alurnya.
Pertama kita memutuskan sesuatu yang mengharusnya kita keluar dari zona nyaman. Lalu terjadilah masa transisi, kebaruan-kebaruan yang kadang tidak menyenangkan, ketidaktahuan dan ketidakpastian akan masa depan, stress, dan segala macam bawaan dari perubahan itu biasanya akan terjadi.
Lalu kemudian kita akan beradaptasi untuk menghadapi kondisi-kondisi tersebut di atas, lalu pelan-pelan kita mulai “merasa nyaman”. Kemudian siklus itu akan berulang kembali. Tapi apa yang membedakan antara si nelayan tadi dengan orang yang mau keluar dari zona nyamannya?
Orang yang berani keluar dari zona nyamannya akan bertumbuh, berkembang. Zona nyamannya meluas, terus meluas, seiring dengan perkembangan laju hidupnya. 


Ah itulah, mari terus berani memperluas zona nyaman kita. Jangan pernah putus urat perjuangan kita, tapi nikmati setiap lajunya dengan selebrasi-selebrasi penuh bahagia.
Salam bahagia.


           
 

Minggu, 13 Maret 2016

When "They" Don't Want You To Grow





Hari ini saya membaca kembali “Feel Fear and Do it Anyway”-nya Susan Jeffers, dan menemukan bab yang cocok dengan apa sedang saya alami. Ketika membaca bab “When They don’t want you to grow”, rasanya pas banget dengan apa yang tengah saya hadapi. Awal-awal kepulangan saya dari Glasgow, saya agak merasa aneh, ketika menemukan saya yang berasa nggak “pas” di lingkungan saya yang lama. Ada sesuatu yang tidak sefrekuensi. Iya, saya banyak berubah. Dan mungkin orang-orang sekeliling saya tidak siap menerima perubahan saya atau secara bawah sadar mereka bersikap “don’t want me to grow”.

Kenapa yah, kok saya tidak sefrekuensi lagi dengan sahabat-sahabat lama saya yang sudah bertahun-tahun bersahabat.
Itu yang pernah saya rasakan. Tadinya muncul rasa bersalah, ketika saya tidak seantusiasme dulu untuk bertemu, atau saya menjadi sangat pemilih untuk berbagi cerita, atau saya merasa percakapan hanya sekedar basa basi menyambung silaturahmi. Selain ada rasa bersalah, ada pula muncul rasa sedih.
Persahabatan seperti juga jenis hubungan yang lainnya, membutuhkan upaya dua pihak untuk terus berjalan dan bertahan. Tapi lama kelamaan kenapa saya mengontak mereka ataupun membalas kontak mereka hanya karena ingin tetap menjalin silaturahmi.
Disitulah, saya merasa bersalah. Tapi saya juga tidak bisa membohongi perasaan saya bahwa saya membutuhkan persahabatan yang..ah, saya sampai tak sampai hati untuk mengatakan “yang lebih dari sekedar itu”.
Saya membutuhkan percakapan yang sehat, yang suportif, positif dan sefrekuensi.

Dan kini saya memang menemukan sahabat-sahabat baru, yang saya jumpai dalam perlintasan-perlintasan hidup saya. Dan saya merasa nyaman bicara dengan sahabat baru saya, merasa sefrekuensi dan menemukan partner bicara yang pas.
Dan disitulah kadang-kadang saya merasa seperti “meninggalkan” sahabat-sahabat lama saya.  Di situlah rasa bersalah itu kadang muncul.

“ The people in your life is good indicator of where you are operating on an emotional level. Like attract like. As you begin to change, you will automatically draw and be drawn to different kind of person” (Susan Jeffers)

Tapi memang begitulah ternyata, seiring pertumbuhan diri, orang-orang yang bersama kita juga berbeda. Saya tetap berusaha untuk bersilaturahmi dan kontak dengan sahabat-sahabat lama saya, tapi saya tidak mengelak bahwa perubahan memang ada.
Semakin lama saya menyadari, kita nggak butuh punya banyak teman kok. Pada akhirnya kita hanya butuh beberapa orang terdekat yang menjadi support system kita, yang suportif pada pertumbuhan dan perkembangan kita.

Begitu pula di lingkungan-lingkungan yang lain, saya banyak menarik diri ketika kebanyakan mereka adalah “Moan and Groan Society”. Pernah nggak sih memperhatikan pembicaraan-pembicaaran di sekitarmu kebanyakan isinya apa? ngeluh, nggosipin orang, dan pembicaraan beraura negatif lainnya. Males kan. Stop feeding yourself negative thought!

Aura negatif itu menular, semacam polusi pikiran. Yang lebih berbahaya lagi, kalau lama-lama bisa ketularan untuk ikutan ngobrolin hal-hal yang negatif. Itulah kenapa disebut Moan and Groan Society, karena mereka menemukan“saling” yang pas. Dengan alasan itulah, saya menjadi selektif. Bukan saya sok pilih-pilih atau apalah, tapi saya merasa nggak “pas”  di antara mereka-mereka. Ujian saya yang masih sangat pemula soal belajar positive life ini menjadi sangat berat kalau sering-sering berada di lingkungan yang negatif hihi.

Saya tengah belajar untuk tetap mengusahakan positive thought-positive life dan  salah satu yang penting adalah bagaimana menjaga agar lingkungan sekitar pun positif. Kadang-kadang hal ini membutuhkan upaya yang ekstra, apalagi ketika ketika aura negatif itu berasal dari orang-orang yang di sekitar kita.
Nggak mudah memang. Dikira sombong, adalah reaksi yang sering kali didapat. Dan disitulah saya harus banyak lagi belajar bersikap, bagaimana tetap mengupayakan lingkungan yang positif dan tetap mempunyai relasi yang baik dengan berbagai komunitas.

Apa yang lebih penting adalah “awareness”-kesadaran bahwa saya-kita sedang belajar. Kadang-kadang hidup dengan segala rutinitas, kesibukan, crowdednya orang-orang di sekitar kita membuat kita terlupa. Upaya untuk tetap positif adalah latihan terus sepanjang hidup, kalau tidak dilatih lama-lama pendulum juga akan bergeser ke arah yang negatif. Kehidupan yang berjalan bisa membuat kita lupa. Karena itulah, membaca lagi buku-buku yang mengingatkan saya kembali tentang pertumbuhan diri, tentang seperti apa sih hidup yang saya inginkan, sangat membantu saya untuk menemukan “awareness” itu lagi.

Kita sering lupa bahwa kita mempunyai kemampuan untuk memilih seperti apa hidup, orang-orang dekat kita, lingkungan seperti apa yang menghiasi kehidupan kita.
Uhmm..lupa atau tak punya keberanian untuk memilih?
Saya tinggalkan pertanyaan ini untuk anda.         

Purwokerto, 13 Maret 2016. Sehabis hujan.