Selasa, 13 November 2018

Kacamata tentang Kebahagiaan




Hari ini tak sengaja mendapati postingan Mas Andi Arsana, dosen Geodesi UGM di IG story-nya, tentang perjalanannya menuju sebuah meja yang merupakan titik temu antara tiga negara Slovakia, Hongaria dan Austria setelah mengikuti lomba the Falling Walls Lab di Berlin, Jerman. Jadi kalau duduk di meja segitiga itu, kita berada di tiga negara yang berbeda. Untuk sampai di situ, dari Ig story-nya beliau bercerita harus terbang dari Berlin ke Wina, kemudian ke Bratislavia naik bus, lalu menyewa supir taksi untuk menuju ke meja segitiga itu. Sempat mereka berhenti dan kebingungan untuk mencapai tempat itu. Sepertinya lokasinya sulit dijangkau, sampai harus jalan kaki..dan sampailah ia ke meja berbentuk segitiga, dengan tiga kursi panjang yang mengelilinginya. Dengan muka penuh antusias, beliau mengucap dalam videonya,

            “ Hey akhirnya sampai juga...ini adalah meja yang menandakan tiga negara..bla bla..bla..”
Saya mengeryitkan dahi, hanya kayak gitu doang tempatnya? Heheh...namun, sedetik berikutnya saya kembali diingatkan..betapa nilai sesuatu menjadi sangat berbeda bagi setiap orang. Bagi seorang Mas Andi yang selama ini bergelut di dunia perbatasan, mungkin itu keinginan yang sudah dipendam sejak lama. Hingga bisa mencapai tempat itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
Seperti juga saya diingatkan pada seseorang yang mengirimkan pesan via FB messenger ke saya. Si bapak yang tidak saya kenal sebelumnya itu bercerita akan ke Edinburgh, dan dia nanya apakah saya tahu dimana makamnya Adam Smith. Dia tahu kalau Adam Smith itu dimakamkan di Canongate Kirkyard Edinburgh, tapi dia nanya siapa tau saya tahu ancer-ancernya. Ya ampun, biasanya orang ke Edinburgh itu ya pengennya ke tempat seperti Kastil Edinburgh ataupun Calton Hill. Lha ini, niat banget pengen nyari kuburannya Adam Smith!
            “Saya dulu itu terinspirasi Adam Smith gara gara dosen saya banyak cerita soal Adam Smith,” si bapak itu bercerita.
Hal tersebut semakin mengingatkan saya bahwa tiap orang punya kebermaknaan hidup yang berbeda masing-masing.
Hal hal yang menurutmu luar biasa, bagi orang lain mungkin saja hanya receh. Ataupun sebaliknya, hal hal yang menurutmu biasa saja, bisa saja menjadi hal luar biasa jadi orang lain.
Ada orang yang merasa keliling ke berbagai negara itu menantang dan memuaskannya, namun ada orang yang kepuasannya ada pada membuat kreasi craft, memastikan anaknya hapal Juz sekian, atau ada pula yang menilai kebermaknaannya pada dedikasi pada pekerjaannya.
Tiap manusia rasanya punya pijar kebahagiaannya masing-masing, yang tentu saja berbeda-beda.
Namun yang saya jumpai, kadangkala orang memakai kacamatanya sendiri untuk melihat kebermaknaan orang lain. Orang memakai standarnya sendiri, untuk melihat orang lain.
Memang dalam perjalanan hidup manusia, ada hukum yang tak terucapkan bahwa ada beberapa hal yang dijadikan standar pencapaian hidup seseorang. Dimana ada alur menjalani bangku sekolah, kuliah, mencari pekerjaan, menikah, punya anak, yang rasanya ada timeline tertentu yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Hingga orang orang yang tidak sesuai dengan timeline itu, sepertinya menjadi “orang yang berbeda”.
Saya dalam beberapa kesempatan interaksi sosial adakalanya merasa “direndahkan” hanya karena belum menikah. Bahasa-bahasa yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit tersampaikan bahwa “saya sudah, kamu belum”. Beberapa orang merasa “lebih” karena mereka sudah, dan saya belum. Memang ada orang orang yang mengganggap menikah itu pencapaian, ada pula yang enggak lho. Jangan lupa.
Tekanan sosial juga bukan main derasnya lho bagi para barisan “belum menikah” seperti saya. Masih ditambahi judgement-judgement mereka sendiri, tanpa ingat bahwa tiap orang punya ceritanya sendiri yang tidak perlu dibagikan pada orang lain.
Sama halnya dengan pasangan yang belum punya anak misalnya. Ada sahabat saya yang mengalami tekanan baik dari sosial umum, bahkan dari keluarganya hanya karena ia belum hamil juga. Ada sahabat saya lainnya juga yang baru baru ini mengunggah tulisan di IG storynya. Ia baru saja wisuda PhDnya di salah satu universitas di UK. Sepertinya ada orang yang berkata padanya begini :
            “ Kapan nih mbak punya anak. Apa nggak pengen punya anak kayak keluarga-keluarga yang lain?”
Ya ampun basa basi-nya sadis banget sih menurut saya. Kita nggak tahu apa yang telah diupayakan sahabat saya itu selama ini untuk memiliki momongan. Ataupun kita juga nggak tahu apakah sahabat saya itu memang pengen punya anak atau tidak. Bukan hak kita untuk tahu.
Banyak orang bertanya tentang “Kapan?” yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan.
Menilik lagi pada kisah di atas tentang Mas Andi dengan meja segitiganya atau si bapak dengan kuburan Adam Smithnya. Tiap manusia punya ceritanya masing-masing. Punya pijar bahagianya sendiri-sendiri. Punya apa-apa yang dirasa penting, berharga, bermakna dan apa yang membuat bahagia..sendiri sendiri.
Tidakkah hidup menjadi lebih tenang, ketika kita bisa saling menghargai hal-hal yang sangat pribadi itu?
            “Mesakke (kasihan banget) mbak , di rumah sendirian. Sepi banget pastinya”
Orang lupa, bahwa kalau dia merasa lebih bahagia dengan  hidup ramai, di tengah banyak orang..belum tentu orang lain. Ada orang yang lebih nyaman sendiri, walau tetap menikmati berinteraksi dengan orang lain, tapi ia butuh mencharge energinya dengan lebih banyak sendiri. Saya stress lho kalau terlalu lama harus berada dalam pertemuan banyak orang. Iya, tiap orang punya keunikannya masing-masing..hal ini yang seringkali dilupakan.
Sayangnya, beberapa orang masih memandang kebahagiaan orang lain dengan standar kacamatanya mereka sendiri. *** 


Minggu, 20 Mei 2018

Menuju Glasgow (Lagi)

I miss The Old ME



Dalam hidup, pasti kita punya suatu rentang waktu yang rasanya merupakan “the best moment in life”. Suatu waktu ketika hidup berjalan indah dan membahagiakan. Sehingga ketika suatu saat hidup terasa berat, banyak dilanda kekecewaan ataupun terasa berjalan membosankan. Ada keinginan untuk kembali “ke masa-masa indah” itu.
Kalian pernahkah merasakan seperti itu?
Bagi saya, masa-masa hidup di Glasgow adalah masa-masa yang membahagiakan, tenang dan damai sekaligus penuh kenangan indah.
Walaupun sebenarnya bila ditengok secara mendetail sebenarnya hidup saya di Glasgow termasuk masa-masa berat, harus menyelesaikan studi S3 dengan segala rintangannya, pun harus berjuang dengan beasiswa yang mepet serta sering terlambat cair. Ada banyak airmata, tapi memang lebih banyak tawa ceria.
Sometimes, I miss the old me!
Saya yang penuh senyum tawa ceria. Karena walaupun ada banyak masa-masa sulit, tapi ketika saya pulang ke tanah air, apa yang saya kenang dari kehidupan di Glasgow adalah masa-masa indah.
Kebetulan, dua tahun terakhir ini saya mengalami banyak hal-hal berat dalam hidup. Kehilangan bertubi-tubi, pekerjaan yang semakin menyita waktu dan energi, serta rangkaian peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan bagi jiwa.
Saya sungguh butuh jeda.
Bila sudah seperti itu, ada terbersit rasa "andai bisa kembali ke Glasgow lagi, mungkin hidup akan lebih tenang.”
Memang seharusnya kebahagaian, ketenangan dan kedamaian hidup ditemukan di dalam diri. Sehingga dimanapun kita berada, tidak mengubah ketentraman di dalam diri. Iya, harusnya begitu teorinya. Tapi hidup ternyata tidak semudah itu. Lingkungan yang toksik, paparan energi negatif ada dimana-mana. Terkadang itu menjadikan upaya menjaga mood yang baik, bisa tiba-tiba terjun bebas.
Perjalanan saya kembali ke Glasgow September tahun lalu merupakan jeda yang begitu istimewa bagi saya. Dua minggu yang sangat berharga. Dua minggu yang saya habiskan untuk menikmati hidup dengan lebih tenang, dan nyaman.
Dan saya rindu untuk mengambil jeda kembali.
Tahun ini rasanya begitu berat, ada banyak kekecewaan, kehilangan harapan, kehilangan seseorang, kehilangan rencana-rencana ke depan. Hidup memang tak pernah tertebak, bisa saja kita dilemparkan dalam keadaaan, trus dibilangin kayak pas ngisi bensin,
            “Dimulai dari Nol ya” !
Adakalanya hidup bisa penuh semangat melesat lesat hingga ada banyak energi untuk mewujudkan impian impian.
Namun, adakalanya hidup meluluhlantakkan semuanya.
Hingga apa yang saya tahu hanya menjalani hidup, menghadapinya. Saya tidak tahu harus bagaimana, harus ngapain...ketika hidup kehilangan daya hidupnya.
Saya tidak baik baik saja,
Saya sungguh merindukan jeda.
Saat ini saya sedang mencoba mengajukan suatu program dari Dikti untuk kembali ke Glasgow, hanya beberapa bulan. Saya pun tidak tahu apakah nantinya akan diterima atau tidak.
Yang saya tahu, saya butuh jeda.
Dan Glasgow, adalah tempat yang pertama kali muncul dalam pikiran saya.
Doakan saya berhasil ya!
 

Jumat, 19 Januari 2018

Reunian di St Mungo, Glasgow

yeaaay ngumpul lagi



Hari ini saya sibuk berbelanja, membeli daging sapi, daging ayam dan bumbu-bumbu, juga kacang hijau. Rencananya saya akan masak soto betawi, sate ayam, dan bubur kacang hijau. Pagi-pagi dari rumah mbak isnia, saya membawa stroller belanjaannya mas basid ke KRK. KRK itu toko halal bucther langganan saya dan juga langganan banyak pula mahasiswa-mahasiswa Glasgow. Nama KRK, Chun Ying (toko cina di daerah City Centre) sangat terkenal di kalangan mahasiswa Indonesia di Glasgow, karena penyelamat perut perut asia kami. Karena kita dapat membeli bahan bahan makanan yang biasa kami konsumsi di Indo, mulai dari daging halal di toko halal bucther dan bahan makanan asia seperti kangkung, tempe, tahu di toko cina.
Saya jalan kaki dari flat Mbak Isnia di daerah Victoria Crescent Road ke KRK di daerah Great Western Road. Menyusuri jalanan-jalanan daerah itu kembali rasanya seperti mengulang kembali kenangan kenangan dulu. Saat hampir tiap hari menyusuri jalan itu, dengan pergantian musim demi musim.

Jalanan Byres road dengan deretan Tesco, Iceland, Bank TSB, Bank of Scotland,  charity shop serta kedai kedai di sepanjang jalan. Jalan itu merupakan salah satu jalan paling terkenal di area West End, karena dekat dengan kampus. Semuanya nampak masih sama. Rasanya juga masih sama. Hawa awal musim gugur juga sudah terasa. Dingin dan angin berhembus lebih kencang, membuat saya harus merapatkan coat yang dipakai. Setibanya di KRK, segera membeli bahan bahan yang diperlukan, daging sapi untuk soto betawi, daging ayam fillet untuk sate ayam plus bumbu bumbu yang diperlukan. 
Di daerah Great Western Road itu, terdapat beberapa halal butcher hingga sangat memudahkan kami untuk tetap bisa menikmati daging halal.  Sampai hapal kalau mau beli cabai yang pedes kalau nggak di KRK ya di Fresh garden, karena bisa dibeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan di Chun Ying. Hampir 4 tahun, hidup di Glasgow membuat saya cukup banyak tahu tempat-tempat mana yang lebih murah harganya...ehehe biasa, strategi ala kantong mahasiswa!

Penampakan di Fresh Garden
 Setelah usai berbelanja saya naik bis ke arah city centre, menuju flat mas basid dan Domi. Selama di Glasgow, selain di flat mbak isnia, saya juga sering kali singgah ke sana..untuk masak atau sekedar ngeteh ngobrol ngobrol di ruang tamu. Mas Basid baru juga lulus ujian S3-nya (viva voce), dan saya berbelanja tadi untuk masak masak syukuran kelulusannya, plus reunian mengundang teman-teman yang masih saya kenal di Glasgow. Jadinya saya excited banget kumpul kumpul lagi dengan teman-teman lama saya, kangen pastinya.
Saya juga excited untuk masak besar untuk banyak orang, kegiatan yang dulu sering saya lakukan. Maka malamnya saya sudah memotong-motong dadu daging fillet ayam 2 kg untuk dibikin sate ayam. Bikin sate ayam ala Glasgow gampang saja, ayam fillet dipotong dadu lalu dimarinade dengan kecap manis dan peanut butter, kadang saya tambahkan bubuk coriander (ketumbar). Udah, biasanya saya marinade semalaman, esoknya tinggal dibakar/panggang di oven. Masak besar untuk banyak orang itu seninya berbeda dengan masak untuk sedikit/untuk diri sendiri. Pastinya karena bahan bahan yang diolah itu buanyaaaakk...jadinya ya lumayan capek. Tapi rasa puasnya pun dobel dobel ehehe..
Malamnya selain nyicil untuk marinade sate ayamnya, saya bikin ketupat, dan nggoreng emping untuk soto betawinya. Sementara mas basid dan domi asik ngobrol di ruang tamu, sambil sesekali saya bergabung. Bikin teh anget dan nyemil. Dulu, aktivitas beginipun sering banget jaman kuliah dulu. Masak, ngobrol, makan sama temen-temen, hepinya sederhana.
Esoknya baru mengeksekusi untuk soto betawinya. Dan kali ini soto betawi pertama yang saya bikin! waks, aji aji nekad aja pokoknya. Memang soto betawi udah lama banget pengen dieksekusi, belum jadi-jadi, akhirnya pas ada acara ngumpul-ngumpul, ya udah iseng nyobain bikin. Resepnya cukup ngikutin website favoritnya untuk urusan masak memasak, Just taste and Try! Sukaaa banget website-nya mbak endang ini, soalnya penjelasannya rinciiiii dan step by step banget. 
Selain masak soto betawinya, juga manggang sate ayamnya, dan bikin bubur kacang ijo. Sehariaaan pokoknya di dapur, soalnya masak sendirian. Sementara mas basid siangnya ada acara di lab, dan kemudian bantuin nyiapin untuk beli minum, dan alat alat makan seperti sendok dll. 

Kuah Soto Betawinya belum disajikan ehehe

Sekitar jam 5 temen-temen yang diundang sudah mulai berdatangan. Yang ditunggu tunggu pastinya temen-temen lama yang lama banget nggak ketemu. Ada teh siska dan kang heru, mbak arie restu, mas Asra, Lini dan keluarga..sayang ada beberapa temen lama yang nggak bisa datang. Seru dan seneng banget bisa ketemuan sama mereka lagi..cerita cerita lagi melepas kangen. 
Iyalah, dulu sering banget bersama sama mereka. Yang perempuan-perempuan, tiap bulan pasti ketemu untuk pengajian putri, belum lagi ada pengajian bulanan, plus lagi kalau pas ada persiapan kegiatan PPI. Kayak latihan nari saman di rumah teh sis, dulu tuh bisa sampai sekitar 3 kali dalam seminggu. Dibela-bela in ngebis ke city centre lalu jalan kaki ke Grafton, untuk latihan nari untuk performance in Indonesian Cultural Day. Masa-masa yang sungguh menyenangkan. 

Alhamdulillah, kami bisa berkumpul kembali, berhaha hihi, dan makan bersama lagi. Teh siska membawa bakwan jagung yang maknyus. Dan acara yang paling ditunggu tentu saja, makan-makan. Sekitar 25 orang-an bergantian mengambil soto betawi ataupun lontong sate ayam, atau dua-dua dengan bergantian. Nikmatnya masak tuh saat melihat orang yang kita masakin tuh menikmati masakan kita. Itu rasanya sudah dideskripsikan dengan kata-kata eheheh, bikin nagih banget. Seneng gitu rasanya ehehe...
        " Soto betawinya endes banget mbak," komentar beberapa anak yang datang. ehehe syukurlah mereka suka dan melahap hidangan yang tersaji.
Makan, sambil ngobrol kesana kemari terutama dengan mbak nia, teh siska, mbak arie..temen temen yang masih tersisa di Glasgow. Kebayang juga sih, kalau suatu saat ke Glasgow lagi..lalu temen temen yang dikenal sudah nggak ada. Glasgow pasti rasanya tidak sama lagi. 

Reunian kali ini sungguh bermakna rasanya. Bertemu lagi dengan teman teman lama kala dulu berjuang menyelesaikan PhD saya. Semoga di Indo, nanti ketemu lagi yaaa..
Sore itu, kenangan kembali tercipta. 
Glasgow, tanah penuh cinta.


 

Minggu, 14 Januari 2018

Glasgow : Larik Larik Rindu


Ini usai sepedaan keliling Queen's Park



“Reminiscing through old photo, when Life was pretty simple and less drama. Fresh air, pure water, nice weather, beautiful scenery  : Scotland.

Tatapan mata saya terhenti pada foto sahabat saya, Mariam dengan latar belakang pemandangan Glencoe di Highland Scotland, dan tulisan caption seperti di atas di timeline instagram. Saya tersenyum sejenak sebelum menuliskan komentar..
Ah, ya seperti itulah rasa sebagian besar “Alumni Scotland”-para manusia yang pernah menghabiskan hidup di daratan Scotland-. Satu tahun, dua tahun....waktu rasanya tidak jua membuat kami lupa, bagaimana rasanya hidup di sana. Kata sahabat saya, “Scotland akan terus ada dalam hidup kita,”

Mungkin memang benar adanya. Saya tersenyum lagi, ketika mendapati ada komentar di foto tersebut,
--So true! Gosh I’m not mentally prepared for the hectic life soon..scotland really spoil us—
Hahah..begitulaah, persis yang saya rasakan semenjak kembali ke Indonesia. Hidup terasa lebih kompleks..walaupun semua bisa dihadapi dengan baik baik saja. Tapi entah kenapa, rasa rindu  terus ada. Sampai akhirnya saya kembali ke Glasgow lagi selama beberapa minggu September lalu. Tapi habis itu, ya rindu lagi. Duh! :D

Saya kangen dengan hidup di sana yang sederhana, nggak terlalu banyak urusan. Masih terasa lekat dalam ingatan, rutinitas hari-hari di Glasgow. Selain urusan studi, hari-hari dijalani dengan simple. Masak makanan favorit, mencobai resep-resep baru, jalan-jalan ke taman atau tempat yang sekiranya menarik. Kadang sepedaan menyusuri sungai clyde kala cuaca lumayan bagus, lalu kalau sudah lelah duduk duduk di taman sembari makan bekal.
Udaranya yang bersih, sejuk..membuat hidup rasanya terasa lebih tentram. Nggak ada pemandangan sepeda motor yang membanjiri jalanan, ya karena jarang banget ada motor. Paling satu dua saja yang lewat, itupun hanya kala cuaca bener-bener bagus saja. Jalanan juga nggak crowded, karena sebagian besar warganya naik subway, bus, ataupun jalan kaki untuk kemana-mana. Kebayang kan damainya...paling-paling agak ramai kalau di city centre. 
Suasana seperti itulah yang bikin kangen..seloow berasa hidup. Mobilitas juga rendah hehe..kalau di sini sedikit sedikit pergi naik motor gampang. Kalau di sana, kalau yang jarak deket kebanyakan dengan berjalan kaki. Kangen jalan kaki kemana-mana, hidup jadi lebih sehat karena mau nggak mau olahraga tiap hari. 
 
Taman-Tamannya Glasgow yang selalu bikin betah (Victoria Park)

Jalan kaki, udaranya bersih, lalu makanan juga kebanyakan masak sendiri. Kemudian untuk kehidupan sosialnya juga relatif “lebih sehat” dan sederhana. 
“Less drama” istilah sahabat saya itu. Karena kehidupan sosial ya paling berkutat dengan temen-temen yang sama-sama kuliah di sana, atau warga Indonesia yang tinggal di sana plus beberapa sahabat yang kenal karena urusan studi. Selain teman flat, ketemu dengan temen temen Indonesia ya paling dengan yang dekat. Atau pas ada pertemuan PPI (Perhimpuan Pelajar Indonesia) ataupun pengajian bulanan, dan pengajian putri. Kalau ngumpul-ngumpul, isinya ya kebanyakan makan-makan, pengajian, ataupun untuk acara kegiatan PPI.
 
Saat kumpul-kumpul lebaran bersama teman teman Glasgow
 
Usai pentas nari Serampang 12 di acara Indonesia Cultural Day,  2015

Less drama-nya sih karena nggak banyak “polusi” dari orang-orang di sekitar. Kalau di Indo, berasa banyak banget yah orang, dan komentar ini itu juga banyak..Urusan ini itu juga banyak hihi..yaah nikmati saja, jalani saja ehehe..

Rasanya saat hidup di sana, lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas untuk self growth. Saya menemukan banyak hal-hal baru tentang diri saya sendiri. Ternyata saya sangat menikmati memasak, bahkan pernah jualan bakso, nasi padang dll, belajar crochet, pernah nari saman, serampang 12, pengalaman bersama temen-temen bikin acara-acara PPI yang seru-seru. Jejak pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup. Saya bersyukur pernah melewati episode episode itu dalam hidup saya,

Makanya kadang kangen kehidupan yang dulu di Glasgow . Itu juga dirasain temen-temen yang pernah hidup di sana, hampir semua merasai hal itu. Tapi saya tau sih, hidup terus berubah..terus berjalan, dengan segala macam perubahan perubahan. Hidup terus bergerak, dan kita harus terus melentur menghadapi perubahan.
Adakalanya melihat foto-foto scotland dari IG yang saya follow, rindu menyeruak. Dan saya menikmatinya, dan terus menikmatinya. Untuk mengingat, sebuah episode indah yang pernah terjadi dalam hidup saya, dan akan terus ada dalam diri saya.
Mungkin, hidup yang akan datang akan membawa saya kembali lagi..