|
Tulisan saya di Wego Indonesia |
Glasgow masih saja dibasahi gerimis
rintis, saat pagi tadi saya mendapatkan email dari Clara Rondonuwu, editor Wego
Indonesia yang memberitahukan bahwa tulisan yang saya submit 2 hari lalu ke meja redaksi Wego sudah dipublish. Aih,
langsung saja jemari saya segera menuju link yang disebutkan di email tersebut.
Tadaaaa...ada tulisan dan foto-foto saya..aih rasa seperti itu selalu saja sulit
untuk digambarkan. Saya sulit menjelaskan bagaimana renjatan-renjatan rasa saat
setiap tulisanku lahir. Pun bagi saya, setiap tulisan punya rasa
sendiri-sendiri saat berhasil dilahirkan. Dan saya terus saja menikmati rasa
antusiasme saat tulisan-tulisan tersebut lahir.
Dan saat melihat tulisan saya di Wego
Indonesia publish, humm tentu saja pertamanya
merasa super excited . Walaupun ada rasa rada-rada bagaimana karena banyak tulisan
yg dicut dan diedit. Humm begitulah ego penulis, seringkali merasa “tidak rela”
bila tulisannya banyak diubek-ubek. Karena dalam menuliskannya, setiap kata,
diksi dan alurnya itu menurut saya mencerminkan style masing-masing penulis.
Jadi saat tulisan tersebut sampai di tangan editor dan diubah-ubah, dicut sana-sini, jadinya feel-nya terasa
lain. Tapi sekali lagi itulah dunia tulis
menulis bila sudah menyangkut publikasi, tetap saja menuntut kompromi.
“
Keren, bagus. Tulisannya, foto-fotonya
juga,” komentar seorang sahabat dekat saya yang dulu sesama angota
organisasi pers dulu saat S1.
“ kok masih seperti telling, bukan showing,
nggak sekeren tulisan kamu di blog, ” kata sahabat saya lainnya yang
sama-sama suka menulis.
Errr, ya begitulah karena banyak
deskripsi saya yang dicut editor,
lalu diganti dengan memasang foto. Mungkin juga web-nya terbatas dalam panjang
tulisan dan mungkin alasan-alasan
lainnya yang tak kumengerti. Yah begitulah adanya penulis dan editor sepertinya
memang harus saling berkompromi.
Bila dikirimkan ke media, memang saya
harus berlatih untuk menerima tulisan saya direvisi sang editor. Beda bila saya
menulis di blog kemudian diposting sendiri, karena saya bisa menulis sesuka
hati, tanpa batasan panjang tulisan dan tetek bengek aturan lainnya. Di blog
saya bisa menjadi penulis yang egois ehehehe. Para pembaca cuma bisa membacai
dan mengomentari namun tak kuasa ngubek-ngubek tulisan saya. Tentu saja beda cerita
bila tulisan saya mulai dikirim dan dipublikasikan ke media.
“
Pokok’e aku emoh kalau tulisan saya
dimacem-macemin nanti. Feelnya jadi beda, kayak dudu tulisanku.” Cetus seorang
sahabat yang juga suka nulis dan baru saja berencana menerbitkan tulisannya
tersebut. Dia lebih ekstrim daripada saya nampaknya ahaha.
Tapi saya menikmati pembelajaran ini.
Saya mulai harus belajar berkompromi dengan hal-hal ini. Pula belajar bagaimana
membangun hubungan dan komunikasi dengan media tempat publikasi, karena mau
tidak mau di sanalah tulisan saya hidup. Di Wego Indonesia misalnya dengan ribuan
followernya memberikan kesempatan untuk tulisan saya bisa dinikmati oleh lebih
banyak lagi pembaca.
Iyah, ini memang semacam perjalanan
awal saya sebagai seorang travel writer. Karena sejak saya menulis, belum
sempat terpikir menjadi seorang travel writer. Saya memang suka jalan-jalan dan
kadang menuliskan cerita jalan-jalan saya di blog disertai dengan foto-foto
karena saya juga suka fotografi (narsis juga hiayahaha). Tapi menulis sebuah
tulisan travelling masih merupakan pengalaman yang baru bagi saya. Ada beberapa
tehnik yang membedakan jenis tulisan travelling dengan tulisan lain, yakni unsur
“show, don’t tell” seperti kata Zobel di The Travel Writer’s Handbook. Ini yang rada-rada butuh ekstra usaha karena harus
menggambarkan tempat yang ingin kita tulis. Itulah yang menyebabkan kenapa saya
rada kecewa dengan banyak-nya cut sehingga
tulisan saya terasa kurang bumbu deskripsinya. Ah, mungkin saya memang harus
lebih banyak belajar lagi dengan membaca lebih banyak tulisan-tulisan travel.
Sebenarnya
menjadi travel writer dengan sempurna menggabungkan beberapa passion saya dalam
satu hal, yakni nulis, jalan-jalan dan foto-foto ehehe. Itulah mengapa
saya tertarik untuk menggeluti jalur
ini, tapi tetap saya masih nulis tulisan yang lainnya juga. Saya menikmati
menulis hal-hal yang saya sukai, dan menyertakan hati saya dalam menuliskan itu
semua. Semoga ini merupakan awal perjalanan dari karir travel writer saya.
Finger Crossed!
Live a life that matters to you! Cheers
CVR Church Street, di ruangan student
seusai ngelab bersama sel-sel saya. 1 Agustus 2013.
Lots of Love
Siwi Mars