Angin malam berhembus perlahan dari arah pintu kamar yang kubiarkan terbuka, suara-suara televisi yang tengah membicarakan laga esok Indonesia vs Uruguay, suara reporter dengan bahasa spanyol yang mewawancarai Oscar Tabarez. Bahasa itu aksennya mengingatkan akan bahasa Itali, karena hampir serupa intonasinya, dan artian yang lamat-lamat kupahami. Pikiranku segera terbang menyeberangi samudra dan beberapa detik berikutnya telah kembali lagi, entah mengapa ia bisa bebas terbang dan berlarian kemanapun. Secangkir kopi tinggal menyisakan beberapa teguk pesonanya malam ini. Dan aku merasa “kangen” menulis.
Sampai detik ini aku tidak tahu apa yang ingin kutulis, aku hanya ingin mengetik di keyboardku, membacanya sepintas, kemudian mendeletenya beberapa kali dengan selintasan pikiran…
“ humm tidak penting”atau “ aneh, hapus saja”
Seminggu terakhir, rasanya tidak mempunyai waktu untuk “menghentikan hidup” dan bercakap-cakap dengan diri sendiri. Kau tahu, berkomunikasi dengan diri sendiri membuatku mengetahui apa yang terjadi dalam hidup, menyadari sepenuhnya setiap langkah, dan mengetahui dengan pasti akan menuju kemana langkah hidup berjalan.
Dengan tersenyum, aku menyetujui apa kata Ade Rai di sebuah acara talkshow
“ Kualitas hidup kita salah satunya ditentukan oleh seberapa berkualitas komunikasi kita dengan diri sendiri”
Keren…kuakui itu pernyataan yang begitu “dalam”. Semakin berkualitas pertanyaan yang kita ajukan pada diri sendiri dan semakin berkualitas jawaban yang bisa diberikan maka akan semakin berkualitas hidupmu.
Pertanyaan apa yang akhir-akhir ini kau tanyakan pada dirimu sendiri? Atau engkau bahkan tidak peduli?
Aku mengingat-ingat sejenak, pertanyaan dan jawaban terakhir yang membuatku tiba-tiba merasa dilemparkan ke tempat yang asing…
“ Mengapa aku sekarang bisa berada pada posisi di titik ini? Bila aku boleh memilih, kehidupan atau pekerjaan apa yang sebenarnya aku inginkan?”
Pertanyaan itu membuatku melacak peta, melongok jalur hidup yang sudah ada di belakang, bagaimana bisa aku sampai di sini?dan kau tahu…aku menemukan banyak hal.
Aku menemukan titik di mana dulu keputusan memilihku akan sesuatu ternyata dipengaruhi begitu besar oleh anggapan orang lain, anggapan umum masyarakat ataupun keluarga. Memaksakan apa yang baik menurut orang lain dalam mengambil jalur hidup. Aku menemukan titik kesalahan. Tapi usia kala itu sungguh ingusan, di mana pertimbangan dan pikiran tentang hidup masihlah dangkal (bukan berarti juga sekarang ini sudah cukup dalam ehehe).
Satu titik kesalahan, membelokkan jalur, berjalan semakin jauh dan jauh. Dan aku asing dengan diriku sendiri, sebelum akhirnya memulai sebuah perjalanan ke dalam diri. Dan semakin menemukan diriku sendiri.
Dari peta itu, aku tiba-tiba merasa “aku telah begitu jauh melangkah, dan aku menemukan berdiri di tempat yang salah, dan terlalu terlambat untuk berbelok”. Aku diserang perasaan seperti itu dengan begitu luar biasa. Kepalaku pening, berpikir keras.
“ Bila aku memilih, kehidupan atau pekerjaan apa yang aku inginkan?” Aku mendapatkan beberapa jawaban. Lalu mengapa bisa aku berada di tempat yang
Humm kuakui bukan sepenuhnya salah, karena aku merasa baik-baik saja dengan apa yang kujalani sekarang. Hanya saja merasa (dan sudah pernah merasakan) ada suatu jalur yang benar-benar membuatku “ hidup” dengan benar-benar hidup. Suatu jalur dimana aku bisa melebur dengan mencurahkan seluruh potensi, hati, tenaga, sumber daya…semuanya.
Tetapi hidup terkadang membutuhkan kompromi-kompromi. Paling tidak sekarang ini aku diberikan kesadaran tentang pilihan-pilihan hidup. Menyadari keberadaan pada kehidupan saat ini. Bila seperti sebuah peta, aku sadar telah berdiri di suatu titik A. Menerimanya dengan segala situasinya, dan kemudian mengarahkan untuk menuju titik yang aku inginkan.
Aku tidak ingin lagi menjadi “penumpang”, tetapi menjadi “supir” hidupku sendiri. Memilih apapun dengan keputusan pilihanku sendiri. Orang lain, keluarga, sahabat..mungkin bisa berperan “anggota dewan pertimbangan” ehehe, tapi ketukan keputusan akhir tetap harus dikendalikan diri sendiri.
Memilih, mengambil risiko, bertanggung jawab, dan menyadari pilihan-pilihan yang telah kita buat.
Kita bisa mewujudkan kehidupan yang kita inginkan, dan sangat layak untuk mendapatkannya. Mengapa tidak?
Suatu hal yang baru-baru ini kusadari, seringkali manusia justru menciptakan ketidakmungkinannya sendiri, membuat hambatan awal ataupun pembatasan untuk dirinya sendiri. Bila ditelusur, itu berasal dari anggapan ataupun persepsinya sendiri
“kayaknya nggak mungkin kalau……” atau “ rasanya sulit untuk mewujudkan hal tersebut pada saat yang bersamaan”..atau..banyak anggapan yang cenderung menciptakan ketidakmungkinan terlalu dini.
Humm, tidakkah kau sadari, siapa sebenarnya yang menciptakan ketidakmungkinan? Seringkali adalah diri kita sendiri.
Dan sekarang, aku ingin mengatakan “aku layak mendapat hal-hal yang aku inginkan, aku bisa memilih pilihan-pilihanku sendiri”
Katakan “mengapa tidak” pada hal-hal yang menurutmu “too good to be true”, dan ijinkan keajaiban-keajaiban terjadi !
“Percayai dirimu dan kau takkan terhentikan (Emily Guay)”
(Salam perjalanan ke dalam diri, tidak masalah sampai di manapun engkau berjalan)