Mie gelas dan laptop menemani sleepless night saya ehehe ;p |
Malam sudah terlalu
tua dan saya terjaga lalu merasa disorientasi waktu. Jam berapa? masih malam
atau sudah pagi. Saya memerlukan
beberapa menit untuk sadar akan waktu. Mikir lama juga ini jam berapa? tenyata
masih tengah malam. Rasanya saya sudah tidur lama sekali, kemudian terjaga
padahal baru tidur selama 3 jam saja. Ah mungkin kena jetlag. Di Glasgow masih
jam 6an sore, dan jam biologis saya masih ikut ritme Glasgow.Tubuh saya mulai
kerepotan mengikuti pergerakan ruang dan waktu ehehe. Setelah sia-sia usaha
untuk kembali tidur, saya menyibakkan lagi tirai jendela dan membuka laptop.
Kerlip kerlip lampu gedung-gedung tinggi di seberang sudah mulai berkurang,
namun sesekali MRT masih melintas. Entah sampai jam berapa kendaraan ini
berhenti beroperasi.
Ah saya kelaparan
lagi, selain jam biologis ternyata kebutuhan biologis saya juga rewel. Mungkin
perut saya menuntut jatah makan malam yang harusnya jam-jam segini di Glasgow.
Untung saja saya tadi sore membeli semacam mie gelas di toko kelontong seberang
hotel. Dan jadilah mie gelas dan pemandangan malam langit Bangkok cukup
menghibur saya.
Ah betapa saya
seringkali harus berkompromi dengan waktu.Penerbangan dari Glasgow menuju
Dubai, kemudian dilanjut ke Bangkok dengan total perjalanan sekitar 15 jam-an
itu merusak tatanan waktu saya. Waktu di pesawat kadangkala hanya ditentukan
dengan kapan waktu makan, karena waktu semuanya hampir sama saja. Duduk diam,
kadang menonton film, mendengarkan musik, membaca buku Aleph-Paulo Coelho yang
sengaja saya bawa untuk mengisi waktu, selebihnya saya habiskan untuk tidur.
Saat sampai Dubai saya tidak mengganti waktu saya dengan waktu lokal karena
saya hanya transit sebentar, kemudian saat sampai Bangkok saya tinggal mengubah
otak saya untuk berpikir seperti waktu Indonesia. Karena waktu di Thailand sama
dengan waktu di Indonesia.
Ah lihatlah betapa
waktu begitu ambigu.
Tentu saja ini bukan
perjalanan kali pertama saya menerobos ruang dan waktu. Bahkan saat saya pamit
pada ibu saya, reaksi beliau itu sudah seperti saya pamit pergi ke Purwokerto
atau Jogyakarta. Intinya berpesan supaya hati-hati dan mendoakan selamat di perjalanan.
Beliau tidak pernah repot menanyakan bagaimana nanti saya yang belum pernah ke
Thailand untuk survive, sendirian pula. Tidak tanya nginep dimana, atau cerewet
hal-hal lainnya. Dari dulu juga begitu. Ah mungkin beliau terlalu sering saya
pamiti pergi. Dan mungkin saya memang sudah terbiasa pergi.
Oh ya tadi seseorang
di twitter mention saya dan bertanya : sudah berapa negara yang dijejaki mba?
*I envy you. Begitu katanya.
Berapa banyak? Ah belum
terlalu banyak. Dan sebenarnya nggak diitungin juga sih, berapa kota berapa
negara yang sudah saya jejaki. Bagi saya bukan hal yang terlalu penting.
Bukankah ukuran perjalanan bukan dilihat dari banyaknya tempat yang kau
kunjungi?
Suatu saat mungkin
travelling bukan hal yang menarik dan menggoda seperti dulu lagi. Ini serius,
setidaknya ini yang terjadi pada saya. Saya sedang tidak ingin memaksakan rasa.
Ada apa dengan saya yang dulu haus petualangan menjelajahi tempat baru-baru,
melihat semuanya dengan penuh antusiasme, merasai hal-hal yang baru? apa ada
yang berubah dengan diri saya?
Manusia terus berubah
tiap detiknya, setiap sel-selnya berubah, saya bukan lagi sama seperti saya
yang bicara beberapa waktu lalu. Tapi kadang-kadang manusia menuntut kesamaan.
Betapa sering ia bicara “jangan pernah berubah”. Tapi bukankah berubah itu
alamiah? Seperti siklus semesta terus berubah.
Travelling memang
masih menarik bagi saya. Ada excitement yang selalu terpicu saat memulai petualangan
baru. Tapi hanya saja tidak seperti dulu lagi. Mungkin aliran energi saya saat
ini lebih terfokus untuk hal-hal lainnya lagi. Dan biarkan saya menikmati
perubahan tanpa bermaksud untuk menahannya.
Tapi setidaknya kali ini saya
akan pulang bertemu dengan keluarga yang lama nggak bertemu muka setelah
konferensi di Thailand. Walau hanya seminggu saja pulang ke Indonesia. Ahaha
jadwal macam apa ini? Bukankah sepertinya hidup saya habis capek di
perjalanannya saja. Mungkin terasa demikian, 2 minggu rute Glasgow-Bangkok-Indonesia,
lalu rute pulang juga Indonesia-Bangkok-Glasgow. Mengakalinya tentu saja dengan
mengangap perjalanannya itu bagian dari jalan-jalan. Banyak orang hanya melihat
destinasi perjalanannya sebagai bagian inti dari perjalanan, tapi mengindahkan
perjalanannya. Saya mencoba menikmati penat-penatnya di pesawat, bandara,
stasiun, jalan-jalan karena itu juga bagian dari perjalanan. Termasuk efek efek
seperti jetlag sekarang ini ehehe. Sleepless night in Bangkok. Setidaknya bisa
menghasilkan saya postingan ini. Postingan yang mungkin saja random. Tapi sukses
membuat saya mengantuk lagi. Sudah mendekati jam 3 dini hari, sebaiknya saya
kembali mengatupkan mata karena kalau tidak besok saya akan ngantuk ngantuk di
konferensi hihi.
Masih ada yang
menyelinap di pikiran saya. Betapa manusia sulit untuk memusatkan diri pada
Here and Now. Pada “the present”. Karena waktu yang benar-benar nyata adalah
saat ini, namun manusia seringkali berkelana antara past dan future
berganti-ganti, tapi mengindahkan hidup yang paling nyata.
Hidup paling nyata
adalah saat ini, Here and Now.
Selamat malam, pagi,
ataupun siangmu saat ini. Selamat menikmati hidupnya yang paling nyata. Here
and Now.
Bangkok menjelang
pagi. 21 October 2013.