Selasa, 25 Agustus 2009

Bila aku terlahir sebagai laki-laki


Aku membayangkan rambut yang kupotong cepak tapi tidak terlalu pendek, badan tinggi warna kecoklatan dengan keringat sehabis bermain futsal. Uhmm..bagaimana aku bila terlahir sebagai laki-laki?

Secara fisik, yang jelas aku pasti akan lebih suka dipersepsikan sebagai laki-laki dengan kategori ”ganteng”, daripada kategori ”tampan”, ”cakep”, ”keren” atau lainnya ehehehe.

Kenapa? bukan sesuatu yang harus kujawab :)

Aku ditakdirkan menjadi perempuan, apakah karena memang telah ditakdirkan Tuhan aku menjadi seorang perempuan? Apakah Bapak Ibuku dulu mengharapkan anak pertamanya lahir sebagai seorang laki-laki atau perempuan?

Bila aku seorang laki-laki, ingin jadi apa aku? seperti apa aku? wanita seperti apa yang ingin kuhabiskan hidup bersamanya?

Rasanya tidak begitu sulit membayangkan jadi laki-laki, hehe entah, karena mungkin hormon androgen yang diturunkan ke dalam tubuhku porsinya agak berlebih ehehe..

Laki-laki..uhmm, oh ya kau tahu beda antara laki-laki dengan pria? Atau perempuan dengan wanita?ehehe, aku butuh jawaban serius, bukan main-main :p

Sudahlah, kutinggalkan saja teka teki ini untuk kalian..

Bila aku menjadi laki-laki, ingin rasanya mengobati kehausanku akan petualangan dengan pergi kemanapun yang aku inginkan, menikmati perjalanan dengan banyak pembelajaran. Bepergian ke berbagai tempat, berkenalan dengan manusia berbagai jenis, ras, agama dan kebudayaan. Toh laki-laki sedikit mempunyai kebebasan yang lebih dibandingkan perempuan. Keluar malam, nongkrong sambil minum kopi sambil berdiskusi tentang politik, bola, wanita, apa saja...Mencari dunia spiritulitas bersampankan pengetahuan dari berbagai sisi, buku, ustadz dan mendasarinya dengan pengalaman spiritual yang mencari, mendalami, dan menemukan sebagai lingkaran perjalanan yang tak pernah putus.

Menemukan daya hidup yang penuh dalam pekerjaan dan mendedikasikan kemampuan dan kemauan di dalamnya, dengan keinginan bahwa bermanfaat bagi orang banyak sejatinya adalah berbaik hati pada diri sendiri. Menemukan bahwa saat memberi adalah menerima pada saat yang bersamaan, dan bahwa bila neraka dan surga tak ada, berbuat kebaikan adalah kebutuhan untuk dirinya sendiri, bukan untuk Tuhan, orang lain, keluarga atau siapapun.

Lalu saat beranjak dewasa, wanita seperti apa yang ingin kunikahi? Wah..wah...ini menarik!. Wanita yang pada matanya kurasakan panggilan dan keyakinan bahwa bersamanyalah ingin kuhabiskan sisa hidup bersama...fufufu lebay. Cinta yang menyulutku dalam kegilaan cinta sekaligus membingkainya dengan rasionalitas pada saat yang bersamaan. Wanita yang cantik karena aku mencintainya, bukan aku mencintainya karena ia cantik.

You don't love a woman because she is beautiful, but she is beautiful because you love her”.
Wanita yang ingin kubersamanya belajar untuk menikmati hidup sebagai sebuah berkah, dengan membesarkan anak-anak kami, dimana ada titipan asa dalam perpaduan jiwa-jiwa kami.

Tik..tik..tik...sebentar, bila kucerna kembali sepertinya sama saja...sama saja aku menjalani hidup sebagai seorang perempuan. Jadi, begitulah hidup yang ingin kujalani..entah aku terlahir sebagai seorang laki-laki ataupun perempuan. Tentu saja tetap ada perbedaan norma dan batas-batas, tapi ternyata setelah ditelisik esensinya, tak ada bedanya..

Ternyata!

Uhm sebentar ada beberapa hal yang membuatku penasaran, bila aku terlahir menjadi laki-laki apakah aku akan terobsesi untuk mempunyai tubuh yang bagus? Apakah aku akan mempunyai kecenderungan untuk melirik-lirik, bermain mata dan hati dengan wanita walau aku sudah punya seseorang? Apakah aku juga aku menangis dan sedih saat tim sepakbola kesayanganku kalah bertanding?Apakah benar kata orang kalau laki-laki lebih memakai rasionalitasnya sedang perempuan lebih memakai perasaannya..ufff bukan ungkapan klise yang butuh jawaban ya atau tidak, tapi aku ingin berada dalam tataran ”mengalami”. Kalau dulu Kartini berhasil memulai tonggak emansipasi wanita hingga dimulailah revolusi tentang peran ”keperempuanan” dalam tatanan masyarakat, pernah kau pikirkan sudah sejauh mana revolusi kini telah berlanjut??

Laki-laki atau perempuan, Mars atau Venus? Ahaha bahkan namaku saja berarti laki-laki hufffttt..but i luv it!! :)

Menjadi laki-laki atau perempuan, bukan wujud dan jenis gender yang menjadi soal, tapi aku lebih memandang bagaimana masing-masing individu sebagai manusia yang menjalani hidupnya dengan kemanusiaannya.


source of pic : http://www.safaids.net/files/5/gender.jpg


Senin, 10 Agustus 2009

Cantik!!



Cantik itu tinggi semampai, putih mulus, dengan wajah nan ayu tanpa jerawat, postur tubuh proporsional dengan ukuran standard tertentu, begitukah??
Cantik menurut versi siapa? Uhm..tapi toh ukuran-ukuran tadi sudah menjadi ukuran seragam dalam masyarakat. Dan aku berpendapat bahwa media memegang peran sentral dalam membuat stigma tentang kecantikan. Stigma cantik versi media digambarkan atau divisualisasikan dengan wanita-wanitanya nan molek dalam iklan, sinetron, film dan infotainment. Itulah cantik versi media, dan masyarakat digiring untuk mempunyai persepsi yang sama. Kita diajak untuk seringkali lebih mementingkan kulit daripada isi. Sejenak teringat status FB seorang sahabat yang membuatku tersenyum

Inner vs outer beauty... outer beauty, somehow, is always win at first

Uhm..yayaya..semacam sebuah kompetensi genetik, yang lebih cantik mempunyai kesempatan karir yang lebih baik, mempunyai daya kompetisi untuk menarik pasangan lebih mudah, hihi begitukah kira-kira?. O o..aku rasa tidak sepenuhnya benar demikian adanya. Wanita, yang memang secara naluriah ingin selalu tampil cantik namun sayangnya akhir-akhir ini kecantikan lahiriah makin dianggap sebagai hal yang utama. Maka tak heran banyak tampilan permakan serta tehnologi yang menyediakan bagi mereka-mereka yang ingin tampil cantik. Cobalah lihat dari tehnologi rebonding, smoothing, suntik-suntikan, iklan-iklan pencerah wajah dan masih banyak lainnya, semuanya menawarkan perbaikan kecantikan fisik agar makin menawan.
Wanita menjadi terobsesi dengan kecantikan luar, hingga fokus “perbaikan” dirinya kadang hanya terlalu terfokus di luar, dan melupakan yang ada “di dalam”. Sebuah kosakata yang agak basi bernama “inner beauty”, lagi-lagi harus kusebut saat bicara tentang kecantikan. Dalam deskripsi “human beauty” ada yang disebut “inner beauty” yang mencakup kepribadian, kecerdasan, keluwesan, keserasian (congeniality), pesona atau daya tarik dan ketulusan sementara“outer beauty” sering dipersepsikan apa yang dinamakan “physical acttractiveness” yakni penampakan visual.
Wait, aku bukan anti kecantikan luar. Tentu saja perempuan memang dilahirkan dengan keinginan alamiah untuk selalu tampil cantik, seperti halnya pria yang dilahirkan dengan genetis gila kesuksesan. Dan semua orang juga suka melihat yang indah-indah bukan?. Akupun beranjak dari tataran “hanya pake bedak” ke tataran bisa pakai mascara plus kawan-kawannya. Dan sekali lagi karena kecantikan luar tetap saja penting, tapi bukan yang paling penting. Aku sering melihat wanita dengan penampilan luar dalam kategori ”biasa-biasa” saja tapi mempesona, ada sesuatu dalam diri mereka yang menawan. Apa? Entahlah, tapi itu terjadi saat aku melihat seorang wanita yang nyaman akan dirinya, ketulusan serta kebaikan nurani yang terpancar saat ia bicara, memperlakukan orang, dan satu lagi yang sering membuatku tertarik yakni saat seorang wanita mampu melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin dari semua hal tersebut penerimaan diri bersumber. Saat manusia sudah bisa menerima dirinya, mencintai dirinya sendiri, dari disitulah sikap nyaman akan dirinya akan terbawa, dan itulah yang memancarkan pesonanya. Gampangkah? Tidak, karena standard-standard di luar itu, tapi tentu saja bisa ditempa dengan kesadaran yang berlanjut. Yah, tidak gampang. Dan itupun kualami sendiri betapa ukuran-ukuran itu mempengaruhi penerimaan kita akan diri kita sendiri. Dulu, gigiku tidak rapi hingga pernah ada seorang teman laki-laki saat SMA berkata padaku :
” Uhmm kamu manis lho kalau nggak lagi senyum”
Bleeep...duniaku mengecil kala itu, di saat usia dan perkembangan diri belum lagi matang tentu saja hal itu membuatku tak percaya diri. Dan aku menyadari bila aku sedang tersenyum gigi-gigiku yang tak rapi dan warnanya tak putih karena pengaruh antibiotik saat kecil itu mengganggu penampilanku. Uhmm kau bisa membayangkan betapa tidak mudahnya melepaskan diri dari standard-standard itu. Hingga bila kupandangi foto-foto zaman awal kuliahpun sangat jarang aku tersenyum saat difoto (tersenyum dengan memperlihatkan gigi maksudnya), uff menyedihkan.
Tapi seiring perkembangan diri, saat mencoba untuk tertawa lepas dan tersenyum dengan memperlihatkan gigi saat difoto aku melihat diriku yang bahagia, yang gembira, yang berwarna. Dan akhirnya aku mulai berani tersenyum lebar. Dan saat kuliah lanjut di Jogya, tehnologi membantuku memperbaiki penampilanku, dengan konservasi gigi hingga gigiku nampak sedikit rapi. Dan yippiie itu membawa perubahan besar dalam diriku hingga aku menjadi lebih mudah untuk tersenyum dan tertawa. Nah, itulah mengapa aku mengatakan penampilan luar itu juga penting, kosmetik dan tehnologi itu juga perlu, tapi aku menemukan hal yang lebih utama dalam hal penerimaan akan diriku.
Aku mencintai diriku, dengan penampilan luar maupun sifat serta pemikiranku yang terus saja masih kudalami.
Cantikkah? ”bila kutanya pada diri sendiri. Cantik! Karena semua perempuan lahir dengan kecantikannya masing-masing.
“Pretty is something you're born with. But beautiful, that's an equal opportunity adjective.”
Yap, hal ini memang banyak yang memperdebatkan. ”Bagaimana bila kita terlahir dengan penampilan fisik yang jauh dari standar yang ada di masyarakat?, Kenapa wanita lain diberikan wajah dan cantik dan tubuh yang bagus? Bla..bla..bla yang lainnya”. Galilah sesuatu dalam dirimu, temukanlah harta karunnya dan mulailah mencintai dirimu sendiri. Ingin kubisikkan pada setiap wanita,”Semua wanita itu cantik!”


*** Untuk semua wanita di dunia

source of pic : http://www.earthsbeauty.com/Nics%20Beauty%20Earths%20Beauty%20.jpg

Jumat, 31 Juli 2009

Pernikahan -“Pertemuan Kembali”-


Ah, rasanya gatel untuk menulis di sela-sela rutinitas setelah iseng membaca tulisan Fadh Jibran (Penulis A Cat in My Eyes-Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa) dalam project I care I share. Projek tersebut menampung berbagai pertanyaan pembaca tentang apa saja- biasanya tentang hal-hal yang menggugah untuk diperdebatkan-, dan Fahd setiap minggunya akan memillih salah satu untuk dibahas di blognya.

Dan pertanyaan kelimabelas adalah tentang pernikahan, sebuah pertanyaan dari Alexa dan Adisti yang juga membuat project “Lajang dan Menikah –Sama Enaknya, Sama Ribetnya-. Inti pertanyaannya tentang apa esensi pernikahan, karena banyak orang menilai pernikahan sesuai dengan pernyataan berikut :


"Most Indonesians get married out of fear, not out of love. Fear of parents, extended family, society, and the ticking clock."


Jangan mendebatnya terlebih dahalu, memang tidak semuanya begitu. Tapi toh fenomena di atas memang banyak terjadi di Indonesia.

Fahd mengatakan bahwa memang ada banyak faktor seperti umur, tradisi, sunnah Rasul, tuntutan masyarakat, yang mendorong seseorang memutuskan untuk menikah. Tapi semua itu hanya faktor, bukan dorongan utama (baginya-red. Tentu saja karena tulisannya adalah opini pribadinya). Faktor-faktor tersebut tak bisa dihindarkan bila tidak ingin disebut makhluk asing oleh komunitas mayarakat normal bila berusaha melepaskan diri dari itu. Tapi bukan itu landasannya, ia mengatakan dengan begitu yakin. “Saya akan menikah bukan karena merasa takut”. Disebut pula bahwa sebentar lagi ia akan menikah, sehingga tulisan tersebut dibuat tentu saja bukan tanpa dasar.

Dari bahasan yang dikemukakan Fahd, menurutnya pernikahan dilandasi oleh sebuah panggilan. Ia menyebut tentang konsep soulmate-sebuah bahasan lama yang tak pernah basi. Ia mengutip apa yang berabad-abad lampau dikemukakan oleh Plato, berikut :


Bahwa semula, kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Aku dan dia, kau dan seseorang, seseorang dengan seseorang lainnya. “Mereka diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya,” begitu kata Plato, “tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Suatu hari, tersebab takdir tertentu yang takterjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak—bila mereka mengikuti panggilan itu—mereka akan bertemu kembali (Plato And The Theory Of Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002).


Begitulah diceritakan bahwa Adam dan Hawa akhirnya “bertemu kembali’ di Jabal Nur setelah lama saling ”memanggil”. Mungkin apa yang dimaksudkan Fahd adalah saat telah bertemu dengan seseorang dan dia merasa yakin bersamanya akan dilanjutkan perjalanannya ke dalam diri dan pernikahan adalah pertemuan kembali. Karena selama ini kita dipisahkan dalam kehidupan masa lalu yang berbeda, latar belakang, pola pendidikan orang tua, lalu dipertemukan kembali dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan proses menggali-mengenal lebih dalam-mengenal lebih dalam-demikian seterusnya- yang butuh kebersamaan dan komitmen yang panjang.

Ah, aku tidak pintar menjelaskan intisari pemikiran Fahd, tapi setelah aku membaca pemikirannya aku jadi semakin mengerti. Ya, panggilan itu..apapun istilahnya, hal yang aneh tak terjelaskan. Bukan karena jarum jam yang terus berdetak (karena tetap saja aku masih merasa muda, kawan ehehe), bukan karena teman-temanku sudah hampir semuanya menikah. Aku senang menghadiri pesta pernikahan teman-temanku, bahagia untuk mereka tapi sama sekali tidak memberikan efek signifikan terhadap keinginan untuk menikah.

Pun juga pertanyaan orang tua, keluarga besar, saudara, teman..kapan?kapan?kapan..ehehe serasa itu pertanyaan wajib dan paling penting di dunia. Tapi tak jua itu menggangguku kawan, aku menganggapnya sebagai sebentuk perhatian saja yang kadang masuk telinga kiri dan mungkin tidak sampai tulang sanggurdi, tak terdengar di hatiku. Dan syukurlah aku tidak merasa terbebani karena seperti yang pernah kutulis dalam tulisan di blogku ‘mengapa harus menikah?” tingkat ke-urgensi-anku memang belum memenuhi syarat 3 kebutuhan itu.

Tapi dengan berat hati sekarang kukatakan “ Sial kawan, panggilan itu datang” ahaha…

Aku tidak harus menjelaskan panjang lebar, karena saat Tuhan membalikkan hatiku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tak jua kukenal orang itu dengan baik, tapi panggilan itu lamat-lamat kudengar. Mungkin ini berarti berita baik ehehe.. . Dan ”Jabal Nur”-ku sepertinya sudah pernah kujejaki.

Menengok ke belakang, aku teringat akan sebuah peristiwa, kepingan puzzle dari sebuah gambaran utuh yang kupikir berdiri sendiri tanpa ada episode berikutnya.

Akan kuceritakan sedikit, saat itu dengan perasaan gundah dan menyesal aku menghabiskan waktu untuk menunggu jadwal kereta berikutnya dengan mencoret-coret di bukuku. Sebal, gara-gara keteledoranku aku telat mengejar kereta menuju Roma, hingga harus terkatung-katung di Sta.Perugia Fontevegge. Duduk di ruang tunggu sambil mengamati orang-orang bersliweran, seorang wanita yang berjalan terburu-buru, sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang lucu-lucu, mungkin akan berangkat berlibur, atau beberapa pendatang seperti orang timur tengah yang nomaden dengan buntelan besarnya. Hingga rasanya saat itu aku ingin menulis :

21.06.08 Sta Perugia Fontevegge 09.30 am


” kenapa manusia harus melalui siklus lahir, besar, bertumbuh, menikah, punya anak, menjadi tua dan mati?. Terbesit pertanyaan siapa pada mulanya yang memulai standard hidup demikian. Di berbagai bangsa, tradisi dan ras semuanya cenderung untuk mengikuti pola yang sama.

Bagaimana pola pikir manusia zaman dulu saat mengawali sebuah peradaban manusia dengan kemampuannya berpikir dan berkarsa. Kenapa dulu manusia tidak memutuskan untuk lahir, tumbuh seorang diri walaupun hidup dalam suatu komunitas sosial, menjadi tua dan kemudian mati?”


28.07.09. Purwokerto, Ina. 09,43 pm

Kawan, setelah membaca tulisan fahd Jibran dan membuat tulisan ini. Aku tiba-tiba merasa bahwa Tuhan sudah menjawab pertanyaanku beberapa jam berikutnya dari saat aku menuliskan coretan di atas.

Dengan rentang waktu yang demikian lama, kau pasti bisa memperkirakan berapa lama aku baru bisa mencerna jawabanNya..Ah, lelet ya..tapi setidaknya aku bertanya, karena kepastian jawabanNya adalah mutlak adanya. Dan karena bertanya tak membuatmu berdosa..


source of pic : http://www.lucis.me.uk/truelove.jpg

Taj Mahal- Beneath a Marble Sky

“ Jangan pernah mengabaikan cinta, Anakku. Menolak hadirnya sama artinya dengan menelantarkan hadiah Tuhan yang terbesar. Lagipula, siapakah kita yang sanggup mengabaikan Tuhan?”


Begitulah pesan Sultan Syah Jahan pada putrinya, Jahanara. Saat cinta mendatangi putrinya dengan sekeranjang derita dan bahagia yang dibawa Isa, seorang arsitek brilian yang dengan tangan-tangannya mampu mengubah batu-batu menjadi keindahan bangunan yang sampai kinipun merekam keagungan cinta Sultan Shah Jahan terhadap istrinya, Mumtaz Mahal. John Shors, si pengarang buku ini menghadirkan kisah nyata tentang Taj Mahal yang amat terkenal di India, oleh penerbit Mizan dialihbasakan dengan judul Taj Mahal- Kisah Cinta Abadi, sedangkan judul asli buku ini bertajuk ”Beneath a Marble Sky”. Banyak orang yang mengetahui bahwa bangunan nan menawan itu adalah hadiah sang sultan bagi istrinya, tapi belum banyak yang mengetahui haru biru kisah yang melatarbelakangi pembangunannya.

John Shors mengisahkan dengan bahasanya yang halus, deskripsinya yang detail dan kemampuan menggiring pembaca untuk terus melewatkan baris demi barisnya tanpa merasa jenuh. Ia mengambil sudut cerita dari salah seorang putri sultan Syah Jahan yang bernama Jahanara. Seorang putri yang pemberani, pengagum cinta kedua orang tuanya namun dibesarkan di balik Benteng Merah yang seringkali membuatnya ingin berkelana mencari tahu kehidupan seperti apa di balik Benteng Merah. Ia sangat mengagumi cinta kedua orangtuanya, yang walaupun sang sultan mempunyai banyak istri karena tradisi kerajaan yang membuatnya mempunyai banyak istri-istri ”politis” demi kepentingan kerajaan, namun hanya seorang yang dicintai sultan, istrinya yang biasa dipanggilnya dengan panggilan kesayangan Mumtaz Mahal. Tapi sayangnya Jahanara harus menerima tradisi kerajaan yang menjodohkannya dengan Khondamir, seorang saudagar perak yang selama ini menentang kebijakan sultan.

Jika ayahmu dan aku dipertemukan demikian, dan sekarang sangat sulit dipisahkan, maka apa yang membuatmu berkata bahwa nasibmu akan berbeda?” Begitu kata Ibu Jahanara saat ia gelisah menerima keputusan ia akan segera dinikahkan.

Tapi kekhawatirannya terbukti benar, Khondamir seorang suami yang tidak pernah mengangapnya sebagai seorang wanita yang cerdas, mempunyai hak dan keinginan untuk melakukan banyak hal yang berguna. Khondamir memperlakukannya dengan sangat buruk, dan cinta bagi Jahanara terasa sejauh Roma dari Agra, tempat tinggalnya. Sementara di kerajaan mulai muncul persaingan antara putra-putra sultan untuk menduduki singgasana merah. Dara, putra laki-laki sultan yang nantinya akan menggantikan sultan untuk memegang pucuk pimpinan malah lebih menyukai bergumul dengan buku-buku di perpustakaan, menulis syair dan buku. Sementara, Aurangzeb, salah satu putra sultan yang lain sangat berambisi untuk merebut tahta dari tangan Dara, saudara laki-lakinya. Ia gemar berlatih perang, menjalin mitra dengan sekutu-sekutu kerajaan, namun sayangnya tabiatnya buruk dan sifatnya jahat. Dan malapetaka datang saat Ibu jahanara meninggal saat melahirkan bayinya di kemah pertempuran. Kematian itu membuat gairah hidup Sultah Syah Jahan mati, cintanya telah pergi bersama maut yang menjemput istrinya. Demi cinta dan janjinya pada istrinya, ia memanggil Isa, seorang arsitek dari Persia untuk membangun sebuah bangunan di tepi sungai Yamuna tempat jasad istrinya akan dimakamkan. Dan Isa mendesain sebuah bangunan nan megah dan agung yang nantinya akan dinamai seperi nama istri sultan, Taj Mahal-berasal dari Mumtaz Mahal yang berarti Istana Pilihan. Sultan Syah Jahan memerintahkan Jahanara untuk ikut membantu pembangunan Taj Mahal, dan pertemuannya dengan Isa adalah perjumpaannya dengan cinta sejati. Cinta menyapa mereka berdua dengan ketertarikan satu sama lainnya, dan cinta itulah yang mengingatkan jahanara akan cinta antara ayah dan ibunya.

Inilah kisah haru biru yang menyertai pembangunan Taj Mahal :

“Aku menggambar Taj Mahal dengan memikirkanmu. Aku membangun sedemikian rupa agar matahari bisa menari-nari di atas batu pualam dengan cara yang serupa. Aku menanggung ketidakhadiranmu di hati—ketakmampuanku memilikimu sebagai ibu dari anak-anakku, dengan memahat batu sesuai dengan citramu. Aku berkarya untuk menghormatimu karena inilah satu-satunya caraku mencintaimu, dengan mempersembahkan cintaku pada dunia”


Uhm..kisah inilah yang tak tersentuh permukaan dari latar belakang pembangunan Taj Mahal. Mereka berdua tidak bisa secara terang terangan memadu kasih, bagaimanapun juga Jahanara adalah seorang istri dari Khondamir. Tapi cinta itu terus tumbuh subur seiring pembangunan Taj Mahal selama bertahun-tahun.

Tapi kemudian mendung hitam menaungi kerajaan, Aurangzeb berusaha membunuh Dara dengan siasat liciknya, yang berkali-kali digagalkan oleh Jahanara bersama dua orang sahabatnya, Ladli dan Nizam. Sementara cinta Jahanara dan Isa terus berlanjut, dengan dibantu sultah Syah Jahan yang mempertemukan mereka dengan membeberkan rahasia adanya terowongan rahasia antara kamar Ibu Jahanara dengan sebuah rumah di luar kerajaan. Dengan terowongan itulah mereka bertemu, dan lahirlah seorang anak bernama Arjumand yang walaupun diakuinya sebagai anak Khondamir. Ulah Aurangzeb semakin mengacau, ia memerintahkan membakar candi-candi hindu dan itu pulalah yang menimbulkan perlawanan dari orang-orang hindu. Agra adalah kerajaan dimana umat hindu adalah mayoritas, namun orang-orang islam sudah berkuasa selama beberapa generasi. Dara adalah orang yang sangat cinta perdamaian, sehingga ia banyak menulis kitab-kitab tentang persamaan dan perdamaian tentang hindu dan islam, berbeda dengan Aurangzeb yang memanipulasi agama untuk merebut kekuasaan.

Kisah ini dilumuri oleh peperangan, bahkan kudeta seorang anak yakni Aurangzeb terhadap kekuasaan Ayahnya, serta hukuman penggal kepada Dara yang dinilai menyebarkan ajaran yang salah. Haru biru kisah pemenjaraan Sultan Syah Jahan dan putrinya Jahanara yang dilakukakan oleh putranya sendiri, Aurangzeb. Sultan akhirnya meninggal karena tua dan sakitnya sambil memandangi Taj Mahal sebagai wujud cinta sejatinya pada istrinya. Sementara Jahanara dengan perjuangannya menemukan kembali Isa dan anaknya Arjumand yang melarikan diri ke Bijapur. Kisah hidupnya selanjutnya dihabiskan di desa sebelah selatan Kalkuta bersama Isa, Arjumand, Ladli dan Nizam. Dan Taj Mahal yang agung terus bertahan dikagumi orang seluruh dunia hingga kini. Bangunan yang menyimpan kisah cinta sejati sultan Syah Jahan dan istrinya serta cinta Jahanara dan Isa.

Novel ini cukup memikat karena alurnya yang naik turun dan mengalir dramatis hingga tak pernah bosam untuk terus mengikuti kisahnya sampai akhir. Kisah ini cukup membuatku untuk berkeinginan untuk melihat langsung Taj Mahal suatu saat.

“ Kau tahu, Jahanara, Hidup dan gairah kemudaan, kekayaan dan kejayaan, semua terseret oleh zaman. Disebabkan oleh kefanaan kau lalu berjuang untuk membakakan hatimu yang muram. Biarlah musnah kemewahan rubi, mutiara dan berlian. Cukuplah setetes air mata ini, Taj Mahal ini, yang tersisa. Kemilau, tiada ternoda, di pipi waktu, selalu dan selamanya ( Rabindranath Tagore)


Judul Buku : Taj Mahal- Kisah Cinta Abadi

Judul Asli : Beneath a Marble Sky

Penulis : John Shors

Tebal : 457 Halaman

Penerbit : Mizan Pustaka

Genre : Novel Sastra

Sabtu, 25 Juli 2009

Merindunya



”Jangan pernah engkau berpetualang, bila hendak mencari akhir darinya. Ia akan menggodamu ke ceruk-ceruk yang lebih menantang”

Ehehe ini bukan kata bijak siapa-siapa, itu kata-kataku. Entah mengapa aku suka membuat beberapa penggal kalimat dan menuliskan namaku di bawahnya. Mungkin karena aku suka membaca kata-kata bijak dari berbagai tokoh maupun orang terkenal baik yang berabad-abad lalu maupun yang masih hidup kini. Aku selalu takjub dengan beberapa penggalan kalimat yang telah banyak menginspirasi banyak orang. Dan barisan kalimatku di atas ingin bicara tentang petualangan, kawan.
Bila engkau ingin hidup yang mudah, jangan memilih untuk berpetualang dan menantang mara bahaya. Tapi bila engkau ingin merasakan daya hidup dalam hembusan nafasmu, mulailah petualanganmu untuk merasakan hidup dalam kekinian.

Aku memang belum tahu banyak tentang petualangan, aku hanya pemula yang begitu tergila-gila dengan petualangan. Ia menawarkanku beribu pema
knaan hidup yang terletak pada pencarian, pertanyaan dan jawaban. Dan kini aku merindunya. Merindu saat merasakan tapak kakiku serasa tak menginjak bumi, walau getar kegugupan yang dirasakan jantungku serasa akan meledak. Aku baru tahu manusia bisa merasakan saat-saat seperti itu. Dan sekali lagi, kini aku merindunya.
Orang bilang saat manusia dilibat rutinitas, pekerjaan dan tanggu
ng jawab maka urat hidupnya akan mati. Entahlah, adakalanya hal itu terasa benar. Tapi manusia membutuhkannya karena semua tanpa hal itu, pesona yang mengerjap menawarkan kebebasan hanya akan terasa seperti rayuan sang kasmaran pada awal perpaduan, pesona sesaat yang takut tersibak kepalsuannya. Ah, bicara apa aku ya..mengapa tiba-tiba kata-kataku mengalir tidak lugas?
Engkau mungkin bertanya dan menyergahku dalam hati, ”heh apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Mengapa tak biasanya berbelit-belit?“ ehehe...

Aku tengah ditelan kerinduan, kawan. Kerinduan pada hal yang tidak ada di sisi, pada hal yang jauh dari pandang, pada tempat yang pernah mengisi hati. Hatiku ngilu saat menatap gambaran bisu, yang merekam senyuman merekahku, tempat-tempat di negeri dongeng itu, wajah-wajah yang mungkin tak bisa lagi kujumpai dalam ayuna
n langkah ke depan. Aku tidak tahu apa yang ditawarkan masa depan, tapi aku yakin dengan setiap tapakku yang mengangkahi bumi.
Dulu aku berpikir dengan mengunjunginya, kerinduan berkaratku akan tuntas. Tapi mengapa saat kaki telah melangkah pergi, dan waktu terus mengalir dalam perputarannya, tali itu tak pernah lepas dariku. Mengikuti kemana saja aku pergi, membebatku dengan kenangannya. Lalu aku harus menyalahkan siapa, kawan?

Ah, sebaiknya kuakhiri barisan kalimat yang semakin menyulut rinduku. Mungkin gerimis rintis tadi sore menghilangkan akal sehatku, hingga membiarkan diriku berlama-lama bicara pada angin dan mengira ia akan menyampaikan kerinduanku pada tempat-tempat yang jauh itu. Serasa masih sesak apa yang memenuhiku saat ini, dan dalam satu kejapan mata, dalam tetes hujan yang dihadiahkan langit, pada sesapan kopi ya
ng terakhir, dalam baris yang tak mau berhenti kutulis, aku sungguh merinduinya.
Awal tahun depan, seorang sahabat akan datang mengunjunginya.
Bahagiaku membuncah untuknya, karena aku dan dia pernah berbagi mimpi dan cinta yang sama tentang tempat itu, maka nanti aku ingin ia membauinya untukku. Membaui jerangan kopi Lavazza dalam Bialleti di pagi hari, menciumi aroma pizza carbonara yang baru selesai dipanggang, dan merasakan hembusan angin sore yang dibawa laut Mediterania.
Dan menyampaikan pada daun-daun musim gugurnya, bukit-bukitnya yang menjulang serta kastil-kastilnya yang agung, ” Bila masa depan masih memberiku waktu dan mimpi, aku ingin mengunjunginya (lagi), rumahku. Dan mengenalkan orang-orang yang akan mencintainya seperti caraku mencintai tempat itu”
23 07 09 9.10 pm

Selasa, 21 Juli 2009

Ibu Pertiwi Menangis (Lagi)


Saat tengah asyik menyimak materi yang diberikan pembicara di sesi pelatihan pagi tanggal 17 juli lalu, di layar HPku muncul sebuah pesan singkat

Ga jadi ke Jakarta ya wi? Ada kompor meleduk

Pesan singkat dari lingga, temanku yang saat ini di Bogor membuat keningku berkerut. Heh? Kompor meleduk? Maksudnya apa? Dan tersentak kaget aku saat membaca penjelasan di smsnya yang selanjutnya saat aku mintai konfirmasi. Wah, konsentrasiku agak terganggu, dan selanjutnya sms-sms mengalir sekedar mengabari atau menanyakan nasib selanjutnya pertandingan MU vs Indonesia All star yang sedianya akan digelar senin tanggal 21 Juli 2009 pukul 19.00. Saat istirahat siang, langsung setelah makan aku segera menuju lobi untuk ngenet. Ah, kaget membaca berita terkini di berbagai portal berita. Jakarta diluluh lantakkan lagi oleh teroris. Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di bom teroris, korban berjatuhan, wajah Indonesia kembali coreng moreng. Sedih..perih..

Lagi..lagi dan lagi, teroris berhasil merusak citra bangsa ini. Kenapa? Untuk apa? Aku tak habis pikir alasan di balik pemboman yang tak hanya sekali melanda ibu pertiwi. Mengapa Indonesia menjadi lahan subur tumbuhnya terorisme? Ah..

Siang itu, pertandingan MU masih belum ada keputusan apakah tetap akan berlangsung atau bagaimana. Muncul wacana hotel pemain MU yang sedianya akan menginap di Ritz Carlton akan dipindah ke hotel yang lain. Dengan perasaan gundah aku mengikuti lagi sesi pelatihan, hingga tak berselang lama, sms-sms dari para temanku kuterima mengabarkan berita buruk .

bad news wi, pertandingan MU dibatalkan, sudah ada konferensi pers resmi, lihat saja di goal.com ....” Demikian sms yang kuterima. Ufff lemaslah..pudar sudah harapan untuk melihat aksi pemain MU di Senayan Jakarta.

Tapi inilah yang harus diterima, memang beralasan pembatalan yang dilakukan manajemen MU. Bagaimanapun juga alasan keselamatan merupakan faktor utama pembatalan tersebut. Fans MU berkabung, penyelenggara yang tadinya berharap menangguk untung malahan berubah buntung. Miris melihat citra Indonesia di mata dunia, saat seluruh perhatian dunia tertuju pada Indonesia yang akan kedatangan tim raksasa asal Inggris tersebut, malah teror bom membinasakan citra keamaan negri ini.

Doa terpanjat untuk para korban agar menghadapi cobaan ini dengan tegar, untuk para pemimpin agar mampu mengendalikan dan memulihkan situasi ini, dan para penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini dan kembali menciptakan suasana aman dan trentram bangsa ini.

Ibu pertiwi (kembali)menangis, terluka dan perih..

Ada peran yang harus kita sumbangkan untuk kemajuan bangsa ini. Kembali meneruskan hidup, berkarya, dan melakukan hal-hal yang berguna jauh lebih baik dari pada mengutuk dan mengucapkan sumpah serapah yang tiada berguna.

Bangsa yang besar bisa ditilik dari seberapa cepat ia bangkit dari keterpurukan, dan kita sebagai warga negara wajib mengambil bagian sesuai dengan porsi kita masing-masing!

Jumat, 17 Juli 2009

Maukah hanya jadi orang yang kerdil?


Pagi hari saat mentari belum lagi nampak di Jogya, dari ruang duduk kamar 293 Sudirman Room hotel Inna Garuda aku menikmati pagi dengan secangkir kopi plus creamer yang baru saja kuseduh. Uhmm..beberapa hari ini akan menikmati fasilitas yang disediakan negara yang sungguh begitu nyaman, dan sebagai imbal baliknya semoga ilmu yang kuperoleh selama pelatihan ini bisa bermanfaat, minimal bisa kutularkan pada para mahasiswaku.

Seperti ucapan yang masih terngiang dari bapak Mien Rifai kemaren sore di sesi pertama

Saya teringat ucapan guru besar saya dulu, seorang pendidik dikatakan berhasil bila mampu mendidik lima orang yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Namun sampai setua ini saya merasa gagal. Sampai saat ini saya baru bisa mendidik tiga orang yang diakui reputasinya di dunia. Saya bangga sebagai pendidiknya karena mereka diakui, bermanfaat dan dibutuhkan di mana-mana, mendunia, disitulah terletak kebanggaan seorang pendidik

Lalu ada penggalan kalimat yang juga menyentuh

” Bukankah selama ini kita dibesarkan untuk menjadi orang yang kerdil? Kadang kita dididik untuk tidak lebih besar dari pendidik kita?Kita dididik untuk mempunyai pandangan yang sempit

Subhanallah bapak ini...aku tergetar mendengarnya. Jarang kudengar kata-kata inspiratif dari seorang pendidik dengan dedikasi yang begitu tinggi seperti beliau. Raganya sudah renta termakan usia, perkiraanku beliau sudah memasuki umur 70 tahun, sudah pensiun dari pekerjaan resminya. Tapi lihatlah beliau, walaupun dengan suara yang agak cadel karena giginya yang sudah tak lagi utuh itu dengan begitu semangat menyampaikan materinya. Beliau masih sangat dibutuhkan negara dengan menjadi pembicara DIKTI dimana-mana, masih menjadi tim akreditasi jurnal nasional, masih meneliti di laboratoriumnya, dan masih menghasilkan jurnal ilmiah internasional..ckckck..salut berat untuk bapak Rifai..Angkat topi buat beliau.

Seorang peneliti dikatakan masih hidup bila ia masih melakukan penelitian, masih terus mengikuti perkembangan ilmu di bidangnya. Untuk apa menjadi guru besar dengan gelar serentet tapi ia telah berhenti melakukan penelitian. Kalau seperti itu sudah dinamakan ”mati”ilmunya, sudah ”masuk kotak”!

Dan kalimat itu keluar dari seorang ilmuwan dengan usia yang sudah tak lagi muda. Benar-benar sebuah pemikiran yang progresif. Banyak lagi kalimat pencerahan beliau yang membuatku berpikir dan merenung. Beliau mengemukakan esensi pekerjaan sebagai seorang peneliti, pendidik..jauh dari embel-embel naik pangkat, jabatan, perolehan angka kredit dan lain sebagainya. Bukan semua itu tidak penting, tapi beliau mengemukakan sumber esensi, motivasi terdalam bagi seorang peneliti, dan dengan itu atribut-atribut seperti tunjangan fungsional, reward, dan sebagainya adalah imbal balik dari kinerja kita. I totally agree with that!!!

Kita bekerja membutuhkan jauh lebih dari sebuah gaji yang tinggi, tunjangan yang terus naik. Ada sesuatu di balik suatu pekerjaan yang membawakan artian hidup tentang makna dan misi kehidupan yang harus dijalankan. Kepuasan batin yang ditandai dengan menyatunya kita dalam pekerjaan, merasakan ada daya hidup seiring nafas pekerjaan kita. Hal itulah sebenarnya yang masih kucari.

Dari beliau aku belajar banyak, menengok masih banyaknya lubang-lubang jalan pemikiranku yang harus ditambal. Apa yang kulihat dari bapak Mien Rifai berdasarkan apa yang beliau sampaikan adalah bahwa beliau telah mengerti dan menjalani dengan sangat baik perannya tentang untuk apa seorang manusia dilahirkan di dunia.

Seorang manusia dilahirkan, dibesarkan, menuntut ilmu, bekerja, menikah, punya anak, berkarya...untuk apa?apa yang kau mau?apa esensi dari itu semua?

Pernahkah kau tanyakan itu pada dirimu sendiri?. Aku sungguh ingin melihat manusia dalam diriku. Manusia yang bukan hanya ragawi, tanpa jiwa manusianya yang utuh.

Ah, sesi pertama yang sungguh inspiratif dan merupakan topik yang tepat mengawali pelatihan ini karena tanpa akar, sumber dari dalam, pelatihan penulisan artikel ilmiah nasional hanya akan berjalan normatif.

Andai saja banyak orang Indonesia yang seperti bapak ini uhmm..sungguh bangsa ini masih sangat membutuhkan orang-orang seperti beliau.

Saya bisa menerbitkan tulisan saya di jurnal ilmiah dari skripsi di S0 saya, ke jurnal ilmiah yang paling sulit ditembus di Inggris. Andapun bisa, kalau anda mau..masalahnya apa anda mau?. Otak orang coklat kita ini bisa saja menandingi orang-orang bule sana. Dengan menunjuk-nunjuk kepalanya dengan tangannya yang kurus dan hampir keriput, beliau mengatakan hal itu dengan begitu bersemangat.

Wuelah salut..salut..bagaimana tidak?, beliau menamatkan pendidikan S3nya pada umur 28 tahun dengan pengalaman malang melintang di dunia. Beuhhh..hebat euuy .

”Kalimat andapun bisa, kalau anda mau” ini mungkin berkali-kali beliau sampaikan, dan tentu saja benar adanya.

Bangsa Indonesia ini bangsa yang banyak Wish (keinginan), tapi nggak punya Will (kemauan). Jadi bangsa kita menjadi bangsa yang kerdil. Seperti unta yang menundukkan kepalanya kalau menjumpai masalah, dikiranya dengan begitu masalah akan selesai

Weh lah..mungkin begitulah adanya realitasnya sekarang ini. PR besar bagi bangsa ini, bagi para pendidik negeri ini. Dan rasanya terbersit keinginan untuk seperjuangan dengan beliau! Semangattt...

Baiklah, bakpia pathuk yang terhidang sudah mengganjal perutku sebelum sarapan pagi nanti. Hari ini pelatihan juga sampai jam 9 malam lagi (wah berniat rehat kok malahan di sini jadwal full ya ehehe..tapi gpp lah), walaupun aku peserta pelatihan yang terkencur kedua (hehe..ada satu lagi yang lebih junior) di antara peserta-peserta lain yang sudah berpengalaman tapi enjoy aja, saatnya ngangsu kawruh agar tidak menjadi orang dengan pemikiran yang kerdil. Semoga!

05.45 a.m Sudirman Room 293

Source of picture : http://sealll.eu/images/magnify.jpg