Rabu, 28 Desember 2011

Boxing Day...yeiiiii Diskon!!!

Hari masih terlalu pagi, dan gelap adalah pasti di pagi musim dingin seperti ini. Tapi, hari ini adalah tanggal 26 Desember yang mungkin membuat banyak orang bangun pagi. Termasuk sahabatku ini, yang jam 7 pagi waktu Nottingham, account skype-nya sudah “menghijau” tanda online.

Gus Ir : Pagi2 OL, mau boxing day ya?aku juga, tapi masih gelap, nggak tau mendung atau cerah
Siwi Mars Wijayanti: ehehe...mendung atau cerah yang penting jadi saksi sejarah
Gus Ir : Apaan sih boxing day, aku sih cuman iseng ikut-ikut doang, daripada bosen
Siwi Mars Wijayanti : tinju2an..ahaha...

Suasana salah satu toko saat boxing day di Glasgow
Begitu  penggalan chat skype kami membicarakan tentang boxing day. Apaan tuh boxing day? Boxing =tinju??ehehe...pertama kali mendengar istilah ini saat ikut pelatihan pre department engilish course di UM Malang dulu, ada dosen yang bercerita tentang pengalamannya ikut boxing day. Jadi setidaknya sudah ada gambaran sebelumnya. Iyap, boxing day itu hari dimana hampir semua toko memberi diskon yang cukup fantantis barang-barangnya, sehingga dipastikan semua orang ingin berbelanja. Yahuii?seems interesting right? Dan pastinya membuat mata berbinar-binar bagi para penggemar belanja?
Aku? Ehehe mungkin sama dengan Gus Ir, niatnya hanya berperan serta sebagai saksi sejarah. Kan setidaknya kalau ditanya soal boxing day, kami-kami yang disekolahkan jauh-jauh ke negeri antah berantah ini bisa bercerita pengalaman kami.
Boxing Day sebenarnya secara tradisional adalah hari setelah hari natal dimana orang-orang kaya di UK memberikan kotak hadiah pada orang-orang yang kekurangan. Namun perkembangan sampai sekarang ini, Boxing day diadakan pada tanggal 26 Desember dimana toko-toko akan menggelar barang dagangannya dengan diskon fantantis! Tradisi ini bisa disaksikan di UK, Australia, Kanada, New Zealand dan beberapa negara Commonwealth.
wajah-wajah kalap diskon ehehe ;p
Dan akhirnya setelah 2 kali ketukan di pintu belum sanggup membuat Puput-flatmate-ku bangun, aku asyik berselancar di internet dan terciptalah tulisan (langung pencet backspace setelah tadi awalnya nulis-terciptalah puisi hihi) yang berjudul “Kamu (Lagi)”. Baru pukul 11-an kami meluncur ke city center tempat banyak toko-toko buka lebih awal dari biasanya menghadapi boxing day. Lalu ketemuanlah dengan si Maya (anak indo juga yang kuliah master di Glasgow Caledonian University), dan kami bertiga mulai menjelajah dari toko ke toko. Orang-orang sudah memadati hampir setiap toko. Hohoho malah jadi bingung belanjanya, kebanyakan orang ehehe. Dan untuk toko-toko branded (hihi maklum cah ndeso, nggak ngerti toko-toko bermerk terkenal) walau sudah didiskon, tetap saja harganya masih terasa setinggi langit, tak terjangkau. Lama-lama pegel juga kaki, menjelajah dari toko ke toko,
            “ Wah mba, kita belum bawa tentengan inih” kata Maya, saat melihat hampir setiap orang yang berjalan melintas, masing-masing membawa tentengan belanjaan baik di tangan kanan maupun kirinya.

Akhirnya menenteng barang belanjaan juga
Dan akhirnya, nemu juga toko yang harganya rada lumayan di kantong, kamipun kalap di New-Look dengan diskonan yang lumayan gedhe, hampir1/3 harga. Dan coat-yang biasanya mahal ampun, kini masih terasa “rasional” harganya. Dan mari pamer barang belanjaan. Kubeli sebuah coat merah paduan strip hitam seharga 10 pounds (aslinya 32.99 pounds). Tadinya rada penasaran, kenapa barang yang sama harganya bisa beda, karena di suatu bagian toko aku menjumpai coat yang seperti itu, hanya didiskon jadi nett 20 pounds. Kok yang di bagian lain bisa jadi 10 pounds ya? Jawabannya kudapat setelah kucobai coat itu di rumah. Ternyata coat yang kubeli itu  ada tulisannya : Age 12-13..ekekek...fiuuuuh, aku sudah menggendut begini di sini masih muat ukuran anak-anak umur 12-13 tahun?aih, syukurlah, jadinya ukurannya tetep pas di badan dan pas pula di kantong. Jadi, salah satu trik belanja adalah, cobain liat di ukuran anak-anak, siapa tahu ukurannya pas dengan kalian, mungkin karena ukuran orang sini jumbo-jumbo ehehe. Begitu pula dengan jaket merah marun, yang secara menggiurkan jadi 8 pounds, itupun untuk usia 12-13 tahun. So, sukses membeli barang bagus dengan harga lumayan murah.
Coat for Age 12-13?? ehehe ;p
Dan ada satu hal yang unik lagi di sini dalam urusan belanja, jangan kaget bila beda warna juga berbeda harganya. Ada warna-warna tertentu yang lebih mahal dari warna yang lain. Contohnya kubeli atasan mirip coat tapi bahannya tidak setebal coat warna merah (waaaah jatuh cinta banget sama baju iniiiii...), harganya dari 29.99 didiskon jadi 10 pounds. Tapi di bagian lain, kulihat yang warna biru tosca dan beberapa warna lain tidak didiskon, harganya tetap sama. Hoho, begitulah uniknya belanja barang-barang di UK. Jadi begitulah kawan, boxing day kali ini lumayan menikmatinya. Walaupun pengeluaran menjadi tak terduga, tapi kupikir tak apa, sebanding dengan barang yang didapat..ehehe.. alesan. Masih inget kata Nares (mahasiswa indo juga) yang dengan kalapnya menghabiskan sekitar 120 pounds dalam sehari,
            “ Eh, bukan masalah elu beli barang itu murah. Tapi liat dulu, itu barang dari harga berapa didiskon jadi berapa, kan goblok banget kalo barang bagus dari harga XX jadi XX tapi nggak dibeli kan bo” katanya diakhiri dengan tawa. Ekekek ada-ada saja dia, busyet di sini co’-malahan lebih gila belanja daripada kami-kami yang perempuan.
            “ Ini tuh buat nyokap, kan bagus tuh kalo sweater panjang ini dipakein jilbab, biar ganti-gantilah modelnya. Trus ini buat nenek gue, pasti deh ntar kalo udah kukasih, nenek gue bakal langsung jalan-jalan shopping pake sweater ini” terang Nares sambil menjereng dan mencobai barang-barang buruannya satu-satu di flatnya. Sedangkan kami (aku, puput, maya, dias) mengamati gaya si “mami” yang jago masak rendang ini, dan langsung bisa menebak bahwa hobi belanjanya adalah hobi genetis. Ehehe beginilah kami-kami ini, mahasiswa indo yang kena boxing day, kena tinjuan diskon ahahaha...


Senin, 26 Desember 2011

Kamu (Lagi)




Suara Badai, detak jam dinding, dan kamu
Kamu, lagi, yang mungkin dititipkan badai dari jauh, mengetuk-ngetuk jendelaku

Walau sebenarnya sudah kulipat-lipat rapi, seperti sapu tanganmu itu
Tapi pagi ini, kamu, melintas lagi
Meringkusku dalam setiap hitungan detik, setiap menit,

Sempat kuingin punguti sejarahmu dan kubawa lari,

Lalu pergi,

Tapi bukannya menghilang, tapi mengada, semakin

Jadi, biar kududuk bersamamu saja, bersama badai dan detak jam dinding




Glasgow, 26 Dec 2011 08.00 pagi yang masih gelap

Aku dan Sahabat

Bersama-sepiring berdua-
Kita, telah melewati berapa tahun bersama?walau waktu memang tak bisa menjadi ukuran sebenarnya. Kita, telah melewati berapa kejadian bersama? Berapa tawa, suka cita, duka, lara, hampa yang kita bagi bersama? Mungkin tak terhitung jumlahnya. Hampamu, sepimu, resahmu, cerita cintamu, impianmu, duniamu, terimakasih karena telah dibagi denganku. Seperti juga sepiku yang perlahan pergi bila kalian datang padaku, hampaku yang surut seketika bila bersama kaliam, lalu senyum kembali ada dimana-mana. Mungkin karena itu Tuhan, memberikanku sebagai sahabatmu, memberikan kalian sebagai sahabatku. Mungkin begitu.
Aku tak lagi harus memakai “topeng-topeng” saat bersama kalian. Aku, manusia, manusia saja saat bersama kalian. Yang pernah, pernah terisak-isak tanpa kata, hanya isak tangis saja di ujung telepon. Dan menantimu berkata satu kalimat saja, “kenapa?” 
Pernah berbagi cerita-cerita bahagia, sampai tertawa ngakak tak jelas bersama. Malam ini, pukul 11.30 malam waktu Glasgow, dan 6.30 waktu Indonesia. Aku ingin ikut pagimu, detik ini saja. Karena aku merindui kalian semua.
Kalimat kita selalu saja sederhana, seperti dengan sahabatku, sudewi,
            “.hehehe aku lagi makan...semur daging sapi...aku ingin gendut lagi....” pesanku yang kutinggalkan di inbox jejaring sosial.
            “Tambah daun2...biar gendutnya seger”. Aku tersenyum membacainya.
Atau kalimatku dengan iin marlina,
            “Wkwk Budos kangene tumplek neng pasar gombong” katanya saat aku menyebutkan kangen makan soto lepot, soto paling original dan enak seduniaaaa, kangen mie ayam bakso langganan kami di pasar gombong, dan tahu petis di depan pasar yang buka mulai jam 4 sore, dari dulu menjadi langgananku sejak dulu jama SMA sepulang les, bahkan saat kuliah di jogya, saat pulang..melompat dari bis karena biasanya berhenti sejenak di pasar gombong, langsung menuju si bapak penjual tahu petis, lalu berlari lagi ke bis dengan tahu petis panas di tangan. 
Wonosobo--Suatu Masa
Lalu, widuri wulandari, kalimat yang kuucapkan beberapa saat padanya,
Merry Christmas, my dear friend Widuri Wulandari..selamat merayakan natal bersama keluarga..have a good time :) “ begitu kuucap di wall jejaring sosialnya. Saat ini pasti ia sedang merayakan natal bersama keluarga besarnya di kebumen.
Lalu Ani, sahabatku yang telah memiliki dua orang buah hati,
            “ Sebentar adek, ini lho tante siwi telpon dari Inggris...” katanya saat kutelpon dengan kredit skype tadi pagi. Menerocos bercerita dan lumayan meredakan kangen, walau sebentar, karena kredit skype angkanya terus turun.
Sederhana saja, sangat sederhana. Selalu sederhana.
Duduk dekatku sini, kita kenang lagi bersama, masa-masa bersama kita. Kapan kali terakhir kita bersama-sama dalam formasi lengkap? Di pernikahan dewi sulis juni lalu? Saat di cirebon kala itu? Lama sekali kita tidak berbagi tawa dalam momen yang sama, dalam ruangan yang sama, dalam udara sama yang kita hirup. Kebersamaan?apakah memang harus dalam ruang dan waktu yang sama?
Kini, terkadang tengah malamku adalah pagi butamu, bangun pagiku adalah kala siang menggelincir menuju soremu. Aku merinduimu, merindui kalian. Hidup sudah berevolusi, jejak-jejak kita sudah menyebar kemana-mana, berlainan jalur-jalur hidup. Tapi bukankah kita terus bergandengan tangan?
Dan beberapa saat lalu, kubertanya,
            “ Aku sering sendirian, dalam hidupku, aku sering kali sendirian, sendirian saja. Tapi hampir aku tak merasa kesepian. Kenapa akhir-akhir ini aku merasa sepi?” tanyaku pada sahabatku, pada diriku sendiri juga sebenarnya.
Sepi..mungkin bukan aku saja yang terserang penyakit ini. Saat chat dengan seorang sahabat PDEC, yang tengah melanjutkan masternya di Nottingham, ia berkata :
[12/24/2011 10:13:37 PM] Gus Ir: iya betul, aku dari baru bangun duduk terus di depan komputer ndak tau dengan jelas apa yang aku lakukan dan manfaat apa yang aku dapat sampai saat ini, tapi satu hal yang aku syukuri bahwa aku masih hidup....

Ahahaa...Sepi ini, mengingatkanku akan kalian. Merindukan senyuman, tawa, bahkan tangis, keluh kesah kalian.

Bersama-Bali-2011
Aku harus bersyukur, aku punya kalian...***

Sabtu, 24 Desember 2011

Hilang



Bahwa pernah, saya saat berjalan menuju lab, melihat aspada nomor 7 yang biasanya turun di depan kosku dulu, saya mengedipkan mata berkali-kali, hanya untuk meyakinkan bahwa saya salah lihat. Bahwa pernah, saya terpilin lelah, bolak balik di ruangan waktu, di antara dua penanda waktu itu. Jam berapa sekarang? Maksudmu waktu mana? Aku terkadang terjebak di antaranya.
Pernah dalam sendiri, menunggu bus 747 untuk pulang ke rumah, saat petang, hujan, dan sendirian di antara bangunan-bangunan di kejauhan yang termakan kabut gelap, dan tiba-tiba saja saya merasa hilang, tidak terkoneksi pada apapun, walau sebenaranya ingin setengah mati.
Pernah, suara-suara orang bicara, senyum orang-orang lewat dan berlalu, tawa-tawa yang terdengar di telinga..tapi tak pernah sampai dalam hati. Suara itu hilang segera setelah bunyi terakhir terdengar, senyum-senyum itu tak berbekas, setelah hilang di muka mereka semua dan tawa itu, berlalu tanpa kutahu.
Saya juga pernah, berlarian pikir ke berbagai kota dalam beberapa detik saja, lalu mereka mencoba membawa saya pulang. Pulang kemana? Entah. Karena saya tidak ada dimana-mana. Saya tidak di Glasgow, tidak di Jogyakarta, tidak di Kebumen, tidak di Purwokerto, tidak di Semarang, tidak di Malang, tidak dimanapun. Saya pernah hilang.
Demikianlah hikayat kita. Manusia yang kehilangan dirinya sendiri dalam ruang-waktu yang kita reka setiap hari. Seperti kata Lucius Annaeus Seneca, filsuf sekaligus sastrawan Romawi yang hidup 2.000 tahun lalu itu, “Ketika kita berada di mana-mana, sesungguhnya kita sedang tidak berada di mana-mana.”
Kini (now), di sini (here), mungkin sesungguhnya kita sedang tidak di mana-mana (nowhere). Lihatlah kamera menjauh dari kepala kita, zoom out, kita menengadah: dan ternyata kita sendirian. Kecil. Terkucil (Fadh Djibran, Nowhere)

Kemudian saya bergegas, mencari lagi, dimana saya?siapa saya? Dan berharap akan ditemukan segera. Pasti. Saya mungkin hilang, karena kehilangan. Tapi akan kembali, karena saya ingin kembali. Menjadi “hidup” di detik ini.

*aku merasa asing dengan “saya” yang menulis posting ini, kalian kenal?aku tidak.

Kamis, 22 Desember 2011

Sebaris Kalimatmu Saja

Tak usah berbait-bait, berlarik larik puisi, ataupun sajak

Tak perlu indah rima, tak perlu pilihan kata berbunga

Cukup sebaris kalimatmu saja,

Sebaris, tak banyak

Cukup semenit, dari 23 jam 59 menit yang kau bagi dengan duniamu yang lain,

Sayangnya satu menitpun mungkin terlalu banyak

Sebaris kalimatpun menjadi terlalu mahal,

Hingga tak sanggup kumiliki,

**Untuk sahabat yang tengah menunggu jawab, dan berkata yang membuatku tersenyum : dari 24 jam miliknya, tidakkah bisa disisakan 1 menit saja untukku?

Rabu, 21 Desember 2011

Menempatkan Sejarah


Atas nama sejarah, engkau mengenggamnya erat-erat, engkau bawa-bawa kemanapun langkahmu pergi. Berdetik hingga tahun, atas nama sejarah, cerita itu engkau putar ulang di benakmu. Engkau mengenggamnya seakan masih kau miliki, dan lupa kapan terakhir kali “pengalaman langsung” yang kau rasai bersamanya? Terakhir kali kalian berbincang tentang cuaca, tentang jalanan yang ramai, tentang menu makan siang atau kemana tujuan jalan-jalan akhir pekan.
Kebersamaan yang tak pernah engkau punyai (lagi), karena kebersamaan kalian berdua sudah ada dalam lembaran-lembaran sejarah. Sejarah yang masih runtut kau buka-buka lagi, tapi masihkah akan ada cerita untuk kalian berdua di masa mendatang?
Engkau membuta, atas nama yang kaunamai cinta. Mungkin memang benar adanya, dan pastilah benar kurasa. Tapi sampai kapan kau terus menghidupi sejarahmu itu? Sedangkan harimu berjalan. Yang setiap detiknya menawarkanmu sejarah baru, bukan untuk menghilangkan sejarah lama, tapi mewarnainya.
Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata “sejarah” mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh (Surat yang tak pernah sampai-Filosofi Kopi-Dee)

Walaupun aku bisa mendengar harapmu dengan jelas, saat engkau berkata :

Aku ingin bersamamu, saat mengecat tembok rumah kita. Dengan cipratan warna cat di wajah coreng moreng kita, tapi kita masih terus tertawa, bahagia. Aku juga ingin memperbaiki kancing bajumu yang tak lagi lengkap..ataupun minum teh hangat bersama di teras rumah kita. Ingin memberikan senyuman terbaikku untuk luruhkan penatmu, agar kembali lagi senyummu itu. Hanya cukup satu senyum saja, senyummu. Terciptalah sebuah simphoni sore hari yang sempurna, sederhana. Tak lagi rupa-rupa, karena cintaku sederhana saja. My love for you is for free, tak usah kau hitung-hitung lagi.

Dan saat yang sama pula aku mendengar pula resahmu : Terkadang ingin mengalahkan waktu, tapi bisa kubayar dengan apa ketinggalanku bertahun-tahun lamanya?
Tak perlu, tak perlu kau kalahkan waktu. Karena sebenarnya waktu tak pernah peduli apapun kejadian di muka bumi ini. Ia hanya peduli untuk berputar, berjalan, sesuai dengan tugasnya.
Hidup ini cair, semesta ini bergerak, realitas berubah. Seluruh simpul kesadaran kita berkembang, mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali. Masih ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi, dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah (Surat yang tak pernah terkirim, Filosofi Kopi, Dee)

Pilihan itu di tanganmu, aku tahu engkau akan tetap sanggup “hidup” walau dengan membawa-bawa sejarahmu itu sepanjang hidupmu. Tapi, tidakkah engkau mengijinkan ada sejarah baru, biar lembar-lembar hidup anugerah GustiMu itu terwarnai?
**Untuk seorang sahabat, You deserved the best, my dear sis
Glasgow, 20 Dec. 11.15 waktu malam hari, dengan suhu yang mulai menggila, tapi tak jua bisa kupejamkan mata hingga tulisan ini usai***

Selasa, 20 Desember 2011

Rumah


(Foto di atas kutemukan di antara file-file foto jadul, entah kapan kuambil foto ini. Tapi inilah representasi hidupku. Meja dengan laptop dengan jendela berisi naskah tulisan yang tengah kukerjakan, printer, segelas teh manis yang tinggal separuh, dan remote tv. Lalu dinding yang penuh dengan gambar-gambar Venezia-Italy, lalu papan gabus itu, ada kalender akademik kampusku, cover koloni Milanisti buatan seorang sahabat, gantungan kunci dari bahan flanel hadiah dari mahasiswiku. Dan ada satu yang mungkin lewat dari penglihatanmu. Sebuah kertas kuning di papan gabus hijau ini, kau bisa menebak itu apa? Aku baru menyadarinya kini. Hidup terus berjalan, dengan segala aktivitas, tapi ada yang terselip disitu, tanpa kusadari aku menempelkan jadwal bis Efisiensi Purwokerto-Jogyakarta. Karena selalu ada kerinduan untuk kembali)
Jl. Riyanto 5D, Purwokerto. Kamis, 28 Januari 2010
Senja menangis, hujan turun lebat sekali, bukan lagi gerimis rinai-rinai sore hari yang membuatku mampu mencipta berbait-bait kalimat dan sajak. Dengarkan suaranya, dunia rasanya dipenuhi riuh suaranya, mengalahkan suara motor dari pemiliknya yang bergegas hendak pulang, mengalahkan suara tivi yang tengah menyiarkan berita di kamarku. Dingin menyelusup, sepi. Dan beginilah Purwokertoku, damai, terkadang sepi walau aku jarang merasa sendiri. Kadang pula memberikan kemewahan dengan kerikan jangkrik dan bunyi korekan katak seusai hujan.
Tapi sayang, Purwokerto tak jua sanggup membuatku jatuh cinta,
Purwokerto, bukan Jogya yang selalu sanggup membuatku berdegup saat mendengar nama kota itu disebut. Yang seketika sanggup memutar film yang berisi rentetan sejarahku. Yang selalu mempunyai jatah rinduku dalam porsi yang selalu membuat siapapun cemburu.
---
Aku masih ingat hari itu hari sabtu, entah tanggal berapa, sekitar sebulan menjelang keberangkatanku ke Glasgow. Aku dan sahabatku, Cu’u, melakukan sebuah ritual, ritual melepaskan kutukan-ini hanya bahasaku saja.
Aku harus ke Baturaden sebelum aku pergi, selama lebih dari 6 taun aku tinggal di sini, belum sekalipun benar-benar mengunjunginya. Mungkin benar ada kutukan agar aku kembali lagi untuk bekerja di kota ini, karena aku belum pernah kesana. Maka aku harus ke Baturaden untuk menghilangkan kutukan itu
--
Aku melakukannya agar Purwokerto “mau”melepaskanku.
---
Glasgow, 21 HillheadStreet-19 Desember 2011
Cintaku pada Purwokerto memang tak pernah semeletup-letup pada Jogyaku. Rinduku padanya (Purwokerto), tak semenggebu rinduku pada lapak-lapak penjual Gudeg di pinggir jalan saat pagi hari, pada bahasanya yang membuat telingaku merindu dengar, pada setiap ada saja dan setiap rasa—ada yang bilang itu mantra—Jogyakarta.
Biarlah, karena realitanya Purwokerto yang menanti aku kembali. Dan padanya, aku mau kembali. Aku teringat barisan Dee- di buku Madre yang kubaca beberapa minggu sebelum aku berangkat “
“Saya meninggalkan Bali. Menetap di kota yang paling saya hindari. Bekerja rutin di suatu tempat yang sama setiap hari. Ternyata sampai hari ini saya masih waras. Saya rindu pantai. Tapi pantai tak perlu jadi rumah saya. Rumah adalah tempat di mana saya dibutuhkan (Madre-Dee)
Tapi Pantai tak perlu jadi rumah saya—mungkin memang begitu, Jogya tak perlu menjadi rumah saya. Mungkin memang ada hal-hal yang menjalankan perannya untuk selalu dirindukan. Biarlah Jogya, menjadi Jogyaku seperti biasa, yang menyimpankan rindu, yang menawarkan tempat untuk pulang sejenak, yang menyimpankan sejarah. Karena mungkin begitulah perannya. Tak perlu memprotesnya, terima saja begitulah adanya. Begini ceritanya sekarang, entah nanti. Setidaknya hati saya akan selalu mempunyai tempat untuk menyimpannya.
Purwokerto, mungkin akan menjadi rumah saya (lagi). Karena disanalah tempat dimana saya dibutuhkan.
Lalu ada dialog imaginer terdengar di telinga saya,
Lalu kau dimana? Kemana engkau akan “pulang”?” saya mencecar seseorang dengan pertanyaan. Dia tersenyum, lalu menjawab pertanyaanku,
aku, bersama peran dan tanggung jawab-tanggung jawabku. Karena di sanalah aku dibutuhkan
Saya terdiam, lalu semenit kemudian senyum saya terkembang. Terkadang harus bisa saling melepaskan untuk bisa terus bersama.***