Jumat, 04 Juli 2014

Cerita Seru Cari Makanan Halal di Glasgow, Inggris Raya



Tulisan ini dipublish di Detik Ramadan
Mempertanyakan kehalalan makanan dulu jarang saya lakukan saat masih tinggal di Indonesia. Dalam pikiran saya, dengan tidak mengkonsumsi makanan yang memang diharamkan seperti babi dan alkohol maka saya sudah merasa aman memilih makanan. Walaupun akhir-akhir ini merebak beberapa kasus tempat makan yang tidak memiliki sertifikat halal, namun tetap terhitung jarang di Indonesia. Namun semenjak tinggal di Glasgow-Inggris Raya, saya belajar untuk memilah makanan yang saya konsumsi sehari-harinya. Ada beberapa pelajaran yang saya dapatkan setelah tinggal di Glasgow, Skotlandia ini termasuk juga soal produk halal dan haram. Sebagai seorang muslim, tentu saja hal tersebut penting untuk diperhatikan. Misalnya saja saat mengkonsumsi ayam, daging kambing atau sapi. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah kehalalannya, yakni termasuk halal dalam proses penyembelihan dan pengolahannya. Banyak produk ayam, daging sapi yang tersedia di supermarket namun tidak berlabel halal, oleh karena itu seharusnya dihindari.
Untungnya saja, saya tidak terlalu kerepotan dalam mendapatkan daging halal karena di Glasgow terdapat banyak halal butcher yang menyediakan daging halal serta produk-produk halal lainnya. Saya biasanya membeli daging dan produk halal lain di toko-toko di daerah Great Western Road, hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari tempat tinggal saya. Kebanyakan toko tersebut milik orang-orang Pakistan. Selain di toko-toko tersebut, supermarket besar seperti Tesco pun sekarang mempunyai rak tersendiri yang menjual produk daging halal. Kemarin sabtu saya mampir ke Tesco di Great Western Road dan mendapati produk daging halal yang sebelumnya belum pernah disediakan oleh Tesco cabang tersebut. Mungkin bulan Ramadan menjadi pertimbangan mereka mulai menjual produk daging halal.
Salah satu hal yang unik lainnya yakni bila kami ingin makan di luar (tidak memasak sendiri). Memang pilihannya tidak banyak, namun bagaimanapun harus tetap disyukuri. Ada beberapa restoran India ataupun Pakistan dengan label halal, toko-toko kebab, pizza serta KFC di Glasgow city center juga berlabel halal. Ini berlaku pula bila saya jalan-jalan ke luar kota. Selama jalan-jalan, kami tidak terlalu kesulitan mencari makanan halal. Ada berbagai pilihan yang bisa dijumpai selama perjalanan seperti KFC (dengan label halal tentunya), toko kebab ataupun restoran timur tengah. Bila tidak yakin makanan yang disediakan halal atau tidak, maka kita bisa menanyakannya ke pegawai restaurant tersebut. Pertanyaan mengenai kehalalan bukan lagi merupakan isu sensitif di Inggris, namun sudah menjadi hak konsumen untuk mengetahui produk yang akan dibelinya.
            Ataupun bila ternyata sulit mencari tempat makan halal, kami memilih untuk pergi ke tempat makan dengan memilih menu vegetarian atau ke Fish and Chips yang banyak sekali terdapat di berbagai kota-kota. Dengan makan kentang goreng dan ikan tepung ini cukup lezat dan lumayan mengganjal perut untuk kembali melakukan perjalanan kami. Tips lainnya, kita biasanya membawa makanan yang dimasak sendiri untuk bekal perjalanan. Bila kami pergi jalan-jalan hanya sehari saja (pulang-pergi) maka akan membawa bekal makan. Selain dijamin kehalalannya, juga lebih irit karena makan di luar harganya jauh lebih mahal. Satu lagi, makan bekal sendiri pasti rasanya akan lebih cocok untuk lidah kami, karena bila makan di luar kami harus terima rasa makanan-makanan yang seringkali kurang cocok dengan lidah Indonesia kami. Kalau pergi jalan-jalan dalam waktu yang cukup lama, kita bisa membawa lauk kering seperti kering tempe, empal yang bisa jadikan lauk selama perjalanan.
Oh ya jangan lupa, selain produk-produk daging, kita juga harus memperhatikan bahwa ada beberapa produk makanan tertentu yang harus dicermati saat membelinya. Meski tidak disebut haram di Qur’an dan Hadits, bisa saja makanan menjadi haram karena diolah bersama bahan yang haram. Pemanis, pengemulsi, penyedap rasa, pewarna makanan yang tidak halal bisa menyebabkan produk makanan menjadi haram. Oleh karena itu, akan lebih baik bila mengecek terlebih dahulu bahan-bahan yang tertera dalam kemasannya sebelum membeli. Soal kehalalan ini akhir-akhir ini menjadi isu yang diperhatikan karena semakin banyaknya konsumen yang membutuhkan produk-produk halal seiring dengan meningkatkan komunitas islam di Inggris Raya. Semoga ke depan, umat muslim di Inggris dapat memperoleh prosuk-produk halal dengan lebih mudah. ***

Tulisan ini dipublikasikan di detik ramadan, dengan link berikut



Selasa, 01 Juli 2014

Mengeja Kenang Ramadan




Ramadan ketiga. Iyah, ketiga kalinya Ramadan akan saya lewatkan di Glasgow. Tapi kini saya tidak lagi merasa jauh, walaupun tentu saja kadang merindu rumah. Apalagi masa-masa Ramadan bila di Indonesia pastilah identik dengan suasana kumpul bersama dengan keluarga. Pulang ke rumah di awal Ramadan, dan berpuasa bersama keluarga. Rasanya sudah lama saya tidak merasakan nuansa seperti itu. Apalagi Ramadan kali ini, saya  bisa membayangkan perasaan orang tua saya, terlebih ibu saya yang pastilah merasa kurang lengkap dalam Ramadan kali ini. Hanya beberapa hari menjelang bula Ramadan kemarin, adik saya berangkat ke Ciawi untuk pra-jabatan dan kemungkinan akan segera ditempatkan di Ternate sebelum lebaran. Jadi, kemungkinan besar hanya adik bungsu saya yang akan menemani bapak ibu saat lebaran nanti. Oh andai, kehadiran saya bisa digantikan oleh hal lain yang bisa saya lakukan dari sini selain menelpon ataupun skype pasti akan saya lakukan.
Selain mengingatkan akan rumah, bagi saya Ramadan adalah kenang,
Kenang seperti halnya langkah-langkah kecil saya menuju Mushola dengan senter di tangan. Tak ada penerangan.
            “Hati-hati bila melintas di pohon asem itu. Ada banyak hantunya,” kalimat itu selalu saja  terlintas tiap kali saya kala kecil dulu melewati jalan itu ketika pulang tarawih atau jamaah subuh. Dengan jantung bergedup dan langkah cepat-cepat. Saya ingin sekali hendak cepat-cepat menghindari area sekitar pohon asem itu. Padahal itulah jalan yang tiap hari yang harus saya lewati bila hendak ke Mushola.
Saya juga masih ingat, saya saat kecil tak punya banyak kerudung. Jadi dengan berkerudung kuning segi panjang yang disampirkan di kepala saya pergi ke mushola. Tiba-tiba saya bertanya, dimana kerudung kuning berbordir itu? Hilang ditelan masa, namun kenangnya tetap mengada.
Kadang pula, Ramadan adalah kenang sebuah pelepah daun pisang yang menghindarkan tubuh kecil saya dari hujan sepulang tarawih. Oh kadang kala kini saya berpikir, jaman apa saya dulu dilahirkan?
Ramadan dengan laporan sholat tarawih, sholat fardhu di sebuah buku yang wajid diisi dan ditandatangani pak kyai.
Kenang Ramadan, yang dengan suka cita sibuk di dapur menjelang buka puasa. Lalu menyeduh minuman hangat untuk berbuka bersama keluarga. Empat gelas teh panas, dan satu gelas kopi untuk bapak. Hampir pasti begitu, jarang berubah, walaupun ada minuman tambahan seperti kelapa muda ataupun sirup.
Ramadan adalah tentang kenang. Betapa manusia diingatkan akan pulang. Baik pulang ke rumah, ataupun “pulang” dalam arti kematian.
Kini, saya hanya bisa mendengarkan suara bapak ibu saya lewat telepon, atau kadang menyapa dengan melihat wajahnya lewat skype. Orang tua saya mungkin belajar bagaimana merelakan anak-anaknya telah melesat dengan anak panahnya masing-masing, dengan definisi kebahagiaannya masing-masing.
Saya pula belajar menerima dan bersyukur, bahwa Tuhan selalu memberikan saya rasa rumah di mana-mana.
Ramadan mungkin saja membuat saya mengeja kenang masa lalu. Tapi Ramadan juga sanggup membuat saya mencipta peristiwa-peristiwa kekinian untuk mencipta kenang yang akan saya eja di masa depan.
Dan kini, saya mencipta kenang-kenang berikutnya. Di tanah-tanah asing yang tak lagi terasa asing.
Di tanah yang saya sebut RUMAH.


Glasgow, hari pertama di Bulan Juli


Sabtu, 28 Juni 2014

Apa Kau Tahu Tentang Ikhlas?



Apa kau tahu tentang ikhlas? Kapan dengan bening hatimu merasakan keikhlasan?
Kau tahu kawan, terkadang aku berpikir tentang ikhlas.
Dalam pikiranku, mungkin saja  ikhlas juga serupa dengan rasa cinta bahagia, nestapa, gembira, cemburu ataupun mendurja.
Serupa
Serupa bahwa semua rasa itu tak pernah kekal selamanya, berganti-ganti rupa dan masa
Pernahkah kau bahagia selamanya?
Pernah kau sedih selamanya?
Mungkin juga itu serupa dengan ikhlas.
Bahkan hatimu pun terkadang ambigu, kapan ikhlas benar-benar terasa ikhlas.
Hatimu terkadang sebening telaga, hening, lalu ikhlas terasa dekat hatimu
Tapi kemudian sesaat kemudian,
Beberapa hari kemudian, sebulan kemudian
Hatimu tergugu, kemudian rasa ikhlas itu terkadang lepas
Kadangkala aku tahu bahwa ikhlas mungkin bukan berarti lekas melepas, tapi berupaya lebih keras.
Lalu aku menjadi ambigu, ini ikhlas atau bersikeras?
Oh,
Apa kau tahu sesuatu tentang ikhlas?
Iyah, karena kadang-kadang aku tahu. Kurasakan ikhlas bening mengalir dalam hatiku
Namun sering kali aku tidak tahu,
Yah, lebih sering aku benar-benar tidak tahu.
Oh lalu tiba-tiba ada suara menyerua :
Tak mengapa
Tak mengapa
Oh ternyata memang tak mengapa.

Glasgow, 28 June 2014 di sebuah siang yang tenang. Sehari menjelang Ramadan

Glasgow Central Mosque, Bukti Sejarah Peradaban Islam di Skotlandia


Glasgow Central Mosque
Hidup jauh dari tanah air terkadang membuncahkan kerinduan akan rumah. Namun jarak kadang kala tak bisa terelak, bahwa antara Glasgow dan Indonesia terbentang 7569 mil jauhnya. Untung saja rasa rindu rumah sedikit teredakan dengan adanya rumah-rumah jiwa yang saya temukan di tanah tempat menjejakkan kaki sekarang ini. Sebagai seorang muslim, saat hendak tinggal di negara lain dimana islam bukan merupakan agama mayoritas tentu ada sebuah kerisauan tersendiri. Apakah ada tempat peribadatan? Bagaimana perlakuan penduduk setempat terhadap orang asing ? Apakah ada diskriminasi yang mungkin terjadi. Tapi saya bersyukur, Glasgow merupakan rumah yang ramah bagi para pendatang termasuk pendatang muslim. Salah satunya dengan adanya rumah fisik sebagai rumah peribadatan komunitas muslim di Glasgow yakni Glasgow Central Mosque.
Keberadaan masjid utama di Glasgow tersebut pastilah istimewa bagi kami komunitas muslim di Glasgow. Jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, masjid ada dimana-mana. Namun di sini, masjid adalah bangunan istimewa yang setidaknya sanggup membuktikan keberadaan komunitas muslim di Glasgow. Sejarah perkembangan muslim di Inggris Raya termasuk juga di Glasgow, hampir serupa dengan sejarah islam di Perancis, yakni melalui proses imigrasi. Proses ini berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19.  Umat muslim di Glasgow awalnya datang dari India dan Pakistan yang tinggal di daerah Gorbals. Daerah ini merupakan sentra ekonomi yang menarik datangnya para imigran dari Irlandia, India, Pakistan, Yahudi dan juga Italia. Komunitas muslim tersebut kemudian berupaya membangun rumah peribadatan, dimulai dari Oxford street, Carlton Place dan kemudian akhirnya terbangunlah Glasgow Central Mosque dengan luas empat hektar yang terletak di 1 Mosque Avenue, Glasgow ini. Karena sejarah inilah, Glasgow Central Mosque merupakan bukti peradaban islam di Skotlandia.


Interior dalam Glasgow Central Mosque

Masjid utama Glasgow ini merupakan masjid terbesar di Skotlandia selain Edinburgh Central Mosque di Edinburgh. Masjid ini dibangun dengan menelan biaya sebesar 3 juta poundsterling dan kemudian dibuka untuk umum pada 18 Mei tahun 1984. Masjid tersebut digunakan untuk salat sehari-hari. Tempat ibadah ini dapat mengakomodasi sekitar 2.500 jamaah, termasuk alokasi 500 jamaah untuk perempuan yang terletak di lantai dua. Selain untuk sholat, Glasgow Central Mosque juga menyediakan layanan konsultasi, acara pernikahan dan upacara pemakaman.  Terdapat juga tempat yang disewakan untuk  resepsi pernikahan, pengumpulan dana amal, konferensi serta pameran. Selain itu, komunitas masjid juga mengadakan kegiatan-kegiatan sosial seperti donor darah, sumbangan untuk orang miskin, bantuan penanganan orang-orang lanjut usia serta juga menyelenggarakan seminar ataupun diskusi keagamaan.
Selain Glasgow Central Mosque, di kota juga terdapat beberapa masjid lainnya dan juga tempat peribadatan. Ada pula tempat salat untuk umum yang dari luar sama sekali tak terlihat seperti tempat peribadatan umat islam. Misalnya saja Dakwatul Islam yang dekat dengan tempat tinggal saya. Bila orang melintas di Oakfield Avenue jarang yang mengira kalau di sana terdapat tempat peribadatan umat muslim. Meskipun begitu, rasa syukur tak terhenti karena pemerintah tidak membatasi aktivitas ibadah kami. Pemerintah Skotlandia menerapkan The UK Government's Equality Act yang disetujui pada bulan April 2010. Peraturan tersebut berisi kesetaraan tanpa adanya diskriminasi karena ras, umur, orientasi seksual, serta agama dan kepercayaan.  Dan ditambah lagi, ternyata semua masjid di Britania Raya ini memperoleh bantuan operasional dari pemerintah.  Hal tersebut tentunya menjadi bukti adanya dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan warganya untuk memperoleh haknya dalam beribadah.


Saya dan rekan-rekan Glasgow seusai salat Idul Adha

Saya dan rekan-rekan muslim di Glasgow biasanya menunaikan salat Idul Fitri dan Idul Adha di Glasgow Central Mosque ini. Ada pengalaman baru saat menjumpai banyaknya umat muslim di Glasgow yang berasal dari berbagai negara dan etnis. Pun juga melihat perbedaan-perbedaan yang saya jumpai, misalnya ternyata hanya saya dan rekan-rekan Indonesia, Malaysia  saja yang sholat mengenakan mukena, karena kebanyakan jamaah perempuan lainnya hanya memakai pakaian biasa saja. Ada yang memang pakaiannya menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan saat sholat, namun banyak pula yang hanya mengenakan lengan pendek lalu berkerudung disampirkan. Ada banyak ragam perbedaan batasan aurat saat sholat yang saya jumpai. Selain itu, ada sedikit tata cara sholat yang berbeda saat menunaikan sholat Ied. Ah, kadangkala perbedaan hadir untuk menguji seberapa dalam toleransi dan upaya saling mengerti, bukan untuk saling mencaci dan membenci.

* Siwi Mars Wijayanti, Penulis merupakan PhD Student di University of Glasgow. Anggota tim redaksi PPI Glasgow.

Artikel ini dipublish di portal Detik Ramadan di link berikut


Jumat, 20 Juni 2014

Uniknya Puasa Ramadan Saat Musim Panas di Glasgow


Publikasi artikel ini di detik ramadhan (linknya): http://ramadan.detik.com/read/2014/06/19/102451/2612655/1598/uniknya-puasa-ramadan-saat-musim-panas-di-glasgow?r992203625

Menjelang Bulan Ramadhan tahun ini, kami warga muslim Indonesia yang bermukim di Glasgow, Skotlandia  menyambutnya dengan penuh suka cita. Walaupun tak ada tabuh bedug yang semarak menyambut Ramadhan seperti di Indonesia, tapi tak urung membuat kami tetap merayakan kedatangan bulan suci tersebut. Salah satu yang menarik dari berpuasa di sini yakni waktu puasanya yang tentu jauh berbeda dengan waktu puasa di Indonesia. Glasgow saat ini sedang memasuki musim panas dengan waktu siang yang lebih panjang daripada waktu malam. Bila mengacu pada jadwal puasa dari Central Mosque Glasgow (masjid terbesar di Glasgow), waktu sahur Ramadhan pertama sekitar pukul 2.45 kemudian buka puasa (waktu magrib) pukul 22.14. Jadi kami akan menjalani puasa ramadhan kurang lebih 18 jam,  yang tentu saja lebih lama dibandingkan dengan waktu puasa di Indonesia.
Hal ini terjadi karena puasa ramadhan berlangsung saat musim panas. Berbeda bila berpuasa di musim dingin, yang magribnya bisa saja sudah tiba sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Mungkin terpikir alangkah beratnya berpuasa sebegitu lamanya, apalagi saat musim panas. Itu juga yang dahulu terpikirkan oleh kami saat belum pernah mempunyai pengalaman puasa di sini. Kami sebelumnya terbiasa dengan waktu puasa Ramadhan di Indonesia yang waktunya relatif sama dari tahun ke tahun. Kemudian saat tinggal di Glasgow, kami berpuasa dengan waktu yang jauh lebih lama. Untungnya, walaupun berpuasa di musim panas namun pada kenyataannya suhunya tidak terlalu panas. Di Glasgow, rata-rata suhu harian selama bulan Juni adalah 16 ° C, sementara Juli dan Agustus rata-rata harian 18 ° C dan tertinggi sekitar 23-25 0 C. Jadi tentu saja lebih panas di Indonesia bukan? Kondisi ini menyebabkan walaupun waktu berpuasanya cukup panjang namun tidak terlalu kehausan karena tidak terlalu panas. Uniknya jadwal puasa Ramadhan di Glasgow ini, mau tidak mau membuat kami menyesuaikan aktivitas dengan jadwal puasa. Karena waktu maghrib dan subuh saling berdekatan, biasanya kami mensiasatinya dengan tetap terjaga sampai subuh, kemudian setelah sholat subuh baru tidur.
Menjalani puasa Ramadhan di negeri orang tentu saja menghadirkan kerinduan untuk menikmati suasana Ramadhan seperti di tanah air. Salah satu yang istimewa dari Indonesia sebagai negara dengan mayoritas agama islam adalah semaraknya Bulan Ramadhan. Sepertinya semua orang menyambutnya dengan penuh keriangan. Berjajar penjual makanan takjil menjelang buka puasa, suara adzan dari masjid-masjid, banyaknya jamaah sholat tarawih, acara buka puasa bersama dan juga banyak kegiatan-kegiatan pengisi ramadhan lainnya. Sementara kami tinggal di Skotlandia dimana islam menjadi agama minoritas. Populasi muslim di Skotlandia sampai tahun 2011 mencapai 76.737, sekitar 1.4% dari total penduduk di Skotlandia. Mayoritas penduduk skotlandia beragama kristen, dan Muslim merupakan kelompok ketiga terbesar non-kristen setelah Atheis dan Agnostik. Sebagain besar populasi muslim di Skotlandia berasal dari Asia Selatan, terutama yang berasal dari Pakistan. Oleh karena itu, tentu saja tak ada bedug yang semarak, tak ada ramainya penjual-penjual takjil menjelang buka puasa. Aura ramadhan sama sekali tak terasa. Mungkin penduduk Glasgow banyak yang tidak menyadari atau mengetahui bahwa umat muslim akan memasuki bulan Ramadhan, namun masih aja juga mengetahuinya.
Namun sebagai kaum minoritas, kami bersyukur masih diberikan banyak kemudahan untuk tetap beribadah di negeri ini. Halal Butcher (tempat menjual daging halal) relatif mudah dijangkau, tempat beribadat untuk sholat berjamaah juga ada di beberapa daerah Glasgow. Dan tentu saja, mempunyai pengalaman berpuasa di luar negeri dimana islam menjadi minoritas tentu saja menjadi pengalaman menarik yang akan memperkaya pengalaman hidup kami. Beribadah bisa dimana saja, Tuhan selalu memberikan kemudahaan bagi umatNya. Panjangnya waktu berpuasa semoga menambahkan semangat ibadah kami. Dan kami menyambut Bulan Ramadhan dengan penuh suka cita. ***


Glasgow, 20 June 2014 di siangnya yang benderang cerah

Sabtu, 14 Juni 2014

Oh Malangnya, Manusia




Mungkin ada kalanya melihat orang yang korupsi, kemudian kita merasa suci
Ada kalanya melihat orang yang salah, lalu membuat kita merasa benar
Melihat orang-orang yang kita kira belum melakukan perintah agama, membuat kita merasa lebih baik, lebih agamis, lebih mulia.
Melihat orang lain berbuat begini, bersikap begitu. Lalu membuat kita merasa menjadi umatNya yang lebih baik dari manusia lainnya.
Oh, Malangnya.
Alangkah malangnya kita, manusia.


Glasgow, di sebuah sore yang tenang. 

Rabu, 11 Juni 2014

Edensor, Menjamahi Mimpi-Mimpi



Mobil yang kami tumpangi menembus jalan-jalan kecil yang di samping kanan kirinya berupa hamparan hijau padang rumput dan domba-domba yang merumput. Kami tengah dalam perjalanan menuju Edensor, seusai penutupan acara KIBAR Gathering di Markfield. Namun cuaca yang tadinya cerah dan langit biru sore itu berganti menjadi hujan deras tatkala kami sampai di daerah Derbyshire. Hatiku sedikit gundah, ah padahal tadinya saya membayangkan Edensor dengan langitnya yang cerah, dengan hijaunya perbukitan dan domba-domba yang lucu itu. Cuaca memang terkadang mempengaruhi saat kita jalan-jalan, seperti kala saya jalan-jalan ke Oxford dan Cambridge tahun lalu. Rasanya saya tidak terlalu mengingat kemana saja di kota itu karena hujan deras tak henti-henti mengguyur kota. Berjalan kaki kala hujan, langit gelap huhu mana bagus buat foto-fotoan dan tentu saja mobilitas sangat terbatas. Karena itu, kali ini saya ingin sekali melihat Edensor dalam pesona terbaiknya soalnya tempat itu sudah lama sekali menjadi list saya untuk dikunjungi. Tentu saja gara-gara membacai buku tetralogi Laskar Pelanginya Andrea Hirata itu. Edensor merupakan  desa impian Andrea Hirata karena membacai buku If Only They Could Talk karya James Herriot.
Mas Basid terus melajukan mobilnya menuju Bakewell di tengah hujan yang masih saja mengguyur langit England kala itu. Hati saya ciut mendapati belum ada tanda-tanda hujan mereda. Namun sepersekian detik kemudian sepertinya ada terdengar suara :  Sepertinya kau meminta terlalu banyak. Mungkin itu suara dari dalam diriku sendiri, lalu kemudian menyadari, ah mungkin saja begitu. Saya sedang menuju ke tempat yang saya impikan sejak dulu, dengan segala kemudahanNya, kesehatan, beserta sahabat-sahabat. Bukankah kau seharusnya bersyukur? Suara itu terdengar lagi. Jleb. Tiba-tiba saya malu pada Tuhan.
Ah, saya pada akhirnya tiba pada kebersyukuran pada semua berkahNya. Entah hujan, entah berawan, entah cerah..saya akan menyambut Edensor sesuai dengan apapun jatah Tuhan yang diberikan pada saya. Setelah itu hati saya berubah tenang dan menikmati tetesan hujan di luar jendela mobil kami yang terus melaju. Hujan kemudian berangsur berubah menjadi gerimis rinai-rinai kala kami sampai di Bakewell. Rencananya kami ingin melihat Haddon Hall (Rumah/istana bergaya English milik Duke of Rutland) di River Wye, Bakewell, Derbyshire karena tempat itu sejalan menuju Edensor. Namun sayangnya tempat parkir dan Haddon Hallnya sudah tutup sehingga kami urung masuk. Coba tempat parkirnya masih bisa, kan bisa jalan-jalan ke padang menghijau dengan domba-domba lucu itu. Namun ternyata memang tidak bisa sembarangan parkir mobil di UK ini. Eit, tapi bukan saya kalau nggak bisa mencuri narsis sejenak di tempat itu eheh.
Hamparan padang rumput di belakang itu selalu saja mempesona

Paling betah memandangi yang begini begini
Lalu kemudian kami memutuskan untuk langsung ke Edensor. Kadang kami melewati jalan sempit seperti di tengah hutan, lengang. Uwooo kami benar-benar masuk pedesaan tipikal England. Tentu saja nuansanya terasa berbeda dibandingkan saat jalan-jalan di kota besarnya. Kami terus memecah sepi, melajukan mobil menyusuri jalan-jalan sempit yang berkelok kelok sembari menikmati hijau dan damainya pemandangan di luar jendela.

Pemandangan di luar jendela
Dan ajaibnya, gerimis rinai-rinai berhenti dan langit mulai membiru cerah kembali begitu mobil kami mencapai Edensor. Matahari mulai bersinar kembali, hatiku pun bersinar-sinar seketika. Tuhan itu kadangkala memang suka becanda, kala saya sudah berserah (bukan menyerah lho), seringkali Dia kemudian memberikan apa yang saya pinta. Alhamdulillah, Tuhan selalu Maha Baik.
Oh yeah, finnaly kita sampai. Begitu kata saya pada diri sendiri. Alhamdulillah, rasa syukur saya terasa berlimpah-limpah pada pemberi kehidupan yang menakjubkan ini.
“ Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, menciut dicengkeram angin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup, ingin merasakan sari pati hidup!” (EDENSOR-Andrea Hirata)
Kutipan-kutipan dalam buku Edensor itu kembali melintas di kepala saya. Dulu entah sampai berapa kali saya membacai buku itu. Buku tetralogi (paling suka sampai buku ketiga sih, Maryamah Karpov-nya kurang suka)itu memang seperti buku yang bisa mencharger semangat yang kadang kala menciut dulu saat saya mulai menata langkah melanjutkan studi ke luar negeri. Dan karena itulah buku itu dan tentu saja Edensor membekas di hati saya.

Padang rumput dan domba-domba yang asyik merumput
Puncak menara dari bangunan gereja St Peter sudah nampak dari kejauhan. Oh, itu pasti tempat dimana banyak pengelana berfoto saat mengunjungi Edensor. Sepertinya menara itu menjadi penanda khas  lanskap desa edensor. Setelah memarkir mobil di belakang gereja St. Peter kami mulai berjalan-jalan. Humm akhirnya menghirup udara segar Edensor seusai hujan, bisa menyalangkan mata menikmati sekelilingnya. Oh yeaah I’m HERE! Ada yang mendesak-desak gembira di hati saya. Bagi saya, mewujudkan apa yang saya inginkan adalah urusan saya membuktikan pada diri sendiri bahwa saya akhirnya bisa mencapainya. Dan saya dengan gembira bisa membincangi diri saya sendiri “ Ah, diriku. Kita sampai di tempat ini. Tempat yang dulu sering kau bacai itu. Hidup selalu ajaib!
Kami kemudian masuk ke dalam gereja, menikmati setiap sudutnya, mengambil postcard gratis yang disediakan dan seperti biasa, dan juga tentu saja  berfoto-foto.

Interior dalam gereja St. Peter Edensor

Saya setelah di sini, baru tahu kalau Edensor dibaca dengan lafal “Ensor” seperti juga Edinburgh diucapkan dengan lafal “Edinbra”. Awalnya terasa janggal di lidah, karena terbiasa mengucapkan namanya dengan sebutan Edensor.
Edensor. Saya tak harus berbusa-busa untuk mengatakan bahwa Edensor itu sungguh indah. Karena bila dibandingkan dengan tempat lain di UK, desa kecil di Derbyshire ini memang tidak menonjol, tidak banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi bahkan informasi travellingnya juga sangat terbatas. Tapi bukankah terkadang rasa spesial itu tak hanya melulu soal fisik, tapi lebih pada keterikatan hati #halah. Berapa harga yang bisa membeli rasa rindu, cinta, suka? Priceless.
Tapi memang harus diakui, selain karena adanya keterikatan dengan tempat ini, ternyata saya suka tempat ini. Walaupun memang Edensor terlihat sepi, tak terlihat banyak orang-orang yang lalu lalang tapi saya suka hijaunya, damai dan segarnya udara tempat ini. Hamparan padang rumput menghijau kemanapun mata memandang, domba domba yang asyik merumput, rumah-rumah mungil yang tertata rapi, udaranya yang segar dan damainya suasana. Duke of Devonshire ke-6 saja pindah lho ke desa ini karena terpesona dengan pemandangan dan kedamaian tempat ini.
            “ Kalau disuruh tinggal di daerah seperti ini mau nggak? Makan dan tempat tinggal dijamin, walaupun internetnya susah? “ tanya Uti, salah satu anggota rombongan kami.
          “Wah kalau nggak ada, internet nggak sanggup deh,” jawab Sani, suaminya yang bergelut di bidang IT dan nampaknya susah hidup tanpa internet.
          “Kalau aku, tergantung sama siapa sih,” jawab saya yang disambut koor kata “halaaaah” hampir serempak dari rombongan semobil, diiringi tawa kami semua. Kami bepergian berlima untuk mengikuti acara KSG (Kibar Summer Gathering di Markfield.
Hihi, baiklah saya memang gombal. Daripada gombal terus, baiklah kita lanjutkan menyelusuri gereja St.Peter. Tentu saja kesempatan untuk berfoto ria tidak saya lewatkan, dengan mengeksplore sudut dan sisi yang menarik untuk dijadikan latar berfoto. Saya paling suka mengeksplor sudut yang tak biasa ditemukan orang tapi hasilnya (menurut saya) sih bagus. Kali ini saya jalan-jalan dengan si tukang jepret andalan saya *halaaah, jadilah saya puas berfoto-foto.

Terlihat atap-atap rumah yang lucu. Konon bangunan-bangunan di Edensor dibangun dengan desain yang tiap-tiap bangunannya berbeda. Seru juga.


Berlatar hijaunya Edensor

Sensasi mencari sudut berfoto yang tak biasa

Suka banget foto ini, terimakasih yaaa si tukang jepret ;p
Tipikal foto orang Indonesia kalau jalan-jalan itu biasanya cari papan nama yang menyebutkan nama tempat itu ahaha, dan saya juga. Biar nggak bilang hoax hihi akhirnya saya dan teman-temanpun berfoto di halaman depan gereja St Peter yang ada penanda tempat yang ada kata edensornya




ini group band apaan? ahaha

Cheeers..Kami dalam formasi lengkap. Terimakasih sudah menemani saya ke sini
Kemudian setelah puas di gereja St Peter, dan tea cottage-nya, kami berencana ingin melihat Chatsworth House yang super cantik itu. Kami sudah sempat melihat bangunan yang mirip istana di negeri dongeng itu saat melintas menuju ke gereja St.Peter. Kami mencari jalan menuju ke sana, namun sayang setelah beberapa kali mencoba rute jalan ke sana, sepertinya memang hanya satu satu akses jalan kesana yang restricted. Entah karena ada peraturan jam sekian sudah tidak bisa akses lagi, atau kenapa hingga jalan itu tidak bisa kami lewati saya kurang mengerti. Saat itu sudah hampir jam 7 pm, mungkin jalan itu hanya dibuka sampai jam tertentu, entahlah. Kami tak berani menerabas masuk, karena mungkin saja sesampainya di Glasgow bisa-bisa kami mendapat surat cinta denda berpounds-pounds. Akhirnya, kami harus legowo dengan hanya menyaksi bangunan indah itu dari jauh, dan saya sempat mengabadikan bangunan nan cantik itu dengan jepretan kamera saya dari jendela mobil.


Indahnya Chatsworth House dari kejauhan
Sebenarnya bisa saja kalau mau, jalan kaki dari gereja St. Peter menuju ke Chatsworth House karena saya lihat tempatnya masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Namun sayangnya waktu kami terbatas, masih ada perjalanan ke Glasgow yang masih jauh ditempuh. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Sheffield dan kemudian pulang ke Glasgow.
Walau singkat, namun mengunjungi Edensor rasanya seperti menjamahi mimpi-mimpi. Terkadang kebahagiaan ada pada penaklukan, menaklukan impian sendiri karena pada akhirnya bisa mewujud. Itu hanya soal waktu. Tuhan selalu sempurna mengatur kapan waktu yang tepat impian-impian itu mewujud. Hati saya tersenyum saat meninggalkan Edensor. Terimakasih Tuhan, cintaMu selalu berlimpah, semoga hambaMu ini pintar bersyukur.

Glasgow,11 June 2014 dengan langitnya yang tengah mendurja, namun hati tetap berbunga halah :D