Kamis, 29 Desember 2011

Abu-Abu


 
Lelaki itu seperti hujan. Datang dan pergi begitu saja. Kita sering dibuat kaget karena di sertai petirnya.. akan tetapi ketika hujan pertama kali hadir yang dirasakan adalah kesejukan dan kesegarannya” (Zara Zettira).


            “ Kenapa engkau akhirnya bilang “tidak” padanya?”tanya Nara padaku. Semilir angin senja menerpa wajah kami, di kursi-kursi kayu pelataran rumahnya. Aku menengok padanya sebentar, lalu menyesap lagi teh hangat di cangkirku. Lalu membiarkan sepi lewat sejenak,
            “ Kau akhirnya menjawab tidak padanya kan?” ulangnya. Kali ini sambil memandangiku. Kuhela nafas sebentar. Lalu mengalihkan pandangan pada bunga-bunga di sekitar taman rumah Nara, aku tahu itu bukan jejak jejak kasih Nara yang merawat bunga-bunga., karena aku tahu pasti dia bukan tipe perempuan yang telaten merawat kebun. Pasti tangan-tangan ibunya lah yang telah menjadi pesulap.
            “ he-eh.” Akhirnya kujawab, dengan jawaban singkat. Seakan tak memberikan ruang untuk ditanya lagi tentang hal itu.
            “ Kenapa Re? Kau sudah mengenalnya bertahun-tahun, dia baik, agamis, apa lagi?”kali ini Nara menatap wajahku lekat-lekat, aku merasa risih. Tapi tetap diam, lebih memilih sepi.
            “ Re...come on! Explain to me” Nara sepertinya sudah hilang kesabaran. Dan memang begitulah dia, selalu menggebu-gebu. Terhadap apapun, kupikir.
            “ Damar terlalu putih” jawabku singkat, dengan nada yang datar, teramat datar. Kuharap dia mengerti barisan kalimatku tanpa harus banyak penjelasan. Tapi sebenarnya aku tahu tak bisa menaruh harapan terlalu banyak pada manusia pragmatis dan logis sepertinya,
            “ ahahaha...masa gara-gara terlalu putih, elu-nya kali terlalu coklat, perempuan jawa banget” cibirnya.
            “ Serius dong jawabnya ah, masa udah kuculik jauh-jauh ke Lembang sini, hanya untuk dengar penjelasan sebaris kalimat “karena Damar terlalu putih” enggak banget sih lo” cecar Nara, seperti biasa. Aku sungguh sudah hapal segala tingkah polahnya, hasil sebelas tahun lebih 5 bulan persahabatan yang kami bina.
Aku tersenyum padanya, sedang senja makin ranum.
            “ Damar terlalu lurus, Ra....dunianya warnanya terlalu putih, aku silau” jawabku, lagi-lagi masih dengan nada yang datar.
Nara berjingkat dari kursi kayunya, mendekatiku yang tengah duduk di hamparan tikar di halaman samping rumahnya.
            “ Lalu apa salahnya menjadi putih. Baik dong, susah lho cari lelaki baik dan lurus-lurus jaman sekarang Re,”. Cecar Nara.
            “ Jadi itu alasan mengapa kau masih bersama Dito? Itupun..kalau bisa disebut..bersama?entahlah..kalian itu nggak jelas”, tambah Nara. Aku hanya mendengarkan celotehannya saja.
            “ Mungkin” jawabku singkat. Kenapa aku pelit bicara sore ini? Seakan keanggunan senja sore ini membuatku rikuh.
            “ Ah, nggak seru banget sih elu...eh, mana teori-teori bahasa dewamu itu..keluarkan oey...keluarkan, kesambet apa sih elu? Sebel deh gue” Nada suara Nara mulai meninggi. Aku tahu ia kesal, memang begitulah kalau dia kesal. Aku telah hapal, terlalu hapal.
Aku hanya tersenyum menanggapi kekesalannya itu.Ia nampak lucu bila sedang kesal begitu.
            “ Heh Rhea, denger. Setauku, kau lebih sering curhat nggak jelas sejak bersama Dito, kangenlah, nggak jelas lah, Dito nggak ada kabar berita lah, cemas lah, lalu kemudian kau nangis nggak jelas, kamu jadi sering terkena penyakit Hypophrenia 1)  tau. Kenapa sih kamu nggak sadar-sadar juga?” nampaknya Nara sudah semakin menaikan level cerewetnya. Persis emak-emak.
Aku masih juga diam. Memandangi sepasang  kakek dan nenek yang tengah melintasi jalan di seberang. Nampak sempurna dalam pandanganku, aku selalu suka melihat kakek dan nenek berjalan berdua sambil bergandengan tangan, membiarkan cinta tak tersembunyi.
            “ Aku butuh seorang pengacau hidup Ra, kau tau aku. Bila kubilang iya ke Damar, aku hanya akan tahu warna hitam dan putih, sedangkan duniaku tak begitu. Dito memberi tahu warna pelangi walau harus kutunggu hujan dulu.” Jawabku, lirih tapi aku yakin masih terdengar telinganya.
Did you know, Someday, someone will walk into your life and make you realize why it never worked out with anyone else. Aku, tak pernah menyesal bersama dengan Dito, walau harus pernah rela menjadi warna abu-abu.” tambahku dengan mantap. 
Aku melangkah pergi meninggalkan Nara yang masih terduduk di atas tikar, lalu baru beberapa langkah, Hpku bergetar, sebuah pesan masuk. nama itu terlihat di layar, klik..
            “ Sayang, maaf ya beberapa hari ini aku nggak bisa dikontak, aku mau pergi sama rombongan penjelajahan ke pedalaman flores. Will miss u. c.u soon” 
Langkahku terhenti, aku berdiri mematung. Senja hampir ditelan malam, Lalu kutengok ke belakang, Nara masih duduk memandangiku di situ. Aku ingin menghampirinya dan menangis.

1)   Hypophrenia : semacam perasaan sedih yang muncul tanpa ada penyebab yang pasti.

Glasgow, 28 Desember 2011. 7 pm—masih dengan suara-suara badai kecil di luar jendela. Tulisan ini terinspirasi dari status FB seorang sahabat ehehe ;p




Minggu, 31 Oktober 2010

Seperti Momiji di Langit Kyoto (2)

Angin musim semi menghembus perlahan di taman di dekat Kuil Ginkakuji sore ini. Sengaja aku ingin menghabiskan waktu sambil membaca jurnal-jurnal bahan risetku. Tapi nyatanya pikiranku mengarah pada hal lain. Pada rasa bersalah yang sering kali datang menyeruak. Bilakah rasa cinta ini salah? karena hatiku menjatuhkan pilihan pada orang yang salah. Yah, mungkin bukan pada orang yang salah, namun tentu saja pada waktu yang salah. Mungkin benar cinta tidak pernah salah, namun ia juga bisa datang terlambat. Mungkinkah kebersamaanku dengan Mas Danar selama ini bisa dikategorikan ke dalam suatu perselingkuhan?What? perselingkuhan..kosakata yang memikirkannya saja aku merasa jijik. Aku bukan orang yang seperti itu. Bagaimana reaksi keluargaku bila tahu anak perempuannya yang dikenalnya sebagai perempuan baik-baik, berpendidikan tinggi mempunyai hubungan dengan seorang pria beristri?. Tapi saat seperti ini kemana cinta seharusnya diletakkan?

Tapi ini sungguh tidak seperti itu. Pikirku menenangkan diri. Kepalaku harus bisa mempengaruhi hatiku yang telah sewenang-wenang menjatuhkan pilihan. Entahlah, aku tidak begitu mengerti tentang cinta. Aku hanya tahu aku senang menghabiskan waktu untuk mengobrol apa saja dengannya, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal-hal yang serius, aku bahagia saat padakulah ia bercerita tentang apapun, ataupun kesenangan saat melakukan hal-hal kecil seperti memasak bersama sampai kebersamaan kami di laboratorium.

Oh Dita…kau benar-benar telah bermain api! Terdengar suara dalam diriku. Tidak! Aku menyayanginya, bukan hanya sekedar cinta eros, bukan cinta picisan. Entahlah, aku bingung, menghembuskan nafas perlahan. Memandang kuil eksotis yang keemasan di kejauhan. Turis-turis yang biasanya berkunjung untuk sekedar membuatnya sebagai background fotopun sudah beringsut meninggalkan kuil itu dalam kesendirian. Daun momiji kemerahan gugur perlahan diterpa angin musim semi menjelang sore. Hmm..kedamaian menyelusup dalam hatiku.

“Wah, ternyata ngumpet disini to Dik, kok nggak ngajak-ngajak mau momiji-gari kesini?”. Tiba-tiba suara yang begitu akrab di telingaku mengagetkan persenyewaanku dengan angin musim semi yang mengenyahkan daun-daun momiji dari tangkai-tangkainya.

“Kata Manami-san, kamu mau jalan-jalan sore ke Ginkakuji. Jadi aku susul kemari. Oh ya, ini aku bawakan sushi isi salmon. Ayo dicobain, ini resep dari Bang Ardan loh, kombinasi Jepang dengan selera Indonesia. Ah, Bang Ardan itu belajar genetika di Tokyo apa belajar masak, kayaknya pulang-pulang ke Medan dia malah ganti profesi jadi koki nanti ehehehe”. Senyumnya mengembang, nampak begitu tampan dengan gurat-gurat kematangannya. Seperti biasa candaaannya yang selalu membuat hariku menyenangkan. Ia menempatkan diri di sampingku, tanpa sungkan mengambil setumpuk buku-bukuku dan meletakkan di pangkuannya. Dengan segera ia membuka tas dan mengeluarkan kotak makanan, menyorongkan segera padaku.

“Wah, terima kasih, mas. Kebetulan belum makan siang tadi.” Tanpa menunggu lama, aku juga langsung melahap sushi isi salmon bikinan Mas Danar yang ternyata rasanya tak kalah dari bikinan restoran Jepang yang biasa kami singgahi di daerah Kamogawa. Aku menggeser letak dudukku agar tidak terlalu dekat dengannya, membetulkan letak rok panjang batikku yang disapu hembusan angin. Dan seperti biasa kamipun berceloteh tentang apa saja. Tentang pekerjaan di laboratorium, teman-teman di Universitas Kyoto, Professor Yamaguchi yang tengah sakit, dan tentang kami, pada akhirnya.

“Dik, aku tidak tahu. Mengapa saat-saat bersamamu aku selalu merasa nyaman. Merasa..aku menjadi diriku sendiri.” Kali ini perkataan Mas Danar yang serius membuat jantung berhenti berdetak beberapa detik . Matanya mencari-cari mataku.

“Uhmm..maaf, Dik. Aku tidak tahu. Sungguh, benar-benar tidak mengerti tentang apa yang terjadi di antara kita. Aku senang saat bersamamu, saat menghabiskan waktu melakukan hal remeh temeh denganmu. Apa saja, asal bisa bersamamu. Melihat kau baik-baik saja, melihat senyummu yang berbinar, melihat kau bahagia dengan kehidupanmu, aku bahagia.” Suaranya menggema di telingaku, membuat pandanganku berkabut. Aku tak berani memandangnya. Jantungku berdenyar hebat. Kulemparkan pandanganku pada onggokan daun momiji yang telah menyerah pada angin musim semi. Tak sanggup ia menentukan pilihan kemana angin akan membawanya pergi. “Bukan..bukan karena aku seorang laki-laki kesepian di negeri orang yang butuh penghiburan. Bila itu yang kau sangkakan. Tidak begitu, aku yakin sekali bukan begitu. Aku tidak pernah mengenal betul arti cinta. Bukan cinta yang kukatakan saat umur belasan saat ucapan cinta diobral. Ataupun bukan kalimat yang kuucapkan pada istriku dulu saat memintanya sebagai pendampingku. Dan, mungkinkah ini cinta?” Kata-katanya kali ini mengambang di udara. Menciptakan kegamangan rasa yang sama.

”Ah..lupakan saja kata-kataku barusan. Sungguh tidak sepantaskan aku mengucapkan hal seperti ini terhadapmu. Maaf.” Matanya luruh, mengarah pada kuil Ginkakuji. Ada kekosongan yang terkuak di sana. Hatiku dilanda gempa bumi. Kata-katanya menggoyahkanku, membuai hatiku sekaligus mengoyaknya pada saat yang bersamaan. Melunglaikan syaraf-syaraf kepalaku, membiarkan hati menentukan pilihannya sendiri. Mungkinkah Mas Danar benar-benar cinta padaku? bukan luapan emosi sesaat? bukan kekosongan rasa lelaki kesepian di negeri orang? Tapi walaupun itu benar adanya, cinta yang diakhiri dengan saling memiliki sekali lagi bukan tujuan pada akhirnya.

” Setauku cinta tidak pernah memerlukan kata maaf, Mas. Aku yakin tidak ada cinta yang salah, walaupun itu datang terlambat. Akupun tak bisa mengatur nasib hingga mencintaimu di waktu yang salah, tapi aku yakin cintaku takkan salah.” Luncuran kata-kataku gamang di udara. Ups..tidak! Kalimatku dengan gamblang menjawab pernyataan cintanya. Matanya mendongak ke arahku, tepat pada mataku. Aku terhenyak sejenak. Ia sungguh nampak begitu mempesona dengan kematangannya. Uff..ada yang menusuk dalam dadaku.

Aku ingin mencintaimu dengan cara yang kuyakini benar, mencintaimu dengan nuraniku. Walaupun terasa sulit, karena aku tetaplah seorang wanita yang masih mempunyai hasrat memiliki. Tapi, aku tidak mau membuat cinta menjadi sebuah kesalahan, terima kasih telah hadir dalam hidupku, Mas.” Entahlah apa yang kuucapkan benar atau salah, aku sudah tidak tahu lagi. Hanya ingin melakukan sesuatu yang kuanggap benar. Walaupun ada setan-setan yang berbisik, ”Dengar Dita, ia mencintaimu juga!Ada banyak cerita indah yang menanti kalian bersama di jalan ke depan!”. Bisikan itu kuenyahkan segera. Bukan untuk membunuh cinta, tapi memastikan jalannya agar tak tersesat.

Ia tersenyum lembut ke arahku. Entah apa maknanya, aku tidak tahu.

”Terima kasih, Dik. Aku mengerti. Kita memang tidak pernah bisa memilih kapan datangnya cinta, ataupun kepada siapa cinta akan dijatuhkan, tapi kita bisa memilih untuk tetap mensikapi cinta dengan cara yang benar.” Senyum kelegaan mengembang di wajahnya, sepertinya ia pun dihinggapi rasa bersalah yang mendalam sebelumnya, sama sepertiku. Namun ada pias di matanya yang tak juga aku mengerti maknanya.

Langit Kyoto yang sedari tadi mendung, mulai meneteskan bulir-bulir air hujan. Ia menarik tanganku untuk segera menepi, menghindarkan diri dari hasrat yang bertopengkan cinta dan mendengarkan lagi nurani. Cintaku yang kali ini seperti daun-daun momiji di puncak musim gugur yang merona merah keemasan, namun harus rela lepas dari tangkainya saat musim berlalu. Namun langit akan selalu mengingat momiji pernah menghiasi dengan keindahan nuraninya.

****


Seperti Momiji di Langit Kyoto (1)


“Dik, menurutku kamu sebaiknya selesaikan proposalmu dulu baru pergi ke Tokyo, Dik, jangan lupa bawain proceeding avian influenza dari Prof.Yamaguchi kemaren ya! Dik, Ramen yang enak beli di toko sebelah mana?

Panggilan Dik-nya seakan berdesingan di telingaku. Uff.. bagaimana hatiku tidak lumer dibuatnya, orang yang belum lama ini kukenal memanggilku dengan sebutan yang menurutku paling “penuh cinta” sedunia hehe..setidaknya menurutku!

Banyak orang yang mempunyai kebiasaan memanggil seseorang dengan panggilan kesayangan seperti, Sayang, Yang, Dinda, Cinta, atau seperti Fra, teman seapartemenku dulu di Italia yang memanggil Pietro, kekasihnya dengan sebutan sayang Amo! kependekan dari Amore! Cinta!

Tapi bagiku, panggilan paling penuh cinta di dunia adalah “Dik”, sebuah panggilan pendek dan sederhana yang menurut banyak orang sangatlah biasa saja. Tapi aku harus menunggu sampai hampir 27 tahun dan harus berkelana begitu jauh ke Negeri Sakura untuk mendengar seseorang memanggilku dengan sebutan yang selalu membuat hatiku lumer itu.

“Dik, maaf hari ini aku tidak bisa ke lab, rada kurang enak badan. Sementara kerjakan dulu PCR dengan formulasi yang kemarin ya. Sampelnya minta sama Manami-san Tiba-tiba sms dari Mas Danar seketika menghentikan lamunanku. Rasa khawatir berganti menyergapku. Mas Danar sakit?sakit apa? Ugh.. aku mengutuki hatiku karena sekali lagi ingat akan batasan proporsi. Bila tidak, aku akan segera menelponnya ataupun tanpa pikir panjang tergesa menuju ke apaatonya untuk tahu apa yang terjadi pada Mas Danar. Tapi tidak! Rasa khawatirku akhirnya kutelan sendiri, melayang bersama gugurnya daun momiji yang telah merah keemasan siap menciumi daratan yang menantinya dengan ketidakpastian.

***

Onegai Simasu Dita-san, kenapa hari ini kok sepertinya kurang bersemangat. Nggak seperti biasanya. O genki desu ka”. Manami, teknisi laboratorium biologi molekuler Universitas Kyoto itu sepertinya melihat mendungnya suasana hatiku saat ini.

Genki desu. Arigatoo. Tidak ada apa-apa Manami-san, cuma sedikit khawatir, Mas Danar sedang tidak enak badan. Dia mengabariku pagi tadi, entahlah dia sakit apa. Aku khawatir”. Kataku lirih pada akhirnya. Di Kyoto nan jauh dari ibu pertiwi ini, hanya aku, Mas Danar dan Pak Heru saja segelintir orang Indonesia yang tinggal disini. Pak Heru lebih sering berada di Tokyo untuk menyelesaikan uji akhir penelitiannya. Kulihat sekilas beberapa periset lain melambaikan tangan di luar jendela yang memisahkan ruang laboratorium Center of Biology Moleculer and Genomic dengan koridor Universitas Kyoto. Ah…sudah hampir enam bulan aku di sini, penelitianku sudah mulai. Sibuk dengan riset, mencari dan membaca jurnal di perpustakaan ataupun browsing internet di taman samping kampus sampai lupa waktu. Terkadang harus meluangkan waktu berkonsultasi dengan Prof. Yamaguchi pembimbing tesisku.

Tak terasa enam bulan hampir genap aku tinggal di Kyoto, tanpa merasa “hilang” karena jauh dari kampung halaman. Tanpa merasa kesepian karena jauh dari sahabat yang biasanya berbagi hidup. Kenapa? Akupun ternyata baru sadar bila jawabannya adalah karena ada Mas Danar disini! Aneh, padahal sebelumnya kami hanya berkorespondensi via email tentang rencana riset, pengajuan beasiswa, permintaan rekomendasi dari Prof. Yamaguchi. Aku dulu memanggilnya Pak Danar, dosen di salah satu universitas di Yogyakarta, hanya itu yang kutahu. Dan dulu ia memanggilku Mba Dita.

“ Nggak apa-apa Mba Dita, sekalian aku mau ketemu Bang Ardan di Tokyo”. Kilahnya saat itu, hingga tawarannya untuk menjemputku di Bandara Narita bulan Mei lalu, dan sungguh tak bisa kutolak. Ah, sebenarnya kan aku bukan gadis remaja lagi yang layak untuk dikhawatirkan, dan inipun bukan kali pertama kunjunganku ke luar negeri.

“Alow Dik! Bagaimana perjalanannya?baik-baik saja kan?Sini kubawain kopernya!” Aneh si mas ini, baru bertemu tapi seperti telah mengenalku selama bertahun-tahun. Dengan sigap pegangan koper besarkupun sudah berpindah tangan padanya.

“Ayo Dik, kita naik shinkansen, cuman sekitar 2,5 jam sampai stasiun JR Kyoto”. Di sepanjang perjalanan menggunakan kereta shinkansen Nozomi ia tak henti-hentinya berceloteh mengenalkanku pada negeri yang akan kutinggali selama kurang lebih tiga tahun ke depan. Saat-saat berikutnya, ia mengenalkanku pada rute-rute transportasi dari Kyoto ke kota-kota lain, toko-toko murah dan halal tempat membeli bahan pangan, membantuku mengurus aplikasi masuk ke Universitas Kyoto atau mengajakku ke festival Gion Matsuri musim panas Juni lalu. Panggilan Dik-nya sejak saat pertama kali bertemu membuatku merasa nyaman dan entah kenapa aku lama kelamaan merasa lebih nyaman memanggilnya, Mas Danar.

“Dita-san, PCRnya sudah selesai, ayo kita segera running elektroforesis”. Manami-san mengagetkanku. Aku terlonjak dari lamunanku. Arghhh..hari tiba-tiba menjadi sepi tanpa Mas Danar.

***

Dengan tergesa aku segera menuju apatoo Mas Danar di daerah distrik Sakyo-ku. Seusai menyelesaikan pekerjaanku di lab, aku segera naik subway jalur Tonzai yang pararel dengan Kamogawa agar cepat sampai, walaupun tarifnya tentu saja jauh lebih mahal daripada bus yang biasa kunaiki.

Apatoonya sepi.

“Mas…Mas Danar” Pintu apatoo kugeser dan aku beranjak masuk. Sepi..Aku melangkah ke ruang utama apatoonya. Jantung berdebar karena khawatir.

“Dik..kok kemari, sudah selesai kerjaan di Lab?” Suara parau dan lemah, tapi terasa akrab di telingaku. Walau dengan terbaring, tetap dengan senyumnya seperti biasa ia menyapaku. Hatiku trenyuh.

“Gimana mas, sakit apa? sudah minum obat belum? sudah makan, mas?” Arghh..ada nada khawatir di suaraku yang harusnya bisa kusembuyikan.

Ia hanya tersenyum.

“Cuman kecapaian dik, masuk angin..rada pusing.” Ah, mengapa ia tidak pernah mau untuk dikhawatirkan. Terbaring di atas kasur yang hanya diletakkan di atas tatami, dengan selimut tebal menyelimutinya. Ia nampak seperti seorang laki-laki biasa. Bukan seorang periset ulung bidang biologi molekuler dan genetika yang selalu berapi-api saat presentasi, yang begitu bersemangat saat membicarakan riset, begitu piawai saat kerja di lab, dan yang selalu kulihat bintang di matanya saat bicara.

“Mas Danar belum makan ya, kubuatin bubur ayam ya, sebentar kubuatkan teh hangat dulu.” Sengaja tadi aku mampir sebentar di toko bahan pangan di dekat kampus Yoshida, kampus utama Universitas Kyoto.

“Sudah minum obat belum, mas?” Aku duduk di dekat jendela ruang utama, menungguinya makan bubur ayam buatanku.

“Bubur ayamnya enak banget, Dik. Sudah lama nggak makan bubur ayam. Jadi ingat klangenanku bubur ayam Mbok Warti di selokan mataram, Jogya” Dengan lahap Mas Danar menghabiskan bubur ayam di mangkuknya.

“Wah..jadi saya disamain sama simbok-simbok to mas?” Aku pura-pura merajuk seperti biasa. Sehelai momiji merah keemasan kembali luruh di luar jendela. Aku selalu merindukan kebersamaan seperti ini bersama Mas Danar. Kebersamaan yang membawakan damai di hatiku, tapi menyulut pengkhianatan pada nuraniku.

“ Ya enggak to Dik, maksudku beruntung nantinya yang bakal dapat Dik Dita ini. Sayangnya kita kok telat ketemu ya ehehehe”. Tawanya renyah, mungkin maksudnya ia mencandaiku seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini candaannya sama sekali tak lucu untukku. Aku hanya tersenyum hambar. Aku menatapnya perlahan, pada matanya yang selalu kulihat bintang. Mas Danar tiba-tiba menghentikan asupan bubur ayamnya dan mengalihkan pandangannya padaku. Pandangan kami bersiborok beberapa detik dan waktu berhenti sesaat. Jantungku seperti berdetak lebih cepat atau malah berhenti mendadak tiba-tiba. Aku terkesiap dan segera membuang pandanganku ke luar jendela, menatap daun-daun momiji musim gugur yang telah memerah. Aku gugup…bodoh! Pikirku.

Come on Dita..ingat proporsi! Pembatasan rasa! kepalaku kembali menyentilkan alarm pada hatiku. Suara desahan nafasku memenuhi ruangan yang tiba-tiba sepi. Ah, hal ini bukan kali pertama terjadi antara aku dan Mas Danar. Magnet-magnet aneh yang kadang meletup-letup itu membuat hatiku sesak. Seperti saat dengan spontan ia menggandeng tanganku agar tak lepas darinya di tengah kerumunan orang di festival Gion Matsuri kala itu. Tapi tak pernah lebih dari itu, yah..aku yakin, barangkali! Hatiku mengindahkan analisa logis kepalaku, hingga ia yang seorang laki-laki beristri yang tengah menanti kelahiran putra keduanya telah masuk ke dalam hatiku tanpa mengetuk. Cintakukah yang salah?ataukah hanya waktu yang berjalan terlalu cepat hingga takdir pertemuanku dengannya datang terlambat?

(bersambung-2)

Selasa, 09 Maret 2010

Takdir Terkunci di Barcelona


Angin Mediterania Barat bertiup tak begitu kencang menjelang akhir Bulan September, membuat sepanjang jalan Las Ramblas yang membelah kota Barcelona begitu nyaman untuk dilewati. Jajaran pepohonan di kanan kiri jalan jantung kota ini nampak bisu ikut menyimak pembicaraan kami. Burung-burung merpati yang beterbangan di sepanjang jalan turut menguping bahasa aneh yang mungkin belum pernah mereka dengar.

”Bagaimana Barcelona menurutmu?” ia bertanya sambil merapikan kameranya.

” Seperti surga yang asing, uhm..cantik, mempesona, hidup, tapi denyutnya belum kurasakan dengan penuh.” Hanya jawaban itu saja yang mampu mampir di kepalaku yang saat ini tengah beku. Beku, yah beku karena harus bekerja keras memerintahkan agar degup jantungku tetap tenang.

“Uhmm.. begitu ya? tapi mungkin sebentar lagi surga itu akan terasa seperti rumah bagimu. Eh, mampir minum kopi sebentar yuk, Bar La Questas itu langgananku, kopinya mantap,” ajaknya sambil menunjuk sebuah bar di antara deretan bangunan di sepanjang Las Ramblas.

Aku bergegas mengikuti langkahnya yang panjang-panjang menuju sebuah bar yang nampak ramai. Aku benar-benar buta daerah yang baru kujejaki selama dua hari ini. Bahasa yang cepat dan nadanya mendayu-dayu berdesingan di telingaku tanpa bisa kumengerti satupun artinya. Ah, mungkin hanya Gracias, Senorita, sedang kosakata yang lainnya aku tak mengerti sama sekali. Orang-orang dengan wajah asing berlalu lalang dengan urusan dan pikirannya masing-masing, membuatku merasa terkucil. Hanya wajah orang yang tengah meneliti menu bar di sampingku saja yang kukenali. Hingga entah mengapa tiba-tiba sebuah pertanyaan menyeruak “Untuk apa berkelana sejauh ini?” pertanyaan itu membuatku tersenyum sekilas. “Demi menemuinya tentu saja!” bisik hatiku, mencoba meyakinkan tekadku lagi. Setengah mati aku mencari kesempatan mengikuti seminar ataupun workshop di Spanyol untuk bisa menemuinya lagi, hingga pada akhirnya jagat raya mau bekerjasama membantuku menemukannya. Keikutsertaanku pada workshop tentang stem cell di Barcelona Genomic Regulation Center selama seminggu merupakan alasan yang sempurna untuk mencarinya, menemuinya. Aku tersenyum dalam hati menyadari bahwa terkadang cinta sanggup membuat seseorang melakukan hal-hal yang tak terduga.

Aku memandang wajahnya sekilas saat ia memesan cappucino hangat pada pelayan bar La Questas. Ah, Mas Elang tidak banyak berubah, wajahnya yang khas Jawa tulen dan sepasang mata hitam granitnya, kini bisa kulihat lagi setelah begitu lama tak melihatnya. Hatiku menghangat tiba-tiba, kuhembuskan nafas perlahan, menekan kegugupan yang melanda. Mungkin memang dia! benarkah, Tuhan? lelaki yang kukunci dalam hatiku sekian lama itu, kini telah ada di depan mataku. Dan kini melemparkan senyuman yang bisa membuatku tersedak saat menyesap coffee latte yang baru saja disajikan.

’’Uhm..ada apa?“ tanyaku dengan ekspresi keheranan melihat senyum di wajahnya. Ia tersenyum lagi, dengan sepasang mata hitam granitnya yang dalam, menyilaukan hatiku. ”Ah Tuhan, memang tidak sia-sia aku mengejarnya kemari,” kataku dalam hati. Walaupun sebenarnya aku menyadari peluang yang sama sekali tidak meyakinkan.

”Lama juga kita nggak ketemu ya, Cha?uhm..sekitar satu tahun sejak kita bertemu di Yogya. Kau nampak semakin dewasa sekarang” ia menyesap kopi di cangkirnya, dan memandangku seketika. Deg, takdir jatuh!

” Waduh...makin dewasa apa makin tua nih maksudnya?ehehe. Waktu kan terus berjalan Mas, hidup terus berjalan, tiap orang terus berubah. Mas Elang juga berubah, tambah apa ya,” aku berpura-pura menelitik perubahan yang ada pada dirinya.

” Tambah rontok nih rambut, gara-gara stress mikirin tesisku yang nggak selesai-selesai ehehe” tawanya yang renyah menghangatkan udara di sekitar kami dan menghangatkan seluruh ruangan di hatiku tentu saja.

Saat terakhir kali melihatnya, eh tunggu! pertama kali sekaligus juga berarti terakhir kali melihatnya satu tahun yang lalu di sebuah seminar nasional bioteknologi di Jogya. Tapi apa aku harus menyalahkan Tuhan bila pertemuanku yang hanya sesaat dengan Mas Elang saat itu menimbulkan loncatan-loncatan listrik dalam hatiku, memicu jantungku berdetak begitu cepat saat melihatnya dan membuatku berkeyakinan untuk ”mengejar”nya?. Ah, ”mengejar cinta”, rumus yang sebelumnya tak pernah ada dalam kamus hidupku. ” Aku percaya Tuhan akan memberikanku seseorang yang tepat di waktu yang tepat, semua indah pada satina,” jiahh..kalimat pamungkas yang terkesan filosofis dan bijak, kalimat andalan saat orang-orang di sekelilingku menanyakan soal pernikahan dan jodoh. Tapi pertemuanku dengan Mas Elang pada akhirnya membawakan kesadaran bahwa aku telah salah mengartikannya, karena seharusnya ada peran usahaku, perjuanganku untuk menemukan orang yang tepat dan menentukan waktu yang tepat.

Dan apakah sekali lagi aku harus menyalahkan Tuhan bila ternyata setelah Dia menganugerahiku sebentuk perasaan yang kunamai cinta itu, Dia segera membawa Mas Elang pergi diterbangkan mimpi-mimpinya ke Negeri Spanyol. Aku tersenyum getir saat mengetahui ia melanjutkan studinya di bidang biologi molekuler di Barcelona, tempat yang sebelumnya tidak pernah terlintas di kepalaku, selain kukenal karena klub sepakbola tempat Lionel Messi merumput itu. Dan lagi-lagi aku semakin penasaran apa rencana Tuhan karena tak jua mengerti mengapa perasaan yang kukira akan layu sebelum berkembang itu tetap bertahan hingga kini. Seperti perasaan aneh dan mistis yang kuberi nama ”keyakinan” bahwa dengan dialah akan kuhabiskan sisa hidupku. Titik, tidak ada satu keraguanpun tentang itu!

”Bagaimana coffee latte nya? Enak?” pertanyaannya memecah lamunanku. Aku buru-buru meneguk lagi coffee latte dari cangkir di hadapanku.

”Uhmm..enak”, jawabku singkat sambil mengacungkan ibu jariku. Sebenarnya jauh lebih enak daripada coffee latte yang sering menjadi teman nongkrongku di cafe-cafe sambil berlama-lama berkelana di dunia maya. Yah kopi, yang membuat semua temanku geleng-geleng kepala mendapatiku begitu hangat bersenyawa dengan butiran-butiran pekat yang menawarkan aroma dan rasa yang tak tergantikan itu.

Sedari tadi sebenarnya hatiku mencari-cari, bertanya dan mencari jawab, apakah sebuah ruang yang selama ini hampa di hatiku telah menemukan penghuni yang ditakdirkan untuk mengisi. Aku selalu meminta persetujuan hati dan kepalaku untuk menentukan hal apapun dalam hidup, menikmati kolaborasi mereka dalam setiap langkah-langkahku.

Ah, penat baru terasa menjelang sore hari, setelah melewatkan waktu mengitari kota Barcelona nan molek ini. Mengagumi detail La Sagrada Familia yang terkenal itu, mengunjungi miniatur Spanyol di Spanish Village dan menikmati pertunjukan flamenco, benar-benar membawaku ke dunia yang sama sekali berbeda. Surga itu kini kian terasa akbrab dan dekat. Saat malam menjelang, ia mengajakku ke Via Campanile, tempat mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di Barcelona biasanya berkumpul. Berkenalan dengan beberapa teman Mas Elang dan menghabiskan waktu bersendau gurau dengan komunitas orang Indonesia di Barcelona sungguh menyenangkan. Senang rasanya bertemu dengan teman sebangsa di suatu tempat yang jauh dan asing. Sajian makan malampun sangat istimewa, Paya hangat dihidangkan untuk memuaskan lidah kami. Paya memang cocok untuk lidah orang Indonesia karena makanan ini berupa nasi yang dimasak dengan telur dan olive serta kerang-kerangan. Paya ditemani dengan Escvaliva (potongan terung dan paprika dengan minyak zaitun), sajian khas kota ini. Aku telah merasa Barcelona adalah rumah. Dan hati dan kepalaku membisikkan keputusan mereka padaku, bahwa nama itu, wajah itu dan sepasang mata hitam granitnya, kupercaya dialah orangnya yang selama ini bersembunyi.

***

Gemerlap pesta kota, seolah gemetar flamenco mengalun jiwa

Kududuk terhanyut nuansa, di sudut semarak Plaza Catalonia

Kala sepasang mata menatapku manja, mengajak berdansa

Sapanya queire usted bailar conmigo?”

Alunan suara khas milik Fariz RM mendendangkan lagu Barcelona-nya di earphone membiusku dalam suasana saat menikmati hari terakhirku di Barcelona. Besok harus segera meninggalkan kota nan cantik ini. Harus? Ufff..andaikan ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Aku mencopot earphoneku saat melihat langkah-langkah panjang Mas Elang terlihat menuju Plaza Catalonia, tempatku duduk sekitar setengah jam lalu menantinya.

” Pantas saja Mas Elang betah ya tinggal di sini. Uhmm..kotanya begitu cantik, hidup terasa lebih berwarna,” ujarku saat duduk bersama di depan Plaza Catalonia. Malam mulai merambat naik, lampu-lampu jalan nampak berkerlap-kerlip di kejauhan.

“ Ah, itu karena Icha baru beberapa hari tinggal di sini, bila sudah lama rasanya bosan juga. Hidup juga akan mengalir dalam rutinitas, tekanan dan hambar. Aku sudah kangen masakan ibu, pengen makan serabi notokusuman, sudah ingin kembali ke tanah air.” Mas Elang menjawabku, namun mata hitam granitnya itu memandangi bulan yang mulai berangkat menunaikan tugasnya. Purnama di langit Barcelona, seperti polesan lipstik di moleknya wajah bidadari. Aku tersenyum kecil mendengar jawabannya. Pandanganku menyalang dan merasakan kehidupan di sini terasa berbeda. Sulit membayangkan ada sebuah kehidupan yang dijalaninya di belahan bumi ini, jauh dari kehidupanku, hal yang tak tergambarkan sebelumnya.

”Aku merasa lelah,” ucapnya tiba-tiba, entah ditujukan pada siapa. Matanya tak jua lepas menyusuri bentukan mahakarya piazza di kejauhan. Lalu tiba-tiba mata hitam granitnya mengarah padaku, aku menahan nafas.

”Kau sepertinya punya dua sayap yang kokoh? Kau bisa terbang kemanapun yang kau mau, meraih apapun yang engkau inginkan. Apa kau tidak pernah merasa lelah?” Ia bertanya sambil diakhiri dengan senyumnya yang mengembang samar. Dan atas nama malam yang begitu molek di Barcelona, sungguh aku ingin detik berdetak lebih lambat.

” Uhmm..aku ke sini karena sudah merasa lelah, aku ingin meminjam sesuatu untuk bersandar. Aku mendengar bisikan kalau aku harus mencarinya di sini ehehe,” aku menjawabnya dengan penuh canda, berusaha mengembalikan ritme detak jantungku yang mengalami percepatan. Aku khawatir ia mendengar degup jantungku yang menyuarakan daya hidup tentang pencarian cinta.

” Icha, apa yang terjadi ya kira-kira bila kita dipertemukan bertahun-tahun yang lalu?” kali ini raut mukanya terlihat lebih santai.

” Mas Elang pernah berpikir setelah Adam dan Hawa dipisahkan, sebenarnya Adam yang mencari Hawa, atau malah sebaliknya? atau mereka berdua memang saling mencari dan akhirnya bertemu di Jabal Nur?” Keningnya terlihat berkerut mendengar pertanyaanku, aku merasa ia nampak semakin ganteng bila sedang berpikir.

”Uhm..pasti Hawa yang mencari Adam! ya kan?” jawabnya nakal sambil melirikku. Senyumnya mengembang membuatku merasa kikuk. Fiuhh..jawabannya menyebalkan, aku meninju lembut bahunya menandakan protes akan jawabannya. Tapi segera ia melanjutkan lagi,

” Kata Eyang Plato, semula kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Suatu pasangan diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya, tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Aku menyimak ceritanya, tak peduli hembusan angin malam yang menciumi syal di leherku.

”Suatu hari, karena takdir tertentu yang tak terjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak bila mereka mengikuti panggilan itu, mereka akan bertemu kembali. Jadi, begitulah jawabanku” lanjutnya dengan wajah yang meyakinkan.

” Curang, jawabannya nyontek ufff ” tukasku singkat. Tapi sebenarnya aku mengagumi jawabannya yang begitu mengena tadi. Dan benarkah Barcelona adalah Jabar Nurku? entah mengapa tiba-tiba aku merasakan sebuah perasaan yang aneh saat memikirkan hal itu. Tangannya melambai pada seorang penjual bunga di depan plaza, setangkai mawar merahpun berpindah ke tanganku.

” Sesuai budaya di sini, setangkai mawar merah untuk si jelita, hanya mengikuti tradisi. Entah mengapa orang-orang di sini selalu mengumbar romantisme, bahkan mengkomersialkannya. Cinta rasanya ada di setiap jengkal tanah negeri ini, tapi entah mengapa tak disisakannya untukku..ehehe” tawanya renyah menghangatkan udara di sekeliling Plaza yang bertambah dingin seiring malam yang kian merambat naik.

“ Tak mengapa, karena aku membawakanmu sekeranjang penuh dari tanah air, jadi salah kalau kau mencarinya di sini..hihi” kataku mencandainya. Ia membalas dengan senyumnya yang mengembang mempesonakanku.

“Mana?aku harus menelitinya lebih dulu sebelum kuambil...jangan..jangan..ehehe,” tawanya terkekeh.

”Ufff memang susah mencintai seorang peneliti,” ups kalimatku meluncur tanpa bisa kutarik ulang. Semu merah merona di wajahku bersaing dengan purnama di kejauhan. Mata hitam granitnya mencari-cari mataku, dan senyumnya samar mengembang. Ah Tuhan, kuharap saat ini Engkau mengunci takdirku di sini.***


(Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan naskah ini tanpa menyebutkan sumbernya)

By Siwi Mars Wijayanti