Kamis, 12 Juli 2012

BEGO


Angin lewat, semilir bergulir, lalu senyap.

I just want to give the best for him” kataku singkat.
Trus kapan dong kapan kamu try to give the best for yourself ? ” tanyanya dengan nada menyudutkan,
“ When I give the best for him” jawabku yakin, dan ditutup dengan sebuah lengkung senyumku.
BEGO” timpalnya, dengan wajah masam. Lalu dia berlalu.

Dalam lalu-nya, aku mendoakannya, semoga suatu saat dia dianugerahi dan diberkahi dengan sebuah ke-bego-an oleh Tuhan.
 Yang mungkin suatu kala tak mampu lagi menghitung untung-rugi, tak peduli lagi menang atau kalah, karena dengan memberi, apapun keadaannya, kondisinya, takdirNya, seseorang akan tetap jadi pemenang. Setidaknya pemenang bagi dirimu sendiri.

BEGO.
Akan kuingat kata itu,
Dan tiba-tiba aku bersyukur menerima anugerah itu.

Salam kasih dengan terus memberi kasih dan menjadi terbaik dari diri kita sendiri.

12 July 2012


Sabtu, 25 Februari 2012

Menepi Darimu, Hujanku

Mendung menggantung lagi sore ini, lagi-lagi begitu. Mungkin hujan sebentar lagi akan turun menderas lagi. Seperti itu terus ritme akhir-akhir ini, biar saja, mungkin hujan tengah pongah menunjukkan betapa ia nampak mempesona untuk selalu kucinta. Seperti kemarin sore itu, ia nampaknya terlalu percaya diri padaku, menunjukkan guyuran dengan intensitas maha tinggi, dengan kilat dan petir menyambar, sementara aku di bawah guyurannya, bersama si hitam manisku dan mantel yang tak lagi kuasa menahan kepongahanmu, hujanku. Lalu aku memilih untuk berhenti, dan menepi.

Apakah sore ini kau akan lagi-lagi seperti itu?
Hujanku, telah kutegaskan aku  mencintai rinai suaramu, sensasi tak tergantikan saat kau membasahi kulitku, dingin yang menyesap dalam hatiku, aku suka hujan, aku cinta hujan, tapi ingatlah, tidak setiap waktu.
Aku gamang dan menepi mencari teduh saat kamu mengguyuri bumi dengan membuta, daratan terdiam, menjadikan suaramu penuh seluruh. Semesta terkesiap begitu melihat engkau marah-marah seperti kemarin sore itu, begitupun aku. Dan aku menepi, harus menepi, karena deraimu tak mampu kutampung lagi.
Dan sore inipun kau isyaratkan pada mendung menggantung, menanda bahwa mungkin deraimu akan mengguyuri bumi lagi.

            “ Perlahanlah, tahukah engkau bila suara derai perlahanmu itu sanggup menciptakan sajak-sajak senja dan puisi menanti pagiku?
Cintaku pada hujan, kenapa kini menjadi bersyarat..aku mencintaimu bila deraimu rinai-rinai di sore hari, menemani senja milikku yang sunyi, tapi aku sungkan dan ingin menepi bila bulir-bulirmu itu berubah menderas, hingga suara yang kau timbulkan tak lagi serupa harmoni. Maaf hujanku, memang cintaku begitu, masih saja penuh syarat..
Tapi sebenarnya, diam-diam ingin kubilang padamu, aku tetep mencintai derai hujanmu, entah rinai-rinai ataupun menderas, tapi menderasmu itu membuatku memilih untuk menepi.
Maka pahamilah, aku menepi..bukan berarti aku tak lagi mencintamu.

GBI, 25 Feb 2012.. di senja yang menggelap, menanda mendung, menyedia hati bahwa engkau akan datang lagi, hujan..

Selasa, 24 Januari 2012

Pinjami Aku Hujanmu

Aku ingin pinjam hujanmu, hujan yang selama ini kucinta. Aku mencintai hujan, apalagi hujan rinai-rinai yang berloncatan riang di luar jendela. Lalu membaui bau hujan di tanah basah, seperti kehidupan berbicara sejenak tentang jeda.
Tentang menghentikan hidup sejenak, dalam mesra dan hikmat suara hujan. Bukankah hujan adalah tentang pertanda alam, agar kita berhenti sejenak, memberikan alasan untuk jeda sebentar. Jeda dari kecepatan-kecepatan yang terjadi pada hidup, orang berlarian, entah mengejar apa. Mengejar bus dengan terburu-buru agar tak terlambat masuk kerja, mengejar deadline pekerjaan yang apakah kamu tahu kapan akan berujung?hujan terkadang adalah cerita tentang memperlambat kecepatan-kecepatan yang terkadang tak perlu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujan yang biasanya membuatku betah memandanginya lama-lama, dari teras rumah, dari balik jendela kampusku, dari teras kosku dulu.
            Sebentar, menunggu hujan mereda
            Nanti, lagi hujan nih..”
Hujan...berbaik hati, mengingatkan akan jeda. Hujan menawarkan peluang untuk mengingat kenangan, bersama secangkir teh dan iringan rinai iramanya menyirami bumi. Hujan itu menentramkan, sepertimu.
Pinjami aku hujanmu!
Tetes-tetesnya yang merindui bumi. Hujan yang mampu ciptakan puisi, prosa, sajak-sajak hati. Aku merindui hujanmu, ingin kudengar lagi rinai suaranya, ingin kurasai lagi tetes-tetesnya. Ingin kucipta puisi dan sajak, lagi
            Sedang hujankah? Biar kudengar suaranya dulu” kataku waktu itu, saat menyeberang ke duniamu, karena sekarang hujanku berbeda dengan hujanmu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujanku di sini, adalah biasaku. Kapan hari yang tak hujan? Hujanku di sini tak sanggup memberikan jeda. Hujanku di sini tak pernah mampu memberikan alasan untuk memperlambat kecepatan apapun. Karena hujanku di sini ada atau tiada, tetap dianggap tiada. Tiada, karena sudah terlalu terbiasa. Hujanku di sini, kesepian dan kasian. Tak pernah dipedulikan, tak pernah diistimewakan. Entah ia turun, entah tidak, mana peduli. Orang tetap berlalu lalang, tetap jogging, tetap melakukan apapun, tak pernah peduli. Mungkin itu sebabnya, hujan di kotaku kadang merajuk, mengubah diri menjadi badai, agar alarm dibunyikan, agar semua memperhatikan, agar tanda peringatan dibunyikan. Betapa memilukan nasib hujan di kotaku ini,
Jadi, pinjami aku hujanmu..
Agar bisa kudengar lagi, suaramu lagi “jangan lupa pake mantel hujanmu”. Itu saja,
Pinjami aku hujanmu...***


--Glasgow, 23 Jan 2012..jam 10 malam, sudah setengah mengantuk..dan membayangkan bila dipinjami hujanmu, humm zzzz....

Kamis, 12 Januari 2012

Badai, Purnama, dan Kamu


Badai terdengar di luar jendela, aku hapal sekali suaranya, suara gemuruh itu. Suara itu rasanya sudah menyatu dengan tempat ini. Badai dan Glasgow telah berteman lama rupanya. Dan anehnya, bila kudengar suara gemuruh itu, dirimu selalu menyelinap dalam ingat.
 Lalu apa yang kau titipkan pada badai? Yang mengantarkan padaku selintas ingatan, kamu. Sudah pukul 11.05 malam yang sudah tua di Glasgow, dan deadline literature reviewku sudah mengintip, esok sudah tinggal beberapa belokan jarum jam.
Tapi suara gemuruh itu membuatku menghentikan ketikanku pada halaman “ilmiah” itu, dan menengok ke luar jendela, menyaksi badai, siapa tau ia membawakanmu padaku. Terbeliak mata berjumpa purnama di atas bubungan bangunan tua di seberang. Bulan milikku, hasil curahan kasih matahari di pagimu. Dan ternyata badai dan purnama itu memang membawakanmu, karena tiba-tiba blip-blip : sebuah bulan kuning itu menyala,
Ayoooo...semangaaatttt...kamis khan hari ini tho...
Kenapa kau tak pernah bilang, bila kau dan badai berteman lama. Harusnya kuminta ia bawakanmu sering-sering.
**Hoaaaaam, ngantuk..diam-diam kuposting tulisan ini saat orang si penghuni bulan kuning itu bilang : “ojo YM ae rapiin dulu Lit reviewnya”....iyaaaa...zzzz..masih ada besok pagi, aku ingin mendengar suara gemuruh itu dulu, mendengarmu dulu.  

Kamis, 29 Desember 2011

Sebaris Kalimatmu (Saja) 2



Masih, masih juga kau nanti, sebaris kalimatnya. Yang tak kunjung jua datang. Yang kaunanti dengan sedu sedan itu, dalam bayangan-bayangan kecemasanmu itu. Apa kabar ia, yang tak kau dengar kabarnya selama 23 hari. Sudah 23x24 jam miliknya, tak disisakan untukmu walau hanya untuk sebaris kalimat saja. Sedangkan engkau, lelah menantinya dengan mengisi setiap menitmu dengan harapan untuk mendapat sebaris kalimatnya saja. Ironi, entahlah, aku tak yakin ada ironi dalam cinta.
Cinta? Entahlah. Padahal sebaris kalimat yang kau nanti itu aku tahu pasti apa. Bukan sebaris kalimat seperti, aku mencintaimu, aku menyayangimu, atau barisan kalimat lain semacam itu. Karena aku tahu pasti barisan kalimat itu telah menghilang—lama menghilang, atau bahkan belum sempat muncul, belum pernah, atau barangkali tidak pernah.
Sebaris kalimat itu, hanya berisi kalimat sederhana
“ Aku baik-baik saja”
Hanya itu, cukup itu. Hingga aku jadi bertanya, mengapa sebaris kalimat itu saja tak kau berhak kau dapatkan darinya. 
            “Lalu maksudnya apa memperlakukanmu seperti itu?”
            “ Jujur saja, sebagai sahabatmu, ada sebagian dari diriku yang tak rela ia memperlakukanmu seperti itu” ketikku saat kita mengobrol lewat YM.
Dan ikon sedu sedan itu kembali muncul.
Kau, dan sedu sedanmu. Menanti dia-mu yang pernah membawamu dalam liku-liku ceritamu. Hanya tak habis mengerti, mengapa menyayangi seseorang menjadi begitu rumit. Teringat film Milly dan Nathan yang kutonton beberapa hari lalu.
            “ Aku lebih memilih melihatmu marah, daripada melihatmu bersedih” itu tulis Nathan yang memilih menyembunyikan penyakit kanker otaknya pada Milly, perempuan yang dicintainya. Dan akhirnya memilih bilang bahwa ia akan menikah dengan gadis lain, dan meninggalkan Milly. Sebelum meninggal ia menuliskan surat pada Milly tentang alasan mengapa ia meninggalkannya.
Entahlah, sahabatku. Mungkin dia-mu juga memilih melakukan langkah begini karena begitulah caranya menyayangimu. Tapi andai ia tahu, betapa engkau tenggelam dalam sedu sedan, dalam praduga, dalam kecemasan yang tak pernah ia bayangkan, ia pasti takkan melakukan hal itu. Mungkin.
-----


“Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.”
(5 cm, Donny Dhirgantoro)
 ---


*Untuk sahabatku tersayang, cukup bersyukurlah..karena Tuhan menganugerahimu dengan kisah yang membuatmu kaya cerita hidup, dan cinta yang membuatmu mengerti. Hilangkan sedu sedan itu, kami semua tetap ada untukmu..

Sabtu, 24 Desember 2011

Hilang



Bahwa pernah, saya saat berjalan menuju lab, melihat aspada nomor 7 yang biasanya turun di depan kosku dulu, saya mengedipkan mata berkali-kali, hanya untuk meyakinkan bahwa saya salah lihat. Bahwa pernah, saya terpilin lelah, bolak balik di ruangan waktu, di antara dua penanda waktu itu. Jam berapa sekarang? Maksudmu waktu mana? Aku terkadang terjebak di antaranya.
Pernah dalam sendiri, menunggu bus 747 untuk pulang ke rumah, saat petang, hujan, dan sendirian di antara bangunan-bangunan di kejauhan yang termakan kabut gelap, dan tiba-tiba saja saya merasa hilang, tidak terkoneksi pada apapun, walau sebenaranya ingin setengah mati.
Pernah, suara-suara orang bicara, senyum orang-orang lewat dan berlalu, tawa-tawa yang terdengar di telinga..tapi tak pernah sampai dalam hati. Suara itu hilang segera setelah bunyi terakhir terdengar, senyum-senyum itu tak berbekas, setelah hilang di muka mereka semua dan tawa itu, berlalu tanpa kutahu.
Saya juga pernah, berlarian pikir ke berbagai kota dalam beberapa detik saja, lalu mereka mencoba membawa saya pulang. Pulang kemana? Entah. Karena saya tidak ada dimana-mana. Saya tidak di Glasgow, tidak di Jogyakarta, tidak di Kebumen, tidak di Purwokerto, tidak di Semarang, tidak di Malang, tidak dimanapun. Saya pernah hilang.
Demikianlah hikayat kita. Manusia yang kehilangan dirinya sendiri dalam ruang-waktu yang kita reka setiap hari. Seperti kata Lucius Annaeus Seneca, filsuf sekaligus sastrawan Romawi yang hidup 2.000 tahun lalu itu, “Ketika kita berada di mana-mana, sesungguhnya kita sedang tidak berada di mana-mana.”
Kini (now), di sini (here), mungkin sesungguhnya kita sedang tidak di mana-mana (nowhere). Lihatlah kamera menjauh dari kepala kita, zoom out, kita menengadah: dan ternyata kita sendirian. Kecil. Terkucil (Fadh Djibran, Nowhere)

Kemudian saya bergegas, mencari lagi, dimana saya?siapa saya? Dan berharap akan ditemukan segera. Pasti. Saya mungkin hilang, karena kehilangan. Tapi akan kembali, karena saya ingin kembali. Menjadi “hidup” di detik ini.

*aku merasa asing dengan “saya” yang menulis posting ini, kalian kenal?aku tidak.

Kamis, 22 Desember 2011

Sebaris Kalimatmu Saja

Tak usah berbait-bait, berlarik larik puisi, ataupun sajak

Tak perlu indah rima, tak perlu pilihan kata berbunga

Cukup sebaris kalimatmu saja,

Sebaris, tak banyak

Cukup semenit, dari 23 jam 59 menit yang kau bagi dengan duniamu yang lain,

Sayangnya satu menitpun mungkin terlalu banyak

Sebaris kalimatpun menjadi terlalu mahal,

Hingga tak sanggup kumiliki,

**Untuk sahabat yang tengah menunggu jawab, dan berkata yang membuatku tersenyum : dari 24 jam miliknya, tidakkah bisa disisakan 1 menit saja untukku?

Rabu, 21 Desember 2011

Menempatkan Sejarah


Atas nama sejarah, engkau mengenggamnya erat-erat, engkau bawa-bawa kemanapun langkahmu pergi. Berdetik hingga tahun, atas nama sejarah, cerita itu engkau putar ulang di benakmu. Engkau mengenggamnya seakan masih kau miliki, dan lupa kapan terakhir kali “pengalaman langsung” yang kau rasai bersamanya? Terakhir kali kalian berbincang tentang cuaca, tentang jalanan yang ramai, tentang menu makan siang atau kemana tujuan jalan-jalan akhir pekan.
Kebersamaan yang tak pernah engkau punyai (lagi), karena kebersamaan kalian berdua sudah ada dalam lembaran-lembaran sejarah. Sejarah yang masih runtut kau buka-buka lagi, tapi masihkah akan ada cerita untuk kalian berdua di masa mendatang?
Engkau membuta, atas nama yang kaunamai cinta. Mungkin memang benar adanya, dan pastilah benar kurasa. Tapi sampai kapan kau terus menghidupi sejarahmu itu? Sedangkan harimu berjalan. Yang setiap detiknya menawarkanmu sejarah baru, bukan untuk menghilangkan sejarah lama, tapi mewarnainya.
Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata “sejarah” mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh seperti embun yang rapuh (Surat yang tak pernah sampai-Filosofi Kopi-Dee)

Walaupun aku bisa mendengar harapmu dengan jelas, saat engkau berkata :

Aku ingin bersamamu, saat mengecat tembok rumah kita. Dengan cipratan warna cat di wajah coreng moreng kita, tapi kita masih terus tertawa, bahagia. Aku juga ingin memperbaiki kancing bajumu yang tak lagi lengkap..ataupun minum teh hangat bersama di teras rumah kita. Ingin memberikan senyuman terbaikku untuk luruhkan penatmu, agar kembali lagi senyummu itu. Hanya cukup satu senyum saja, senyummu. Terciptalah sebuah simphoni sore hari yang sempurna, sederhana. Tak lagi rupa-rupa, karena cintaku sederhana saja. My love for you is for free, tak usah kau hitung-hitung lagi.

Dan saat yang sama pula aku mendengar pula resahmu : Terkadang ingin mengalahkan waktu, tapi bisa kubayar dengan apa ketinggalanku bertahun-tahun lamanya?
Tak perlu, tak perlu kau kalahkan waktu. Karena sebenarnya waktu tak pernah peduli apapun kejadian di muka bumi ini. Ia hanya peduli untuk berputar, berjalan, sesuai dengan tugasnya.
Hidup ini cair, semesta ini bergerak, realitas berubah. Seluruh simpul kesadaran kita berkembang, mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali. Masih ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi, dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah (Surat yang tak pernah terkirim, Filosofi Kopi, Dee)

Pilihan itu di tanganmu, aku tahu engkau akan tetap sanggup “hidup” walau dengan membawa-bawa sejarahmu itu sepanjang hidupmu. Tapi, tidakkah engkau mengijinkan ada sejarah baru, biar lembar-lembar hidup anugerah GustiMu itu terwarnai?
**Untuk seorang sahabat, You deserved the best, my dear sis
Glasgow, 20 Dec. 11.15 waktu malam hari, dengan suhu yang mulai menggila, tapi tak jua bisa kupejamkan mata hingga tulisan ini usai***

Selasa, 20 Desember 2011

Rumah


(Foto di atas kutemukan di antara file-file foto jadul, entah kapan kuambil foto ini. Tapi inilah representasi hidupku. Meja dengan laptop dengan jendela berisi naskah tulisan yang tengah kukerjakan, printer, segelas teh manis yang tinggal separuh, dan remote tv. Lalu dinding yang penuh dengan gambar-gambar Venezia-Italy, lalu papan gabus itu, ada kalender akademik kampusku, cover koloni Milanisti buatan seorang sahabat, gantungan kunci dari bahan flanel hadiah dari mahasiswiku. Dan ada satu yang mungkin lewat dari penglihatanmu. Sebuah kertas kuning di papan gabus hijau ini, kau bisa menebak itu apa? Aku baru menyadarinya kini. Hidup terus berjalan, dengan segala aktivitas, tapi ada yang terselip disitu, tanpa kusadari aku menempelkan jadwal bis Efisiensi Purwokerto-Jogyakarta. Karena selalu ada kerinduan untuk kembali)
Jl. Riyanto 5D, Purwokerto. Kamis, 28 Januari 2010
Senja menangis, hujan turun lebat sekali, bukan lagi gerimis rinai-rinai sore hari yang membuatku mampu mencipta berbait-bait kalimat dan sajak. Dengarkan suaranya, dunia rasanya dipenuhi riuh suaranya, mengalahkan suara motor dari pemiliknya yang bergegas hendak pulang, mengalahkan suara tivi yang tengah menyiarkan berita di kamarku. Dingin menyelusup, sepi. Dan beginilah Purwokertoku, damai, terkadang sepi walau aku jarang merasa sendiri. Kadang pula memberikan kemewahan dengan kerikan jangkrik dan bunyi korekan katak seusai hujan.
Tapi sayang, Purwokerto tak jua sanggup membuatku jatuh cinta,
Purwokerto, bukan Jogya yang selalu sanggup membuatku berdegup saat mendengar nama kota itu disebut. Yang seketika sanggup memutar film yang berisi rentetan sejarahku. Yang selalu mempunyai jatah rinduku dalam porsi yang selalu membuat siapapun cemburu.
---
Aku masih ingat hari itu hari sabtu, entah tanggal berapa, sekitar sebulan menjelang keberangkatanku ke Glasgow. Aku dan sahabatku, Cu’u, melakukan sebuah ritual, ritual melepaskan kutukan-ini hanya bahasaku saja.
Aku harus ke Baturaden sebelum aku pergi, selama lebih dari 6 taun aku tinggal di sini, belum sekalipun benar-benar mengunjunginya. Mungkin benar ada kutukan agar aku kembali lagi untuk bekerja di kota ini, karena aku belum pernah kesana. Maka aku harus ke Baturaden untuk menghilangkan kutukan itu
--
Aku melakukannya agar Purwokerto “mau”melepaskanku.
---
Glasgow, 21 HillheadStreet-19 Desember 2011
Cintaku pada Purwokerto memang tak pernah semeletup-letup pada Jogyaku. Rinduku padanya (Purwokerto), tak semenggebu rinduku pada lapak-lapak penjual Gudeg di pinggir jalan saat pagi hari, pada bahasanya yang membuat telingaku merindu dengar, pada setiap ada saja dan setiap rasa—ada yang bilang itu mantra—Jogyakarta.
Biarlah, karena realitanya Purwokerto yang menanti aku kembali. Dan padanya, aku mau kembali. Aku teringat barisan Dee- di buku Madre yang kubaca beberapa minggu sebelum aku berangkat “
“Saya meninggalkan Bali. Menetap di kota yang paling saya hindari. Bekerja rutin di suatu tempat yang sama setiap hari. Ternyata sampai hari ini saya masih waras. Saya rindu pantai. Tapi pantai tak perlu jadi rumah saya. Rumah adalah tempat di mana saya dibutuhkan (Madre-Dee)
Tapi Pantai tak perlu jadi rumah saya—mungkin memang begitu, Jogya tak perlu menjadi rumah saya. Mungkin memang ada hal-hal yang menjalankan perannya untuk selalu dirindukan. Biarlah Jogya, menjadi Jogyaku seperti biasa, yang menyimpankan rindu, yang menawarkan tempat untuk pulang sejenak, yang menyimpankan sejarah. Karena mungkin begitulah perannya. Tak perlu memprotesnya, terima saja begitulah adanya. Begini ceritanya sekarang, entah nanti. Setidaknya hati saya akan selalu mempunyai tempat untuk menyimpannya.
Purwokerto, mungkin akan menjadi rumah saya (lagi). Karena disanalah tempat dimana saya dibutuhkan.
Lalu ada dialog imaginer terdengar di telinga saya,
Lalu kau dimana? Kemana engkau akan “pulang”?” saya mencecar seseorang dengan pertanyaan. Dia tersenyum, lalu menjawab pertanyaanku,
aku, bersama peran dan tanggung jawab-tanggung jawabku. Karena di sanalah aku dibutuhkan
Saya terdiam, lalu semenit kemudian senyum saya terkembang. Terkadang harus bisa saling melepaskan untuk bisa terus bersama.***