Mobil yang kami tumpangi
menembus jalan-jalan kecil yang di samping kanan kirinya berupa hamparan hijau
padang rumput dan domba-domba yang merumput. Kami tengah dalam perjalanan menuju Edensor, seusai
penutupan acara KIBAR Gathering di Markfield. Namun cuaca yang tadinya cerah
dan langit biru sore itu berganti menjadi hujan deras tatkala kami sampai di
daerah Derbyshire. Hatiku sedikit gundah, ah padahal tadinya saya membayangkan
Edensor dengan langitnya yang cerah, dengan hijaunya perbukitan dan domba-domba yang lucu itu.
Cuaca memang terkadang mempengaruhi saat kita jalan-jalan, seperti kala saya
jalan-jalan ke Oxford dan Cambridge tahun lalu. Rasanya saya tidak terlalu
mengingat kemana saja di kota itu karena hujan deras tak henti-henti mengguyur
kota. Berjalan kaki kala hujan, langit gelap huhu mana bagus buat foto-fotoan
dan tentu saja mobilitas sangat terbatas. Karena itu, kali ini saya ingin sekali melihat
Edensor dalam pesona terbaiknya soalnya tempat itu sudah lama sekali menjadi
list saya untuk dikunjungi. Tentu saja gara-gara membacai buku tetralogi Laskar Pelanginya Andrea Hirata
itu. Edensor merupakan desa impian Andrea
Hirata karena membacai buku If Only They Could Talk karya James Herriot.
Mas Basid terus melajukan
mobilnya menuju Bakewell di tengah hujan yang masih saja mengguyur langit
England kala itu. Hati saya ciut mendapati belum ada tanda-tanda hujan
mereda. Namun
sepersekian detik kemudian sepertinya ada terdengar suara : Sepertinya
kau meminta terlalu banyak. Mungkin itu suara dari dalam diriku sendiri,
lalu kemudian menyadari, ah mungkin saja begitu. Saya sedang menuju ke tempat
yang saya impikan sejak dulu, dengan segala kemudahanNya, kesehatan, beserta
sahabat-sahabat. Bukankah kau seharusnya
bersyukur? Suara itu terdengar lagi. Jleb. Tiba-tiba saya malu pada Tuhan.
Ah, saya pada akhirnya tiba
pada kebersyukuran pada semua berkahNya. Entah hujan, entah berawan, entah cerah..saya akan menyambut Edensor sesuai dengan
apapun jatah Tuhan yang diberikan pada saya. Setelah itu hati saya berubah
tenang dan menikmati tetesan hujan di luar jendela mobil kami yang terus melaju. Hujan kemudian berangsur berubah menjadi gerimis rinai-rinai kala kami
sampai di Bakewell. Rencananya kami ingin melihat Haddon Hall (Rumah/istana
bergaya English milik Duke of Rutland) di River Wye, Bakewell, Derbyshire
karena tempat itu sejalan menuju Edensor.
Namun sayangnya tempat parkir dan Haddon Hallnya sudah tutup sehingga kami
urung masuk. Coba tempat parkirnya masih bisa, kan bisa jalan-jalan ke padang
menghijau dengan domba-domba lucu itu. Namun ternyata memang tidak bisa sembarangan parkir
mobil di UK ini. Eit, tapi bukan saya kalau nggak bisa mencuri narsis sejenak
di tempat itu eheh.
Hamparan padang
rumput di belakang itu selalu saja mempesona
|
Paling betah
memandangi yang begini begini
|
Lalu kemudian kami memutuskan untuk
langsung ke Edensor. Kadang kami melewati jalan sempit seperti di tengah hutan,
lengang. Uwooo kami benar-benar masuk pedesaan tipikal England. Tentu saja
nuansanya terasa berbeda dibandingkan saat jalan-jalan di kota besarnya. Kami
terus memecah sepi, melajukan mobil menyusuri jalan-jalan sempit yang berkelok
kelok sembari menikmati hijau dan damainya pemandangan di luar jendela.
Pemandangan di luar
jendela
|
Dan ajaibnya, gerimis
rinai-rinai berhenti dan langit mulai membiru cerah kembali begitu mobil kami
mencapai Edensor.
Matahari mulai bersinar kembali, hatiku pun bersinar-sinar seketika. Tuhan itu
kadangkala memang suka becanda, kala saya sudah berserah (bukan menyerah lho),
seringkali Dia kemudian memberikan apa yang saya pinta. Alhamdulillah,
Tuhan selalu Maha Baik.
Oh yeah, finnaly kita
sampai. Begitu kata saya pada diri sendiri. Alhamdulillah, rasa syukur saya
terasa berlimpah-limpah pada pemberi kehidupan yang menakjubkan ini.“ Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, menciut dicengkeram angin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup, ingin merasakan sari pati hidup!” (EDENSOR-Andrea Hirata)
Kutipan-kutipan dalam buku Edensor itu kembali melintas di
kepala saya. Dulu entah sampai berapa kali saya membacai buku itu. Buku tetralogi (paling suka
sampai buku ketiga sih, Maryamah Karpov-nya kurang suka)itu memang seperti buku
yang bisa mencharger semangat yang kadang kala menciut dulu saat saya mulai
menata langkah melanjutkan studi ke luar negeri. Dan karena itulah buku itu dan tentu
saja Edensor membekas di hati saya.
Padang rumput dan
domba-domba yang asyik merumput
|
Puncak menara dari bangunan gereja St Peter sudah nampak dari kejauhan. Oh, itu pasti tempat dimana banyak pengelana berfoto saat mengunjungi
Edensor. Sepertinya menara itu menjadi penanda khas lanskap desa edensor. Setelah memarkir mobil di belakang gereja St. Peter kami mulai
berjalan-jalan. Humm akhirnya menghirup udara segar Edensor seusai hujan, bisa
menyalangkan mata menikmati sekelilingnya. Oh yeaah I’m HERE! Ada yang
mendesak-desak gembira di hati saya. Bagi saya, mewujudkan apa yang saya inginkan adalah urusan saya
membuktikan pada diri sendiri bahwa saya akhirnya bisa mencapainya. Dan saya
dengan gembira bisa membincangi diri saya sendiri “ Ah, diriku. Kita sampai di tempat ini. Tempat yang dulu sering kau
bacai itu. Hidup selalu ajaib!
Kami kemudian masuk ke
dalam gereja, menikmati setiap sudutnya, mengambil postcard gratis yang
disediakan dan seperti biasa, dan juga
tentu saja berfoto-foto.
Interior dalam gereja
St. Peter Edensor
|
Saya
setelah di sini, baru tahu kalau Edensor dibaca dengan lafal “Ensor” seperti
juga Edinburgh diucapkan dengan lafal “Edinbra”. Awalnya terasa janggal di
lidah, karena terbiasa mengucapkan namanya dengan sebutan Edensor.
Edensor. Saya tak
harus berbusa-busa untuk mengatakan bahwa Edensor itu sungguh indah. Karena
bila dibandingkan dengan tempat lain di UK, desa kecil di Derbyshire ini memang
tidak menonjol, tidak banyak
tempat wisata yang bisa dikunjungi bahkan
informasi travellingnya juga sangat terbatas. Tapi bukankah terkadang rasa
spesial itu tak hanya melulu soal fisik, tapi lebih pada keterikatan hati
#halah. Berapa harga yang bisa membeli rasa rindu, cinta, suka? Priceless.
Tapi memang harus diakui, selain karena adanya keterikatan
dengan tempat ini, ternyata saya suka tempat ini. Walaupun memang Edensor
terlihat sepi, tak terlihat banyak orang-orang yang lalu lalang tapi saya suka hijaunya, damai dan segarnya udara
tempat ini. Hamparan padang rumput menghijau kemanapun mata
memandang, domba domba yang asyik merumput, rumah-rumah mungil yang tertata
rapi, udaranya yang segar dan damainya suasana. Duke of
Devonshire ke-6 saja pindah lho ke desa ini karena terpesona
dengan pemandangan dan kedamaian tempat ini.
“ Kalau disuruh tinggal di daerah
seperti ini mau nggak? Makan dan tempat tinggal dijamin, walaupun internetnya
susah? “ tanya Uti, salah satu anggota rombongan kami.
“Wah kalau nggak ada, internet nggak
sanggup deh,” jawab Sani, suaminya yang bergelut di bidang IT dan
nampaknya susah hidup tanpa internet.
“Kalau aku, tergantung sama siapa
sih,” jawab saya yang disambut koor kata “halaaaah” hampir serempak dari
rombongan semobil, diiringi tawa kami semua.
Kami bepergian berlima untuk mengikuti acara KSG (Kibar Summer Gathering di
Markfield.
Hihi,
baiklah saya memang gombal. Daripada gombal terus, baiklah kita lanjutkan
menyelusuri gereja St.Peter. Tentu saja kesempatan untuk berfoto ria tidak saya
lewatkan, dengan mengeksplore sudut dan sisi yang menarik untuk dijadikan latar
berfoto. Saya paling suka mengeksplor sudut yang tak biasa ditemukan orang tapi
hasilnya (menurut saya) sih bagus. Kali ini saya jalan-jalan dengan si tukang
jepret andalan saya *halaaah, jadilah saya puas berfoto-foto.
Terlihat atap-atap
rumah yang lucu. Konon bangunan-bangunan di Edensor dibangun dengan desain yang
tiap-tiap bangunannya berbeda. Seru juga.
|
Berlatar hijaunya
Edensor
|
Sensasi mencari sudut berfoto yang tak biasa
|
Suka banget foto ini, terimakasih yaaa si tukang jepret ;p
|
ini group band apaan?
ahaha
|
Cheeers..Kami dalam
formasi lengkap. Terimakasih sudah menemani saya ke sini
|
Kemudian
setelah puas di gereja St Peter, dan tea cottage-nya, kami berencana ingin
melihat Chatsworth House yang super cantik itu. Kami sudah sempat melihat bangunan yang
mirip istana di negeri dongeng itu saat melintas menuju ke gereja St.Peter. Kami mencari jalan menuju ke sana, namun sayang setelah
beberapa kali mencoba rute jalan ke sana, sepertinya memang hanya satu satu
akses jalan kesana yang restricted. Entah karena ada peraturan jam sekian sudah
tidak bisa akses lagi, atau kenapa hingga jalan itu tidak bisa kami lewati saya
kurang mengerti. Saat itu sudah hampir jam 7 pm, mungkin jalan itu hanya dibuka
sampai jam tertentu, entahlah. Kami tak berani menerabas masuk, karena mungkin
saja sesampainya di Glasgow bisa-bisa kami mendapat surat cinta denda
berpounds-pounds. Akhirnya, kami harus legowo dengan hanya menyaksi bangunan
indah itu dari jauh, dan saya sempat mengabadikan bangunan nan cantik itu
dengan jepretan kamera saya dari jendela mobil.
Indahnya Chatsworth House dari kejauhan
|
Sebenarnya bisa saja kalau mau, jalan kaki dari gereja
St. Peter menuju ke Chatsworth House karena saya lihat tempatnya masih bisa
dijangkau dengan jalan kaki. Namun sayangnya waktu kami terbatas, masih ada
perjalanan ke Glasgow yang masih jauh ditempuh. Akhirnya kami melanjutkan
perjalanan menuju Sheffield dan kemudian pulang ke Glasgow.
Walau singkat, namun mengunjungi Edensor rasanya seperti
menjamahi mimpi-mimpi. Terkadang kebahagiaan ada pada penaklukan, menaklukan
impian sendiri karena pada akhirnya bisa mewujud. Itu hanya soal waktu. Tuhan
selalu sempurna mengatur kapan waktu yang tepat impian-impian itu mewujud. Hati
saya tersenyum saat meninggalkan Edensor. Terimakasih Tuhan, cintaMu selalu
berlimpah, semoga hambaMu ini pintar bersyukur.
Glasgow,11 June 2014 dengan langitnya yang tengah mendurja, namun hati
tetap berbunga halah :D