“ It’s over now, Re..dia
bilang padaku jangan baik-baikin aku lagi,
just let me go and find some one,”
kalimat itu meluncur dari mulutnya, dengan guratan pedih yang masih sisa di
wajahnya. Kami bertemu lagi, seperti biasa..di tempat yang sama. Sofa pojok
sebelah kanan di Rumah Kopi, dengan pesanan kopi yang hampir selalu sama,
secangkir kopi lumbung vanilla. Kali ini aku memesan pisang bakar keju, sedangkan
Ocha dengan sepiring nasi gorengnya.
“
Aku kan sudah tidak makan nasi goreng lagi, Cha. Aku hanya makan nasi goreng
hanya bila bersamanya,” kilahku saat Ocha menawariku nasi goreng. Ocha hanya
tersenyum mendengarkan penjelasanku, yang maknanya jelas terbaca seperti
spanduk di mukanya tertulis : dasar
sinting seperti biasa.
Aku memandangi wajahnya, di balik cerianya, ada
perubahan-perubahan yang tak bisa disembunyikan dari gurat wajahnya itu. Cinta
surut dari matanya.
“
Cintanya padaku sudah kadaluarsa,” tambahnya lagi. Perih masih mengintip di
balik matanya.
Aku menyesap secangkir kopi lumbung vanillaku,
sambil memikirkan kata-kata penghiburan macam apa yang bisa sedikit
menyembuhkan luka hatinya. Pending,
otakku tak menemukan ide satupun. Mungkin seorang Ocha hanya perlu didengarkan,
bukan penghiburan. Tenyata setelah masa “menggantung” sedemikian lama, akhirnya
kata “let me go, and find someone”
yang harus diterima Ocha.
“
Perih Re, sakit banget rasanya, tapi entah kenapa aku tetep pengen lihat dia
bahagia,” lanjutnya. Matanya terlihat menerawang. Mungkin teringat pada
Randhiko, mantan pacarnya dulu yang kemudian mereka menjalani masa friendzone
yang abu-abu. Mungkin masih berkelebatan di pikirnya saat Randhiko masih
menjadi bagian dari hari-harinya. Seingatku mata Ocha selalu berbinar-binar
saat menyebut nama Randhiko.
Aku masih terdiam memandanginya. Kalimat seperti “pasti akan ada yang lebih baik dari Randhiko
yang akan segera datang untukmu”pun tak sanggup untuk kuucap. Tak perlu.
Dia tahu, dan akupun tahu, tapi tidak ingin mengatakan itu. Sia-sia, hatinya
masih penuh nama Randhiko. Lelaki yang sudah sejak sama SMA keluar masuk dalam
kehidupan cintanya, hingga kini saat usianya beranjak menjadi perempuan dewasa.
Aku tersenyum, menopang dagu dan mengamatinya
baik-baik. Apa yang direncanakan Tuhan untuknya? Sekilas begitu yang ada dalam
pikirku.
“
Apa aku harus melepasnya ikhlas? Aku berpikir mungkin dengan melepas, justru
suatu saat Tuhan akan memberikannya padaku lagi.” tangannya sibuk mengaduk-aduk
nasi gorengnya, namun hanya beberapa suap yang masuk dalam mulutnya.
Bolehkah ikhlas dengan mengharap? Seperti juga
ikhlas melepas dengan terpaksa? Apakah ada ikhlas yang terpaksa? Ah, biarkan
itu menjadi rahasia hati manusia dan TuhanNya.
“
Hidup saja dengan dengan baik Cha, Kalau enggak mau mikirin itu, jangan pikirin
itu dulu. Fokusin aja ke hal-hal yang lain. “ ucapku. Jiaaah..nasehat atau kata
penghiburan macam apa itu.
“ahaha
pragmatis amat elu sekarang Re? Nggak mbulet omongan elu kayak dulu,” ledek
Ocha sambil tertawa. Barisan giginya yang rapi, gurat tertawanya, itu masih
Ocha yang dulu.
“
Habisnya, kata-kata penghiburan super canggihpun kagak guna Cha sekarang buat
elu. Mau bilang come on, dear...you
deserved better, hati elu sekarang bilang, Randhiko itu yang terbaik. Mau
gue bilang, udahlah move on..emangnya lelaki cuma Randhiko aja. Pasti hati elu
bilang, iyah gampang bilang move on ..kamu nggak ngerasain sih..ahaha ya kan?” jelasku, setengah becanda.
Ocha tertawa lagi. Kami sering seperti ini,
ngobrol tak jelas berjam-jam tanpa simpulan. Perempuan mungkin memang senang
untuk didengarkan.
“Hiduplah
dengan baik Cha, orang bilang balas dendam terbaik adalah hidup dengan baik.
Kamu bersinar dan berkarya, dengannya ataupun tanpanya. Tuhan maha baik.” Sambungku.
“
Tuhan yang Maha Baik, aku ingin bersinar dan berkarya dengannya, please...yaaa,
kabulkan doaku,” begitu doa Ocha, sambil menangkupkan kedua tangan di depan
sepiring nasi goreng dan secangkir kopi lumbung vanilla. Aku hanya nyengir
melihatnya.***
Purwokerto yang terus saja gerimis, 2 Januari
2013.22.22