Dulu saya sampai membawa pulang tabung flask untuk kultur sel untuk latihan membiasakan tangan saya bagaimana caranya membedakan bagian atas bawahnya agar tak terbalik saat melakukan kultur sel.
Saya pegang-pegang, agar tangan saya
biasa mengenggamnya, tak lagi tremor saat bekerja di dalam hood. Perlu beberapa waktu sampai akhirnya saya bisa tanpa berpikir
lagi mengambil flask, memegang, tahu dimana saya harus melabeli dan menuangkan
media.
Saya
tidak suka melakukan itu, tapi tetap kulakukan.
Saya harus membiasakan diri memakai
pipet ukuran 10 µl, 20 µl, 200 µl dan 1000 µl, dan mengingat ukuran tip yang
sesuai dengannya. Pernah dengan hati kecut, aku memutar mutar pipet, mencari
volume yang diinginkan, di depan pengawasan asisten supervisor dan kemudian
salah. Kau bisa bayangkan apa jadinya bila volume yang dimasukkan salah?
Bencana. Itu bila hanya 1 langkah, bila yang dikerjakan adalah serangkaian
prosedur yang harus beberapa kali jalan? Ah perlu beberapa hari untuk
mengulangi lagi. Untung di sini tak peduli berapa kau habiskan media dan
alat-alat habis pakai lainnya. Saya juga pernah salah tip, ukuran 20 tapi
menjodohkannya dengan tips ukuran 10, bukan hanya pernah, berkali-kali dulu.
Kebegoan demi kebegoan yang menghantam
kepercayaan diri terjun bebas sampai ke jurang.
Tangan dan kepala sepertinya belum
terbiasa memegang, mengoperasikan alat-alat itu. Terlalu bermacam-macam, terkadang
terlalu canggih, dan mungkin terlalu dangkal dasar ketrampilan laboratorium
saya.
Saya
sungguh tak suka melakukan itu semua, tapi tetap kulakukan.
Dulu, saya langsung dibenturkan dengan
setumpuk metode, form healthy safety
dan butuh kepala ekstra rasanya untuk tahu apa maksudnya. Disodori materi ilmu
tingkat dewa yang baru saja saya dengar
saat menginjakkan kaki di lab ini. Saya menciut, kecil, hilang.
Pagi hari saat melangkah ke lab,
seperti menuju tempat yang penuh kecemasan, lelah, karena harus melakukan
hal-hal yang sama sekali tak kukuasai. Ilmu bekal dari Indonesia ternyata hanya
seujung kuku, mentah di sini.
“Kenapa?”
satu awalan kata itu, dengan nada suaramu yang masih saja kuingat hingga kini,
redakanku.
“Kau
akan bertahan 1 hari di situ, hari berikutnya, seminggu, sebulan, dan
berikutnya kau akan baik-baik saja.” Begitu katamu dulu.
Saya sering diam terpaku saat lab meeting karena tak bisa meraba apa
yang tengah mereka diskusikan, merasa terkucil, bego. Tapi bukankah tak ada alasan untuk menyerah?
Saya pernah harus cek ke dokter di
bagian occupational health setelah
diperiksa bagian healthy safety
karena mual dan muntah setelah piket lab membuat larutan virkon. Kadang saya
jengah dengan sistem mereka yang terlalu berlebihan.
Awal saya pulang ke Glasgow juli lalu, pun terjadi insiden yang belum ingin saya bagi pada siapapun kecuali orang tertentu. Walau begitupun, menyerah nampaknya jauh dari pilihan saya kala itu.
Awal saya pulang ke Glasgow juli lalu, pun terjadi insiden yang belum ingin saya bagi pada siapapun kecuali orang tertentu. Walau begitupun, menyerah nampaknya jauh dari pilihan saya kala itu.
First
assessment tahun pertama agustus lalu, setelah semua
komentar baik-baik saja, tibalah komentar penguji yang bilang projek riset saya
tak layak untuk sebuah riset doktoral yang sedemikian rupa menjungkalkan
kepercayaan diri saya hampir dalam titik terendah. Tapi toh buat apa saya menyerah?
Dan sore kemarin, terjadi ledakan di
lab, dan rekan lab yang terluka terkena lemparan botol kaca dan agar panas,
yang salah satunya karena salahku (what
can I say, I did the normal procedure but sometimes accident can happen). Rasanya
luruh tulang-tulangku, namun mengupayakan untuk tetap berdiri dan hadapi. Kau
bisa bayangkan apa yang terjadi setelah kejadian ini, tak usah saya
perinci. Cukuplah tahu bahwa saya sore
ini masih di sini, di kursi meja kerja PhD student saya yang artinya saya masih
bisa bertahan.
Kadang
saya ingin menyerah, tapi semoga takkan pernah.
Suatu saat mungkin kau akan
ditempatkan pada titik-titik kejadian dalam hidupmu, saat merasa kau akan di
ujung puncak titik keberserahanmu, bahwa apapun yang terjadi, hadapi. Keberserahan, bukan kemenyerahan.
Glasgow 2 November
2012. 4.30 pm.