Bolehlah menjelang Pemilu 2009 9 April nanti, kita menyinggung topik politik. Memang sesuai peraturan, PNS dilarang ikut ke dalam politik praktis dan terlibat dalam keanggotaan partai. Namun, bila sekedar ngompol..ngomongin politik, toh sah-sah saja. Dari dulu memang topik politik selalu menarik perhatian, karena selalu dihiasi dengan manuver-manuver antar partai mulai dari konvensi, lawatan-lawatan berbau politik yang katannya hanya silaturahmi sampai pada koalisi yang berujung pada pembagian jatah di tingkat ekskutif.
Mulai masuknya masa kampanye, berita di televisipun penuh dengan serba serbi kampanye mulai dari orasi-orasi tokoh-tokoh politik, pelanggaran kampanye sampai ulasan-ulasan rapat merapat antar partai mengarah pada kemungkinan koalisi. Kampanye dihiasi dari wajah lama sampai wajah-wajah baru yang meramaikan suhu perpolitikan nasional. Janji-janji manis masihkah terdengar di telinga rakyat?. Mungkin masyarakat sudah mencapai taraf ”budheg janji politis” karena telah berapa berganti kepemimpinan, toh belum ada perubahan yang dianggap menjanjikan. Namun hal itu tentu saja tidak membuat kita menjadi apatis, perubahan pastinya dimulai dari satu langkah ke langkah selanjutnya. Membutuhkan usaha yang tidak sedikit dan waktu yang tidak juga singkat. Kondisi bangsa yang telah kronis ini tentu saja membutuhkan penanganan serius yang tidak gampang. Perlu peran serta warga Indonesia dalam rangka memunculkan Indonesia menjadi negara besar yang sejahtera. Negara kita yang dulu katanya gemah ripah loh jinawi, bahkan masih teringat laguanya koes plus dengan ” Kolam susu”nya menggambarkan betapa bangsa kita dikaruniai sumber daya alam yang luar biasa.
Ah PEMILU? Mampukah nantinya menghasilkan para wakil rakyat yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik?.
Apakah PEMILU hanya pemborosan luar biasa yang memangkas anggaran negara dengan hasil yang tidak seimbang?. Bisa kita bayangkan berapa banyaknya anggaran yang tersedot dalam proses Pemilu, untuk mengklaim diri menjadi negara yang demokratis. Tapi menjelang proses pencontrengan 9 April nanti, kita dihadapkan pada pertanyaan kritis. Atas dasar apa kita mencontreng suatu partai ataupun nama caleg yang berurutan menanti belas kasihan kita di kertas suara?.
Ternyata pendidikan politik masyarakat kita masih belum mampu menjangkau cita-cita luhur mewujudkan demokrasi. Mungkin masyarakat juga sudah mulai jengah dengan beruntunnya peristiwa politik yang terjadi, mulai dari pilkada yang masih juga carut marut sampai persiapan pemilu dua tahap yang masih juga jauh dari kesiapan. Kampanye pada rakyat miskin kadang menghadirkan tontonan memprihatinkan dengan gambar rebutan sembako. Kampanye bagi ibuku mungkin lebih berarti pesenan kaus dan bendera untuk partai politik meningkat tajam akhir-akhir ini, yang membuat para pekerjanya kerja lembur.
Kampanye bagi tetangga sebelah adalah upah tambahan memasang baliho dan bendera-bendera parpol.
Ah, bangsaku..negriku, wajahmu masih juga belum tertata hingga kini. Namun ada sebersit harapan, terus menata diri, mempercepat langkah menuju ke arah yang lebih baik.