Cerpen ini diterbitkan dalam buku antologi cerpen “Balada
Seorang Lengger”. Bernafas tentang pemenuhan diri manusia.
“Tak
peduli seberapa banyak energi yang kita capai sendirian. Kekuatan cinta kasih
dan ketenangan batin kita baru dapat diuji saat kita berada dalam suatu
hubungan. “
***
Riuh rendah kentongan Banyumasan terdengar, tetabuhan yang
mengetuk pangkal rasa itu, membuat aku dan dia, larut dalam pesona. Festival
kentongan yang digelar berkala, setidaknya mengingatkan manusia-manusianya
bahwa leluhurnya dulu pernah mencipta, mencipta budaya yang diturunkan melalui generasi
penerusnya. Ini tahun kedua kami bersama, festival kentongan kedua yang kami
tonton, dan untuk kali kedua pula kami saling bertukar tanya, bila manusia
ditakdirkan mencipta budaya, apakah kau tahu untuk apa?
“Mungkin saja hanya untuk memperturutkan rasa, rasa
berbudaya, mempunyai karya, atau sekedar memanusiakan manusia,” kataku setelah
festival kentongan itu usai. Kami memesan secangkir kopi panas, mendoan dan
jagung bakar sambil “nongkrong” di alun-alun Purwokerto. Memang terlalu banyak
untuk porsi selingan setelah makan malam, tapi dingin telah menguras habis
cadangan energi kami.
“ Fiuuh, bahasamu selalu saja rumit! Menurutku budaya
dicipta untuk memberikan kesenangan, titik.” katanya lugas. Dan bisa diduga
sedetik kemudian, aku siap-siap membuka mulut untuk mendebatnya. Sementara itu
dia malah tertawa menyeringai, berlagak menantangiku. Begitulah persenyawaan
kami berdua. Arya, lelakiku, yang bisa menjadi sahabat untuk berbagi tentang
apa saja, menjadi guruku bila harus berurusan dengan ilmu eksakta, musuhku bila
harus mendebatnya, kasihku bila aku melihatnya sebagai manusia biasa, dan
separuh jiwaku bila harus meninggalkannya. Hingga tak kuasa, setengah tahun
lalu kuucapkan selamat tinggal padanya.
“Aku pergi”
***
Edinburgh, September 2010
“Apa kabar Purwokerto
kita? Masih sering berkabut saat pagi butakah? Masih riuh rendah dengan
teriakan kernet angkot-angkot mini warna oranye itukah? Aku kangen makan
mendoan hangat yang ternyata rasanya tak ada duanya di dunia itu, pengen makan Soto Sokaraja yang mak nyus, atau
sekedar nongkrong-nongkrong di Alun-alun Purwokerto sambil menikmati jagung
bakar dan ngobrol soal urusan negara sampai soal yang remeh temeh sekalipun. Kapan kita
nonton festival kentongan lagi?menyelusup di lapak-lapak Pasar Wage, lalu menawar
barang dengan kesadisan tingkat tinggi, atau menyambangi Yu Tarmi yang asyik
membatik. Kapan kita jalan kaki menghirupi sejuknya udara Baturraden? membincangi alam disaksikan deburan
air Curug Ceheng?telingaku juga sudah rindu mengakrabi lagi bahasa
ngapak-ngapak itu. Inyong, koe, kepriben,
dan terlebih lagi, aku merinduimu” eegh
ingin rasanya kuberondong dia dengan pertanyaanku, bicara sampai berbusa-busa.
Menjadikan waktu diam sejenak dan meringkas jarak.
Hatiku ngilu mengingat hal itu.
Kenangan adalah penjara bagi pikiran yang membututiku kemana-mana. Dan makin
lama, ia membuatku kehabisan daya. Memikirkannya hampir membuatku gila,
mencemaskannya membuat syaraf-syarafku kehabisan daya impuls.
Edinburgh-Purwokerto, dan jarak serta ketidakbersamaan menjadi semakin nyata.
Aku kehilangan daya. Apakah sebenarnya dayaku ada pada dayanya? Aku kecanduan.
Kecanduan aliran energinya yang membuatku meletup letup seperti bunga api,
melesat-lesat selalu bila ia ada bersamaku, dan sebuah persenyawaan yang
berubah menjadi tawar bila dia tak ada.
“ Heiii…nona manis, dicari-cari
eeeh.. ngumpet di sini..kamu lagi
kenapa sih Kin? kok pucet gitu mukanya? Belum makan?” Tanya Arinda
mengagetkanku. Ia sahabat satu flatku. Dengan paduan jaket panjang berwarna
hijau tosca dan syal yang berwarna senada, Arinda selalu saja nampak mempesona.
“ Enggak, pengen nyepi aja. Enak di
sini udaranya, sejuk, kayak Purwokerto” jawabku singkat, sambil menggelengkan
kepala. Mataku kembali memandangi Kastil Edinburgh yang gigantis di atas bukit
itu. Angin musim gugur menciumi syalku, memainkan lagu rindu dalam hatiku.
Eeggh, ini rasa paling aneh yang pernah kurasai, mendesak-desak dadaku sampai ngilu.
“ Hayooo..mesti lagi kangen sama Arya
ya? “ tebak Arinda, dan sayangnya tebakannya kali ini tepat.
Aku masih duduk diam mematung, kehabisan daya. Energiku
habis untuk merindu. Tugas-tugas kuliah masterku masih belum kusentuh, rasanya
otakku ngambek untuk berpikir. Ada paduan rasa resah, harapan yang membuncah
serta realita yang tak kuasa kukendalikan. Eghh kemana hilangnya seorang Kinanthi
yang selalu cerah ceria, berbinar binar, tertawa renyah, dan canda tawanya yang
selalu dirindukan dunia itu? Hilang, ditelan rindu. Rindu yang ditelikung jarak
dan waktu, aku tergugu kelu.
“ Iya nih, aku jadi nggak jelas gini”
jawabku singkat. Walau aku tak yakin kata “nggak jelas” bisa mewakili campur
aduk rasa yang tengah melandaku kini.
Angin musim gugur berhembus lagi, menerbangkan daun-daun
maple yang gugur, dan bersamaan itu aku berharap angin sanggup menerbangkanku
untuk pulang sejenak saja. Menjumpai sebagian jiwaku yang terbelah.
Menggenapkan diriku yang hilang separuh. Sudah hampir setengah tahun aku
melewatkan waktu di Edinburgh, Skotlandia, tempat yang lebih mirip negeri
dongeng itu. Kastil-kastil menjulang tinggi di perbukitan, serta langit yang
nampak terbentang lebih luas dibandingkan tempat lain di muka bumi ini. Hidup bermil-mil
jauhnya dari tanah kelahiran demi kuliah jurnalismeku di University of Edinburgh.
Tapi,
semakin lama energi mimpi yang membawaku kemari hampir surut habis. Kemana larinya dayaku? Fisikku melemah, sakit, ngilu, kehilangan
daya juang, daya karya dan daya hidup.
*Bandara
Soetta, 29 April 2010.
“
Arya, kau tahu..ada beberapa hal dalam hidupku yang layak untuk kuperjuangkan,
dan kau adalah salah satunya” sebaris kalimatku terlontar saat waktu terasa hanya menyisakan
detiknya yang begitu sedikit bagi kami.
Ia diam, menatapku dalam-dalam, tak
bicara. Dan aku sungguh tak dapat menerka apa yang ada dalam hatinya. Ruang,
jarak, waktu, mungkin adalah hantu yang selama ini telah menakuti kami sebelum
waktunya. Kami benci berpisah, kata yang beberapa bulan sebelum keberangkatanku
ke negeri nan jauh itu membuat dadaku sesak. Aku benci pergi, tepatnya aku
benci merasa kehilangan, kehilangannya.
“
Kin..jaga kesehatan ya, salatnya jangan lupa, makannya harus teratur,
istirahatnya juga ya,” katanya dengan suara parau. Kenapa suaranya mendadak menjadi parau? Aku ingin menguping apa yang
dikatakan hatinya detik itu. Sebentuk rasa kehilangankah? Kenapa aku harus
mempertanyakan itu. Apakah hatiku akan sedikit puas bila ia merasa kehilangan?
Yang itu berarti bahwa aku berarti baginya?ah..aku
egoistis, batinku.
Airmataku menderas, kenapa harus
begini, lagi dan lagi. Kenapa aku yang harus terus membalikkan punggung dan
meninggalkannya sambil menatapi punggungku sampai di penghujung pandangan matanya?tahukah
engkau, hal itu adalah hal terbenci yang harus kulakukan.
“
Kau kan pergi untuk sebuah alasan yang baik. Rihlah, talabul ngilmi..kenapa harus berat melepasmu pergi?”
kalimat itu lamat-lamat kudengar di ujung telpon kala itu. Ia sama sekali tak merasa kehilangan bilaku pergi, yakinku dalam
hati. Dan kenapa seperti ada yang tercerabut dalam hatiku. Sepi.
***
Edinburgh, Januari 2011,
“Yen ing tawang ono lintang cah ayu,
Aku ngenteni tekamu”
Marang mego ing angkoso. Sung takon-ke pawartamu”
Suaranya berjuang menyeberangi samudra, melintasi tanah-tanah
yang jauh, menuju hatiku. Tak peduli suaranya dikacaukan dengan sendatnya
jaringan internet, sejenak menghilang, terdengar lagi, dan dikacaukan suara
desis angin. Tetap saja tembang yen ing
tawang ono lintang-nya itu mengalirkan energi maha dahsyat bagiku.
Hingga tak sadar, mataku bertaburan
kaca, sesak rasaku, dan sedetik kemudian air mataku menderas. Kenapa harus
begini, dan begini lagi. Kenapa hadirnya, suaranya, ocehan yang tidak jelasnya
itu selalu mampu menyembuhkan penyakit gilaku ini. Penyakit kecanduan energi,
aih, sampai kapan harus ketergantungan terus padanya?
“ Please..contact me at 5 pm waktu
purwokerto, need to talk to you soon.
Energiku hampir habis..911,” tulisku tadi siang dengan tangan sedikit gemetar
di layar skype pada accountnya yang
berstatus offline. Begitu, selalu dan
selalu. Aku sakaw bila lama ia tak
ada. Energiku low berkedip-kedip
kayak ultraman kehabisan daya bila lama tak bersamanya.
Walau bersama dalam kejauhan, karena batas makna kebersamaan semakin memuai
karena teknologi.
“ Heiii…kok diem, sudah
mandi, Kinan?” tanyanya. Kenapa justru pertanyaan seperti itu yang ia
lontarkan? Tapi kenapa juga pertanyaan remeh temehnya itu yang selalu kutunggu.
Hatiku, otakku, kehilangan intelektualitasannya. Kuseka air mataku, dan menjawabnya.
“
Dingin tau, mandi itu kan aktivitas fungsional, kulakukan sesuai fungsinya,
membersihkan diri, bukan kewajiban mandi dua kali sehari ” kilahku. Uff cobain ke sini, emangnya dia sanggup
menahan dingin ?fiuuh..
“
Aku kan cuma nanya, sudah mandi belum?jawabannya kan sederhana sudah atau
belum. Selesai, dan terjawab. Dan aku tau kau pasti belum mandi ehehe,”
kudengar tawanya renyah, menyeberangi samudra, menyelusup dalam telinga dan
menghangatkan hatiku. Tapi sampai kapan
aku mengandalkannya untuk menstabilkan suasana hatiku? Ada yang tidak beres
dengan diriku.
“
Aku kecanduan, aku kecanduan akanmu. Aku tanpamu adalah pribadi yang hilang,
yang separuh, kau membuatku nggak jelas” racauku. Nggak jelas, kata lain dari
hampa, hilang daya dan karya tanpanya. Aku benci, mengatakan itu. Mungkin
dengan kalimatku itu rasa kelelakiannya
akan terbang meninggi sampai puncaknya. Menguasaiku, seperti penjara.
“Masa
kau samakan aku dengan narkoba, kecanduan..ehehe..ada-ada saja” guraunya.
Risikoku, mencintai seorang yang begitu lugas, dan polos terkadang. Aku sedang mellow begini rupa, tak bisakah kau
sedikit berdrama?. Seperti kisah cinta jarak jauh yang romantis, yang saling
mengharapkan?
“ Aku lelah. Kini aku mengerti, aku
lelah karena aku diracuni kata menuntut. Menuntutmu ada, tapi tiada. Menuntut
aliran energi dari celotehmu, racauan tak jelasmu, tapi kadang aku harus
berkompromi. Aku keracunan, aku kecanduan, eghhh…aku mau sembuh!” sambungku dengan nada yang
semakin meninggi, meracau lagi.
“
Kalau lelah dengan kuliahmu, jalan-jalanlah di akhir minggu, ke Glasgow barangkali.
Kau kan punya banyak kenalan di sana. Kau mungkin penat dengan urusan kuliahmu,
rehat sejenak, nanti juga baikan lagi. Oh ya jangan lupa, beliin kilt pesenanku loh ya” katanya datar,
seakan tak terjadi apa apa denganku. Padahal aku hampir gila rasanya karena
susah mendeskripsikan apa yang tengah melandaku.
“ Sudah dulu ya, hidung kecilku, jangan
lupa mandi ya, maemnya kudu teratur, jangan kebanyakan ngopi, istirahatnya
juga..eits, salat malamnya juga” katanya seperti kalimat itu sudah kuhapal di luar
kepala. Kalimat itu rasanya sudah ratusan kali kudengar, tapi entah kenapa,
ingin kudengar lagi..dan lagi. Bliip..sambungan skype terputus. Aku tercenung. Kenapa selalu ada yang hilang saat ia pergi?
***
Angkringan
Jalan Kampus, Purwokerto, 7 Agustus 2011
Terkadang tanah air adalah segala
tentang keistimewaan. Istimewanya bisa duduk lesehan di pinggir jalan, memesan
secangkir kopi panas dan mendoan hangat. Merasakan lagi hiruk pikuk kota yang
sebenarnya tak terlalu padat ini, teriakan bahasa ngapak-ngapak yang khas dan
canda tawa yang polos penuh keterusterangan. Bagaimana aku tak merinduinya. Dan yang membuat tanah air lebih
istimewa, karena bisa kupandangi lagi si lelaki yang ngapak tulen ini,
“
Arya, aku sadar satu hal, aku takkan pernah bisa memperjuangkanmu, sendirian”
ungkapku pelan-pelan.
“
Maksudmu, kau ingin kita…putus?Kinan..maksudmu
kepriwe?…dulu kau berkata kau akan memperjuangkanku?dan kini kau berubah?”
kalimatnya memburu. Aku
memberikan jeda, supaya kalimat yang keluar dapat tercerna.
“Bukan..aku
hanya menyadari satu hal, aku takkan pernah bisa memperjuangkanmu, sendirian”
kataku hati-hati, tahu pasti kalau lelaki
bertipe lugas ini selalu mencerna kalimatku dengan begitu
polosnya.
“Atas
dasar kekuatan apa aku bisa memperjuangkanmu? Dengan cara apa? Aku kini sadar
takkan bisa” kalimatku menggantung di udara. Kudengar ia mendesah, menanti
kalimatku selanjutnya.
“
Bayangkan bila aku menelponmu, bila aku mengirimkan email padamu bercerita
sampai berbusa-busa, menyapamu di YM tiap kali aku online. Pernahkah terpikir olehmu, apa jadinya bila kau tak ingin
menjawab telponku dan beralasan kau sedang sibuk, tak menjawab email-emailku
dan tak menjawab chat-ku di YM atau
skype?perjuangan macam apa yang bisa kulakukan?nggak ada” jelasku panjang
lebar. Selama ini cinta selalu diikatkan dengan keabadian, diharuskan selamanya
tak berubah, padahal cinta terus bergerak, selalu baru. Dan di samping
seringnya cinta menjadi hiperlogika dan semaunya sendiri, ternyata ia tetap
membutuhkan suatu mekanisme untuk tetap bertahan.
“
Lalu apa maksudmu Kin?” tanyanya lugu.
“Hubungan
hanya bisa berjalan bila ada kesediaan untuk terus terhubung di antara dua
orang. Selama ini aku bersedia, dan kau bersedia, sebegitu sederhana
mekanismenya. Kenapa aku baru menyadarinya. Aku terlalu merasa adikuasa untuk
bisa mempertahankan cinta kita” aku merasa baru saja menjelaskan sebuah teori
penemuan besar tentang sebuah hubungan. Menurutku sebuah
penemuan teori yang luar biasa, tapi
runtuh seketika ketika
mendengarnya bicara,
“
Hadeeeh..selama ini kan aku bersedia, kenapa sih kamu? Aku kan selalu bisa
kalau kau mau bercerita lewat skype, bisa chat
di YM walau kadang-kadang jarang bisa online
kalau aku lagi sibuk. Kan kamu ngerti
banget jadwal kerjaanku. Koe kok dadi aneh. Jauh dan
dekat kan hanya soal relativitas,
kayak teori rumitmu itu. Semuanya kembali ke rasa, seperti katamu juga. Hadeeeh
aku ketularan bahasamu yang rumit itu” kelakarnya.
“
Eghhh…ngerti nggak sih maksudku?nyebelin” aku gusar. Lebih tepatnya, gemas.
“
Ehehe iya ngerti, hidung kecilku” katanya singkat. Ufff, nggak romantis banget
sih dia. Susah diajak ngomong serius, tapi begitulah, entah mengapa ada sesuatu
dalam dirinya yang membuat segalanya bisa terkompromikan.
“
Kinan..dengar baik-baik, karena takkan kuulangi lagi. Hatiku hilang separuh
saat kutatapi punggungmu pergi sampai
menghilang di bandara kala itu. Kehilangan, mungkin itu yang kau sebut. Tak
bisa melihat senyum merekahmu yang mencerahkan hariku,
tawa renyahmu yang mampu menghilangkan penatku, tak bisa berbagi kapanpun
kumau. Aku, terkadang tak yakin akan mampu mengalahkan jarak, waktu dan ruang.
Aku lelah, kehilangan energi.” Wait..Itu
kalimatnya?benarkah itu dia yang bicara? Lelaki pragmatis itu?
“
Rupanya kita masih separuh yang bersama untuk menjadi utuh. Kita masing-masing merasa
hilang bila kehilangan satu sama lainnya.” Lanjutnya lagi. Aku melongo, masih tak percaya
mendengar kalimatnya.
“
Itu kau? Benar kau yang ngomong, nyontek kalimat darimana? “ candaku.
Sebenarnya beneran bertanya dengan penuh penasaran. Hadehh..tadi aku
mengharapkan dia beraksi demikian, kenapa aku merusak drama ini dengan
komentarku.
“
Inyong laaaah sing
ngomong, masa selama ini bersamamu tak mampu
menciptakan kalimat sing mandan ruwet sepertimu ehehe” tawanya
semakin terasa hangat di hatiku.
“
Kita masih menjadi dua huruf C, yang mencari keutuhan dengan bergabung menjadi
menjadi lingkaran O yang utuh. Karena itu kita habis daya, menuntut dan selalu
takut kehilangan bila terpisah. Jiwaku merasa makin tak sehat” simpulku.
“
Omongan kita keren yak? Filosofis ehehe” candanya selalu
merusak suasana. Eghhh…baru saja mau ngomong rada serius,
dia mulai lagi dengan tingkah asalnya. Aku tertawa tergelak.
“
Jiah..ampun deh, biasa aja kali,
ngomong ruwet nggak jelas. Tapi aku ingin
menjadi huruf O utuh untukmu. Eh..untuk diriku sendiri terutama. Kata
buku yang kubaca…Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain.
Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.” Aku menimpalinya.
“
Kau kebanyakan baca buku nggak jelas. Tapi okelah..kalo begitu huruf O-ku harus
lebih besar dari huruf O punyamu ehehe,” kelakarnya. Kupaham benar maknanya,
kalimat itu bukan untuk menantang, atau memantik sebuah ketidaksepahaman. Hanya
untuk memancingku untuk protes, menentangnya, meributinya. Dia yang selalu suka
protesku, penentangan “pura-pura”ku dan keributan manis di antara kami.
“
Mari kita rayakan, dua huruf O yang pacaran, yang utuh bukan separuh.”
ungkapnya lugas dan tandas. Mengangkat segelas jahe susu dan mengajak toast denganku. Aku tersenyum, lega.
Di
lesehan angkringan itu, kami menemukan cinta di antara dua huruf O. Karena kami
mencoba menjadi dua pribadi yang utuh yang saling mempertinggi energi
masing-masing kami, bukan sebentuk dependensi.
*kilt
: rok
tartan asli Skotlandia