You can never run from your passion, or lie to yourself what your passion is (@neynarahma)
Lagi-lagi
bahasan tentang passion, iyah karena mungkin dengan itulah hidup seseorang
terasa hidup. Saya menyaksi orang-orang yang hidup mengerjakan passionnya, dan
juga mengamati orang-orang yang menjalani rutinitasnya yang hambar. Ada gurat
yang berbeda, ada rasa yang tak sama. Begitu juga diri saya sendiri, saya tak
pernah ingin membohongi rasa saya sendiri.
Siapa yang paling tahu kapan saat kita merasa berdaya? diri kita sendiri. Kapan kita merasa
mempunyai kemauan dan kemampuan terhadap satu hal? Tentang hal-hal yang kita
lakukan tanpa peduli dibayar atau tidak, kadang-kadang jadi lupa
waktu, tapi ada selusup rasa bahagia tak biasa yang mengada. Itulah passion.
Rasa inilah yang terus menarik-narik saya untuk terus
menghidupi passion saya. Salah satunya mencobai rasa baru dalam dunia
kepenulisan yakni menjadi editor. Tawaran
yang saya dapatkan saat sedang berada di Maroko dari sahabat lama saya dari Fakultas ilmu Budaya UGM yang sekarang bekerja di Gramedia,itu lekas-lekas saya iyakan,
ehehe kesempatan langka untuk belajar merasa menjadi editor, di penerbit yang
sudah ternama pula. Pernah jadi editor? Belum pernah sama sekali. Tapi memang
saya kebanyakan nekad ahaha, kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Lagian juga saya sangat menikmati
kalau ada kerjaan-kerjaan menyangkut tulis menulis. Maka kemudian sahabat saya tersebut
memilihkan genre tulisan yang kira-kira pas untuk editor pemula seperti saya. Sebuah
naskah berjudul “Call it Love” tanpa nama penulis dikirim ke email saya untuk
diedit.
“Itu
beberapa halaman udah diedit, coba dipelajari dulu, lalu kamu coba edit
halaman-halaman selanjutnya, ntar aku lihat,” kata sahabat saya itu. Beberapa
file tentang editing juga dikirimkan via email. Wah benar-benar langsung
praktik ngedit langsung. Awalnya lumayan kaku juga, karena belum terbiasa.
Masih bimbang untuk mengoreksi kalimat, apalagi isinya. Beberapa halaman kuedit
berkali-kali dan kukirim hasilnya.
“ Udah
oke kayaknya, lanjut aja..cuman kalau ada ini..bla bla..diganti...” itu komentar
sahabat saya pas pertama kali saya kirim hasil editan saya. Saya banyak belajar
menggunakan bahasa baku, dan baru sadar juga walaupun naskah metro-pop tetap
juga menggunakan bahasa baku. Dengan merujuk pada KBBI, saya baru ngeh juga
kata-kata yang saya anggap benar ternyata nggak baku dalam KBBI. Seperti kata “pengen”
seharusnya “pengin” lalu “enggak” seharusnya “nggak” dan masih banyak
kata-kata lainnya. Termasuk bagaimana menghilangkan kata-kata redundant agar
lebih efektif, misalnya “masuk ke dalam taksi”, dengan menghilangkan kata tanpa
mengurangi arti. Yang lebih penting lagi adalah mengedit konten/isi. Bagaimana
alur cerita, serta adegan-adegannya logis atau tidak. Semakin lama mengedit
semakin berani untuk main coret-coret di dokumen Word menggunakan track
changes.
Ternyata memang rasa menjadi penulis dan menjadi editor
berbeda. Biasanya menulis dengan sekehendak hati, kadang sulit untuk mencermati
detail-detail kesalahan tulisan sendiri, tapi menjadi editor kita dituntut
untuk mengoreksi kesalahan tulisan karya orang lain. Tentu saja ini pengalaman
berharga sekaligus belajar mengedit yang menyenangkan. Saya masih ingat saat
mengedit “Call it Love” ini saya sampai lembur-lembur karena ingin mengulang
dan mengulangi membaca lagi. Tiap kali dibaca, ketemu lagi kesalahan-kesalahan
yang ingin diperbaiki, begitu berulang-ulang. Dan kualitas editan yang penuh
konsenstrasi itu paling hanya bisa bertahan 2-3 jam, selebihnya sudah nggak
fokus karena kelelahan. Mata lelah karena harus menelusuri kata satu demi satu,
sampai titik koma, jarak spasi, dan printilan-printilan tulisan harus dilihat.
Selain itu otak juga lelah karena harus terus berpikir ehehe jadi biasanya
setelah 3 jam, lebih baik naskah ditutup dulu. Tapi rasanya kerja seperti itu sangat menyenangkan, ada rasa bahwa saya ingin mengerjakan sebaik baiknya, tanpa beban, justru dengan antusiasme yang besar.Dan akhirnya, pertengahan Februari nanti buku hasil editan saya
akan lahir. Saat melihatnya di website Gramedia, saya baru tahu nama penulisnya
dan cukup suka dengan desain covernya. Ada kepuasan sendiri saat melihat buku
ini lahir, walaupun bedanya kalau menjadi penulis ada nama kita yang tertera di
covernya, sedangkan editor menjadi orang di balik layar karya seseorang.
Pengalaman ini saya merasakan kerja yang nggak berasa
kerja, tapi dapat duit ahaha. Mungkin ini rasanya kalau kerja di bidang yang
disukai, saya rasanya hanya ingin menghasilkan karya yang terbaik yang saya
bisa, plus ada honornya pula. Sebagai penulis juga begitu sih, dulu ada karya
yang model “jual putus” artinya dibeli tanpa royalti, ada pula karya yang
dicetak masal dan saya jual sendiri, sekaligus masih dibantu dijual oleh
penerbit. Sampai sekarang ini saya masih kadang menerima notifikasi transferan
dari LeutikaPrio hasil royalti buku saya, Koloni Milanisti.
Tapi terlepas dari nilai honor atau uangnya, kepuasan
bekerja, berkarya adalah candu yang tak ada habisnya. Inilah passion saya, dan
sangat menikmatinya. Saya memang bekerja di bidang science, tapi tetap menghidupi
passion saya di dunia kepenulisan. Kita bisa melakukan banyak hal kok, dengan
berkarya sebagai wujud syukur atas detik hidup yang diberikan Tuhan.
Salam
Glasgow, 5 Februari 2014.