Di
meja berbentuk bundar di sudut café itu
terlihat pemandangan yang sama tiap kali mereka ke sini, secangkir coffee latte
dan kopi hitam pekat. Coffee latte tentu saja milik Gayatri, sementara Anggia dipastikan pemilik secangkir kopi hitam
pekat itu. Pesanan mereka berdua memang jarang berubah, termasuk camilan yang
menemani mereka, croissant dan pie susu.
“ Berarti dokumennya sudah kelar
semua, Aya?” tanya Anggia dengan matanya yang menatap lurus pada sahabatnya,
Gayatri yang biasa dipanggilnya Aya itu.
Gayatri
mengambil secangkir coffee latteenya yang kemudian disesapnya perlahan,
kemudian menjawab.
“Iya, sudah. Pengacaraku akan kirim
dokumen finalnya esok hari,” jawab Aya singkat. Matanya masih terlihat sayu.
“Sabar ya, semuanya akan kembali
baik-baik. Yakinlah,” Anggia mencoba menenangkan Aya, lalu menggeser tubuhnya
mendekati sahabat yang telah dikenalnya lebih dari 10 tahun itu. Diusap-usap
punggung Aya, mencoba memberikan penghiburan.
Aya
terdiam, matanya tiba-tiba merah memanas dan bulir-bulir airmata tak
tertahankan jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku merasa sendirian, Nggi,” isak
Aya dalam tangisnya. Suaranya parau menahan gejolak perasaannya.
Perjalanan
pernikahannya bersama Bimo yang hampir 4 tahun akhirnya kandas. Entah kemana perginya cinta yang dulu
menjadi alasan bagi Aya dan Bimo untuk menikah dulu. Pernikahan sudah tidak menjadi sebuah ikatan
yang nyaman lagi
bagi mereka berdua. Ada laju yang timpang, ada pertumbuhan diri yang tak
selaju. Komunikasi sudah tidak lagi berjalan dalam harmoni, namun lebih sering dialog
yang berakhir dengan saling tidak mengerti. Rasanya ikatan pernikahan bukanlah
wadah yang tepat lagi bagi mereka. Tiga bulan lalu, Aya mengajukan permohonan
cerainya yang baru saja dikabulkan pengadilan minggu lalu.
“Ah Aya, kamu kan selalu ada aku. Apapun
yang terjadi. Kita hadapi bersama,” kata Anggia mencoba kembali
menentramkan sahabat itu.
Bagi Gayatri, tentu saja ada kecemasan akan kesendirian, tentang
tekanan psikologis dari masyarakat, bahkan pertentangan dari keluarganya
sendiri tentang keputusannya itu.
“Hidupmu itu bukan tentang kata
orang kan Nggi?” kaliat itu meluncur dari Anggia.
Dan Gayatri kembaki terkenang, bahwa kalimat
itu adalah kalimat
sama yang diucapkannya dulu saat Anggia memutuskan untuk melanjutkan studinya ke luar negeri
sementara hitungan umurnya memicu pertanyaan-pertanyaan yang mengusik.
Pertanyaan seperti : Kapan menikah Nggi? Jangan karier melulu lah yang dikejar?
Setinggi-tingginya karir dan pendidikan perempuan ya ujung-ujungnya harus patuh pada suami. Jangan cari
lelaki yang sempurna, Nggi, nggak ada yang sempurna, Nggi atau pernyataan
seperti, Kamu sih terlalu pilih-pilih.
“Hidupmu itu bukan kata orang, Nggi. Hidup itu pilihanmu
sendiri kan, dan kamu tahu pasti konsekuensi dan risikonya. “ Aya masih ingat
kalimat-kalimatnya saat menghibur Anggia yang tengah galau karena pilihannya tersebut. Ah,
sekarang kalimatnya itu berbalik dialamatkan untuk dirinya sendiri.
“Iyah sih, tapi kadang sebel tahu sama orang-orang itu. Rese amat, memangnya
nggak ada bahasan lain apa? Seneng banget gitu kalau ngurusi urusan orang
lain,” Anggia menjawabnya dengan raut muka yang sedikit ketus.
“Kalau semua orang penuh pengertian, baik, memahami bahwa
setiap orang punya jalan hidup dan ujiannya masing-masing, kayaknya dunia nggak bakalan seru ya?” goda Aya
melihat Anggia yang sedikit ketus.
Percakapan itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Tempatnya sama, di Rumah kopi ini. Mereka bertemu di
tempat yang sama,
dengan pesanan kopi yang sama, namun dengan cerita-cerita hidup yang berbeda.
Jarak di antara mereka pun tidak pernah menjadi masalah bagi persahabatan
mereka. Gayatri di Yogya, sementara Anggia di New Castle, Inggris. Tapi bila mereka punya kesempatan
untuk bertemu, Cafe Rumah Kopi di Jalan Kaliurang km 5.4 ini selalu menjadi pilihan
mereka untuk menghabiskan waktu bersama.
***
“ Bimo sakit, Nggi. Katanya ada
gangguan pada ginjalnya. Aku dapat kabar dari Mbak Meda. Aku bingung mesti
jenguk dia atau enggak,” gambar bergerak di layar monitor itu tersendat-sendat.
Layanan skype dua negera itu memang sering ditentukan bagus tidaknya koneksi.
“ Hatimu yang tahu, kau harus jenguk
dia atau enggak. Dan dalam kapasitas apa kau kesana,” jawab Anggia. Kadang kala
perempuan sebenarnya tahu apa yang ingin mereka putuskan, mereka hanya perlu
didengarkan.
“Jangan-jangan, kau takut jatuh cinta
lagi padanya ahaha,” canda Anggia memecahkan kebekuan di antara mereka.
“ Hush, cintaku padanya kan sudah
bermetamorfosa,” jawab Gayatri diakhiri tawa
“Memangnya kupu-kupu, bermetamorfosa,
sok gaya. Memang apa maksudnya cintamu sudah bermetamorfosa?” tanya Anggia
sambil mencibir.
Sejak bercerai lima bulan lalu, Gayatri seperti memasuki
kehidupan yang baru. Ketunggalannya setelah pernah menjalani hidup berdua, jauh
berbeda dengan kesendiriannya saat belum menikah dulu. Tidak mudah memang, ia
kini harus menghidupi dirinya sendiri dengan kembali menekuni dunia desain
grafis yang dulu sempat ditinggalkannya. Ditambah lagi tekanan psikologis
masyarakat dengan perkataan yang terkadang bising menghampiri telinganya.
Kenapa menjadi janda selalu menjadi konotasi negatif. Ini hanya jalur dan
pilihan yang semua orang bisa pilih.
“ Hei,
kok malah bengong. Apaan itu tadi metamorfosa?” tanya Anggia mengagetkan
Gayatri.
“ Ya bukan
lagi cinta sebagai pasangan. Entahlah apa namanya, semacam rasa terhadap
sahabat baik. Itu saja. Mungkin kami lebih cocok jadi sahabat, bukan pasangan.”
Jawab Gayatri.
“Nggak
ngerti ah, absurb.” Jawab Anggia seenaknya.
“ Ah
kamu. Makanya jatuh cinta dong. Yang lain udah pada belajarin anaknya ngaji,
kamu belajar jatuh cinta aja belum, ” Ejek Gayatri. Begitulah keajaiban antar
sahabat, mau ngejek tingkat tinggi bagaimanapun, nggak bakal tersinggung. Coba
kalau yang ngomong begitu tetangga sebelah, sudah berubah pasti raut muka jadi
merah menahan amarah.
“ Ahaha sialan. Memangnya kamu nggak
inget aku pernah jatuh cinta?” sergah Anggia.
Kadang-kadang jarak memang hanya soal relativitas.
Demikian juga waktu. Perbedaan enam 6 jam antara Indonesia-Inggris tak pernah
menyurutkan komunikasi mereka berdua. Padahal tiap hari mereka berdua bisa bertemu dengan sahabat-sahabat
nyata lain yang bisa bertemu muka. Tapi memang ada daya ajaib dari rasa
persahabatan. Aku tak pernah khawatir kau
akan pergi kemanapun, bertemu sahabat-sahabat baru berapapun, manusia dalam
hidupnya mungkin memang ditakdirkan hanya memiliki beberapa sahabat sejati. Dan
kau sudah menemukanku, aku sudah
menemukanmu. Anggia paling sok yakin dengan teorinya tersebut.
***
Gayatri seperti melihat sesosok Bimo yang lain saat memasuki
kamar Rumah Sakit dimana Bimo dirawat. Tubuhnya kurus, wajahnya tampak lebih tirus dan kuyu dibandingkan terakhir
kali dilihatnya. Lelaki itu, yang pernah menghabiskan hidup bersamanya selama hampir
empat tahun lamanya. Gayatri tercekat, dilanda kebimbangan apa yang harus
diucapnya. Bimo tersenyum dalam raut mukanya yang pucat.
“Terimakasih sudah datang menjenguk,” akhirnya dalam
suaranya yang parau Bimo memecahkan kebekuan. Mungkin tak mudah juga baginya
untuk bertemu lagi dengan Gayatri, perempuan yang dulu pernah menemani hidupnya itu.
“Formal amat, kayak pejabat,”sahut Gayatri menyahut dengan
bergurau. Keduanya tergelak. Entah kenapa kebekuan dan kekakuan karena kisah
pernikahan mereka yang tamat rasanya mencair seketika.. Kemudian mereka
bercakap-cakap layaknya dua sahabat yang kembali saling bertemu.
“Oh ya, apa kabar Anggia sekarang?”tanya Bimo dengan suara
yang kini jauh lebih jelas.
“Masih belum selesai studinya, tapi kayaknya masih asik
jalan-jalan melulu tuh anak. Eh dia mau mudik ke Indo sebentar, mau nikah bulan
depan.” Jawab Gayatri, sambil menggeser letak kursinya agar lebih dekat pada
ranjang tempat Bimo berbaring.
“What? Kok
tiba-tiba sekali. Siapa laki-laki yang sanggup menaklukkannya?” Bimo mengenal
Anggia sebagai sosok perempuan mandiri, yang tahu apa yang dia mau, dan ia
jarang melihatnya bersama laki-laki.
“Mas Danar. Hihi jodoh memang ajaib. Lama banget lho Anggia
nunggu, tapi kan nggantung gitu sejak lama. Akhirnya si Anggia yang melamar duluan, ahaha dasar gokil itu anak,” Rasanya
pembicaraan cair seperti ini justru jarang mereka dapatkan saat memasuki tahun
ketiga pernikahan mereka. Saat komunikasi berakhir pada satu sisi, saat ego
masing-masing terlalu kuat untuk saling mengerti.
“Melamar duluan? Ahaha mantap. Kadang-kadang perempuan itu
memang harus kayak gitu. Apalagi kayak Anggia, laki-laki kadang-kadang nggak
pede mau lamar dia. Ah, seneng dengarnya,” Ah itu Bimo yang dikenalnya
dulu. Spontan, ceria dan apa adanya. Bahkan Gayatri merasa menemukan lagi Bimo
yang dulu dikenalnya setelah tak bersamanya dalam ikatan pernikahan.
Ada perasaan lega saat Gayatri meninggalkan rumah sakit
tempat Bimo dirawat. Semoga hidupmu
baik-baik saja. Mungkin itu kalimat yang tak terucap
dari keduanya, namun sorot mata mereka telah cukup jelas mengatakannya. Mungkin cinta
terkadang adalah kemampun untuk saling membebaskan.
***
Anggia mengancingkan coatnya dan mengenakan
syal senada dengan jilbab ungu yang dikenakannya. Hawa dingin masih menyelimuti
New Castle Bulan Februari ini, apalagi kalau disertai angin, rasanya tubuh
kecilnya mau terbang tersapu angin. Lelaki itu di sampingnya, sibuk mengamati
pemandangan di luar jendela bis yang akan membawa mereka ke Alnwick Castle,
kastil dimana salah satu syuting film Harry Potter diambil.
“Indah ya?” tanya Anggia mencoba
mengalihkan perhatian lelaki itu dari lanskap cantik di luar jendela.
“Ehehe iyah, walau ada yang lebih indah.
Perempuan di sampingku ehehe.” Jawab Mas Danar sambil tergelak, memperlihatkan
barisan giginya yang rapi.
“Ish gombal. Kalau lebih indah, kok
lihatnya ke sana terus, nggak kemari,” kata Anggia dengan pipinya yang berubah
merona. Salahkan semua orang yang tengah jatuh cinta, entah hilang kemana
kewarasannya.
“ Kalau dilihat terus, takut terjadi
gempa bumi beruntun di sini,” jawab Mas Danar sembari menunjuk ke arah dadanya sambil
tersenyum penuh cinta. Oh, salahkan juga laki-laki yang pandai membumbui
kalimatnya dengan bahasanya yang berbunga, dan celakanya semua perempuan suka
mendengarnya.
Anggia
hanya tersenyum dengan pipinya yang kemerahan. Terkadang dalam hidup selalu
memberinya kejutan. Seperti saat ini, lelaki yang ditunggunya selama lebih dari
tiga tahun lamanya tiba-tiba menghampirinya. Mas Danar tengah menghadiri
konferensi di New Castle dan sepertinya semesta merestui mereka berdua. Hingga entah dengan keberanian macam apa,
Anggia melamarnya. Mungkin
hatinya sudah terlalu lama yakin bahwa lelaki itu mencintainya.
“Kenapa sih nggak bilang dari dulu?
Kan bisa jadi sekarang anak
kita sudah satu?” ledek Mas Danar menggodainya.
“Ishh..heloow. Aku kan perempuan,
kamu dong harusnya yang bilang duluan. Ini malah aku yang harus bilang duluan.
Malu tau, ntar dibilang agresif ehehe,”sergah Anggia
Bis
terhenti sejenak di perempatan, terlihat orang-orang menyeberang tetap dengan
pakaian hangatnya, boots dan syal yang melilit leher. Matahari memang
menjadi barang langka di negeri itu.
“Kirain kamu maunya sama bapak-bapak
mapan, pejabat, yang banyak duit, kedudukannya mantap, keren gitu.” Timpal Mas
Danar.
“Memangnya aku ini materialistis?aku
bisa menghidupi diriku sendiri, nggak punya ketergantungan finansial sama
orang.” Balas Anggia.
“Makanya itu. Jadi nggak pede tahu,
kamu kan manis, karir melangit, pendidikan tinggi, penggemar banyak, follower
bejibun. Eh ternyata maunya sama aku ahaha, “ ledek Mas Danar lagi. Yang
dibalas dengan cubitan kecil di pinggangnya.
Kadang
hidup memang membutuhkan manusia pemberani yang mengungkapkan apa yang
diinginkannya dalam hidup. Tidak pernah ada lagi, What If.
***
Semilir angin Pantai Nusa Dua Bali
menyibakkan rambut sebahu milik Gayatri dan jilbab merah marun milik Anggia.
The Bali Bay memang pilihan yang menyenangkan, menggabungkan dua hal yang
mereka gilai sekaligus, makanan enak dan pantai. Gayatri antusias dengan pilihan menu Asianya
dengan Aya lebih memilih Bebek Bengil kegemarannya.
“ Nggi, cobain deh Bebek Bengilnya
uuuuh, the best pokoknya. Bumbunya meresap sampai ke dalam. Susah banget dapet
ini di New Castle,” ujar Anggia dengan sigap mencomot bebek bengil dan menaruh
sambel matah ke dalam piringnya. Penggila bebek dan sambel serba pedas.
Kesempatan bertemu nyata antara dua perempuan
ini sungguhlah hal yang istimewa. Walau mereka paham, kebersamaan bukanlah soal
tempat, tapi lebih pada soal rasa. Namun ada yang lebih istimewa pada pertemuan
mereka ini, kali ini bukan lagi Rumah Kopi. Mereka menghabiskan liburan di Nusa
Dua Bali.
“ Kamu tinggal dimana sekarang ? tanya
Anggia di sela-sela keasikannya mencicipi Bebek Bengil di piringnya.
“ Nomad ahaha, kantor sih tetap di Jogya, tapi kerjaanku
tergantung projek juga. Jadi memang harus sering pindah-pindah,”
“Nggak berasa capek hidupmu kayak
gitu?”
“ Ehehe capek fisik sih kadang iya,
Tapi hatiku, jiwaku baik-baik saja. Bahkan terasa lebih segar kalau pindah ke
tempat yang baru. Mungkin manusia memang butuh perubahan, perpindahan. Rasanya
aku sudah menemukan rumah, hatiku dan jiwaku sudah padu. Bukankah kemanapun
pergi terasa pulang bila kita telah menemukan rumah di dalam diri,”
“ Hadeeeh minum..mana minum, ngomong
apa sih kamu.” Kata Anggia meledek.
“ Ahaha,. Aku merasa bahagia aja bisa berbagi dengan banyak
orang. Kayaknya hidup jadi lebih bermakna gitu. Ah, pantesan aja kamu suka
keliling-keliling, dulu kupikir kau sinting mau-maunya ngajar
di pedalaman Kalimantan, jadi anggota komunitas-komunitas macam-macam. Aku dulu melewatkan itu semua”,
“ Hihi baguslah, Tapi sejak bersama Mas Danar, Aku sudah tak
ingin kemana-mana lagi. Yunani, Maldives, Turki, nggak ada artinya lagi. Aku
cuma pengen ada di samping Danar, itu saja. Wah nggak tau kenapa, rasanya berubah total jadi
orang rumahan banget deh aku”
“Jiaah yang pengantin baru. Eh tapi
serius kamu kan gatel pengin jalan-jalan lagi?” tanya Gayatri dengan dengan nada
hampir tak percaya. Anggia dan kegemarannya menjelajah dunia adalah hal yang
sudah dimakluminya
“Iyalah, tapi kalau keliling dunianya
sama Mas Danar sih mau-mau aja ahaha,” kata Anggia sambil tergelak.
“ Beuhh dasaar. Ajaib ya, kamu kan
kayak burung terbang-terbang mulu sekarang penginnya mendekam terus di rumah. Belajar
masak, bikin kue.” Kenang Gayatri.
“Dan sekarang kamu yang terbang-terbang
ahaha, aneh ya,” timpal Anggia.
“ Well, Life is a choice. Our own
choice,
tergantung pilihan masing-masing ,” kata Gayatri kemudian,
“ Bukan pilihan orang lain dan bukan
nurut kata orang lain ya kan? Sebelum keduluan kamu bilang gitu ahaha,” penggal Anggia cepat.
“What which make us happy juga beda-beda masing-masing
orang.” Kemudian mereka berdua tergelak dalam tawa, larut dalam suara riuh
ombak di tepi Pantai Nusa Dua Bali.
“Eh, ketemu di sini lagi ya nanti. Mas Danar dateng jam 7 malam nanti. Ada Art Show, macam tari-tari tradisional Bali gitu di The Bay Bali. Sambil kita makan
malam bareng-bareng di tepi pantai, lama kan nggak ketemu. Kita godai Mas Danar
dengan sensasi maknyusnya bebek bengil.”
“Yups, eh kita foto dulu dong. Lama nih nggak foto berdua,
ada tripod gurita punyaku tuh bisa dipakai,” ajak Anggia, sembari mengeluarkan
tripod kecil berbentuk gurita yang dengan mudah bisa menopang kamera dengan mengaitkannya pada
papan.
Klik! Ada wajah dua perempuan yang
berbahagia dengan masing-masing pilihan hidupnya.
***
Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti proyek menulis Letter of Happiness : Share your happiness with The Bay Bali and Get discovered !