Senin, 10 Oktober 2011

Memasuki Hutan Belantara PhD

Minggu menjelang pukul 19.00 ..sepi, Glasgow yang senyap. Hanya alunan lagu-lagu indonesia yang berurutan kuputar di jet audioku. Mengiringi loncatan pikiranku yang kesana-kemari.

--projek riset—jadwal—dia--training skills—acara before christmas lab—telp keluarga—mulai bikin literature review--kursus bahasa inggris mulai besok—belajar—masak--dia—novelku—projek antologi cerpenku—dia—dan dia lagi..ehehe :D

Baiklah, lupakan pikiranku yang meloncat kesana kemari—aku mau melakukan terapi. Menulis ehehe—entah kenapa aktivitas menulis merupakan salah satu bentuk terapi untuk menyenangkan diri sendiri. Menikmati kebersamaan alur pikiran, ketikan di keyboard, memilih diksi, dan menuangkan sebuah cerita atau apapun.

Kututup sebentar beberapa jendela jurnal dan satu e-book tentang dengue (topik yang harus kudalami selama tiga tahun ini). Humm..memasuki hutan belantara studi phD yang benar-benar baru, asing dan tak dikenali.

“ Mulai kapan kuliahnya?” begitu pertanyaan 100 dollar, maksudnya bila kuhitung berapa orang yang menanyakan itu, maka aku akan mendapat banyak dollar ahaha..

Kuliah doctoral degree kan nggak ada kuliahnya. Trus ngapain aja??itu pertanyaan berikutnya. Dulupun aku bertanya begitu, ibarat nyemplung ke sebuah dunia yang belum kukenali gambarannya sebelumnya. Ah, bakat nekad dan spontanku memang susah hilang ehehe...

Wis nekad-o nduk..ta restui nekadmu!” masih jelas terngiang pesan seorang dosen senior biologiku menjelang keberangkatanku kemarin itu.

Humm...baiklah..Maka kumulai mbabas alas. Mulai kubacai dua buku tentang doctoral degree....Dan...hummm dalam rentang beberapa waktu, perspektifku tentang waktu studi phD langsung berbalik 180 0 derajat. Dulu kupikir waktu 3 tahun studi PhD akan menyisakan banyak waktu luang, karena nggak ada kuliah resmi. Humm bisa voluntering, bisa kerja, bisa bikin banyak tulisan, bisa bikin novel, bisa jalan-jalan muterin eropa. Hoho baiklah, kini setelah agak sedikit tahu ritme studi doktoral. Pernyataanku berganti :

“ tiga tahun rasanya terlalu singkat untuk studi doktor!!

Hoho,..pantes saja, rata-rata studi doktor diselesaikan dalam empat tahun. Tapi penyandang danaku adalah uang dari republik Indonesia tercinta yang mengharuskanku selesai studi dalam tiga tahun (akupun tak ingin lama-lama disini ehehe), maka tiga tahun adalah patokan waktu yang harus kususun time schedule-nya.

Iyap, studi PhD mengharuskan kita untuk menyusun jadwal akademik sendiri, apa yang harus dilakukan per hari, per minggu, per bulan, per tahun.

** you design the curriculum for your PhD project

Jadi, latihan mengatur diri sendiri, apa yang harus dikerjakan, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dipelajari, kapan waktunya, berapa budjetnya, apa kira-kira masalah yang akan muncul, bagaimana mengantisipasinya...

Haisssh, yap..fail to plan is planning to fail sodara sodara!!

Sedangkan aku adalah dosen kemarin sore, dengan pengalaman riset yang ..yaaaaah...masih belajar riset. Dan sekarang ngambil studi PhD yang ternyata hampir bisa dibilang tanpa guidance. Artinya, peran diri sendiri dalam keberhasilan studi Phd memegang poin sentral. Supervisor hanya mengarahkan, memberi saran, paling ketemu seminggu sekali atau bila ada progres dan masalah yang harus dibicarakan.

“You’re an expert...doctoral student usually doesn’t need to take a course” kata Alain-si supervisorku itu. Glek, hadeeeeh tepok jidat...hihihi...

Teringat pertanyaan super konyolku dulu pas pertama kali ketemu Alain,

So, what should I do during my first year of PhD?” tanyaku dengan polosnya. Auwww...bila kalian suatu saat mengalaminya, jangan pernah tanyakan pertanyaan konyol ituu..Iqro dulu!!!Iqro...dan Iqro..baca...bacalaaaah...ahahaa...tutup mukaaaa...setelah khatam membaca buku getting a PhD itu rasanya gambarannya agak samar-samar sekarang hihi...

Gambaran yang samar-samar itu, dibumbui dengan deadline yang kemaren sudah diumumkan administrator college-ku. Deadline literature review Januari, sedangkan annual review (presentasi, report dan evaluasi) Juni...nyum nyummm..baiklaaaaah...I’m in trouble now ahaha....menertawakan diri sendiri.

Jadi, proses studi doktoral ini akan dimulai dengan membuat literature review untuk menunjukkan latar belakang riset, tentang originalitas, kebaruan dibandingkan riset lain, serta riset-riset lain yang sudah dilakukan sebelumnya. Kemudian melakukan penelitian, training yang menunjang penelitian, analisis data, menulis report, presentasi, evaluasi, publikasi ke jurnal, dan menulis disertasi.

Hummm...ayooh masuki hutan belantara ini dengan semangat dirikuuu, ehehe walau mulai dari awal, bila semangat melakukannya, tak ada yang tak ada yang tak bisa...

Jadi, teringat sebuah lagu....

“ When I see you smile...I can face the world..
When I see you smile I can do anything “

Yang ditimpalinya dengan pertanyaan, “wuihh bisa dong bikin pesawat boeing 737 setelah melihat senyumku?” blep..blep...bisa, pakai kertas lipat!
Baiklah, Glasgow masih tetap sepi. Heyyy..kenapa kalian masih membacai tulisanku??ehehe...di Indonesia sudah jam 1.36 WIB dan 2.36 WITA (ahaha maksudnya apa....baiklah, kuakhiri tulisanku sebelum kekacauan sistem semakin parah dan ayo ayooo sinaaaaau).

**kembali membuka jendela e-book tentang dengue...mari belajar!!

Rabu, 05 Oktober 2011

Cerita-Di Balik Sebuah Potret

Pagi yang dingin, karena Glasgow beberapa hari ini mulai menunjukkan cuaca “spesial”nya ehehe. Suara pohon-pohon di luar jendela yang tertiup angin terdengar jelas, berulang-ulang bergemuruh seperti badai kecil. Humm..beginilah Glasgow, kota spesialis angin ehehe..hingga bila keluar rumah sekarang terasa benar angin yang mulai menampar-nampar mukaku. Brrrrrr...jadi rindu matahari ehehe...

“ Mau pulang?” ejeknya kemarin sore lewat skype—dengan koneksi library semenjak si tetangga baik hati yang minjemin password internetnya itu pindah, jadi belum bisa internetan lagi di flat.

“ yeii...iyalah mau pulang, tapi entar kalau sudah waktunya. Memangnya aku kalah dengan dingin..dengan angin?” kilahku. Ehehe..masa dengan dingin saja kalah.

Banyak orang hanya melihat tinggal di luar negeri dengan kacamata lurus dengan segala keindahan dan kecanggihan fasilitasnya. Gedung-gedung beraksitektur indah, tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat liburan eksotik dan kecanggihan tram, subway, bahkan bisnya. Mungkin karena begitulah yang tersaji di banyak buku-buku travelling atau buku bersetting luar negeri, apalagi eropa. Negeri mimpi-mimpi banyak orang, termasuk aku tentu saja ehehe...

Tapi banyak yang tak terungkapkan di balik potret “sempurna” itu. Yang mungkin justru membuat potret itu kian sempurna. Banyak orang atau sahabat mungkin hanya melihat potret hanya dari satu sisi, karena hanya itulah yang memang mungkin tersaji. Foto-foto yang kuupload di FB, banyak teman kampusku yang berkomentar saat chat :

“ waah enaknya, jalan-jalan terus..sekolah opo jalan-jalan?”
“ hummm kelihatan “lepas” banget, seneng deh liatnya”

Dan beberapa komentar lainnya. Salah? Enggak juga. Tapi di balik potret itu, ada cerita-cerita lain yang mungkin tak terungkap. Aku kali ini hanya ingin bercerita, yang mungkin tak banyak diceritakan orang-orang yang tinggal di luar negeri lainnya. Bahwa tinggal di luar negeri bukan hanya berisi berkunjung ke tempat-tempat yang indah. Hidup di luar negeri sama saja dengan hidup di tanah air hanya dengan kondisi yang berbeda, yang terkadang butuh tekad yang kuat, motivasi yang dalam untuk menghadapinya. Tanpa itu, kalian hanya akan menemukan sebuah keindahan semu. Mungkin kalian akan menikmati menjelajahi kota-kota, tempat-tempat menarik, namun beberapa saat sesudahnya kalian akan mulai kehilangan antusisme, bosan, dan kehilangan esensi. Apalagi bila kalian tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama. Tapi kalian tidak akan pernah kehilangan esensi bila mempunyai misi yang jelas, untuk apa tinggal di sebuah tempat baru yang sama sekali tak kalian kenali sebelumnya. Itu hanya masalah kesepahaman “tujuan” dengan diri kita sendiri, bila sudah mempunyai suatu kesepahaman tujuan, maka bukankah setiap langkah ke depan menjadi terasa lebih ringan?

Hidup dengan segala sesuatu yang berbeda membutuhkan energi yang banyak untuk tetap “tidak hilang”. Mulai dari bahasa yang berbeda, sistem transportasi yang harus dikenali, jalan-jalan yang baru kalian kenal, tempat-tempat baru, sistem perbankan baru, kampus dengan segala aturan dan fasilitas yang membutuhkan waktu untuk pelan-pelan mengikuti cara kerjanya. Teman-teman baru dengan kultur yang berbeda, atau rasa kesoliteran, kesepian karena belum menemukan komunitas. Kemudian juga problematika makanan, kalian akan menyadari bahwa kalian tidak bisa dengan bebas lagi memilih makanan yang biasanya tinggal beli, masak ataupun bahkan delivery order. Adaptasi makanan, itu juga yang harus kalian pertimbangkan..masa mau kelaparan atau sakit di negeri orang?

Lalu cuaca yang tak biasa. Kita yang biasa bermandikan cahaya matahari, kini harus tiap hari berkelubut pakaian tebal, dengan kaus tangan dan kaus kaki tiap saat. Misalnya di Glasgow, diwajibkan membawa payung atau baju parasut di tas karena hujan bisa datang sewaktu-waktu. Kita di Indonesia yang terbiasa kemana-mana dengan motor, sepeda, ataupun mobil, di sini pun harus siap jalan kaki dalam durasi yang lamaaaaaaa, dengan track yang mantaaaaap..ehehe...sekalian olahraga ahaha.

Dua minggu lalu aku dan mba niken, demi mencari nasi dan indomie di Chun Ying, sebuah toko China di City Center harus mengalami “lost in Glasgow” karena kami sama-sama warga baru di sini. Kaki sudah pegal karena terlalu lama berjalan, bagian belakang tumitku sudah terasa perih. Sedangkan tangan kanannya membawa 5 kg beras, sedangkan tangan kiriku memegang barang belanjaan yang hanya ada di Toko China itu, demi selera Indonesie ehehe. Kami mencari bus yang ke arah Universitas untuk pulang, beberapa orang kami tanyai, mereka menunjukkan ke arah bus stop tertentu, terkadang ada yang menggeleng tidak tahu dan menyampaikan maaf. Sampai kami merasa “masa orang-orang city center jalan ke arah universitas nggak pada ngerti sih?”

Sementara hujan terus mengguyur Glasgow, oh ya kalian tahu bagaimana payung itu dipegang? Dijepit dengan bahu kiriku ahaha...dan akhirnya setelah beberapa lama berjalan, menyerah dengan membiarkan diri hujan-hujanan karena payung itu malah hampir terbang dan membalik karena kuatnya hembusan angin.ahaha...mantaaap.

Membaca arah-arah bis di bus stop, tapi tak menemukan nomor bus yang sesuai. Lalu mba niken yang mulai kelaparan mulai makan pisang di pinggir jalan, dan duduk sejenak di emperan.

“ Waaaah udah nggak kuat ini, naik taksi aja yuk” begitu katanya. Hummm naik taksi ke rumah, hadeeewww...itu bisa 25-30 pounds..420 rebu...kagak relaaaa ahaha...

“ Ntar deh mba, kita tunggu bus sebentar lagi. Kita ke arah great western road saja. Itu kalau nggak salah sudah deket dengan universitas” kataku. Kukenali jalan itu karena aku biasa melintasi jalan itu untuk membeli daging di toko –toko halal.

Begitulah, ada banyak cerita yang tidak hanya sekedar sebuah potret yang tersaji di banyak majalah travelling atau lainnya. Tapi menurutku, itulah bagian yang justru menyempurnakannya. Hanya saja, kalian butuh tekad yang kuat untuk tetap bisa bertahan dalam kondisi yang bagaimanapun. Jangan terhenti dan menyerah. Karena untuk tinggal di sebuah kehidupan yang berbeda akan banyak membutuhkan perjuangan untuk tetap survive. Keluar dari zona nyaman dimana kalian biasa tinggal dengan segala kebiasaan dan kenyamanan, membutuhkan lebih banyak energi untuk menghadapinya. Jauh dari keluarga, jauh dari sahabat dan orang-orang tercinta, menuntut kemandirian dan sebuah daya juang.

Dan yang perlu diingat... hidup kita sepenuhnya adalah pilihan kita sendiri. Aku telah memilih, dan tidak pernah menyesal dengan pilihan yang telah kuambil. Kunikmati saja setiap lintasan dan kejutannya. Aku memilih hidup yang aku inginkan, hidup yang kurencanakan dengan tetap siap dengan kejutan Tuhan. Hidupku, jalur-jalur yang kupilih, karena aku tidak ingin suatu saat menyesal karena tidak berjuang untuk menjalani hidup seperti apa yang kuinginkan. Bila sudah begini, tidak akan pernah ada penyesalan bukan? Bahkan bila suatu waktu kita dipanggil Tuhan, karena kita menjalani hidup dengan mengusahakan setiap detik terbaik.

*Tetaplah bermimpi, memperjuangkan apa yang kalian inginkan dan impikan, karena tidak pernah ada usaha yang sia-sia. Mari memberikan makna dalam hidup yang kita jalani, dengan memaknainya untuk diri kita sendiri, dan akan semakin berarti bila hidup kita bermakna bagi orang lain. Salam mimpi-mimpi!!

--Tulisan ini untuk mahasiswa-mahasiswaku, dengan impian-impian hebat kalian masing-masing. Dan juga untuk sahabat-sahabat lainnya dengan rencana dan impian kalian masing masing juga. Mungkin impian kita berbeda-beda, tapi mari berjalan bersama, untuk menjadikan hidup kita semakin bermakna. Cheers..Have a nice Day.. a Beautiful Life!!

5 oktober 2011, 21 Hillhead Street Basement Level**


Kamis, 29 September 2011

Ajaibnya Hidup


21 Hillhead Street, Glasgow

28 September 2011. 20.30 waktu Glasgow

Aku mengenal dikau..tak cukup lama, separuh usiaku

Namun begitu banyak pelajaran yang aku terima

Kau membuatku mengerti hidup ini, kita terlahir bagai selembar kertas putih

Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai

Kan terwujud harmoni

(Harmoni-Padi)

Lagu “Harmoni”nya Padi mengalun liris, menyetir rasaku. Perlahan kubuka lagi halaman itu, halaman yang kulipat di antara buku diaryku-

Tertulis di lipatannya : A letter to myself : Open again 28 September 2011 20.30/8.30 pm

Kubuka dengan hati-hati..

To : Siwi Mars

Untuk dibaca lagi setahun mendatang (28 September 2010-28 September 2011)

Aku perkirakan kita sudah sampai di Edinburgh, kota yang menakjubkan itu. Betulkah? Apa hari ini engkau sudah mengerjakan tugas dari supervisormu?

Isi selanjutnyaaaa.....titttttt-------sensor ehehe----

Aku pastikan aku bahagia dengan hidupku. Hidupku yang berwarna, yang mengkontribusi untuk orang banyak, yang memberi perbedaan.

--dan banyak lagi yang sensor ehehe...tapi tersenyum saat membacanya lagi. Dengan kalimat akhir surat itu :
Katakan “mengapa tidak” pada hal-hal yang kau anggap “it’s too good to be true” karena kau layak mendapatkannya!!

Aku masih ingat dengan baik saat menulis surat itu, setahun yang lalu. Masih belum punya nilai IELTS, masih belum pelatihan bahasa inggris, masih belum menulis proposal riset satu kalimatpun apalagi mengontak supervisor dan apply beasiswa. Setahun lalu, dan entah mengapa dengan begitu yakin (atau sok pede-nya ehehe) aku menuliskan bahwa aku telah ada di Edinburgh pada September 2011.

Ehehe memang tak sepenuhnya benar, aku ada di Glasgow pada akhirnya...kota yang berjarak tak begitu jauh dari Edinburgh, dibelokkan oleh takdir. Tapi, begitulah ajaibnya impian..ajaibnya hidup...If you just believe your dreams..and then You put your best effort on it, never give up, keep your consistency and persistency..I absolutely believe that your dreams will comes true..

Entah mengapa aku iseng menuliskan surat itu. Hanya saja aku yakin bahwa impian itu harus dicanangkan, diresapkan dalam bawah sadar, dan ia terpatri dan ikut mengalir dalam setiap tarikan nafas kita. Dan dengan segala upaya yang kita usahakan, kita tidak pernah menyesali hidup yang kita jalani.

Sedikit merasa ajaib, bagaimana saat menuliskan surat itu, langkahku masih sangat awal. Tapi setahun ini, aku telah sampai seperti apa yang tertulis di surat itu. Aku jadi inget sebuah kalimat quotation yang dulu kutulis dan kutempel di meja belajar kosku di Purwokerto.
Bila Engkau telah melakukan bagianmu, maka semesta akan menyelesaikan bagiannya lainnya untukmu.

Maksudnya, bila kita telah mengupayakan segala apa yang bisa kita upayakan, jangan memikirkan bagaimana mekanisme semuanya bisa terwujud, itu bukan bagian kita. Kita lakukan saja bagian kita untuk berupaya, dan yakinlah Tuhan telah menyiapkan skenario terhebatnya untuk kita. Bersiap dan ijinkanlah keajaiban-keajaiban terjadi.

Hari ini ada yang bilang--
Karenamu aku menjadi tahu bagaimana usaha itu

Bagaimana kegigihan itu

Bagaimana keteguhan itu...

Terdengar berlebihan..ahaha karena dia sering berlebihan...Tapi setidaknya aku bahagia. Hadirku di antara orang-orang di sekililingku setidaknya memberi arti, memberikan perbedaan.

Malam ini, hanya ini kembali mengucap syukur akan kasihNya yang terus mengalir untukku. Untuk ajaibnya hidup yang kujalani, dengan segala berkah dan kasihNya.

Untuk semuanya, jalanilah hidup seperti maumu, seperti rencanamu, seperti impian-impianmu, seperti jalan-jalan yang kau bayangkan sebelumnya. Dan upayakanlah itu semua dengan seluruh usahamu sebagai wujud rasa syukur, dan merasakan kegembiraan dalam proses perjuangannya. Dan satu lagi....ijinkan keajaiban-keajaiban hidup terjadi dalam hidupmu..cheeers.

Salam cinta dan damai dari Glasgow ***

Senin, 26 September 2011

Glasgow, Suatu Sore


Sebuah sore yang tenang di Glasgow, seusai shalat ashar setelah lelah berjalan-jalan (ngapalin jalan lebih tepatnya). Masih sms-an dengan nomor simpatiku, membiarkan provider itu menyampaikan pesan-pesan menembus jarak dan perbedaan waktu 6 jam. Meredakan rindu..ahihii. Ini kali pertama aku kangen “berat” dengan Indonesia dengan segala macamnya. Mungkin karena hari ini sendirian, Mba Niken yang tadinya mengajak untuk jalan-jalan menjelajah kota membatalkan niatnya,

“ Lagi pengen molor nih hari ini, jalan-jalannya besok aja yah.. besok pagi jam 9 aku sudah di flatmu ya” begitu pesannya ke nomor vodafone-ku. Walau sudah punya nomor HP sini, tapi masih sering iseng mengganti dengan nomer simpatiku, bersms-an secara “minimalis” namun rasanya “maksimalis karena tarif per sms 4000 rupiah ke nomer Indonesia. Tapi entah kenapa rasanya jadi luaaaaar biasa ahaha lebaaaay :p

Ajaib, tehnologi selalu membantu manusia untuk terus terhubung. Di Indonesia pasti sudah lewat tengah malam, sedangkan di sini masih sore. Hari ke 4 di Glasgow, menikmati sorenya yang tenang di flatku. Dengan segelas teh hangat dan alunan lagu-lagu Indonesia di Laptopku, aku merinduinya, merindui Indonesia. Akhir pekan, biasanya setiap sabtu sore aku mbalap dari Purwokerto-Kebumen pulang ke rumah..humm merindui keluargaku. Yang kemaren mengantarkanku di Bandara Soetta dengan isak tangis, tapi tetap dengan senyuman. Karena mereka semua tahu, aku pergi untuk sebuah alasan yang baik. Kangen sahabat-sahabatku, terutama sahabat-sahabat terdekat. Biasanya bila sepi, cukup dengan bunyi sms 911.

“ Sepiiiii, ngobras yuuuk” maka ia pun akan mengerti, lalu kamipun ngobras (ngobrol nggak jelas ehehe) berlama-lama. Tapi kini, ritual itupun belum bisa kami lakukan. Internet di flat belum bisa dipasang, baru dijanjikan minggu depan. Sehingga selama ini aku masih tergantung dengan internet kampus di International Office di Fraser Building. Untunglah jarak flatku dengan kampus tidak terlalu jauh, walaupun dengan MRC (Medical Research Council) tempatku nantinya belajar—masih bingung ini mau ngapain ahaha—agak lumayan jauh, sekitar 20 menit jalan kaki.

Sejauh ini, aku merasa melewati proses adaptasi dengan baik, lebih baik dari yang kubayangkan sebelumnya. Tidak terlalu membutuhkan usaha ekstra keras, seperti waktu di Italia tahun 2008 lalu. Pertama, bahasa yang digunakan orang-orang di sini adalah bahasa Inggris, walaupun aksen penduduk asli sini (Glaswegian-akses orang Glasgow) sungguh-sungguh aneh dan agak susah dimengerti tapi secara umum, komunikasi sama sekali tidak masalah. Bila mau nanya jalan ke orang, beli sesuatu di toko, naik taksi dan tanya sesuatu yang belum dimengerti, dengan bahasa yang bisa dipahami ini, aku tidak merasakan kesulitan yang berarti.

Kedua, Glasgow sangat ramah. Aura itu terasa sehingga menjadikanku sejak pertama merasa “klik” dan merasa nyaman. Orang-orangnya begitu ramah, entah itu pendatang, entah itu penduduk asli (walau belum begitu banyak mengenali penduduk asli). Mereka sangat helpfull bila ditanya jalan—(bakat nyasaranku memang top ehehe), terkadang walau mereka sama-sama pendatang mereka mau memperhatikanku sejenak, membantuku membaca peta, dan menunjukkan jalan yang tepat..huum thanks to them. Di toko-toko, atau penjual di pinggir jalan, kadang mereka menyapa dengan ramah, atau saudara sesama muslim yang melihatku berjilbab terkadang menyapa Assalamulaikum

Glasgow merupakan tempat yang ramah terhadap pendatang, mungkin karena di sini banyak tinggal orang-orang dari berbagai negara. Kulihat bervariasi orang-orang yang tinggal disini, mulai penduduk asli, orang EU (European Union), orang Afrika, maupun Asia. Jadi mereka sangat terbiasa dengan pendatang, dan penerimaan serta toleransi di Glasgow kulihat lebih baik dibandingkan saat aku di Italia. Mereka sudah terbiasa dengan berbagai komunitas agama, sehingga penampilan berjilbabku ini sama sekali tidak “aneh” di mata mereka. Di jalan-jalan, di kampus, di pusat kota, banyak kulihat perempuan-perempuan berjilbab. Islam di UK memang cukup berkembang, walaupun di Scotland belum begitu berkembang dibandingkan England.

“ Paling banyak komunitas muslim di UK itu di Birmingham, trus di Nottingham. Kalo di sini lebih sedikit” begitu kata Pak Nanung kemaren sore saat menunjukkanku toko-toko halal di Glagsow. Dosen Fakultas Peternakan UGM yang telah mempunyai dua putri ini sangat baik, menunjukkan tempat-tempat yang menjual makanan-makanan halal di Glasgow.

“ Daging di Tesco (nama supermarket) itu disembelihnya mengerikan, dikasih air banyak-banyak trus dilewatkan pada mesin pemotong. Nah kalo mau mencari daging dan makanan-makanan halal ada di Great Western Road” begitu terang beliau.

Ah lega, ternyata disini banyak toko halal yang menyediakan makanan berbagai variasi, dan akhirnya menemukan cabaaaaaiiiii...ahaha, walaupun mahal setengah ampun. Jadinya aku beli cabai ijo botolan yang ternyata pas dicoba untuk memasak...pedeeeeessss...Alhamdulillah ehehe..can’t live without chili hihi...di toko An Noor itu kubeli daging ayam, nudget, mie rebus (di Glasgow ada indomie tapi tokonya jauh—belum pernah kesana), cabai ijo botolan dan Maggi (kaldu buat sop). Huuuummm...rasanya nggak akan kelaparan di Glasgow nih..walaupun kangen mendoaaaaan ehehe

“ Wah kalau ada pertemuan orang Indo, tempe itu pasti makanan yang paling cepet habis” lanjut Pak Nanung. Beliau setelah mengajakku jalan, malamnya akan ke London untuk mengisi pengajian. Beliau sering pergi ke luar kota di UK bahkan ke negara eropa lainnya untuk mengisi pengajian. Dan aku dibantu beliau untuk masuk ke komunitas KIBAR (Keluarga Islam di Britania Raya), Alhamdulillah..walau di negeri orang, aku ingin tetap beribadah, ngaji dan bergabung dengan komunitasku.

“ Rajin-rajinlah shalat tahajud dan Dhuha, InsyaAllah akan banyak mendapat kemudahan” Begitu pesan beliau, ehehe berasa nemu seorang “bapak” di sini, Alhamdulillah dipertemukan dengan orang baik hihi.

Beliau menunjukkan masjid-masjid di Glasgow, membantu mengecek proses registrasiku lewat komputer kampus di Fraser Building dan mentraktirkan kebab downer yang ternyata porsinya sangaaaaaat besaaaar ehehe padahal aku pesen ukuran small...wuduuuh nggak bisa bayangin yang porsi Big!

Makanya, faktor ketiga yang membantu proses adaptasiku adalah komunitas orang Indonesia di sini. Aku seflat dengan Puput, mahasiswa Indo dari Jember yang menempuh studi master di International Bussines. Kemudian ada mba niken, dosen UNEJ yang tengah short course di GCU (Glasgow Caledonian University) yang kadang-kadang telpon

“ Huaaaa...homesick nih, aku maen ke flat kalian yaaaah” lalu bruk bruk..beberapa saat dia sudah di flat, membawa belanjaan indomie goreng dan telor. Ehehe dia itu lucu, masih belum bisa adapatasi dengan cuaca Glasgow hingga sering loncat-loncat kalau kedinginan, dan masih susah makannya.

Setahuku masih ada beberapa mahasiswa Indonesia lainnya, namun masih belum bertemu. Begitulah ceritaku di awal pertemuanku dengan Glasgow. So far, Glasgow..kota yang nyaman untuk tinggal, semoga tidak terlalu membuatku homesick karena aku akan tinggal dalam waktu yang relatif lama di sini..

** Glasgow sudah menggelap, saatnya shalat magrib, lampu-lampu flat yang terlihat dari jendela kamarku sudah menyala. Aku menengok waktu di jam tanganku..01.30 waktu Indonesia....

Salam kangen untuk semuanya, aku baik-baik saja dengan kehidupan baruku di sini, kuharap kalian semua juga...***