Rabu, 16 November 2011

Cinta dan Semangkuk Mie Instan

Melangkah tersuruk suruk kembali ke flat, sambil kembali merapatkan jaket tebalku, bergidik menahan dingin dan angin. Fiuuuh, cuaca Glasgow semakin mantap saja, november hampir sampai di pertengahan, artinya musim dingin sebentar lagi menjelang. Langit sudah gelap sempurna, lampu-lampu dari jendela-jendela flat terlihat berderang. Aku baru saja pulang dari Speaking Class sore ini, humm..pukul 7 pm baru pulang, untunglah sudah shalat magrib di kampus. Hingga sampai flat tinggal memikirkan urusan perut.

Entah karena dingin, atau karena doyan, kuputuskan untuk membuat mi rebus, karena padanya kutemukan kepraktisan dan kenikmatan berpadu. Kuah panas, gurih dan dingin sepertinya saling berharmoni. Maka dengan segera kusiapkan bahan-bahan untuk memasak mi rebus. Jamur dicincang, cabai diiris tipis (bagaimana cintaku pada cabai tak usah kau ragukan lagi), telur, irisan tomat dan irisan seledri. Dalam beberapa menit perpaduan indomie rasa ayam, telur, jamur, dan seledri itupun siap disantap, tinggal ditaburi bawang goreng, ditambahi kecap dan sedikit saus botolan. Entah mengapa jadi ingat, ibuku..yang kadang bilang :
Mba, makan malamnya bikin mie rebus saja ...biasanya kalau mie rebus buatan mba yayan enak” kata ibuku. Ah, pasti itu karena ibu sedang males memasak ehehe..ibuku memang tidak terlalu suka memasak. Beliau bisa memasak, tapi tak terlalu suka memasak. Orang bisa memasak sesuatu yang sama, namun mengapa rasanya berbeda? Seperti halnya ritual minum teh, kopi atau lainnya. Tidakkah kau perhatikan, berapa kau takar air untuk kuah mie rebusmu, karena bila terlalu banyak rasanya menjadi hambar, dan bila terlalu sedikit akan menjadi terlalu asin? Tidakkah juga kau perhatikan, setiap orang punya seleranya sendiri. Apakah telur itu direbus terpisah kemudian dicampur pada mie yang sudah siap, apakah telur itu dicampur dalam kuah bersama mie, apakah dibiarkan dalam utuh atau dipotong-potong dengan sendok agar gampang dimakan? Kau akan temukan untuk sekedar semangkuk mi rebus saja, akan kau temukan berbagai variasi ritualnya. Seperti cinta, yang tak pernah sama.

Kalau bapak, paling gemar dengan nasi goreng buatanku. Padahal biasanya nasi goreng minimalis, hanya nasi goreng standar berkawan telur iris saja. Walau sebenarnya pasti lebih mantap bila ditambah daging ayam suwir, irisan mentimun dan bawang merah. Bila sudah kumasakan nasi goreng, pasti dengan semangat beliau akan segera menyantapnya. Entah ada rasa apa dengan nasi goreng. Padahal kuberitahu satu hal, entah kenapa bila aku memasak nasi goreng, rasanya perutku sudah kenyang dengan hanya memakan beberapa suap saja. Itu juga tak tahu mengapa.
Lain lagi dengan simbahku, yang berkali-kali dalam skype-an berkata,
Ta dongak’e terus. Mugo-mugo pinter, sehat, trus sekolahe cepet rampung
Beliau selalu hobi perkedel buatanku, walau aku sudah hapal benar bagaimana bentuk perkedel yang beliau mau. Humm, padahal penglihatan beliau sudah samar, tapi rewel kalau bentuk perkedelnya tidak sesuai dengan selera beliau.

Aku suka memasak, terlebih lagi memasak untuk orang-orang terkasih. Karena dalam ritual memasak, ada bumbu cinta yang dimasukkan di dalamnya. Bukankah dengan memasak kita mempersembahkan sesuatu untuk seseorang? Nduk, masakan itu simbol cinta kita kepada orang yang akan menikmati masakan kita, begitu tulis seorang sahabat, Mba Suryati Arifatul Laili di salah satu cerpennya.

Malam sudah kian larut, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang,

Sayang, pengen dong dimasakin nasi goreng tuna...biar ndut lagi
Mataku yang tadinya sudah mulai berat, terkesiap...kulihat jam dinding kamar flatku, jam 10.10 malam, dan kulihat jam di komputerku, 5.05 pagi. Hatiku terasa ngilu. Kemudian suara itu perlahan menghilang, mataku terpejam.

Glasgow yang mulai membeku. 15 Nov 2011. 10.10 pm



Selasa, 15 November 2011

Merindu Jeda

Langit Glasgow masih sama terlihat dari jendela lab CVR, sama seperti pagi tadi saat aku meninggalkan flat, membalut tubuhku dengan jaket tebal dan membawa langkah-langkahku menuju lab CVR. Seperti itu tiap hari, menapaki jalanan naik turun yang harus dilewati, deretan toko-toko, pernyeberangan, dan bangunan-bangunan gigantis itu. Kemudian pulang kala petang menjelang, dengan tenaga tinggal sepenggal.
“ aku ingin menulis nanti setelah makan malam” begitu janjiku pada diriku. Tapi terkadang, setelah makan malam, duduk di meja belajar, berkutat dengan komputerku dengan menyisakan jendela windows yang masih terbuka, kosong. Kadang-kadang terlalu lelah dengan urusan-urusan studi, dengan sel-sel yang harus ku”hidupi” tiap hari.
Ah, baiklah..engkau akan berkomentar, itu hanya alasan saja.

Baiklah, terserah apa kata kalian, aku hanya ingin menegaskan kadang hidup membutuhkan jeda. Aku merindui jeda kini, menarik nafas barang sejenak, menyegarkan lagi jiwa. Bukankah kau juga begitu?terkadang bukankah kalian merasa begitu?merindukan jeda sejenak?

Dengan menaruh beban dari pundak sejenak, untuk nanti kuambil lagi. Jedaku, terkadang ada pada menyesap secangkir teh hangat, pada lagu-lagu yang mendendangkan kenangan, ada pada berbagi cerita dengan sahabat, ada pada senyumnya, ada pada bulan yang kupandang membulat sempurna terlihat dari jendela. Mungkin pula ada pada bersembunyi di balik selimut kala cuaca sudah mulai menggila. Kadang pula pada baik-baitNya kubaca setelah Isya.

Aku lelah berlari-lari beberapa hari ini, tanpa spasi. Jengah dengan mengusahakan kompromi-kompromi, menyita energi. Rasaku ini bukan untuk menyerah, bukan untuk menghentikan langkah, atau menyalahkan rasa jengah. Aku hanya membutuhkan jeda, mungkin saja untuk bicara pada diri sendiri, membujukinya lagi. Kita semua butuh jeda. Jeda memungkinkan kita mengambil jarak, agar bisa bernafas. Jeda memberikan kesempatan untuk mengalihkan perhatian sejenak dan menangguk energi-energi baru.

Kukatakan pada diriku, mari mengambil jeda. Mari hadiahkan jeda sejenak, mataku kembali menyalangkan ke luar jendela. Langit bergelayut mendung, bangunan-bangunan tua di seberang, jendela-jendela kaca dan cerobong asap. Kuberalih pada jendela facebook, mengamati pergerakan status teman-teman. Yang kembali menasbihkan bahwa aku dan mereka berada dalam rentangan waktu yang sungguh berbeda. Kapan bisa bersama-sama mereka lagi? Bersama dalam ruang dan waktu yang sama. Kebersamaan yang bermakna berada suatu waktu itu, tempat yang sama, merasakan udara yang sama, bicara, tertawa, bercanda, atau menangis bersama.

Perhatianku kukembalikan pada jurnal-jurnal yang harus kubaca, namun beberapa menit kemudian kembali goyah pendirian. Kubuka jendela windowsku lagi dan mengetik. Aku benar-benar butuh jeda.

Lalu senandung lagu –Karena Kutahu Kau Begitu-Andre Hehanusa terdengar lamat-lamat di telinga, lewat earphoneku, saat seluruh ruangan post graduate student membisu.

Kuyakin dalam hatiku, kau satu yang kuperlu
Kurasa hanya dirimu, yang membuatku rindu


Lab CVR, 15 Nov 2011. 3.59 pm.



Secangkir Teh Kita

Secangkir teh hangat itu pagi ini menemaniku, sepertimu. Menghangatkan hati dan hariku sepertimu. Maka relakanlah ketiadaanmu digantikan secangkir teh manis hangat pagi ini. Bukan karena engkau tiada, maka aku berpaling pada secangkir teh hangat.

Itu hanya karena bila engkau ada di sampingku kini, tak kan pernah ada secangkir teh hangat. Tak akan pernah ada teh hangat kita. Yang ada teh hangatku dan teh “tidak hangat”mu. Karena engkau akan memberi jeda waktu yang bagiku terlalu lama untuk menikmati secangkir teh hangat.

“ Tunggu sampai nggak panas lagi” begitu rumusmu bila ingin meminum teh. Bagiku itu aneh, kenikmatan minum teh salah satunya adalah campuran antara hangat, manis, dan rasa tehine yang tidak terlalu pekat.

Tapi kenapa sering terkadang kita minum dari secangkir teh yang sama? Aku suka teh hangat, engkau tidak, tapi terkadang kita masih minum secangkir teh bersama-sama. Aku tahu, mungkin aku tahu, atau sok tahu. Bahwa kita sebenarnya tak peduli, secangkir teh itu panas, hangat atau tidak hangat. Tak terlalu memusingkan apakah katekin dan flavanol yang terkandung di dalamnya terserap sempurna untuk menjadi antioksidan. Mungkin, kita hanya ingin bersama.***



Sabtu, 12 November 2011

Pagi Ini

Kau sangka cahaya di luar jendela itu matahari, pendar-pendar merah merayapi langit pagi
Menyelusup di antara daun-daun maple yang menggigil sepanjang pagi
Membuka hari yang sekali lagi, harus kuarungi
Jatah waktu dari Sang Gusti, begitu kataku pagi ini
Bukan sayang, itu lampu-lampu yang menggantikan posisi

Mencoba mencerahkan gulita pagi, selalu begini
Entah matahari, atau lampu-lampu kota ini, yang berjuang cerahkan pagi
Tapi kau yang benderangkan hati

(Gambar itu diambil dari bawah jendela kamarku pagi ini..)
Glasgow, 12 Nov 2011.