Selasa, 24 Januari 2012

Yang Mungkin Tak Ingin Kau Kenang

“Betapa ingin saya berani memungut kembali satu-persatu kenangan itu, betapapun ia bikin malu. Karena hidup yang sekarang, pasti tidak disusun cuma berdasarkan kebenaran dan kemuliaan. Di antaranya, ia pasti disusun juga dengan kebodohan, aib dan kekeliruan.
Maka kedudukan aib dan kesalahan itu, sesungguhnya setara dengan kebenaran dan keberhasilan. Ia sama-sama menjadi batu penyangga hidup saya. Jadi ia tak perlu diruntuhkan” (Prie GS)
Satu hal yang menyenangkan saat membacai tulisan Prie GS adalah keterusterangannya, bagaimana ia menulis tanpa label-label. Ia membukakan ruang bagi para pembacanya untuk menertawakan kisah-kisahnya, dan pastinya sedang menertawai diri sendiri, dan dengan begitu kita semua menarik pembelajaran dengan menyenangkan. Betapa terkadang manusia butuh momen seperti itu.
Terkadang ada kalanya, kita ingin “membuang “ beberapa petak sejarah dalam hidup karena kita pikir itu sebuah kesalahan, hal yang memalukan, nggak keren, ndeso atau sebagainya. Betapa bila dikenang, akan ada berbaris baris daftar hal-hal konyol yang telah kita lakukan. Banyak orang yang serta merta ingin men-delete-nya, tapi tulisan Prie GS itu membuatnya tersenyum, terkikik, dan tersadar. Bahwa kenangan sebagaimanapun bentuknya, memang tak seharusnya diruntuhkan. Karena batu-batu penyangga hidup kita ini memang tidak hanya dibentuk dari prestasi-prestasi, kebaikan, kemuliaan, dan kecemerlangan semata, tapi juga kekonyolan laku, kesalahan, serta peristiwa-peristiwa memalukan.
Tak perlu berlama-lama menengok daftar, tingkah kita tempo hari, minggu lalu, tahun lalu saja bisa membuat diri kita tersenyum semu sendiri menahan malu. Apa yang kutulis saja bila kubacai lagi bisa membuatku tak kuasa bila membacainya lagi. Seperti bukuku yang tengah kunanti terbitnya, saat dulu kubacai lagi seluruhnya untuk mengkoreksi naskah, banyak bab yang tak sanggup kubacai saking konyolnya, dan bila tak kuingat lagi misi di balik buku itu, segera ingin kuurungkan penerbitan buku itu karena tak sanggup menahan malu bila orang lain membacainya. Persis seperti sebuah kalimat endorsement dari Sg.Laura Romano...
 I could not stop reading. At least 10 times I was moved to tears and at least as many I was cracking into laughter…
Cerita macam ini pasti juga dialami Prie GS, yang berkata : 
Saya amat gemar menulis surat cinta di zaman sekolah. Dan ketika surat-surat itu saya baca ulang bertahun kemudian, hasilnya adalah aib berkepanjangan. Membayangkan surat-surat ini dibaca orang bisa membuat saya mati berdiri.
 
Bila Prie GS bilang—bertahun kemudian-sedangkan aku baru saja-sebulan kemudian, saat dibacai lagi, sudah mampu membuat aku ingin menghilang kehabisan malu. Merona pipi sampai warna merah kalah terang.
Lalu saat muda dulu—seperti simbah sedang bercerita—daftar kekonyolan rasanya tak akan pernah habis dicentang, bagaimana aku bisa tahan malu, bisa ingat lagi saat dengan hati berdebar menggantungkan permen payung dengan diselipi kertas berisi puisi di motor seseorang kala itu menarik hatiku, menempelkan kertas pengumuman di papan pengumuman kampus yang menggegerkan se-angkatan atas, atau menuliskan pesan-pesan padanya di daftar absen ujian yang tertempel di depan pintu kelas. Cinta memang banyak melahirkan kekonyolan, sekaligus roman yang bahkan kau rela membayar berapapun dan apapun untuk mendapat geleyar rasa itu.
Berapa kali engkau jatuh cinta secara platonik dalam hidupmu? Tidak banyak, terkecuali kau maniak.
Belum lagi bila catatan beranjak ke daftar hal-hal gila, misalnya saat nekad memanjat ruang dosen ekologi hanya untuk mengumpulkan tugas tepat waktu. Kala itu sudah lembur-lembur mengerjakan laporan, dan tiba-tiba dunia seakan runtuh saat file-ku hilang, lalu dengan kesetanan kuketik ulang, sampai tak tidur semalaman. Sementara teman-teman yang lain memang baru selesai saat sore hari, teeeet hari terakhir laporan harus dikumpulkan. Dosen ekologi itu memang tampangnya sedikit sangar, berwibawa dan membuat segan. Dan nilai ekologi kala itupun terkenal menyeramkan, terlambat menyerahkan tugas alhasil nilai terancam mengulang. Maka sore itu, segerombolan kami-mahasiswa yang telat mengumpulkan-mencari cara agar berkas laporan kami yang telah disusun dengan curahan semangat lembur dan tetes darah penghabisan (mulai lebay) dapat tergeletak dengan aman di meja pak dosen ekologi itu. 
Ruang utama dosen ekologi masih terbuka, sayangnya pintu ruangan masing-masing dosen sudah tertutup rapat. Kami kebingungan, lalu muncullah ide gila, manjat sekat ruangan dosen yang terbuat dari papan itu. Sekat setinggi hampir 4 meter itu, tak bisa dipanjat oleh manusia dengan berat badan tertentu, dan aku yang notabenenya masih cungkring kala itu, ketiban sampur. Selain itu, karena memang tidak ada lagi perempuan setengah laki-laki yang mau memanjat selain aku. Maka, jadilah aku pahlawan kesorean dengan usaha setengah mati memanjat papan tinggi itu, dengan membawa sebendel laporan teman-teman. Sementara yang lain, serius mengamati pergerakan, sudah sampai mana si penjaga kampus berjalan hendak mengunci pintu semua ruangan. Dan dengan debaran jantung berpacu entah sampai berapa kecepatan, selamatlah aku kembali dan keluar ruangan dengan tersenyum polos inosen pada si penjaga kampus, agar percaya bahwa aku sejenis mahasiswi penuh sopan santun yang tak akan berbuat nakal.
Dan sekarang, percayakah kau kawan..setelah sebelasan tahun kemudian, dua bulan lalu aku menggarap proyek buku bersama beliau, bersama 18 penulis lain dalam sebuah antologi “Balada Seorang Lengger”. Lalu akupun melakukan pengakuan dosa, dan beliaupun malah tertawa. Apalagi saat kukenangkan lagi saat wawancara mahasiswa berprestasi kala itu, sergahan beliau singkat saja, tapi cukup membuatku yang begitu lugu kala itu menjadi ciut nyali,
            “ Jadi begitu tipe bacaan bukumu? Sejenis Cinderella story?” tanyanya dengan nada mengintimidasi, mengomentari jenis bacaanku yang sejenis roman picisan. Hadeeeh rasanya kala itu aku mau menghilang saja.
Tapi begitulah cara kehidupan bertutur, bahwa ternyata kekinian bukan dibangun serentak dalam sehari, menjadikanmu diri yang seperti ini saat ini. Tapi itu juga  terbentuk dari susunan episode-episode memalukan, konyol, kesalahan, sedih ataupun kegembiraan.
Aku tahu pasti, engkau yang saat ini membacai tulisan ini mulai menengok daftar-daftar kekonyolanmu, tersenyum simpul sendirian, atau bahkan tertawa mengingatnya. Syukurlah kawan, engkau masih hidup normal. Setidaknya itu membuktikan, betapa mentereng dan kerennya engkau saat ini, bila dikupas episode-episode dalam hidupmu..kita semua ini tetaplah manusia biasa, yang penuh dengan kekonyolan-kekonyolan itu, Dan bersyukurlah kita bila masih mampu menertawainya, dan semoga bisa belajar darinya...***

Pinjami Aku Hujanmu

Aku ingin pinjam hujanmu, hujan yang selama ini kucinta. Aku mencintai hujan, apalagi hujan rinai-rinai yang berloncatan riang di luar jendela. Lalu membaui bau hujan di tanah basah, seperti kehidupan berbicara sejenak tentang jeda.
Tentang menghentikan hidup sejenak, dalam mesra dan hikmat suara hujan. Bukankah hujan adalah tentang pertanda alam, agar kita berhenti sejenak, memberikan alasan untuk jeda sebentar. Jeda dari kecepatan-kecepatan yang terjadi pada hidup, orang berlarian, entah mengejar apa. Mengejar bus dengan terburu-buru agar tak terlambat masuk kerja, mengejar deadline pekerjaan yang apakah kamu tahu kapan akan berujung?hujan terkadang adalah cerita tentang memperlambat kecepatan-kecepatan yang terkadang tak perlu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujan yang biasanya membuatku betah memandanginya lama-lama, dari teras rumah, dari balik jendela kampusku, dari teras kosku dulu.
            Sebentar, menunggu hujan mereda
            Nanti, lagi hujan nih..”
Hujan...berbaik hati, mengingatkan akan jeda. Hujan menawarkan peluang untuk mengingat kenangan, bersama secangkir teh dan iringan rinai iramanya menyirami bumi. Hujan itu menentramkan, sepertimu.
Pinjami aku hujanmu!
Tetes-tetesnya yang merindui bumi. Hujan yang mampu ciptakan puisi, prosa, sajak-sajak hati. Aku merindui hujanmu, ingin kudengar lagi rinai suaranya, ingin kurasai lagi tetes-tetesnya. Ingin kucipta puisi dan sajak, lagi
            Sedang hujankah? Biar kudengar suaranya dulu” kataku waktu itu, saat menyeberang ke duniamu, karena sekarang hujanku berbeda dengan hujanmu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujanku di sini, adalah biasaku. Kapan hari yang tak hujan? Hujanku di sini tak sanggup memberikan jeda. Hujanku di sini tak pernah mampu memberikan alasan untuk memperlambat kecepatan apapun. Karena hujanku di sini ada atau tiada, tetap dianggap tiada. Tiada, karena sudah terlalu terbiasa. Hujanku di sini, kesepian dan kasian. Tak pernah dipedulikan, tak pernah diistimewakan. Entah ia turun, entah tidak, mana peduli. Orang tetap berlalu lalang, tetap jogging, tetap melakukan apapun, tak pernah peduli. Mungkin itu sebabnya, hujan di kotaku kadang merajuk, mengubah diri menjadi badai, agar alarm dibunyikan, agar semua memperhatikan, agar tanda peringatan dibunyikan. Betapa memilukan nasib hujan di kotaku ini,
Jadi, pinjami aku hujanmu..
Agar bisa kudengar lagi, suaramu lagi “jangan lupa pake mantel hujanmu”. Itu saja,
Pinjami aku hujanmu...***


--Glasgow, 23 Jan 2012..jam 10 malam, sudah setengah mengantuk..dan membayangkan bila dipinjami hujanmu, humm zzzz....

Rabu, 18 Januari 2012

Nota Protesku padaNya Tempo Hari


Pasti membacai judulnya saja dahi kalian sudah berkerut-kerut, apa maksudnya ada pakai nota protes segala?. 
Ehehe, tenang saja, tidak semengerikan seperti yang kalian kira, ini hanya kisah biasa saja, antara hamba dan Tuhannya. Walau jujur saja, sebenarnya aku tak begitu sering mengajukan nota protes terang-terangan seperti ini padaNya, biasanya cukup dalam hati saja, atau mengingkari diri bahwa sedang melakukan aksi protes padaNya. 
Walau yang sebenarnya entah terangan-terangan ataupun dalam hati, tetap saja semuanya terang bagiNya.Tapi setidaknya, bila aku protes diam-diam, aku masih merasa agak sopan padaNya, dengan sembunyi-sembunyi menyimpan protesku padaNya. Jadi memang nota protesku tempo hari itu sungguh tak biasa, entah kenapa tak tahu pasti sebabnya.
Mungkin karena matahari Glasgow yang terus saja malu-malu, mungkin karena kebanyakan sarapan, atau kelebihan dosis merasai rasa yang tak perlu, hingga memuncakkan rasaku hingga berani melontarkan nota protesku pada Gustiku.
Tak usah kusebut perihal pasal-pasal nota protesku itu, pertama, ini pasal-pasal yang tak laik untuk dibicarakan sebenarnya, dua, mungkin bila kusebutkan dan kalian membacainya, berisiko akan tertawa tiada hentinya, atau malah menangis sejadi-jadinya ahaha, dan ketiga, ini hubungan pribadi antara aku dan Gustiku, tak usahlah kalian banyak tanya. 
Singkatnya, aku ngambek padaNya, atau istilah kerennya “mutung” ehehe. Mungkin sama kalau aku pura-pura ngambek pada manusia si penghuni bulan itu, dengan satu kalimat
            Nggak mau main lagi!”
Tapi bedanya, kemarin itu kubilang itu pada Gustiku, kalian bisa perkirakan betapa tidak sopannya diriku. Setelah beberapa detik berselang setelah kulontarkan nota protesku itu, sudah kutekadkan dalam hati, jenak-jenak dalam kepalaku, sudah bulat keputusanku, aku mau protes begitu. Sepulang dari course, ke flat sejenak untuk makan siang, dan mendapati sahabatku bulannya kuning menyala, lalu aku ngobrol dengannya, dan ternyata dia pun sedang ngambek juga. Tapi ngambeknya versinya adalah protes diam-diam. Tapi jangan khawatir, protes kami paling parah ditandai dengan menertawai diri sendiri, maka kalimat yang muncul di layar ajaib yang mengkoneksikan waktu yang berbeda, dan jarak yang entah berapa jauhnya itu, adalah tulisan-tulisan manusiawi semacam : 
Mari tangisi saja semuanya, lalu tertawakan saja juga semuanya... 
Tak lupa baris berikutnya kutulis pula :
Tapi paling sebentar lagi lumeeeeer

Begitulah manusiaaaa

Protesan

Lumeran

Aneh

Diakhiri dengan ikon ketawa guling-guling, begitulah kawan, protesku bukan doa yang mengacam. Tak berani aku padaNya, lebih tepatnya tak laik berucap dan berbuat tidak semestinya. Kubawa protesku itu menuju lab siang itu, karena harus segera mengerjakan reaksi PCRku. Lalu tepat baru saja duduk di kursi lab dan membuka komputer, sudah kujumpai posting di wallku, dari seorang sahabat, yang begini bunyinya : 

"Bersabarlah menghadapi beragam pertanyaan hidup yang tak terjawab, dan cobalah bersahabat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Bisa jadi, tanpa disadari, hidup kita akan mulai mendekati jawaban yang selama ini kita cari." ~ Rainer Maria Rilke
 * Copas dari Reader's Digest Indonesia,  Colek Siwi Mars Wijayanti
Aku tersenyum, agak kecut walau tetap manis hihi. Hummm, mulai curiga. Dalam hati bilang : Huuumm..cepat sekali Engkau meresponku, Tuhan. Lalu kubalas postingan itu, dengan ujung cerita yang jauh dari awal postingannya, yakni diakhiri dengan janji dan harapan, semoga nanti bisa berjumpa di Bandara kala kupulang. Bila diamati, rute persahabatan memang bisa jadi terkadang aneh, rantai berantai, kalau rantainya cocok dan nyambung, daun kelor tiba-tiba bisa jadi selebar dunia, begitulah kisah persahabatanku dengannya.
Lalu setelah kerjaan lab selesai, kubawa protesku dan hati abu-abuku itu pulang ke flat. Dan saat nota protesku itu bertemu laptopku jadilah protesku itu malamnya berubah wujud jadi puisi, persis tepat sebelum posting ini. Bukan puisi mungkin, lebih tepatnya racauan yang kunamai puisi. Protesku padanya memang tak seperti protes-protes mahasiswa yang berorasi bersama ribuan massa, membawa spanduk dan membakar ban bekas dimana-mana, atau tidak serupa dengan protes memplester mulut dan tidak makan, karena aku sedang hobi masak dan tentu saja menghabiskannya. Protesku itu, hanya tak ingin lagi memikirkan hal-hal yang membuat kadang setengah gila. Yang sanggup membuatku bangun pagi dan tiba-tiba tersenyum di pagi buta, lalu tiba-tiba berubah menjadi seperti ditimpuki mendung abu-abu muda, lalu langitku menggelap seketika. Rupa-rupa rasanya, seperti lagu balonku ada lima (ahaha pasti mikir hayoo,). Makanya aku protes, dengan membabi buta dengan mengalihkan energiku untuk  lebih memikirkan dunia, sesama, atau apalah namanya, agar aku diberi lupa. Melupa, diberi lupa, berupaya lupa.
Tapi entah mengapa kali ini lagi-lagi nota protesku ditanggapi cepat tanggap olehNya. Karena setelah  puisi yang tak jelas rimanya itu kuposting, tangan-tanganku digerakkan untuk membacai tulisan-tulisan Prie GS. Budayawan asal semarang yang selengean dan rada nyentik  itu memang punya ciri khas dengan gojekan, sentilan dan tulisannya yang sederhana tapi mengena. Hasilnya, tak henti-hentinya aku terkikik-kikik membacai tulisannya, tertawa membacai kisahnya dan sekaligus menertawai diri sendiri. Beginilah ajaibnya tulisan, orang bisa tertawa atau menangis hanya lewat perantara kata. Lalu diam-diam aku iri padanya, jujur sekali ia berkisah, sederhana terkadang temanya tapi mengena, terkadang kisah ironi menjadi penuh tawa, dan bahasannya soal-soal dunia yang tak lagi sekedar teorema.
Aku sendiri tidak tahu yang mana dari tulisannya yang tiba-tiba membuatku menarik kembali nota protesku itu. Banyak sekali kubacai tulisannya sampai aku lupa waktu, dan terkikik hingga terbahak-bahak, karena polos dan jujurnya ia bercerita. Dan seketika aku paham apa maksudNya, respon cepat tanggapNya, dan akhirnya kubilang...
“ Eehehe Tuhanku yang Maha baik, dan Maha menggemaskan, hambaku ini, aku..aku mau main lagi! piss..baikan ya..selamat malam.

*Tulisan ini juga untuk seorang sahabat yang nota protesnya belum dicabut juga, karena terakhir kali dia bilang : aku sedang setengah gila dan tidak bisa tertawa. Baiklah kawanku, baik-baikilah hatimu, pertama dengan memakan makanan yang menyenangkan hatimu, lalu tidurlah tepat waktu, senangkanlah dirimu, misalnya dengan minum teh hangat madu, beri kesempatan bagi sang waktu yang bekerja pada hatimu, siapa tahu bisa melumerkan yang beku. Selamat hidup kawanku, Tuhan selalu bersamaMu entah kau ngambek, protes, sedikit marah tapi tetap ingatlah jangan berhenti menyembah. 
Karena kau ibaratkan saja hubunganmu dengan manusia tercintamu, setidaknya menurut pengalamanku, bila aku protes dan pura-pura ngambek nggak mau main lagi, ia malah tersenyum dan tertawa. Mungkin juga Tuhan senang manusia-Nya kadang bertanya, protes, pura-pura ngambek lalu kembali lagi padaNya. Mungkin begitu kiranya? Entahlah, mungkin hubunganmu denganNya punya kisah yang berbeda. Bila aku makin mesra denganNya gara-gara protes tempo hari, bagaimana dengan kalian semua?jangan-jangan telah lama kalian tidak menyapaNya, bincang-bincang, atau sekedar berkirim berita padaNya, syukur-syukur berkirim doa untuk orang-orang tercinta. Semoga saja bertambah mesra, bila ada onak duri dan kerikil di sepanjang jalannya, itulah memang rasa jalan cinta, termasuk cinta padaNya***

Glasgow 17 January 2012, hampir jam 1 pagi...humm berarti 18 January ternyata ;p

Selasa, 17 Januari 2012

Beri Aku Lupa

Beri Aku Lupa

Biarkan perpustakaan, wajah anak-anak SD, wajah anak-anak mahasiswaku, nyamuk-nyamuk, buku-buku, pulau-pulau yang jauh tak terjamah, ketidakberdayaan fasilitas pendidikan, sebentuk kontribusi atau terserah kalian sebut apa itu penuhi aku
Biarkan, biarkan otakku, hatiku penuh akan itu,
Karena aku sedang ingin mencari lupa,
Sedang ingin lupa, itu saja,
Berupaya lupa,
Dan kubisik lirih padaNya, ini sebentuk protesku padaMu,
Semoga setidaknya berguna
Lalu semoga Engkau memberiku lupa,walau sedikit saja 

**Hiyaaaah pertanda bakal ujian remidi lagi  ahaha ;p
Glasgow, 16 January 2012.


Wahai Tuhanku yang Maha Baik, belum lagi sejam kuposting tulisanku itu, belum lagi sehari nota protesku itu kulayangkan padaMu. Engkau sudah tunjukkan padaku, balasan nota protesku...
Hingga membuatku tertawa terbahak-bahak menahan malu, dan ingin meralat tulisan,
Tuhanku yang Maha Menggemaskan, Aku tidak jadi meminta lupa...sungguh,
Jadi ujian remidi resmi dibatalkan, horaaaay....ahaha kembali tidak waras, Alhamdulillaaaah



** Glasgow, sekitar 45menit setelah tulisan di atas kuposting..;p

Senin, 16 Januari 2012

Kubagi Harapku, Sekarung Energiku

Terkadang harus berterimakasih pada sebuah harapan indah, mungkin dengan itulah engkau sanggup untuk bertahan  (Kata-kata saya 13 Januari 2012 ahaha)

Malam sudah menua lagi saat aku berpindah ke "jendela" ini, setelah merampungkan revisian literature reviewku, sepi, tapi aku tak sendiri, setidaknya tinggal bersama harapku. Minggu ini waktu tersita untuk hal-hal ilmiah, deadline literature review, urusan tiket kepulangan, kerjaan di lab, seakan merampok deposit sekarung energi yang sudah diinvestasikan tiap hari. Aku juga masih tak mengerti, kenapa perampokan-perampokan energi ini masih sering terjadi, padahal aku masih ingat jaman menempuh studi master dulu, risetku itu seperti kembang gula nano-nano, walau kadang asam, manis, tapi bila terus disesap, sensasinya menggoda...ehehe..

Aku masih jelas melihat diriku bersama 3 rekan lainnya, dalam tawa lepas, tanpa beban, bersama ke laboratorium, seakan mau pergi jalan-jalan. Bahkan bila mesin PCR sudah bekerja untuk kami, maka bergegas kami ke lesehan depan kampus FKH UGM dimana penjual kaki lima berderet-deret menjajakan dagangannya. Aku biasa memesan mie ayam dan es doger, dan teman-teman lain juga mempunyai menu favoritnya sendiri. Bisa betah berlama-lama ngobrol di sana, tentang hal paling remeh temeh sampai tentang riset. Kami juga sama-sama pemula urusan ilmu molekuler, jadi riset kami selayaknya permainan seek and find, kami mencari-cari software analisis sekuensing gen, membacai pedomannya dalam bahasa antah berantah itu, lalu trial and error. Tesis kami itu seperti permainan, kami mencoba, salah, mencari jawab, menemukan dan rasanya seperti menang perang. Menyenangkan.

Apa yang menjadikannya sekarang, saat berlanjut ke studi doktoral, kok rasanya seperti perampokan?ahaha...ah siapa tau perampokan ini nantinya akan berubah wujud menjadi permainan yang menyenangkan lagi? Kita lihat ceritanya nanti,
Tapi setidaknya, masih ada penyelamat, yang mendepositkan sekarung energi lagi bila perampokan terjadi. Aku masih punya harap, yang menawarkan gelenyar sesuatu yang indah di waktu ke depan. Setidaknya tiket kepulanganku pertengahan Februari mendatang sudah fix, harapan untuk segera pulang memberikan berkarung-karung energi bila lelah dengan segala urusan mendera. Dulu, sebelum kuliah lagi..pengen pergi kuliah, setelah kuliah, pengen pulang, manusia..selalu dengan jalan memutarnya. Mungkin memang dengan jalan yang memutar itu pula, manusia menemukan sesuatu yang tak disadarinya semenjak lama. Entahlah, aku senang akan segera pulang walau hanya untuk beberapa bulan untuk urusan penelitian. Tiketnya pun sudah kupasang di dinding depan meja belajarku, bisa kupandangi kapan saja, agar harap itu mampu menyelamatkanku bila terjadi defisit energi sewaktu waktu.

Tiket Pulang terpampang di dinding--waduh ketauan banyak cemilannyaaaa ;p
Harapan indah itu terkadang memang menjadi penyelamat. Sadar akan itu, aku pun membuat lapis-lapis harap, agar neraca tetap seimbang, dan siapa tau berlebih hingga bisa kubagi-bagikan ehehe. Tiket ke Edinburgh minggu depan sudah kupesan, dengan harap seminggu ini yang dipastikan akan tersita lagi dengan urusan lab, course, punya harap bahwa weekend nanti, Edinburgh menungguku lagi. Aku hanya ingin benar-benar menjelajahinya sebelum aku pulang. 
Lalu, dengan gegap gempita pula sudah kusiapkan proposal rencana kumpul jalan-jalan Bala Kurawa. Rasanya sudah lama sekali tidak mengadakan acara kumpul-kumpul lagi. Ada yang sudah menikah hingga sulit pergi jauh, lalu lokasi pekerjaan yang sudah mencar kemana-mana, menyulitkan kami untuk bersama dalam nyata. Maka, aku menjadi “kompor” yang memprovokasi jalan-jalan saat aku pulang nanti. Dan siapa yang tak tergoda rayuan proposal jalan-jalanku, maka mereka pun siap-siap mengajukan cuti serempak pada tanggal yang telah ditentukan. Dan semangat aku mencari-cari mulai dari tempat jalan-jalan, menu kuliner khas, sampai pilihan penginapan..

Proposal Jalan-jalan bersama the gank ;p

Proposal Penginapannya :))

Harapan indah itu ternyata menyembuhkan, ternyata menumbuhkan senyuman, mendepositkan berkarung-karung energi. Maka, tumbuhkanlah, siramilah, wujudkanlah harapan indahmu....
Mungkin harapan akan sanggup melengkungkan senyummu, dan siapa tau lengkungan senyummu itu adalah energi bagi orang-orang terkasihmu, siapa tau...
Sepertiku, harapku itu sanggup untuk terus melengkungkan senyumku...

Jumat, 13 Januari 2012

Tiga Detik Saja


Pagi ini aku membunuh lagi
Kupejamkan mata, satu, dua, tiga, tiga detik cukup
Untuk lagi lagi melakukan pembunuhan
Dan berhasil lagi, walau di detik keempat sepertinya ia melarikan diri
Mungkin nyawanya tinggal sepenggalah, tinggal setengah
Tapi bila datang, kubunuh lagi esok,
Aku sudah terbiasa, jangan memandangiku dengan nelangsa
Kata orang-orang, pembunuhan rasa itu risiko orang mencinta
Pilihan dan paket lengkapnya, bisa jadikanmu penderma atau peminta-minta



Kamis, 12 Januari 2012

Badai, Purnama, dan Kamu


Badai terdengar di luar jendela, aku hapal sekali suaranya, suara gemuruh itu. Suara itu rasanya sudah menyatu dengan tempat ini. Badai dan Glasgow telah berteman lama rupanya. Dan anehnya, bila kudengar suara gemuruh itu, dirimu selalu menyelinap dalam ingat.
 Lalu apa yang kau titipkan pada badai? Yang mengantarkan padaku selintas ingatan, kamu. Sudah pukul 11.05 malam yang sudah tua di Glasgow, dan deadline literature reviewku sudah mengintip, esok sudah tinggal beberapa belokan jarum jam.
Tapi suara gemuruh itu membuatku menghentikan ketikanku pada halaman “ilmiah” itu, dan menengok ke luar jendela, menyaksi badai, siapa tau ia membawakanmu padaku. Terbeliak mata berjumpa purnama di atas bubungan bangunan tua di seberang. Bulan milikku, hasil curahan kasih matahari di pagimu. Dan ternyata badai dan purnama itu memang membawakanmu, karena tiba-tiba blip-blip : sebuah bulan kuning itu menyala,
Ayoooo...semangaaatttt...kamis khan hari ini tho...
Kenapa kau tak pernah bilang, bila kau dan badai berteman lama. Harusnya kuminta ia bawakanmu sering-sering.
**Hoaaaaam, ngantuk..diam-diam kuposting tulisan ini saat orang si penghuni bulan kuning itu bilang : “ojo YM ae rapiin dulu Lit reviewnya”....iyaaaa...zzzz..masih ada besok pagi, aku ingin mendengar suara gemuruh itu dulu, mendengarmu dulu.