Kau sudah hendak beranjak pergi, walau kutahu
gamang dalam hatimu. Selalu begitu. Ritual meninggalkan, hanya beralih peran,
aku atau kamu.
Lalu ketika tatap terakhir hampir lalu, kubilang
padamu,
“
Bawa sapu tangankah?” tanyaku spontan. Lalu sapu tangan yang biasanya kau simpan
di saku celana bagian kiri kau ulurkan padaku, dengan muka sedikit bingungmu.
“Pinjam”
kataku singkat. Langsung kuambil sapu tangan itu dari tanganmu. Kupegang erat.
“
Untuk apa? “ tanyamu bingung. Tak ada jawaban. Sepi. Hanya detik-detik
menjelang kau pergi. Membalikkan punggung dan meninggalkanku.
Begitu, selalu begitu. Aku dan kamu, selalu
bertukar posisi, meninggalkan atau ditinggalkan.
Sapu tangan ini ada di dekatku kini, hingga aku
bisa terus menciumi keberadaanmu. Aroma jejak-jejakmu yang tertinggal di situ,
sanggup membuatku bertahan sampai aku pergi nanti, tanpa bermata “ikan koi”
lagi.
Atau mungkin bisa menjadi alasan “ ingin
kembalikan sapu tanganmu, bisakah bertemu sebentar saja sebelum aku pergi?”
agar kurekam lagi engkau terakhir kali.
Selalu begini, ritual kita..membiasakan “pergi”.
Tapi aku baik-baik saja. Selalu mencobai baik-baik
saja, biar tak ada lagi “ikan koi”, seperti inginmu, maumu. Selalu, melihatku
baik-baik saja.
“Baik-baik ya..” ribuan kali. Semoga akan
bertambah lagi hihi...
“ Tetaplah
menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita
Berdua”
(di antara deretan lagu yang kau kopikan kala itu)
–di kota kita, 5 July 2012. 23.37