Sabtu, 01 September 2012

Why You..




Dear anakku, sahabatku sayang,

Maafkan bila jarak dan waktu yang berbeda membuat kita sulit untuk bersua langsung dan bicara seperti biasa,
Duduklah sebentar dekatku sini, aku ingin membincangimu sebentar,
Anakku, tatkala diri tengah menghadapi bertubi masalah, terkadang kita menginginkan sebuah kehidupan yang mudah. Tapi adakah sebuah kehidupan tanpa masalah? Tak ada.
Mungkin saat ini engkau tengah protes, mengapa engkau yang masih begitu muda mendapatkan cobaan yang mungkin tak dijumpai manusia seumurmu lainnya. Mungkin engkau iri saat mendapati keluarga temanmu yang begitu harmonis, sementara engkau terkadang sulit untuk menentukan kemana tempat yang nyaman untuk “pulang”. Engkau mungkin juga protes, saat yang lain bisa menikmati masa remaja menjelang dewasa dengan relatif tanpa beban berarti, engkau harus bertanggung jawab memikul beban yang sarat.
Apalagi akhir-akhir ini, mungkin merasa seluruh dunia dan seluruh kejadian nampaknya bekerjasama untuk membuat hidupmuseems not right”. Life seems so hard, begitu kau bilang. Serasa masalah berlapis lapis menimpukimu hingga terasa engkau sesak.
Anakku, sepertinya manusia memang harus berkompromi dengan masalah selama mereka masih hidup. Bila sudah berpusara, mungkin masalah di “dunia lain” yang akan mengemuka. Tapi marilah bicara tentang kita yang masih diberikan waktu untuk menghirup nafas karuniaNya. Banyak orang tua yang begitu berupaya keras mencukupi semua kebutuhan, melimpahi dengan kasih sayang dengan harapan anaknya tumbuh menjadi manusia yang apapun berkecukupan, bahagia dan sejahtera. Menyekolahkan di sekolah favorit, menyediakan guru les privat, fasilitas canggih sebagai bentuk kasih sayang mereka. Tapi itupun tak pernah bisa menyingkirkan masalah yang datang pada “si anak”nya. Masalah memang akan selalu hadir dalam hidup kita, kadang selewat lalu, namun ada kalanya datang bertubi
Manusia punya tawa, punya tangis, punya sedih, punya haru, punya jenaka dan lainnya. Masalah mungkin bagi kita lebih banyak mendatangkan sedih daripada tawa. Tapi karena pernah sedihlah, kita merasakan manisnya saat bisa tertawa.
Bila engkau merasa dan mempertanyakan, kenapa harus aku?”, kenapa harus kamu yang diberikan masalah yang terasa seberat ini?
Sekarang lihatlah dirimu baik-baik. Betapa istimewanya dirimu pasti, hingga masalah menghampirimu, memilihmu untuk kau selesaikan. Masalah mungkin juga seperti rejeki, telah mempunyai porsinya masing-masing, jodohnya masing-masing.
Terimalah, sapalah, kompromikanlah masalah yang datang padamu, anakku. Bila kau pikul-pikul terus sepanjang waktu, seberapapun ringan atau berat sebenarnya masalah, pasti akan terasa berat jadinya. Pegal bahumu untuk menyangganya setiap waktu, penuh kepalamu untuk terus-menerus memikirkan hal itu. Bagilah, bagi beban itu pada orang-orang yang kaupilih menjadi “orang istimewa” yang kau beri “bagian kue masalahmu”.
Aku malu ibu, orang-orang pasti akan kecewa padaku”.
Sayang, pernahkah kau melihat seorang manusia yang sepanjang hidupnya tersenyum manis sepanjang waktu?.
Orang-orang mungkin mengenalmu sebagai pribadi yang cerah ceria. Tapi pernahkan mereka menuntutmu untuk cerah ceria setiap waktu? Seperti
juga manusia lainnya, semua manusia pernah galau, mendurja, merasa sendirian, dan diterpa hampa. Saya juga, mereka juga, kamu juga. Kenapa musti malu dan mengira orang lain akan kecewa?
Masalah,  bagi orang dengan adrenalin tinggi, mungkin berupa tantangan untuk mencari cara bagaimana menyelesaikannya. Masalah bagi si pesimistis adalah timpaan kutukan berikutnya, sedangkan bagi si optimistis, mungkin berupa ketidakmudahan jalan yang harus dilaluinya, tapi bila dihadapi semuanya akan terselesaikan, dan baik-baik saja.
Semua akan baik-baik saja.
Dari setiap manusia yang sekarang ini bersinggung hidup dekat dengan saya, setau saya semuanya pasti mempunyai masalah. Entah ringan ataupun berat. Ada seorang sahabat yang tidak direstui hubungan bersama kekasihnya oleh orang tuanya, ada yang baru saja buah hati yang baru sebulan umurnya meninggal karena infeksi usus, ada yang galau karena pekerjaan yang dijalaninya sekarang ini bukan passionnya, ada yang kritis menanti apakah nilai pre-sessional coursenya lulus dan bisa melanjutkan ke studi master di universitas idamannya atau tidak.
Mereka yang nampak tanpa masalah menurut pandanganmu adalah orang yang mempunyai masalah namun tak membaginya denganmu hingga engkau tak mengetahuinya. Cobalah sekarang, perhatikan saja orang-orang terdekat yang kamu tahu kehidupannya, adakah yang mulus sempurna tanpa masalah?
            iya, tapi kan enggak  ada yang masalahnya seberat saya sekarang?” mungkin itu sergahmu. Mungkin Tuhan memilihmu, karena engkau istimewa dan mampu menghadapinya. Pikir saja begitu, sayang.
Berdoalah saja, hal ini akan membuatmu lebih lentur menghadapi hidup, lebih tegar menghadapi apapun, dan berani menyelesaikannya bersama-sama. Bersama siapa saja yang kau percaya.
Dan jangan pernah lupa, apapun yang terjadi, itu karena kasih Tuhan padamu. Ada banyak alasan untuk bangkit, untuk tetap tersenyum dan tetap berbagi canda bersama.
Tersenyumlah, semuanya akan baik-baik saja. Akan ada waktunya semuanya akan baik-baik saja.
Saat engkau mungkin dalam hati pernah protes, Why Me? sekarang katakan, Why NOT?


Saya mungkin tak bisa melakukan banyak hal untuk meringankan masalahmu, tapi ada rumah "hati"saya untuk selalu mendengar keluh kesahmu, kisah lucumu, kekonyolanmu, prestasimu, apa saja. Dan tentu saja doa untukmu. Semoga semuanya akan segera baik-baik saja. 
Dunia merindu senyum manismu.

Glasgow, 31 August 2012. 19.30. saat malam hendak memeluk bumi Glasgow, dan rasa dingin sisa hujan tadi sore.

 

Kamis, 30 Agustus 2012

Perjalanan Setahun Pertama

Waktu memang terkadang berlarian tak tentu, meninggalkan kita dalam keterperanjatan bahwa sepertinya tak cukup kencang kita mengikuti lajunya. Serasa belum lama aku menginjakkan kaki di Glasgow ini, tapi  ternyata sudah melewati perjalanan setahun pertama studiku.
Dan kemarin, baru saja kulewati ujian progress tahun pertama. Tidak terlalu baik, tapi juga tidak terlalu buruk. Ada poin fundamental yang membuatku sepertinya harus bekerja dan belajar ekstra keras agar mampu memenuhi timeline 3 tahun beasiswaku. Bila harus mengevaluasi diri sendiri, memang kinerjaku belum terlampau optimal sepertinya. Ada beberapa faktor x yang serasa membuat fokus pada riset kadang menjadi buyar. Stress di awal studi karena harus terbiasa masuk lab dari 9-5, plus harus mengerjakan tehnik-tehnik yang sebelumnya belum pernah kukerjakan. Penyesuaian-penyesuaian hidup dengan lingkungan baru, lalu kemudian saat sudah agak “nyaman”, eh harus pulang ke indo selama beberapa bulan. Semua yang sudah settle harus dipak semuanya lalu pergi. Pulang ke Indo, dan harus memulai hidup dari awal, mengerjakan riset yang sebagian besar masih belajar. Perjalanan risetku seperti melangkah dalam hutan rimba, menyibak jalan setapak demi setapak. Sering kali merasa sendirian. Studi doktoral lebih pada belajar sendiri, who’s care? Supervisor lebih kepada memberikan arahan saja. Teman-teman se-lab sayangnya berbeda topik semua dengan topik yang aku kerjakan. Kurang komunitas untuk berdiskusi menjadikanku seperti melangkah di jalan yang sepi.
Tapi tentu banyak yang didapat dari semua pembelajaran setahun ini. Seharusnya, inilah saat yang paling tepat untuk mengupgrade kemampuan semaksimal mungkin. Karena bila kembali lagi ke aktivitas rutin nantinya, waktu akan menjadi sedemikian sempitnya terasa. Maka, langkah ke depan harusnya berupa lebih banyak waktu untuk belajar, bekerja, membangun koneksi dan kolaborasi, menulis dan juga jalan-jalan.
Kembali diingatkan, atau setidaknya mengingatkan diri sendiri atas pertanyaan Kenapa melanjutkan kuliah ke luar negeri? Segala pilihan pastilah subjektif untuk setiap orang yang memilih. “The Why” inilah yang sebenarnya penting. Alasan atau mengapa kita memilih untuk melakukan sesuatu. Mungkin inilah saatnya mengingat kembali “The Why”ku. Alasan dan tujuan-tujuan inilah yang seharusnya bisa mengarahkan dan menstabilkan semangat untuk terus melangkah ke tapak tapak selanjutnya. Tidak ada yang menjamin itu akan mudah, tapi aku yakin bisa untuk dilakukan, selama diupayakan.
Terimakasih pada para sahabat yang selalu memberikan dukungan dan penghiburan, anak-anak mahasiswaku yang membantu selama proses di lapangan, dan tentu banyak lainnya yang tak bisa tersebut satu-satu. Dan juga kamu, yang kemarin setelah sidang berbincang denganku,
Kamu : Semangat itu mahal harganya, enggak boleh hilang
Aku    : Mahalan mana sama harga cabe?
Lalu ikon tertawa guling-guling itu muncul dari bulan kuning yahoo messengermu.
Kamu    : Mahalan harga bawang bombay
Lalu kita tertawa bersama tanpa suara, cukup memberi mandat pada ikon-ikon yahoo messenger itu untuk memberi tahu masing-masing kita, bahwa apapun keadaannya, tetap ada alasan untuk bisa tertawa. Dan walau perbincangan kita sepertinya selalu sulit untuk serius, tapi sungguh membuatku serius untuk bersemangat memasuki tahun kedua studi doktoralku..yeaaaah, cerumuts!!
 


Kamis, 23 Agustus 2012

Sebaris Doa Untuk Setanggi Timur



Sehabis shubuh ini aku mengintip tulisan di blogmu lagi. Sepertinya jemariku sudah mempunyai gerakan bawah sadar untuk membuka link itu di Hpku, dan segera membacai tulisanmu lagi. Terkadang  berharap kau menulis tentang aku lagi, walau tak pernah kau sebutkan sebuah nama, tapi aku tahu pasti sosok yang tengah kaubicarakan itu aku. Aku yang telah menjadi hantu-mu bertahun-tahun lamanya. Namun pada saat yang sama, ada harapan untuk tak lagi menemukan tulisan tentang aku dalam catatan dunia mayamu itu. Sungguh, walau harapan itu terkadang disertai desir perih dalam hati. Desir itu sepertinya berupa ketidakrelaan yang manusiawi.
Aku, yang selalu diam-diam masih sering menengoki hidupmu sejak 10 tahun terakhir ini. Terkadang hanya memastikan setelah berpisah denganku engkau baik-baik saja. Baik-baik saja, sesederhana itu sebenarnya. Tapi entah mengapa keadaan “baik-baik saja”mu itu tetap salah satu hal yang penting dalam hidupku. Entah, untuk yang satu ini aku tak pernah punya sebuah  penjelasan yang pasti.
Setanggi Timur, perempuan yang dulu kupanggil Anggi. Manis ya namamu, seperti juga parasmu itu. Hidup menciptakan sebuah perlintasan untuk kita agar pernah bertemu dalam sebuah harmoni. Kereta kita pernah melaju beberapa waktu, sampai rel kita terputus. Aku hilang dari duniamu. Kau juga menghilang dari duniaku.
Tapi kau tak pernah tahu bahwa aku sebenarnya tidak pernah benar-benar menghilang. Aku masih mengintipi duniamu. Masih melihat timeline jejaring sosialmu yang untungnya masih kau-set publik, hingga aku masih bisa menengokinya. Ada desir dalam hatiku saat melihat engkau bertumbuh menjadi perempuan yang sebegitu tangguhnya, dan manis tentunya. Desir itu bukan lagi desir keinginan untuk melajukan kereta kita berdua lagi, Anggi. Tapi desir kelegaan bahwa bahwa engkau hidup dalam kebaikan dan kemandirian, walau ada kehampaan yang sayangnya justru aku yang ciptakan.
Kau tahu berapa banyak orang yang mencintai dan akhirnya bisa bersama dengan pasangan yang dicintainya? Aku tidak tahu, tapi mungkin juga tidak terlalu banyak, dengan alasan yang aku tidak tahu kenapa. Tapi aku pernah mendengar bahwa kita akan bersama dengan orang yang lebih membutuhkan kita. Mungkin itu benar, Anggi. Mungkin memang benar bahwa perempuan yang bersamaku kini lebih membutuhkanku dibandingkan kamu. Dan kau mungkin juga lebih membutuhkan lelaki yang saat ini pelan-pelan berupaya menggantikan aku.
Desir di hatiku kembali muncul saat kata “menggantikan” menggema. Aku tak tahu pasti apa. Apakah kita berdua sebenarnya belum benar-benar saling rela? 
Entahlah, aku yang terbiasa menghantuimu, walau tahun-tahun kita sudah lewat. Walau kenangan yang berkarat itu masih juga kau simpan rapat-rapat. Tak tahu jua mengapa engkau masih menggengam erat aku yang walaupun tak kau pasti tahu kabar beritanya. Terkadang aku tak memahami jalan pikirmu. Tapi masih saja kujumpai hantuku yang hadir dalam tulisan-tulisanmu, dan tentu pula masih hadir dalam hatimu. Kau tahu rasanya sedih dan bahagia sekaligus, Anggi-ku? Seperti itu pula rasaku.
Tapi mungkin ini saatnya, hantu itu pelan-pelan menghilang. Biarkan aku mengamatimu dari jauh, dalam diamku yang tak pernah kau tahu. Juga sebaris doa di akhir sujudku yang terlantun juga untukmu selalu. Sebaris doa yang sungguh terbit dari dalam hatiku, entah sebagai apa. “Semoga engkau baik-baik saja, Anggiku-
Ah akhiran –ku itu seharusnya harus pelan-pelan kuhilangkan.
Semoga engkau baik-baik saja, Setanggi Timur.
Terkadang cinta bisa diwujudkan dalam doa. Semoga dengan doa ada ikatan benang antara dua manusia yang walau bagaimanapun takdirNya masih bisa saling menyapa. Saling menyapa dalam doa. 

(Sebuah Tulisan untuk Seorang Sahabat)

 


Rabu, 22 Agustus 2012

Kaca//Mata

Tanpa sadar kemana-mana dan dalam melihat apa saja kita memakai kacamata. Kacamatamu, kaca mata saya, kaca mata mereka, kalian, berbeda-beda. Terkadang kita takut berbenturan pandang, hingga lebih memilih bersikap netral. Tapi acap kali benturan terjadi. Hingga hidup bukan lagi sesederhana hitam dan putih. 
Ternyata dahsyat benar efek perbedaan kacamata yang mereka pakai itu dalam memandang sesuatu. Kaca//mata. Cara pandang kita akan sesuatu.
Kaca mata itulah yang selama ini bertahun tahun kita bawa kemana-mana, menjustifikasi sesuatu, memandang dan mensikapi peristiwa ataupun rasa. Kaca mata bentukan kita sendiri hasil dari sekian lama pertumbuhan diri. Mungkin hasil kontribusi dari orang tua, dari buku-buku yang kita baca, persentuhan pandangan dengan orang-orang yang kita kenal, kejadian ataupun lingkungan komunitas terdekat kita.
Masing-masing pribadi tentulah mempunyai kacamata sendiri. Tapi kadang kala kita tidak bisa mencegah kala ada benturan terjadi. Kadang, sering.
Kacamata yang kita kenakan itu prinsip dan nilai yang kita yakini, tentu mungkin berbeda dengan orang lainnya. Tapi masalah terjadi saat kita ingin mengubah kacamata orang lain dengan kacamata kita.
            “Sayangnya, seringkali dalam kehidupan nyata, kita tidak puas dengan sekadar “menyampaikan”. Kita ingin mengubah seseorang agar sepaham dengan diri kita (Dee)
Dan ternyata tidak mudah. Karena kacamata itu seperti indoktrinasi yang telah terjadi bertahun-tahun, berkarat dan telah menjelma menjadi sebuah “kebenaran” pribadi. Seorang sahabat tercintaku telah lama mendurja dengan kesahnya padaku, saat orang tua tercinta tak merestui hubungannya dengan lelaki yang ingin ia jadikan “rumah hati”nya karena restu orang tua tak jua datang. Sebuah status si lelaki-itu- yang membedakan kacamata sahabatku dan kacamata orangtuanya. Sungguh pelik ternyata.
            Pelan-pelan ditelateni, coba dikomunikasikan baik-baik.” Begitu salah satu kalimat penenangku kala itu. Walau ternyata manusia bisa punya seribu variasi dalam menanggapi sesuatu. Hingga reaksi yang terjadi bisa membuatku terbengong tanpa sanggup berkomentar banyak walau hanya untuk sekedar cara menenangkannya.
Ah, kacamata hidup. Sulit memang untuk menelusup mencari celah agar mungkin ada tolerasi dan kompromi untuk belajar memandang dengan kacamata yang lain. Setidaknya menerima perbedaan lensa dengan manusia lainnya. Mungkin sebenarnya bukan kebenaran yang dipentingkan, mungkin kacamata kita saja yang kita pentingkan dalam mensikapi apapun.
Aku, bisa saja menuliskan ribuan kalimat misalnya, tapi tetap tak punya kuasa untuk mengubah kacamata siapapun, kecuali manusia itu sendiri yang membiarkan kata-kataku menelusup membiarkan kacamatanya meluas, mencari celah pandang yang lain.
Ternyata kita tak punya cukup banyak kuasa. Tapi cukup banyak diberi kesempatan untuk berusaha. Mungkin bukan berusaha mengubah kacamata orang lain agar sepaham, atau sama kacamata dengan kita. Mustahil kiranya. Tapi mungkin sekedar berupaya melenturkan lensa, memperluas cakrawala, bahwa di luar sana setiap orang datang dengan kacamatanya masing-masing. Mungkin kita hanya butuh berusaha untuk memahami perbedaannya.
Mungkin.
Salam harmoni.

*Harmoni #lagu kita..walau suaraku dan kamu yang menyanyikannya dengan nada berbeda. Harmoni mungkin tercipta karena berbeda tapi mempunyai daya selaras tingkat dewa ;p

 

Gerimis


 
 Musim penghujan hadir tanpa pesan 
 Bawa kenangan lama t'lah menghilang
 Saat yang indah dikau di pelukan
 Setiap nafasmu adalah milikku
(Gerimis, Kla Project)


Gerimis menyapu kota ini lagi, mengusir aura musim panas pergi. Rintik-rintiknya menyapu jalanan, menciumi dedaunan, memeluk hatiku. Kota ini, menawarkan ribuan gerimis. Bukan hanya gerimis, tapi hujan lebat sampai badai bila winter tiba. Kota ini, yang sebenarnya masih saja kutanyai, kenapa Glasgow? Menjadi titik petaku selanjutnya. Aku masih mencari jawab. Bukan masih terjebak dalam ketidakterimaan, tapi hanya mencari jawab, kenapa tiba-tiba muncul kota ini di belokan dan akhirnya menjadi titik petaku berikutnya.
Mungkin karena kota ini menawarkan gerimis padaku. Barangkali.
Aku pecinta gerimis untuk alasan yang sebenarnya tak pernah kutahu. Aku kembali menatap derai-derainya di luar jendela saat ini, untuk mencari-cari alasan aku menyukainya. Apa?
Gerimis itu romantis? Romantis kenapa?
Mungkin dengan adanya gerimis kita bisa berjalan sepayung berdua seperti kala itu. Barangkali.
Mungkin aku suka suaranya. Itu makanya setengah mati aku malas memakai mantel hujan, karena akan menganggu suaranya, ada timpaan-timpaan gesekan di mantel hujan yang akan mendistorsi suaranya. Kenapa dengan suara hujan? Entahlah, aku mencandui suaranya. Suaranya itu akan bermacam-macam tergantung ia menciumi apa atau siapa. Saat ia jatuh di genteng, menimpa dedaunan, tembok, mantel hujan ataupun hatiku.
Mungkin juga suka rasanya. Barangkali.
Rasa setengah dingin derai-derai yang jatuh satu-satu menimpaku itu, sepertinya menjatuhi hatiku. Bagaimana tak merasa candu?
Mungkin juga suka baunya. Bau yang diciptakan pada tanah basah yang bisa kuhirup, seperti menghirupi setiap kenanganmu.
Mungkin juga aku suka tantangannya. Agar bagaimanapun cuaca dan keadaannya, langkah kaki masih tetep ditapakkan untuk melaju ke depan. 
Barangkali.
Atau mungkin juga aku suka gerimis agar kamu bisa cerewet lagi “ Jangan lupa pakai mantel hujan, boleh hujan-hujanan tapi besok” #sigh..
Mungkin suatu saat aku akan bilang : “ aku tak suka memakai mantel hujan agar engkau leluasa menggerimisi hatiku” 

Aku memandangimu dari jauh yang sedang membacai tulisanku sambil senyum-senyum dan bilang #dasar ratu gembel-- dalam hatimu..
Siapa suruh menggerimisi hati penulis ;p
Ini gara-gara gerimis, sungguh!!



Pertanyaan Sakral



Tak lebih dari 2 jam yg nanya udah 3 orang #pertanyaan sakral

Begitu tertulis ditwit seorang sahabatku, ahaha...langsung saja aku kutahu apa yang dimaksudnya, dan langsung reply twittnya : “siapin daftar variasi jawaban aja” .ehehe..
Pertanyaan sakral baginya yang masih belum juga menikah, pasti “kapan menikah?” 100% tebakanku pasti benar. Pasti momen lebaran dan kumpul-kumpul keluarga, ketemu teman-teman lama lagi, pertanyaan-pertanyaan sakral bakal muncul.
Yang belum lulus kuliah, akan ditanya “kapan lu lulus kuliah?”.
Yang udah lulus kuliah, akan ditanya “udah dapet kerjaan belum?”
Yang udah matang dan dan cukup umur, akan ditanya “ kapan nikahnya?” atau “mana nih undangannya?” ;p
Yang baru menikah, akan ditanya : “gimana udah jadi belum (anak-red)?”
Hiyaaaah...topik tulisan ini sounds familiar? Iyalah, kayaknya semua orang pernah paling tidak mengalami satu dari beberapa pertanyaan sakral di atas.
Ada yang menanggapinya santai, ada yang serius, ada yang kesel, ada pula yang sebel. Aku pernah tersenyum melihat aktivitas di FB saat status seorang teman dimana temen-temennya ngeledek karena dia itu belum nikah-nikah. Eits, responnya serius oey..
            Bagi elu sih biasa, tapi enggak di posisi gue”
(semoga orangnya enggak baca blog ini hihi, ini cuman contoh lho..no offense). Di kampus ada pula kawan yang langsung ngamuk-ngamuk lewat BBM kalau lagi diresein temen-temen soal nikah ahaha. Atau dulupun seoarang sahabat dekat curhat-curhat stress kalau setiap ketemu orang ditanyain udah hamil belum setelah 1 tahunan dia menikah. Humm annoying nggak sih sebenarnya? Padahal yang nanya mungkin juga niatnya cuma nanya doang yah..atau menurutku sih karena hal itu yang terlintas pertama kali saat mau memulai obrolan. Normal aja kali ya, kecuali ada orang yang rese yang terkesan ofensif..ehehe..
Aku?
Hehe, kebetulan tahun ini pertanyaan sakralnya agak berubah, dari pertanyaan “kapan nikah?” jadi “ kapan pulang?” ahaha..;p
Tentu saja pernah mengalami fase bahwa itu cukup annoying, kalau ditanya kapan menikah, yang biasa kujawab hanya dengan senyum, dengan kalimat “doain aja yah segera”, sampai pada fase sekarang ini yang santaaaiii menanggapinya. Dijawab saja dengan “ iya nih, udah pengen hamil” plus ketawa ngakak setelahnya. Pasti dikirain becanda, padahal beneran LOL. Suka banget liat perempuan hamil trus pake baju yang kerut-kerut atau lipit-lipit di bagian depan..seksi perutnya ahaha, makanya kadang  suka nyari dan beli baju di bagian Moms ehehe stttt ;p
Jadi kaget pas ada temen yang takut hamil, untungnya sekarang sudah enggak lagi ;p
 Mungkin memang kita tidak bisa mengelak dari komunitas sosial masyarakat Indonesia yang begitu “perhatian” hihi, jadi siklus pertanyaan sakral itupun agar terus bergulir mulai dari lulus kuliah, kerja, menikah, punya anak, anaknya udah sukses belum, udah punya cucu belum bla bla bla. Aku sering menganggapnya sebagai bentuk perhatian mereka. Dulu kubilang pada kawan yang ngamuk-ngamuk pas keseringan diteror pertanyaan kapan nikah?
kalau elu jadinya bete dan itu jadi energi negatif, kan elu juga yang rugi”
So, anggap saja orang memang kekurangan bahan pertanyaan jadinya mengambil template pertanyaan yang dulu-dulu orang juga tanyakan pada mereka. Mungkin begitu..So santai saja..tunjukkan betapa berwarnanya hidupmu dan isilah dengan karya, siapa tahu pertanyaan sakralnya akan berubah segera ahaha cheers..
 







Senin, 20 Agustus 2012

Ayat-Ayat itu



            Sebentar dek, kalau ada tanda Ù… bacanya berhenti dulu,” katamu di sela-sela bacaan Al Qur’anku. Aku menyimak keteranganmu, lalu membetulkan lagi bacaan-bacaanku. Malam senyap, hanya suara bacaanku yang lamat-lamat, dan waktu seakan berhenti sesaat, sementara engkau menyimak bacaanku lagi. 
            Besok ngajinya ditambah tiga halaman ya,” pintamu. Hatiku mengangguk, karena walau aku mengganggukpun kala itu engkau takkan bisa melihat. Suara angin sedikit terdengar, di ujung telpon. Bahkan anginpun ingin mencuri dengar suaramu yang berganti mengaji setelahku. Aku ingin mendengar lagi apa yang angin telah curi dengar itu. Sungguh! 
Walau selalu saja ada spasi, ada samudra, ada sebentangan jarak belahan dunia. Sungguh, ingin kudengar lagi ayat ayatNya yang kaubacai itu. Sungguh!