Jumat, 02 November 2012

Karena hidup harus terus berjalan..




Dulu saya sampai membawa pulang tabung flask untuk kultur sel untuk latihan membiasakan tangan saya bagaimana caranya membedakan bagian atas bawahnya agar tak terbalik saat melakukan kultur sel.
Saya pegang-pegang, agar tangan saya biasa mengenggamnya, tak lagi tremor saat bekerja di dalam hood. Perlu beberapa waktu sampai akhirnya saya bisa tanpa berpikir lagi mengambil flask, memegang, tahu dimana saya harus melabeli dan menuangkan media. 
Saya tidak suka melakukan itu, tapi tetap kulakukan.
Saya harus membiasakan diri memakai pipet ukuran 10 µl, 20 µl, 200 µl dan 1000 µl, dan mengingat ukuran tip yang sesuai dengannya. Pernah dengan hati kecut, aku memutar mutar pipet, mencari volume yang diinginkan, di depan pengawasan asisten supervisor dan kemudian salah. Kau bisa bayangkan apa jadinya bila volume yang dimasukkan salah? Bencana. Itu bila hanya 1 langkah, bila yang dikerjakan adalah serangkaian prosedur yang harus beberapa kali jalan? Ah perlu beberapa hari untuk mengulangi lagi. Untung di sini tak peduli berapa kau habiskan media dan alat-alat habis pakai lainnya. Saya juga pernah salah tip, ukuran 20 tapi menjodohkannya dengan tips ukuran 10, bukan hanya pernah, berkali-kali dulu.
Kebegoan demi kebegoan yang menghantam kepercayaan diri terjun bebas sampai ke jurang.
Tangan dan kepala sepertinya belum terbiasa memegang, mengoperasikan alat-alat itu. Terlalu bermacam-macam, terkadang terlalu canggih, dan mungkin terlalu dangkal dasar ketrampilan laboratorium saya.
Saya sungguh tak suka melakukan itu semua, tapi tetap kulakukan.
Dulu, saya langsung dibenturkan dengan setumpuk metode, form healthy safety dan butuh kepala ekstra rasanya untuk tahu apa maksudnya. Disodori materi ilmu tingkat dewa yang baru saja  saya dengar saat menginjakkan kaki di lab ini. Saya menciut, kecil, hilang.
Pagi hari saat melangkah ke lab, seperti menuju tempat yang penuh kecemasan, lelah, karena harus melakukan hal-hal yang sama sekali tak kukuasai. Ilmu bekal dari Indonesia ternyata hanya seujung kuku, mentah di sini.
Kenapa?” satu awalan kata itu, dengan nada suaramu yang masih saja kuingat hingga kini, redakanku.
Kau akan bertahan 1 hari di situ, hari berikutnya, seminggu, sebulan, dan berikutnya kau akan baik-baik saja.” Begitu katamu dulu.
Saya sering diam terpaku saat lab meeting karena tak bisa meraba apa yang tengah mereka diskusikan, merasa terkucil, bego. Tapi bukankah tak ada alasan untuk menyerah?
Saya pernah harus cek ke dokter di bagian occupational health setelah diperiksa bagian healthy safety karena mual dan muntah setelah piket lab membuat larutan virkon. Kadang saya jengah dengan sistem mereka yang terlalu berlebihan. 
Awal saya pulang ke Glasgow juli lalu, pun terjadi insiden yang belum ingin saya bagi pada siapapun kecuali orang tertentu. Walau begitupun, menyerah nampaknya jauh dari pilihan saya kala itu.
First assessment tahun pertama agustus lalu, setelah semua komentar baik-baik saja, tibalah komentar penguji yang bilang projek riset saya tak layak untuk sebuah riset doktoral yang sedemikian rupa menjungkalkan kepercayaan diri saya hampir dalam titik terendah. Tapi toh buat apa saya menyerah?

Dan sore kemarin, terjadi ledakan di lab, dan rekan lab yang terluka terkena lemparan botol kaca dan agar panas, yang salah satunya karena salahku (what can I say, I did the normal procedure but sometimes accident can happen). Rasanya luruh tulang-tulangku, namun mengupayakan untuk tetap berdiri dan hadapi. Kau bisa bayangkan apa yang terjadi setelah kejadian ini, tak usah saya perinci.  Cukuplah tahu bahwa saya sore ini masih di sini, di kursi meja kerja PhD student saya yang artinya saya masih bisa bertahan.
Kadang saya ingin menyerah, tapi semoga takkan pernah.
Suatu saat mungkin kau akan ditempatkan pada titik-titik kejadian dalam hidupmu, saat merasa kau akan di ujung puncak titik keberserahanmu, bahwa apapun yang terjadi, hadapi. Keberserahan, bukan kemenyerahan.
Di akhir tulisan ini saya hanya berkata, terimakasih.

Glasgow 2 November 2012. 4.30 pm.

Selasa, 30 Oktober 2012

Tuhan, Ijinkan Aku Mendua...



Ibu keren yah, dosen masih muda tapi udah lanjut S3, pinter nulis lagi, awesome! Begitu kata seorang mahasiswi UNY yang ngeadd FB karena ingin tahu tips-tips cara mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Humm benarkah begitu?
Ah, nyatanya setiap diri selalu mengalami pergulatan batin, termasuk tentang profesi diri.
Bila memilih, mungkin aku lebih ingin menjadi seorang editor, wartawan, penulis, atau pekerja media. Karena ke arah sana-lah sebenarnya passion-ku, yakni menulis, nampak selajur dalam satu jalur dengan profesi ideal versiku.
Tapi aku ditakdirkan mendua, atau memilih untuk mendua. Jalan hidup memposisikanku sebagai seorang dosen dengan tugas tanggung jawab serta komitmennya, serta di lain sisi, passionku menggelora pada dunia penulisan. Terkadang gamang, membagi porsi dan energi.
Mengerjakan apa yang kita sukai atau cintai itu mudah. Tak perlu membangun-bangun semangat, tak perlu membujuki diri sendiri untuk menghasilkan sesuatu yang maksimal. Semuanya terasa natural. Namun belajar mencintai mengerjakan sesuatu yang tak begitu kusukai bagiku itu sulit. Mengerjakan sesuatu yang bukan passion kita, pastilah akan terasa bedanya. Bagaimana harus membangun semangat yang seringkali gampang tumbang. Seakan bangun pagi dengan meneguh-neguhkan semangat, yang kadangkala cepat ambruk, lalu karam. Di sinilah aku bisa membedakan antara saat aku harus mengerjakan tugas profesiku sebagai dosen, peneliti dan terus menghidup passionku sebagai seorang penulis. 

Makan Siang Bersama Anak-anak sebelum berangkat ke UK
Sebagai Pembimbing dalam kegiatan Lapangan Mahasiswa
Melakukan Riset Doktoral di Center of Virus Research, University of Glasgow
Dua dunia yang kupilih untuk terus kujalani. Dalam dunia profesiku sebagai dosen, aku menikmati berinteraksi langsung dengan mahasiswa dengan spontanitasnya, semangatnya yang masih berlambung tinggi, dan impiannya yang melangit. Rasanya hidup masih terasa meletup-letup, penuh, dan berwarna. Pekerjaan ini membuatku merasa ikut mengalir bersama semangat mereka, sementara waktu kerja-pun bisa diatur sedemikian rupa hingga masih bisa mempunyai me time yang cukup, termasuk untuk mendua,  menghidupi passionku, menulis.
Dulu menulis kupikir hanya hobi yang senang kulakukan kala senggang. Semenjak kecil aku suka menuliskan apa yang ada di kepala, di hati ataupun di angan-anganku. Kadang hanya sebagai media katarsis hingga mempunyai kanal-kanal penyaluran emosi ataupun rasa yang mendesak-desak. Aku menikmatinya, hingga terus dan terus menulis. Namun dulu, tetap saja  menulis bagiku tak lebih dari sekedar hobi. Aku tidak menghidupinya dengan waktu, energi, kemauan dan kesempatan yang cukup. Lalu jalur-jalur hidup lain menggilas dan mengantarkan pada jalur kehidupan yang lain.
Tapi akhirnya pun aku tiba dalam titik kesadaran bahwa menulis adalah sebuah jalan hidup, tak bisa ditawar lagi. Ia nafas, udara, hidup dan juga mati. Menulis terus bisa membuat hidupku berdenyut hidup, merangkaikan kata, membawakan makna, dan mungkin yang terpenting membincangi diri sendiri. Menulis membuat aku tidak hilang dalam hidup. Tangan, hati, kepalaku akan terus menulis, menghasilkan  karya, menjejakkan sesuatu bila suatu saat aku telah tiada

Dengan Salah satu Bukuku "Koloni Milanisti"
Book Signing Session-Launching Koloni Milanisti



Aku, bersyukur terus mendua, dengan pekerjaanku sebagai dosen, peneliti, dimana aku belajar tentang kesungguhan dan komitmen. Dan aku akan selalu cinta menulis, dimana aku menemukan hidup dengan sebenar-benarnya hidup.

Mungkin semuanya ada pada rasa syukur, ada rasa keberserahan dan sebuah kesungguhan dalam menjalani pilihan hidup.

Menjadi luar biasa pada hal yang kita cintai mungkin biasa saja, tapi menjadi luar biasa bahkan untuk hal yang mungkin kita tidak terlalu suka, pastilah istimewa.


(Untuk sahabat-sahabat yang mungkin mengalami pergulatan batin yang sama, salam semangat)

*Diikutkan dalam #kisahprofesi bintang berkisah.

(heuu  maksimal 500 kata, banyak yang disortir nih hihi)

Glasgow, 29 Oktober 2012. Ditulis di sela-sela lab work..benar-benar mendua hihi ;p

__

Untuk mengunduh e-book-nya silahkan didownload di : http://bintangberkisah.wordpress.com/2012/11/06/kisah-profesi-ebook/








Minggu, 28 Oktober 2012

Rindu itu

Rindu itu sepertinya sudah sebiasa makan, minum, tidur,

Ia berotasi,

Makan meredakan laparku, namun ia akan berotasi lagi, menjadi lapar lagi

Seperti juga minum, tidur

Mungkin seperti itu juga rindu

Reda, lengang, menguat, lapar rindu, kehausan, dan suatu saat kenyang,
Untuk kemudian akan berotasi menjadi lapar lagi, haus lagi, rindu lagi

Mungkin harus menyulap rindu menjadi kebiasaan

Sebiasa makan, minum, tidur, jalan-jalan,

Menjadi salah satu bagian dari rotasi harian

Rindu itu,

Mungkin kamu,

Pasti


Glasgow, 28 Oktober 2012

Jumat, 19 Oktober 2012

Sahabat Satu Frekuensi



Bila bertemu dengan orang baru, apakah dirimu punya sistem pendeteksi yang akan segera membuat list-list screening seperti mesin otomatis? Blip Blip.. Si mba-nya kalem, rumahan, atau ni anak rame, lucu, asik diajakin jalan-jalan, atau ih ini anak kayaknya rese, cerewet bla..bla..begitu biasanya sistem pendeteksi otomatis memberikan laporan sementara. Banyak orang bilang “Don’t judge the book from it’s cover” haduuh kalo udah otomatis gimana dong ya? Mungkin ganti, Don’t judge the book only from it’s cover...ehehe ;p
Dari laporan sementara itulah kita menjadikan dasar untuk bagaimana untuk bersikap, apakah :

-       Standar

-       Pasang benteng-benteng

-       Agak terbuka

Begitulah opsi yang biasanya terjadi pada saat bertemu dengan orang baru, yang seperlintasan hidup dengan kita. Sikapku biasanya tergantung dari laporan sementara mesin penscreening otomatis tersebut (istilahnya itu lho..maklum lah yaaa...mantan robot mekanik—paling begitu komentarmu hihi)

Kemudian setelah beberapa waktu ngobrol, berinteraksi, mesin penskreening itupun terus berjalan untuk melakukan verifikasi. Apakah laporan awal mesin pendeteksi itu benar atau ada yang keliru. Si mesin itu re-check dan re-check lagi.

Laporan awal itu setelah ada interaksi beberapa waktu, biasanya akan memberikan simpulan awal, yang dapat digunakan untuk rekomendasi sikap lanjutan. Aih ribet amat yah kedengarannya. Eits ingat, semua sistem berjalan otomatis, jadi saya pun terkadang tanpa sadar bahwa proses itu sedang berlangsung.

Tapi akhir-akhir ini saya tertarik untuk mengamati, karena beberapa hari ini saya bertemu dengan orang-orang baru. Dan menyadari betapa saya mempunyai perbedaan dalam menunjukkan diri saya, ataupun sikap saya pada beberapa orang itu. Misalnya, ada teman perempuan yang baru saja saya kenal, tapi hanya dalam beberapa saat saja saya merasa sefrekuensi, enak diajak ngobrol apa saja, ketawa ketiwi nggak jelas. Tapi dalam waktu yang sama pula, pada seorang teman perempuan lain yang baru saya kenal,  saya bersikap standar, formal, permukaan. Dua-duanya baik, trus apanya yang membedakan cara berinteraksi saya dengan mereka ya? Rasanya beda saja hihi...klik sama enggak klik, sefrekuensi sama enggak sefrekuensi.

Kadang kita bertemu dengan orang baru yang dengannya gampangnya ngobrol, tertawa-tawa, komunikasi rasanya nyambung. Rasanya sefrekuensi. Tapi ada pula kalanya saat bertemu dengan orang baru yang biasa saja, standard. Atau kadang ketemu orang yang dengannya kita cenderung untuk membuat benteng-benteng, tertutup, hanya berdiri di permukaan. Pernahkah mengalami hal ini? Hihi..

Tentang sefrekuensi, kubilang. Klik, kurasa.

Bila saya mengulik lagi persahabatan dengan inner circle saya, rasa sefrekuensi itu bukan berarti kita “sama”. Sama dalam artian karakter, kebiasaan, hobi dll..tidak, kami masing-masing punya karakter yang berbeda, tapi tetap klik rasanya. Kebersamaan dengan mereka selalu menyenangkan, dan selalu menantikan untuk bersama lagi kalau sudah lama tak berjumpa seperti sekarang ini. Komunikasipun tetep baik walau jarak, ruang, jalur hidup sudah berjalan masing-masing. Masih ada pesan-pesan offline skype, BBM atau chat YM /FB yang masih menyambungkan komunikasi kami. Hubungan apapun terkadang adalah kemauan dua belah pihak untuk tetap “saling” menghubungkan jembatan antara dua jiwa, dua hati #eaaaa apaan sih.

Tapi pada orang-orang yang padanya kita bersikap biasa, sulit untuk bisa cair, bukan berarti orang tersebut tidak baik, atau enggak pas..atau apalah namanya. Bila menurutku, hanya enggak “klik” saja.

Chemistry-biasanya orang bilang begitu biar keren. Klik. Cocok. Sefrekuensi. Mungkin kita masing-masing mempunyai radar yang akan mencari/menemukan/ditemukan/saling menemukan orang-orang yang sefrekuensi. Seperti law of attraction, hukum tarik menarik. Yang mirip akan mendekat ke yang mirip.

Itulah mengapa, dalam hidupmu engkau bertemu, berkenalan dan berkomunikasi dengan begitu banyak orang, tapi perhatikanlah..berapa banyak dan siapa yang akhirnya menjadi sahabatmu? Yang kau bisa lari padanya dengan segala macam cerita. Yang kau tak perlu jadi orang lain untuk berbagi apa saja. Kau bisa menyebalkan, bisa menyenangkan, bisa menjadi apa saja. Menjadi manusia tanpa topeng-topeng, tanpa banyak label-label. Mereka tidak banyak bukan? Kira-kira mengapa mereka ada terus dalam hidupmu? Entah kemanapun engkau, dengan siapa kau berpacaran atau menikah, mereka tetap ada. Persahabatan memang ajaib kupikir.

Kita biasa tak sepaham, kita biasa beradu argumentasi, saling sebel, tapi kita bisa juga saling berbagi, jalan-jalan bersama, tertawa, menangis, saling memberi semangat, terus dan terus. Sahabat akan menopangmu dengan sebuah kehidupan yang stabil dan kaya. Sebuah artikel yang saya baca (lupa sungguh sumbernya), seseorang yang berumur 40an, sudah menikah, kehidupannya akan lebih stabil bila dikelilingi oleh sahabat dekat. Glek..hihi kenapa pakai deskripsi umur 40an, sudah menikah bla bla..ahaha lah setiap orang juga kehidupannya akan lebih stabil dan kaya bila dilingkupi oleh sahabat-sahabat dekat yang hangat kan.

Chemitry, klik atau sefrekuensi memang awal yang membuat suatu hubungan apapun berjalan, namun untuk bertahan (duh bertahan sepertinya sebuah diksi penuh penderitaan dan paksaan ya)-ganti ah--untuk terus berlanjut, tetap butuh keinginan kedua belah pihak. Untuk saling berkomunikasi dengan hangat. Hiyaaaa kangen sahabat-sahabatku, semoga Tuhan memberkahi kalian dengan sebuah kehidupan yang hangat dan kaya cinta kasih. Di akhir tulisan, aku ingat sebuah obrolan minggu lalu, yang ngomongin tentang chemistry-klik-ataupun sefrekuensi ini.

            Adek pengen dapet banyak klik?” tanyamu kala itu.

            Maksudnya?” tanyaku sambil setengah tak mengerti,

            Nanti mas belikan mouse, kan banyak klik-nya” katamu dilanjutkan dengan memunculkan ikon tertawa terbahak-bahak.

Dasar badut gendut !!  

 

Glasgow yang terus saja gerimis. 18 Oktober 10.00 pm

Selasa, 16 Oktober 2012

Hadir




Betapa inginnya aku hadir, dalam radius tertentu yang bisa memandangimu, mengamatimu, menjagaimu, menyayangimu, mencintaimu.
Hadir, dengan secangkir teh manis hangat, dengan cah kangkung, tahu goreng, ataupun nasi goreng.
Hadir, di sampingmu.
Hadir, dalam laju detak hidupmu yang berupa bersama di tempat yang sama
Hadir, dalam lelahmu, dalam penatmu, dalam resahmu, dalam gundahmu, dalam sakitmu, atau dalam berbunganya hatimu.
Hadir, menyaksi senyummu, turut mencair dalam jenakamu, menghalau resahmu, mengusir gundahmu, meredakan sakitmu,
Hadir,
Ada,
Selalu,
Namun aku, kamu, begitu jarang hadir dan ada dalam definisi yang nyata.
Lalu kenapa kau masih ingin aku ada, bersama?
Karena kita sama-sama hadir dalam pikir
Karena kita ada dalam cerita yang masih kita bagi bersama
Karena engkau dan aku masih bertukar hadir dalam hati yang terus berdesir

Saat langit Glasgow bergayut mendung , 16 Oktober 2012.

Senin, 15 Oktober 2012

Mengeja Cinta//Jogya//

Beberapa waktu lalu, seseorang menanggapi foto di Fb saya, dia bilang sering mampir baca ke blog saya dan paling suka kalau saya membahas Jogya. Saya tersenyum membacanya. Cinta saya pada Jogya, memang terkadang sulit untuk dicerna. Seperti juga cinta yang kadangkala sulit dicerna logika. Komentar seorang teman yang namanya asing bagi saya itu, membuat saya kembali mengeja lagi cinta saya pada Jogya. Semua sahabat dan orang yang dekat dengan saya pasti tahu bagaimana saya cinta kota itu, hingga ingin selalu kembali dan kembali lagi.
Sejak kapan saya cinta Jogya? Entahlah. Yang pasti saya masih ingat waktu kecil kala video klip Jogyakarta-nya Kla Project ada di televisi, getar bernama cinta itu telah ada. Sewaktu kecil dulu, sempat beberapa kali mengunjunginya, entah acara liburan keluarga  ataupun study tour sekolah. Saya bahkan masih ingat judul tugas untuk tulisan setelah study tour ke Yogya waktu SMP dulu. Judulnya “Menyibak Nuansa Kota Jogyakarta” hihi kalian tau sejak kapan saya suka menulis bila membaca judul tulisan saya kan? Hehe..
Saya pun tidak terlalu ingat kapan desir itu semakin menguat. Hanya saya, inginku hanya satu setelah menamatkan SMA yakni kuliah di Jogya. Maka saat UMPTN, pilihan pertama saya jatuhkan ke Jurusan Biologi UGM Jogya, dan pilihan keduanya, Jurusan Biologi Unsoed Purwokerto. Tapi takdir ternyata mendaratkan saya diterima di Unsoed Purwokerto. Namun cinta itu tak pernah hilang, desir itu selalu membuatku untuk berjuang. Saya mengikuti ujian UMPTN lagi tahun berikutnya, setelah setahun saya kuliah di Purwokerto. Jurusan yang saya pilih waktu itu sungguh jauh dari kesan eksakta,  saya pilih jurusan “HI/Hubungan Internasional” ehehe..kalian bisa bayangkan saya ada dimana dan bekerja sebagai apa bila saya diterima waktu itu?
Tapi kembali Tuhan menyuruh saya tetap menyelesaikan kuliah S1 saya di Unsoed, Purwokerto. Namun ternyata desir itu sepertinya tak pernah hilang. Hingga akhirnya Tuhan mengAcc keinginan saya untuk kuliah di Jogya tahun 2005 saat saya diterima di program pasca sarjana Ilmu Kedokteran Tropis UGM. Hidup saya di Jogya adalah salah satu bagian hidup saya yang berwarna, berharga dan penuh cerita. Penuh cerita pertemuan dengan sahabat-sahabat baru walaupun saya masih tetap menjaga persahabatan dengan inner circle saya semenjak kuliah S1. Desir rasa akan jogya memang berbeda, membuktikan bahwa cinta terkadang tak bisa berdusta. Rasa itu sulit untuk disembunyikan dari diri saya. Saya bahkan tak pernah merasa begitu pada “purwokerto”, tempat dimana saya menghabiskan waktu lebih banyak disana. Bahkan sampai kinipun rasa itu tetap sama. Desir itu, rindu itu, bagaimana bisa kututupi?
Dulu sewaktu saya masih tinggal disana, bahkan saya sudah merasa rindu sebelum meninggalkannya. Malam ini saya ingin mengeja cinta saya padanya,
 Saya rindu, benar-benar rindu.
Hati saya selalu berdesir kala bis yang saya naiki menuju Jogya, kadang ingin melaju cepat agar bis itu membawa saya segera sampai Jogya, namun kadang juga menikmati lajunya, merasai desir rindu itu lebih lama. Saya belum pernah mengalami rasa itu pada suatu kota bila akan mengunjunginya. Ada satu lagi sebenarnya, tapi belum pernah kucobai. Mungkin nanti saya pulang saya harus mengetes rasa ehehe.
Saya selalu menganggap jogya adalah “rumah”. Kemanapun saya pergi, saya selalu ingin kembali lagi padanya. Walau kadang hanya sehari, dua hari, tapi cukup meredakan rindu saya. Saya sangat menikmati kala saya menjadi “insider” selama 2 tahun disana. Hingga kembali ke sana sebagai seorang “pengunjung” rasanya aneh kadang kala. Saya ingin menjadi insider lagi. Saya ingat, bahwa dulu saya berupaya untuk bisa kerja di Jogya setelah selesai studi S2 saya. Tersenyum saat ini kala mengenang, saya dulu pernah memasukkan berkas untuk melamar jadi dosen saat CPNS di UNY namun tak lolos karena ijazah dianggap tidak sesuai kualifikasi lowongan, saya pernah mendaftar sebagai editor di salah satu penerbitan di Jogya, saya pernah membuat daftar sekolah tinggi ilmu kesehatan di Jogya untuk saya masuki lamaran kerja.  Saya juga pernah bekerja selama beberapa bulan di Jogya sebelum studi S2 hanya untuk menegaskan pada diri sendiri bahwa saya tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, bahkan saya pernah sudah diterima sebagai pengajar di sekolah berwawasan islam di sana tapi tak jadi saya ambil karena alasan tertentu. Cinta saya pada jogya telah panjang waktu saya perjuangkan ternyata ahaha. Tapi justru lamaran ogah-ogahan di hari terakhir CPNS dosen Unsoed malah mengungkapkan takdirNya bahwa saya harus kembali lagi ke Purwokerto. Aih..
Begitulah hidup, kadang ingin kita diwujudkan olehNya, kadang kala ditunda, kadang pula dibelokkan sedemikian rupa. Tapi entah mengapa cinta saya pada Jogya selalu saja ada. Bila ada kesempatan tugas dinas luar, saya memilih untuk ke Jogya. Atau bila ada waktu senggang, sayapun menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Jogya. Saya selalu merasa rindu, itu saja. Ada desir yang sulit untuk ditampikkan, bahkan oleh waktu sekalipun. Ringtone Hp saya semenjak saya punya Hp pertama kali, hingga kini tak pernah berubah. Lagu Yogyakarta-nya Kla Project pasti saya set-sebagai penanda nada sms atau telpon. Tiap kali mendengar lagu itu, hentak nada iramanya seperti mengingatkan lagi rindu saya akan Jogya. Desir itu akan selalu ada. Malam ini saya baru sadar, betapa saya begitu bodoh bila harus belajar mencintai, tapi bila cinta datang begitu saja, ia akan tetap akan ada disana, tanpa usaha apa-apa. Bila ditanya kini, berapa lama saya mencintai Jogya? Mungkin sudah hampir seumur hidup saya. Cinta ternyata bukan tentang berapa lama saya menghabiskan waktu ada di tempat itu. Dibandingkan dengan Purwokerto, Jogya hanya mengambil sedikit porsi waktu hidup saya untuk tinggal di kota itu. Tapi cinta kadang tak bisa serumus dengan waktu bukan?. Kadang hanya cukup sehari, dua hari, tapi rasa yang diciptakannya selalu membuat saya ingin kembali. Dan saya baru menyadari kini,
Purwokerto adalah tempat dimana komitmen dan tanggung jawab saya berada, sedangkan Jogya adalah tempat dimana cinta saya berada.”
Saya merindu naik angkot nomer 15 yang akan membawa saya ke selokan mataram, saya rindu makan di angkringan, minum jahe susu di Kopi Joss saat menemanimu makan, ngubek-ngubek pasar beringharjo, memilih batik, mencari serabi solo di Malioboro. Minum teh poci di alun-alun, mengunjungi pantai depok, parangtritis atau pantai-pantai cantiknya di Gunungkidul. Saya rindu makan gudeg langganan saya di Jakal, makan lesehan di kawasan UGM, rindu makan sate klatak dan obrolan hangat dengan penjualnya kala itu. Saya rindu jalan-jalan minggu pagi ke SunMor UGM, lalu sarapan lesehan di salah satu warung tendanya. Saya rindu menjelajahi deretan buku-buku di taman pintar, mencicipi soto klebengan atau soto “babi” di jakal atas. Lalu akhir-akhir ini saya rindu jalan ke jejamuran, walau saya tidak hapal jalannya. 

Makan Gudeg Langganan di Jakal Km 5.4 dengan Nata, Sahabat lama
di Keraton Yogyakarta
Apa kalian pernah merasa seperti itu? Entahlah, mungkin saya hanya berlebihan saja. Satu setengah bulan lagi saya akan kembali ke Indonesia lagi untuk beberapa bulan untuk riset. Tempat riset saya ada sebagian yang dilakukan di Jogya mungkin adalah usaha saya untuk kembali lagi ke kota itu. Ah, kenapa selalu seperti itu tenyata? saya baru menyadarinya. Kenapa saya tak pernah berhenti memperjuangkan cinta saya. Suatu saat saya dihadapkan pada pertanyaan “cintakah saya pada Purwokerto?”
Saya merasa nyaman hidup di kota mungil yang sejuk itu. Komitmen dan tanggung jawab telah mengikat saya di situ. Saya tidak merasa menderita atau terpaksa untuk tinggal disana. Bahkan saya sekarang ini tengah memikirkan untuk mencari rumah tetap di sana. Tapi cintakah saya? Saya menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya.
Saya menghabiskan waktu 4 tahun untuk studi S1 saya, dan saya kembali lagi untuk bekerja disana, mungkin hampir sepuluh tahun totalnya saya tinggal di sana. Saya baik-baik saja, namun cinta ternyata mempunyai bahasanya sendiri yang hanya dikenali rasa. 

*Jogya, tunggu saya kembali lagi sebentar lagi.
Glasgow,14 Oktober 2012 11.00 pm

Minggu, 14 Oktober 2012

Sepiring Nasi Goreng kita


Dari seluruh masakan yang biasa kumasak, nasi goreng adalah menu yang tidak biasa. Nasi goreng adalah refleksi masakan sederhana yang dicipta agar tetap istimewa. Iya, bahan utamanya saja hanya nasi, namun biasanya ditambah dengan bahan-bahan lain agar menjadi istimewa. Bisa ditambah telur, teri, seafood, daging, mentimun, acar dll agar lebih terasa nikmatnya. Aku suka masak nasi goreng, baik yang paling sederhana maupun yang ditambah bermacam-macam bahan pendukungnya. Tapi entah mengapa, setelah memasak aku terkadang tak suka memakannya. Paling hanya kucicipi beberapa suap, dan sudah. Selesai.
Aneh.
Memang banyak orang bilang, bila sudah selesai memasak, orang akan malas memakannya. “sudah marem/puas membauinya” begitu kata orang. Memang terkadang begitu, namun bagiku untuk kasus nasi goreng memang tidak biasa dibanding masakan lainnya.
Tapi entah kenapa kau suka makan nasi goreng. Bahkan kau bisa makan dengan menu nasi goreng, dalam dua kali jam makan berturutan.
            Agak keasinan,” katamu sambil nyengir, tapi tetap memasukkan sesendok makan nasi goreng ke dalam mulutmu. Mengunyah dengan lahapnya, dan aku selalu suka memandangimu makan lahap.
Aku tergelak. Lalu kau menyorongkan sesendok makan ke mulutku. Aku menggeleng, aku tidak terlalu suka nasi goreng. Tapi kau selalu tahu caranya biar aku mau membuka mulut dan pasrah menikmati nasi goreng yang ada dalam mulutku.
            Jangan banyak-banyak” kilahku protes. Tapi akhirnya pun menyerah dengan terus mengunyah.
            iyah, sesuap lagi ya,” katamu, yang lagi-lagi berhasil membuatku mengunyah lagi.
           dikit lagi nih mau habis, ayo sesuap lagi, nanggung kasihan nasinya, ” begitu alasanmu. Dan lagi-lagi sesendok nasi goreng itu masuk lagi ke dalam mulutku.
Kemarin kumasak nasi goreng, dengan campuran udang dan suwiran daging ayam. Aku menikmati saat memasaknya, kucicipi dan rasanya lumayan enak. Namun, entah kenapa setelah itu hasrat makanku hilang entah kemana. Lenyap. Hanya kupandangi saja sepinggan nasi goreng itu. Anehnya aku malah membuat kentang goreng dan memakannya untuk mendiamkan perutku yang protes kelaparan.
Mungkin nasi goreng itu mengingatkanku lagi akanmu//atau aku hanya tak bisa lagi makan nasi goreng tanpamu//
Nasi goreng pertama kita, nasi goreng buatanku, yang membuatmu harus menghabiskan jatah porsiku.
Nasi goreng terakhir kita, nasi goreng di sebuah warung tenda kota kita,
Kapan kita nikmati sepiring nasi goreng berikutnya?

Glasgow, 14 Oktober 2012.