Jumat, 26 Juli 2013

Pengumpul Senja


Ingin kukumpulkan ribuan senja,
Bukan untuk mencari sama,
Karena senja selalu punya cerita yang berbeda
Seperti juga hidup, ada beda, ada tumbuh, ada pemakna


Saya pengumpul senja. Selain hujan, saya penggila senja. Menikmati rentang waktu yang sedikit itu, tercenung tanpa kata, hanya ingin menikmatinya. Menanti saat siang akan menggantikan dirinya dengan malam, disitulah senja ada. Senja itu semacam waktu perpaduan. Seperti siang  dan malam mencumbui bumi sekaligus, sebentar saja. Sebelum malam dan gelap benar-benar ada.
Di antara rentang waktu hari, senja hanya datang sebentar saja. Tak lama. Tapi hari selalu menunggunya tiba. Ia bergerak, mengarak awan-awan yang akan berubah warna. Semburat merah mengantung anggun di ufuk barat.
Tapi senja tak selalu seindah itu. Kadang hujan menggelapkan langitnya, ataupun saat mendung menggelayut sampai sampai malam tiba. Senja tetaplah senja.
Sebanyak apapun kukumpulkan senja selama ini, tak pernah ada senja yang sama.
Saya kadang mengunjungi pantai yang sama, untuk mengarak senja di tempat yang sama, tapi menemukan senja yang selalu berbeda. Senja yang ranum di bentangan pantai, itu senja kesukaan saya. Menggabungkan dua hal yang saya sukai, laut dan senja sekaligus. Saya sering kali mengunjungi pantai untuk menanti senja. Menanti perubahan waktu yang magis itu. Rumah saya hanya berjarak sekitar 15-20 menit dari pantai. Maka di pantai inilah saya sering mengumpulkan senja sejak kecil.

saya, pantai, dan senja yang sedang ranum ranumnya
saya, senja dan dua adik saya
tempat yang sama, senja yang selalu beda
Menanti senja meranum
Mesra kan yaaa....ahaha ini adik bungsu saya




Lalu saya juga mengumpulkan senja-senja di tanah-tanah asing yang pernah saya singgahi. Dan setiap tempat menawarkan sensasi senjanya tersendiri. Dengan keapikannya masing-masing, dengan cerita-nya sendiri.


Senja di Padang Pasir, Maroko
Senja di Pantai Dreamland-Bali
 
Sebuah senja di sudut London



senja (banyakan malamnya) ahaha di Falkirk, Scotland


Remang senja di Glasgow



Senja di Dermaga Loch Lomond, Scotland



Senja di Bath, England


Senja di Seberang Big Ben, London



Akan terus kukumpulkan senja demi senja. Dalam setiap kisahnya yang berbeda, agar hidup penuh ribuan senja dengan  makna dan cerita.
Mungkin suatu saat, kita akan melewatkan ribuan senja lainnya bersama.


Minggu, 21 Juli 2013

Bahasa Punggungmu



Awalnya sejak kala itu mungkin. Atau mungkin juga sudah jauh hari sebelumnya. Iya jauh hari sebelumnya. Tapi entah kapan tepatnya aku mulai mempunyai kebiasaan untuk memandangimu dari belakang. Memandangi punggungmu. Entah mengapa aku suka melakukannya. Memandangi punggungmu diam-diam dan merasakan ketentraman.
Orang-orang lain mungkin akan melihatmu dari depan. Maka nampaklah kamu dengan hingar bingar duniamu yang seperti magnet bagi siapa saja. Yah, seperti dulu aku pernah bilang sebelum kita benar-benar bersama. You’re type of person who can win everybody’s heart.
Semua orang tersenyum, dunia di sekitarmu tersenyum. Duniamu yang riuh rendah, sibuk mengalir hampir tak pernah henti.
Tidakkah kamu pernah sadar, bahwa mereka selalu memandangi darimu depan. Dari yang nampak. Tapi bukankah manusia selalu mempunyai dua sisi.
Dan aku mungkin terbiasa melihatmu dari punggung, dari sisimu yang tak pernah terlihat atau dilihat orang-orang di sekitarmu. Bahkan mungkin tak terlihat olehmu sendiri.
Kau tahu bahwa kadang punggung bisa berbahasa? Kadang punggungmu itu menyiratkan bahagia, kadang kesedihan yang tersembunyi, kadang sukacita. 
Tahun berganti, dan berganti lagi, dan aku terus belajar mengerti bahasa punggungmu. Mengerti sisi yang tak nampak di permukaan.
Kau tahu bahwa punggungmu itu seringkali menyiratkan kelelahan. Kamu sibuk membahagiakan orang-orang di sekitarmu. Mengiyakan apa saja, membantu siapa saja. Lalu dunia berbinar, semua orang nampak tertawa, memastikan semua orang tersenyum.
Tapi entah mengapa bahasa punggungmu itu bicara padaku. Bahwa kamu terkadang lelah.
Beristirahatlah. Jedalah sejenak. Manusia bisa penuh mencintai dan berbagi dengan orang lain jika ia mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu.
Don’t forget to love yourself first.
Biar kuamati engkau dari punggungmu. Dan bila kau lelah, kau tahu pasti aku selalu ada untukmu bersandar sejenak.

Glasgow, 21 July. Menjelang jam 6 pagi dan mataku belum bisa terpicing sedikitpun.

Monolog




Aku masih di sini. Iyah, masih terus di sini. Dengan pintu terbuka yang biasa kau masuki. Walau kau datang dan pergi seperti angin, aku tak pernah bisa menduga kapan kau akan datang atau pun akan pergi.
Tinggallah, kataku. Kamu membisu
Mungkin nanti.
Aku masih saja menjadi manusia nomad. Dengan rumah yang aku gendong kemanapun aku pergi. Rumahku itu dimana aku tinggal. Aku bergerak, menjelajahi tempat-tempat asing. Tapi sebenarnya aku tak kemana-mana. Aku masih di sini.
Dengan pintu yang masih saja terbuka kapan saja. Aku tidak kemana-mana bukan? Seberapapun jauh aku pergi, nyatanya aku tetap saja tinggal. Membukakan pintu tiap kali hatimu ingin singgah.
Melarikan diri sungguh gagasan yang salah. Kataku lagi.
Karena bahkan jarak makin mempererat. Jadi bagaimana aku bisa pergi?
Memang aku tak mau pergi. Hatiku bergumam
Tapi suatu saat mungkin engkau yang akan pergi, atau aku yang pergi. Atau kita memilih bersama-sama untuk tinggal.
Bila engkau pergi sekalipun, bukankah engkau tetap akan membawaku seumur hidupmu?
Dan bila aku yang pergipun, kamu sebenarnya pun takkan kemana-mana. Di hidupku.
Dulu aku takut suatu saat aku akan kalah,
Tapi aku tidak sedang berperang, aku sedang mencinta.
Kadang aku juga takut akan kehilangan, tapi
No one loses anyone, because no one owns anyone. That is the true experience of freedom: having the most important thing in the world without owning it (PC)
Malam sudah menua.
Aku pun tak kemana-mana. Menjagaimu dalam keterpisahan maupun kebersamaan.
Dan aku di sini. Tetap di sini.
Di hatimu.


Aku tidak pernah datang, dan tidak akan pernah pergi. Aku telah ada dan tertulis jauh sebelum kita tahu perjalanan ini akan terjadi (dari kamera kata-Catastrova Prima)


Lewat tengah malam, Glasgow 21 July 2013.




Sabtu, 20 Juli 2013

Never Ending Learning...



Kapan sebenarnya manusia benar-benar tahu?
Mungkin memang tahu itu semacam bilangan tak terhingga yang tak ada ujungnya. Atau juga proses tahu itu seperti perjalanan hidup, bahwa proses mencari tahu adalah inti dari penge-tahu-an.
Ini bukan soal ilmu pengetahun saja. Tapi sepertinya apapun dalam hidup tak bisa terhindarkan dari proses belajar. Life is never ending learning, kupikir.
Tak usah contoh yang muluk-muluk. Tips memasak saja semakin banyak belajar semakin banyak hal yang tidak kita tahu. Misalnya saja saya baru saja mendapat tips membuat lontong dengan bantuan aluminium foil karena di sini sulit untuk membuat lontong dengan cara biasa seperti di indo, bagaimana cara biar ayam goreng tepung menjadi crispy karena di sini tepungnya berbeda. Kita membuat sesuatu yang sama tapi kondisinya berbeda pun memaksa kita belajar bagaimana cara mengakalinya.
Itu belajar memasak, lain lagi kita belajar berkomunikasi, memahami orang lain, bahkan belajar memahami maksud takdir Tuhan. Dulu saat sering mendengarkan secara rutin acaranya Ayah Edi untuk tips-tips parenting karena bila kita tidak belajar maka cara kita mendidik anak (jiaaah anak siapa emang? *ya paling enggak saya sudah punya banyak anak-anak mahasiswa-membela diri hihi) akan membawa blueprint yang sama dengan bagaimana cara orangtua kita mendidik kita. Siklus akan berulang tanpa perbaikan.
Begitu pula cara mengajar, saya sebagai pengajarpun harus banyak belajar bagaimana membuat sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan menarik untuk anak-anak. Masa harus mengikuti cara dosen-dosen saya dahulu yang ada hanya membaca tulisan di kertas transparansi? Lalu kapan bisa maju negeri ini karena kita tidak belajar untuk berprogress? *berapi-api hehe
Bahkan saya sadari bahwa belajar hidup pun seperti perjalanan dari satu pelajaran ke pelajaran lain yang tiada henti. Kita banyak membaca persepsi-persepsi orang lain, orang bijak, penulis, ataupun filosofi-filosofi sebelumnya bagaimana manusia menjalani hidupnya. Misalnya saja bagaimana Socrates menemukan cara mensikapi kebahagiaan. Dimana sepertinya manusia pada dasarnya mengintikan hidupnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan. Manusia tak hentinya menanyakan pertanyaan-pertanyaan inti yang tak pernah mati. Tentang Tuhan, tentang Cinta, tentang kematian, tentang kebahagiaan.
Dulu saya percaya bahwa hidup itu berjalan seperti roda, kadang di bawah (susah, derita, nestapa) ataupun kadang di atas (sukses, kemenangan, bahagia). Sampai saya belajar bahwa ada yang melontarkan ide tengah bagaimana hidup terpusat di tengah roda. Bagaimana mensikapi perputaran semesta dan kejadiannya sehingga daya lentur kita lebih liat.
Bukan berarti saya telah banyak tahu. Tidak, sama sekali tidak begitu. Saya mencari tahu, dan menjadi merasa banyak sekali hal yang belum saya tahu. Setidaknya Tuhan mendesain otak manusia untuk berpikir, bertanya, menganalisis, mungkin agar tidak beku. Bisa kau bayangkan bagaimana hidup yang stagnan dan penuh kemandegan?
Beberapa saat lalu, saya iseng membaca-baca ke website oprah. Banyak sekali beberapa hal yang layak untuk dipelajari tentang hidup, tentang kesehatan, mode, masakan, bahkan seks. Mungkin dunia digital telah membajiri kita dengan ribuan informasi. Tapi bukankah kita juga punya filter dan sistem seleksi? Kadang saya pikir ada yang bisa diterapkan, kadang merasa tidak sejalan. Tapi bukankah itupun menjadi salah satu dari proses pembelajaran bukan?
Manusia sepertinya didesain sebagai makhluk pembelajar. Bagaimana manusia mencipta teknologi, mencipta kebudayaan, bahasa dan peradaban pastilah tak lepas dari hasil proses pembelajaran.
Lalu dimanakah titik akhir dari pembelajaran itu sendiri? Atau mungkin kita memang tak pernah bisa benar-benar tahu? Ah, apa yang akan terjadi besok saja kita tidak tahu. Lalu mau dengan muka dan hati sombong seperti apa hingga kita mampu berkata sudah tahu banyak?
Sepertinya daripada berfokus pada pertanyaan seberapa banyak kita tahu, mungkin lebih baik menikmati perjalanan mencari tahu.
Joy! Orang yang merasa berbahagia sangat tahu bagaimana membuat hidup mereka penuh dengan kesenangan. Senang bertanya tanya, senang mencari jawab, senang dalam prosesnya. Kebanyakan orang akan mempunyai persepsi bahwa kesenangan akan didapat setelah muncul hasil. Manusia lupa bahwa kesenangan itu bisa dinikmati sepanjang perjalanan.
Selamat berjalan, selamat belajar.

Glasgow, 19 July 2013 menjelang isya dengan perut penuh dengan sup buah dan cumi asam manis untuk buka puasa hehe.

Selasa, 16 Juli 2013

Menikmati Birunya Langit Scotland di King Arthur Seat dan Calton Hill Edinburgh

Langit biru, semburat awan putih dan King Artur Seat


Udara Scotland yang hangat di awal bulan Juli terasa membuat tubuhku sedikit gerah saat tiba di Stasiun kereta Edinburgh Waverley. Matahari bersinar cerah semenjak pagi, sebuah cuaca yang mahal di Skotlandia. Perjalanan Glasgow ke Edinburgh dengan kereta hanya ditempuh dalam waktu kira-kira sejam lamanya dengan harga tiket PP sekitar 12 GBP (Great Britian Poundsterling). Tujuan jalan-jalan saya kali ini yakni King Arthur Seat yang menawarkan pemandangan kota Edinburgh dari atas bukit. Humm, pasti cantik kupikir. Dan track menuju kesana lumayan menanjak saat saat musim semi atau musim panaslah waktu yang cocok untuk pergi kesana. King Artur Seat? Humm pertama kali mendengar nama itu sepertinya membayangkan sebuah kursi singgasananya King Arthur ehehe. Tapi seperti apakah sepertinya King Arthur seat tersebut?

Berlatar perbukitan King Artur Seat
 Ternyata King Arthur seat itu adalah puncak dari gugusan perbukitan yang membentuk Holyrood Park. Bukit tersebut terletak di tengah kota Edinburgh, sekitar 1 mil di setelah timur kastil Edinburgh. Begitu sampai di wilayah perbukitannya, kami tergoda untuk menikmati es krim di tengah suasana yang panas. Rasanya milky dingin lumer di mulut, sangat cocok dengan suasana musim panas. Kemudian kami mulai berjalan dalam track pendakian menuju Arthur Seat. Tidak ada petunjuk jalan sama sekali, yang terlihat hanya beberapa lintasan jalan setapak yang cukup mendaki. Lumayan ngos-ngosan juga, dan diselingi dengan duduk santai istirahat sambil memandangi jelitanya Edinburgh dari atas bukit. Langit biru dengan semburat awan-awan putih memayungi perbukitan yang menghijau. Pemandangan yang memanjakan mata sekaligus langka. Langit biru, matahari cerah bagi kami yang hidup di Skotlandia merupakan berkah karena biasanya cuacanya tidak lebih dari dingin, hujan ataupun berangin kencang. 

Hosh Hosh..Mari Mendaki
  
Pose di lereng King Artur Seat dan lanskap kota Edinburgh
  
Pose di Track Pendakian

Tinggi King Arthur seat ini sekitar 822 feet, makanya merupakan tempat popular untuk mendaki ataupun hillwalking. Sebenarnya tak terlalu nanjak-nanjak amat kok jalanannya. Tapi ternyata jreng, setelah lama berjalan mengikuti track.. kami salah jalan!. Begitu sampai ke atas ketinggian tertentu ternyata jalanannya bukannya naik malah menurun. Kami jalan bareng dengan orangtua-nya Dean, sahabat kami yang usai wisuda masternya, jadi mempertimbangkan kondisi fisik mereka jadi kami memutuskan untuk turun saja tidak sampai puncak dan memilih leyeh-leyeh di rerumputan. 

Full team

Yeaaah Fly..Fly..melompat lebih tinggi !

Kami memandangi dari rerumputan perbukitan yang dibentuk dari sisa-sisa gunung berapi yang berumur sekitar 350 juta tahun dan terkikis oleh glacier dan berpindah dari barat ke timur. Wuih udah lama banget ya.
Ternyata tempat ini dinamai King Arthur Seat karena diperkirakan sebagai salah satu lokasi Camelot (Camelot itu kastil dan pengadilan yang berhubungan dengan sang legendaries, King Arthur). Dulu saya hobi nonton serial King Arthur, dan kini bisa menjelajahi tanah-tanah dimana legenda tersebut tercipta.

On May-day, in a fairy ring,
We've seen them round St Anthon's spring,
Frae grass the cauler dew draps wring
To weet their een,
And water clear as crystal spring
To synd them clean

Itulah puisi yang ditulis Robert Fergusson pada 1773, yang menceritakan tradisi gadis muda Edinburgh membasuh wajah mereka dengan embun saat MayDay di lereng sebelah yang menghadap Hollyrood untuk membuat wajah mereka lebih cantik. Aih jadi kepengen nyoba #uhuk.
Usai dari King Arthur seat, kami ke Calton Hill. Humm Edinburgh ini memang punya banyak sekali tempat-tempat yang harus dikunjungi. Hampir seluruh wilayahnya termasuk UNESCO World Heritage. Nah untuk Calton Hill juga harus mendaki lagi. Aih, lumayan kaki bekerja ekstra keras hari itu. Biasanya kami bergerak dari lokasi wisata ke lokasi lain juga dengan berjalan kaki. Jadi bersiap-siaplah sering-sering menggunakan kakimu bila tinggal atau jalan-jalan ke sini. Calton hill ini terletak di pusat Edinburgh, sebelah timur Princess Street dan tentu saja termasuk dalam UNESCO World Heritage site. Saat kami sampai, sudah banyak orang yang berjemur di rerumputan karena cuaca memang mendukung untuk menikmati sinar matahari. Ada pula yang memanjat ke monumennya, dan tentu saja kami tidak melewatkan untuk mencobanya. Walau untuk naiknya lumayan perjuangan tapi begitu sampai di atas. Uwiiii saat sampai ke atas, kita bisa memandangi Edinburgh dari atas dengan leluasa. 
 Tempat yang tadinya kantor pusat pemerintahan Skotlandia ini menggerombol dengan beberapa bangunan lain yang letaknya berdekatan. Ada Scottish Parliament Building, Holyrood Palace dan beberapa bangunan lainnya.
Memang di antara kedua tempat yang kami kunjungi lebih cenderung wisata pemandangan dari ketinggian. Matahari yang bersinar cerah, langit biru, dan para sahabat, tentu saja sebuha kombinasi jalan-jalan yang cukup menyenangkan. Ini dia beberapa foto kami saat berada di atas bangunan tersebut :

Calton Hill
 
Usai dari Calton Hill, perut kami sudah keroncongan dan mampir ke tempat makan all you can eat. Nah di sini tempat makan all you can eat sering ada di tiap kota. Artinya kamu tinggal membyara sejumlah uang lalu kamu bebas makan apa saja dan sebanyak apa saja yang tersedia di resto tersebut. Bagi yang jago makan, tempat seperti ini pasti favorit.
Setelah energy kembali terisi, kami jalan-jalan ke Princess Street dengan taman-tamannya yang berlatar belakang Kastil Edinburgh. Tempat ini banyak sekali ada di foto-foto para traveller, kartu pos ataupun web-web fotografi. Lihatlah lokasinya yang breath-taking ini.

Pemandangan dari Princess Street berlatar belakang Kastil Edinburgh


Hihihi saya dong ;p

Lucu yah jam-nya :)

Dan senang juga akhirnya bisa berfoto dengan latar belakang tempat ini. Uhuiii...setelah beberapa saat nongkrong-nongkrong santai, kami beranjak berjalan pulang kembali ke Glasgow naik kereta. Edinburgh, memang selalu menawan untuk dikunjungi. Lagi dan Lagi.

Glasgow, medio July 2013

Senin, 15 Juli 2013

Ngabuburit ke Kampus Utama UoG




Bulan ramadan sudah menginjak beberapa hari terlewati. Nah berhubung menanti waktu berbuka memerlukan kesabaran yang berlebih, maka marilah saya ajak jalan-jalan ke kampus utama saya yang cantik itu. Selepas mengerjakan kerjaan lab sabtu lalu, saya iseng jalan-jalan di sekitaran kampus utama. Ini tempat favorit saya kalau pengen bengong, mikir, santai, atau sekedar jalan-jalan tidak jelas sambil memandangi bangunannya yang gigantis itu. Entah berapa kali saya mengunjungi tempat ini semenjak kali pertama datang sebagai mahasiswa baru sampai saat ini. Saya selalu saja terpesona dengan auranya. Bangunan itu seperti sebuah monumen tua, bertahan dari tahun ke tahun, menjadi saksi lahirnya para cendikia. Bisu, tapi menyimpan banyak sekali sejarah dan kisah. Seperti kuciumi bau para pengendus ilmu, aroma keingintahuan manusia, dan mungkin titik-titik kemenangan banyak orang-orang terdahulu yang mengenggam apa yang mereka perjuangan. James Watt, Adam Smith, Lord Kevin, mereka para pendahulu yang pernah belajar di Universitas keempat tertua di Inggris ini,  nama mereka sudah mengabadi meninggalkan karya-karya cendikianya.
Ah, marilah kubawa engkau melihat-lihat kampus utamaku sejenak. Sambil mencoba memotret dengan kameraku. Iyah, saya sedang belajar memaksimalkan kameraku ini. Kadang tulisan dan foto itu seperti pasangan yang saling melengkapi. Maka sudah waktunya sayapun belajar mencarikan pelengkap yang berkualitas bagi tulisan saya.
Baiklah, mari kita mulai jalan-jalannya dari bagian depannya. Kalau kalian mengunjunginya, siaplah terpesona dengan bangunan yang gagah dengan tema  arsitektur gothik ini. Pertama kali melihat bangunan ini pasti didominasi oleh ornamen mengkerucut menantang langit, inilah salah satu ciri desain arsitektur bertipe gothik. Katanya sih itu simbolisme bagaimana doa-doa dipanjatkan ke langit. Bangunan kampus utama ini didesain oleh Sir George Gilbert Scott dan dirampungkan oleh anaknya, Oldrid. Nah, karena kali ini sedang musim panas, jadi bagian depannya pun dihiasi oleh bunga-bunga kombinasi merah ungu yang tertata rapi jali. Lihatlah hasil jepretan saya di bagian depan main campus ini.
 
                                                              Bagian depan main building UoG

 Nah, kadang kalau tipikal orang Indonesia yang hobi banget foto di depan tulisan tempat, sayangnya kampus utama UoG tidak mempunyai tulisan yang menyebutkan UoG dengan cukup besar. Adanya hanya di bagian kiri yang biasanya menjadi tempat wajib berfoto para pelancong yang memburu tulisan sebagai bukti bahwa mereka pernah mengunjungi UoG hihi. Ini dia penampakan tulisan tersebut :


tuuuh...silahkan foto di depan papan nama sebagai bukti sejarah hidupmu hihi ;p

Bangku kayu dan lampu dengan desain antik merupakan salah satu ciri yang melengkapi bangunan ini, baik di depan ataupun di bagian lantai dua main campus menampilkan pemandangan ini. Dan tentu saja latar belakang yang bagus untuk berfoto ehehe, karena kali ini saya sendirian, saya akan menahan diri untuk bisa bergaya ahaha.

                                                             Bangku kayu dan lampu antik

Nah mari saya ajak ke dalam, di lantai pertama ada UoG shop yang menjual pernak pernak kampus, tapi harganya lumayan mahal euy. Menurut saya yang bikin mahal itu lagi-lagi tulisannya ahaha, gantungan kuncinya jadi mahal karena ada tulisan UoGnya, kaus dan jumpernya pun jadi mahal karena ada tulisannya tersebut hihi. Postcard UoG juga tersedia di sini yang memang agak susah didapat di tempat lain, jadi bila kalian ingin beli postcard khusus UoG datanglah ke university shop-nya.
Mari ke naik ke lantai keduanya. Dan ini spot paling favorit saya. Karena begitu memandang
bagian quadrangale ini mata kita akan dimanjakan dengan suasana abad pertengahan yang kental. Main building ini mempunyai dua quadrangale kembar, di bagian barat dan timur (west dan east qudrangale). Ornamen-ornamen yang mengerucut menantangi langit bisa dilihat dari bagian ini. Termasuk clock tower yang bisa dilihat dari kejauhan sebagai salah satu ciri skyline Glasgow. Ini beberapa foto saya yang saya jepret.
 
                                                               Hummm cantik kan?

Saya suka semburat sinar matahari di langit itu-tanpa editing-
Itu dia tower clocknya
 Hamparan rumput dan lagi-lagi pasangan bangku kayu dan lampu antik mencirikan tempat ini. Oh ya, ada satu tempat yang juga favorit karena keunikannya. The cloister yang terletak antara qudrangale timur dan barat ini unik sekali. Lihatlah bentuknya :


Cloister

Di bagian main building ini juga ada Hunterian Museum yang gratis masuknya. Lain kali saya ajak jalan-jalan kesana ya.
Dari semua bagian, mungkin bagian quadrangale inilah bagian paling favorit saya. Saya biasa duduk di bangku kayu di sisi area ini sambil memandangi detail bangunannya. Kadang sambil mendengarkan musik lewat earphone, kadang sambil baca buku, kadang bengong doang ahaha. Kalau lagi galau juga suka menyendiri di area ini #eh.
Sore ini kampus utama begitu sepi, jadi saya dengan leluasa menjepret-jepret sendirian. Ah mungkin karena saya datang sekitar pukul 8 malam (walau masih terang benderang). Puas menghabiskan waktu di bagian ini saya kemudian berpindah ke belakang. Ini juga salah satu bagain favorit saya lainnya. Karena bisa duduk-duduk dan tiduran di rumput sambil memandangi kampus dari belakang ataupun Kelvingrove musem di seberang. Main campus yang kadang disebut Gilmorehill campus ini, jaraknya cuma sekitar 5 menitan dari flat saya. Jadi maklum saja saya sering iseng dolan dan gegoleran di rumput belakang kampus di musim panas ini. Suasananya tenang, udaranya hangat jadi saya dengan nyaman tiduran sambil mendengarkan musik di earphone. Ah, entahlah saya merasa damai sejahtera bahagia sentosa hanya dengan cara sederhana macam begini hihi. Kadang kita harus berhenti berlari dan lebih mengamati hidup. Mungkin itu fungsinya mengambil jeda seperti saat ini. Mata saya terbeliak melihat rumput-rumput yang berayun lembut dengan beraturan diterpa angin. Saya seperti melihat keajaiban padahal hanya melihat hal sesederhana itu. Kita sering terlalu sibuk, hingga tak lagi memperhatikan daun-daun yang luruh, rumput yang disapu angin, rintik hujan, ataupun bintang-bintang. Kita kehilangan koneksi dengan alam. Maka dengan takjub saya mengamati gerak ayunan lembut rumput-rumput di dekat tiduran itu diterpa angin, kemudian kembali ke posisi semula lagi. Rumput itu mengajarkan saya tentang the art of allowing. Penerimaan. When you argue the reality, you lose!
Rumput itu mengajari bagaimana ia berubah, bergerak sesuai arah angin yang menerpanya. Ia menerima tanpa harus menyalahkan arah angin. Bahkan ia pun tak pernah tahu kapan angin itu akan berhembus menerpanya, angin mengajarinya tentang kekinian. Hidup tentang kesiapan menerima kenyataan dan bagaimana mensikapinya. Rumput yang berayun itu mengajari saya tentang harmoni. Menjadi lebih lentur terhadap hidup. Ah, jalan-jalan sore saya kok berubah jadi filosofis ahaha.
Ini dia foto hasil selftimer saat gegoleran di rumput belakang kampus.


Saya pulang karena segera memasak untuk menyiapkan buka puasa. Yuhuuu  begitu jalan-jalan sore di kampus utama saya. Kapan-kapan saya ajak jalan-jalan lagi.
Salam hangat di Glasgow yang terus menghangat.