Jumat, 30 Agustus 2013

Jendela


Saya mempunyai kedekatan tersendiri dengan jendela. Iyah, bila naik kendaraan seperti bis, kereta, ataupun pesawat saya pasti memilih untuk duduk di samping jendela. Dan kemudian dengan betah memandangi potret-potret hidup di balik jendela. Saya suka mengamati apa saja dari balik jendela. Jendela itu seperti cakrawala yang memberikan ruang pandang bagi mata sekaligus pikiran kita. Jendela pikir bagi otak agar tidak berpikiran sempit, bahwa hidup penuh beraneka macam warna.
Jendela bagi saya juga memberikan keluasan. Rasanya seperti ada ruangan tambahan tentang dunia luar, di luar diri. Jendela juga tentang kesempatan untuk melihat, mengamati, dan mungkin juga melahirkan bibit peduli. Bahwa hidup bukan hanya soal kita sendiri ataupun orang-orang yang dekat dengan kita. Hidup juga tentang orang lain. Jendela mengajarkan saya untuk bersosial, menalikan hati untuk peduli tentang hal-hal yang memang saya pedulikan. Walaupun kita tidak bisa seperti malaikat yang peduli pada semua hal bukan? Bukan pula mengiyakan apa saja untuk membuat senang orang lain, tapi diri kita sendiri sepi. Tapi menurut saya, ada hal-hal yang memang menjadi fokus kepedulian masing-masing orang. Sering saya mengamati tentang hal ini, dan mungkin kini sedikit menemukan jawab. Ternyata tiap orang mempunyai kepedulian akan hal yang berbeda-beda. Ada yang peduli tentang bagaimana  mengatur keuangan dengan lebih baik (finance) seperti Ligwina Hananto, ada yang peduli pendidikan seperti Bapak Anis Baswedan, Ada yang peduli pelestarian hewan-hewan langka dengan komunitasnya dan lain sebagainya. Banyak sekali, dan tiap orang mempunyai spesifik fokus kepeduliannya sendiri. Saya sendiri peduli pada pendidikan, personal development, serta dunia kepenulisan.
Jendela tadi membuat saya berpikir tentang kebhinekaan kepedulian. Bahwa perbedaan kepedulian itu pastilah untuk saling melengkapi, sebagai wujud kontribusi masing-masing pribadi. Lalu kamu, hal apa yang kamu pedulikan di luar dirimu?
Eh kok jadi serius begini, berat ya bacanya ehehe..iyah sepertinya berbanding lurus dengan kenaikan berat badan saya. Tapi memang saya suka jendela. Melihat dan mengamati pemandangan di luar jendela. Seperti yang saya lakukan kemarin saat melakukan day trip ke Harry Potter Bridge di Glenvinnan Viaduct. Memandang ke luar jendela itu memanjakan mata, dengan deretan pegunungan hijaunya, danau-danau khas Scotland, rumah-rumah mungil kecil yang lucu, ataupun domba dan sapi-sapinya. Itulah mengapa saya betah berada di dekat jendela. Jadi bisa memotret pemandangan cantik seperti foto-foto ini. Semua foto ini saya ambil dengan kamera dari tempat duduk saya di balik jendela bus. 

Ini foto ngambilnya super seru, pas si pak supirnya kasih aba-aba buat tengok kanan, sementara bis mulai menanjak melewati jembatan yang melengkung, sampai di puncak lengkungan..tengok kanan, semua penumpang spontan bilang : Ow..dan sepersekian detik kamera saya membidik!
 
Kalau ini suka banget karena ada rumah mungilnya itu, memang sering mengamati rumah-rumah lucu di sini. Indah yaaa...dududu

Kalau ini ladang anggur, lucu dengan buletan buletannya yang khas itu
Ini pemandangan tipikal Highland banget

Dari balik jendela di perjalanan pulang


Jendela meluaskan pandangmu dengan berbagai jendela-jendela dunia. Karena hidup itu beraneka, agar kaya akan cara pandang, dan pikir akan hidup.
Saya masih selalu suka jendela, seperti saat menjawab pertanyaanmu pagi ini :
            “ Adek sekarang lagi apa?” tanyamu menyapaku di pagi Glasgow yang gloomy.
            “ Lagi mandang-mandang jendela, flat sepi. Ari lagi pergi Eurotrip (sebutan utk jalan-jalan ke eropa)” jawabku
            “ Ntar jendelanya kalau diliatin terus jadi malu lho, ” begitu candamu.
Hehe hari ini indah, mungkin karena jendela, karena mendapat respon positif apply kerjaan part time saya, dan pastinya karena kamu.



Jumat, 16 Agustus 2013

Beranda




Ada yang istimewa dari beranda. Karena ada hidup yang terbuka, karena semestinya tak pernah ada sebuah beranda yang tertutup bukan? Beranda menawarkan udara seluas-luasnya agar alveoli bekerja sempurna. Beranda menyedia ruang yang cukup lapang agar engkau bisa duduk tenang tanpa sekat-sekat yang mengekang. Pernah kalian pikir, kenapa manusia dalam kelajuan peradabannya memikirkan untuk mencipta beranda saat mereka membuat rumah? 
Mungkin karena kadang manusia butuh ruang-ruang tak bersekat. Semacam naungan teduh, tapi tetap menyediakan cukup udara untuk bernafas. Nafas hidup terkadang membutuhkan sebuah beranda, untuk mengisi stok tangki udara. Udara hidup yang sanggup menghidupi hidupnya.
Bila rumah seperti diri, maka beranda bisa menyerupa ruang sosialisasi. Agar kepenuhan yang ada pada kita bisa dibagi. Diri yang tersekat sekat dalam ruang kadang terlalu pengap, lalu pelan-pelan udara yang ada yang lingkarannya menjadi jenuh.
Lalu sejenak marilah kita duduk di beranda, berbincang mungkin tentang cuaca, soal menu makan malam kita, tentang buku atau tempat tempat yang ingin kita kunjungi berikutnya.
Atau tentang sesederhana secangkir teh atau kopi yang menemani kita di beranda.
            “ Sekarang aku bisa lho minum teh panas banget, masih mengepul-ngepul,” begitu ceritamu memulai bicara. 
Aku mendongak, meneliti wajahmu bilakah engkau bercanda atau berkata memang begitu adanya. Karena kadang kala aku susah membedanya. Sungguh. 
            Seriously?” tanyaku sambil memandangmu lekat-lekat. Biasanya kau akan menunggu beberapa saat agar kadar panas di cangkirmu itu menurun.
            “ He-eh, jadi kalau minum pakai sedotan bisa melepuh lepuh tuh,” begitu ujarmu. Dan sedetik kemudian aku harus menebak-nebak lagi antara kau becanda atau bilang sebenarnya. Tapi kadang itu menjadi tak terlalu penting.
            “ Yeih, masa minum panas pakai sedotan. Kalau minum panas itu tepi cangkirnya harus nempel di bibir, untuk mendeteksi seberapa kadar panasnya.” Begitu kilahku. Dan memang menurutku begitu. Aku sama sekali tak pernah, sungguh..sama sekali tak pernah sekalipun minum panas menggunakan sedotan.
            “Memangnya harus gitu ya? Ribet amat?” begitu protesmu. Tapi aku tak heran karena kau selalu mencereweti apa saja yang kulakukan.  
Dan marilah kita berbincang di beranda, dengan secangkir teh hangat manis atau kopi. Dengan sejenak hidup tanpa bersekat-sekat agar sirkulasi udara hidup kita tetap sehat. Bilapun kita berdua seperti sebuah rumah, mari ciptalah beranda sejuk untuk berbagi dengan orang-orang lain di sekitar kita. Mungkin suatu saat kita undang sahabat, kerabat atau teman dekat. Kita sajikan minuman hangat dan camilan buatanku. Karena hidup akan tersekat dan pengap bila hidup harus selalu hanya tentang kita berdua. Kita pun harus bersirkulasi, kita bisa bergerak bila cukup berjarak. Seperti posisi duduk kita di beranda, kadang kala berjarak dan kadang pula kita saling mendekat. 

                 Communication is the air that relationship breathes.--Chopra—

Ruangan student, CVR. Setelah kata beranda terlintas, dan jadilan tulisan ini, Voila!


Selasa, 13 Agustus 2013

Tambah Tresno Jalaran Soko Kulino : Tentang Beda


Glasgow-George Square

Sore ini saya melintasi Glasgow lagi, hanya ingin pergi ke KFC untuk makan kenyang dengan hot wingsnya yang mantap surantap. Saat menuju ke sana, di balik jendela bis menuju city center, saya melihat sisi-sisi kota yang kian lama kian terasa akrab di hati saya. Dan entah kenapa pikiran saya kembali mengenang saat awal saya menginjakkan kaki di kota ini. Dari awal, memang kota ini sudah terasa klik untuk saya. Mungkin bukan sejenis cinta menggebu-gebu seperti cinta-nya saya pada Edinburgh kala itu. Tapi Glasgow sedari awal memberikan rasa seperti rumah. Rumah hati. Dan kini sudah 2 tahunan saya tinggal di sini, dan dilandai aura betah bahkan sangat tergoda untuk memperpanjang studi. Jadi Glasgow pun bagi saya bukan semacam cinta Witing Tresno jalaran soko kulino. Saya teringat tulisan seorang sahabat blogger saya yang menulis :
            “Cinta akan/bisa tumbuh dengan sendirinya nanti, TAPI kita harus punya benih cintanya dulu. Kalau gak ada benihnya, apanya yang mau tumbuh??"
Curcolnya di kalimat tadi sempat membuat saya tersenyum. Mungkin dia juga mengalami apa yang saya rasai. Dan wahai para pembaca yang merasa bisa tresno jalaran soko kulino, tentu saja itu hak kalian masing-masing. Mari kita membiasakan perbedaan, dan menempatkan pendewasaan dalam memahaminya.
Peribahasa orang jawa bilang “Witing Tresno Jalanan Soko Kulino” (cinta tumbuh karena terbiasa), tapi memang peribahasa itu nampaknya tidak cocok untuk saya. Kok? Ehehe bukankah biasa saja bila teori, peribahasa memang tidak sesuai dengan kita? Penciptanya pasti melontarkan kalimat atau pernyataan berdasarkan pengalamannya sendiri dan mungkin disertai dengan observasi atau pengalaman beberapa orang lainnya. Tentu saja ada yang cocok ada yang tidak.
Tapi saya lebih pas dengan kalimat yang saya ubah sendiri “ tambah tresno jalaran soko kulino”. Karena kebiasaan, karena tapak-tapak waktu yang telah banyak mencipta kenang dan kejadian, rasanya menjadi “tambah tresno”, tapi bukan “witing tresno”. Karena saya tipe manusia yang sulit belajar jatuh cinta, tapi saya sangat menikmati proses belajar mencintai apa dan siapa yang saya sudah “jatuh cintai”. Ada satu bidang yang sekarang menjadi bagian dari hidup saya, ataupun kota yang menjadi tempat kerja saya. Walau sudah bertahun-tahun bergelut di bidang yang saya tekuni, atau tinggal lama di kota tempat saya bekerja, rasanya biasa saja. Saya menjalaninya semacam sebuah komitmen dan tanggung jawab. Saya mampu membedakan rasa terhadap bidang lainnya yang memberi saya rasa “hidup” dan kota yang sanggup mencipta rasa “pulang”.
Seseorang memilih tindakan ataupun mengambil pilihan karena rada dan prinsip definitif antara dia dengan dirinya sendiri. Bukan melakukan sesuatu, berubah ataupun mengambil pilihan karena pemikiran, pemahaman dan rasa orang lain. Meminta pertimbangan atau saran bukan berarti mengikuti pilihan mereka.
Entahlah, saya hanya kadang menghadapi orang-orang yang “memaksa” ikut pemikiran mereka. Kalian pun pasti sering terpapar pengalaman yang sering saya alami. Wajar saja memang, hidup penuh tabrakan pemikiran. Tapi bukankah kita tak pernah punya kuasa untuk mengubah pemikiran seseorang? Bila seseorang berubah, pasti karena diri orang tersebut tadi yang “mau” untuk berubah.
Banyak motivator yang punya berbagai teori, yang merasa termotivasi tentu saja karena orang tersebut “menemukan sendiri” motivasi itu ada dalam kata-kata sang motivator. Dan bila pun beberapa orang mengaku terinspirasi dari tulisan saya, tentu saja karena orang-orang tersebut yang “menemukan”nya sendiri.
Kalian percaya bahwa tak satupun teori yang mampu menjawab kebutuhan setiap orang? Saya percaya. Setiap kalimat, penyataan, ataupun retorika menurut saya mempunyai kecocokan untuk masing-masing orang. Dan yang mengetahui cocok atau tidak, tentu saja hanya diri kita sendiri. Tak usahlah memaksa-maksakan orang lain bahwa teori yang cocok dengan kita adalah yang paling baik, paling benar, paling sesuai. Mengerti mana-mana yang sesuai dengan kita, bagi saya itu lebih penting esensinya. Karena masing-masing diri adalah makhluk dengan karakter unik sendiri-sendiri, mewakili rasa masing-masing, dan pikiran yang melekatinya.
Yang sering saya amati, manusia kemudian tak merasa puas dengan hanya mewakili pemikirannya sendiri, namun terkadang “memaksa” orang lain untuk sesuai dengan pemikirannya. Bila kau perhatikan, “pemaksaan” pikiran itu walaupun secara halus, mudah sekali tertangkap di status-status Facebook ataupun twitter. Entah apa yang mereka coba untuk puaskan.
Saya menulis, mewakili rasa dan pikiran saya sendiri. Hampir tak pernah ada niatan bahwa tulisan-tulisan saya bertujuan untuk “menyetir” ataupun “memaksa” pikiran-pikiran pembaca saya. Ada banyak yang kemudian sependapat, mungkin banyak pula yang tidak.  Bukankah hidup memang dihidupi dengan adanya perbedaan?
Hidup juga terkadang belajar untuk bisa menerima bahwa orang lain punya pandangan dan pemikirannya sendiri. Saya hidup dengan nilai, prinsip, pemikiran rasa yang saya pilih dan yakini sendiri. Mungkin berbeda ataupun kadang sama dengan kalian. Entahlah, saya melihat ada pembelajaran kedewasaan seseorang untuk menghargai perbedaan, dan melangkah dalam harmoni.
Selamat menghidupi pikiran dan rasamu sendiri.

Sebuah kilas pikir di bis Glasgow jalur 6 menuju city center. 11 August 2013.
 

Sabtu, 10 Agustus 2013

Aku dan Saya, Suatu Kala..




Kami duduk berdua hari ini, aku dan saya. Hanya duduk diam tanpa bicara.. lama. Sepertinya bisu telah menjadi sekutu. Ada jarak yang membuat kami berdua begitu kaku. Lalu saya menoleh, memandangku tanpa bicara apapun. Matanya menatapi mataku.
Aku masih saja terdiam, tak juga tahu harus bicara apa.
            “ ada apakah?” tanya saya padaku. Walau sebenarnya aku tahu bahwa saya tahu apa yang sedang kurasakan.
Aku hanya menggeleng padanya. Tersenyum, entah senyum getir ataupun seperti senyuman  penuh penerimaan. Rasa kadang pada titik tertentu bercampur campur beraneka. Sulit kutemukan definisinya.
              I need time” kujawab begitu pada saya.
Lalu kulihat saya tersenyum. Senyumannya tak lagi sepolos dulu, tak lagi seputih dulu. Senyuman itu seperti lahir dari banyak getir, banyak liku, banyak kisah. Tapi dia masih bisa tersenyum.
            “ Maaf” hanya satu kata itu hanya bisa kukatakan pada saya.
Lalu saya kembali tersenyum, memegang tanganku perlahan. Hangat menelusur hatiku.
            “ Tidak apa.” Jawab saya padaku. Genggaman tangan saya padaku terasa semakin erat.
            “ Mungkin kau hanya butuh udara segar, jendela, secangkir kopi ataupun pantai.” Tambah saya, tanpa melepaskan genggaman tangannya pada tanganku.
            “ Maaf ya” lagi-lagi hanya kata itu yang meluncur dariku. Ada hujan yang bersiap di pelupuk mataku.
            “ kau sudah makan? Makanlah. “ saya hanya mengucapkan kalimat itu.
Dan hujan tiba-tiba menderas.

---

Selasa, 06 Agustus 2013

The Art of Accepting





Hampir tengah hari di Glasgow, buka puasa masih cukup lama. Pun belum terpikir untuk memasak apa nanti untuk berbuka puasa. Sementara kawan-kawan dan saudara-saudara di Indonesia sudah memasuki aura menjelang lebaran. Ritual mudik, antar-antar parcel, bersih-bersih, bikin kue dan segala macam persiapan selebrasi lainnya. Idul Fitri bagi muslim di Indonesia telah menjadi salah satu hari istimewa, bahkan orang non muslimnya mungkin juga terkena imbasnya (ikutan dapat libur hehe). Ah bukan satu hari, tapi beberapa hari sebelum dan setelahnya, dan itu membuktikan memang Hari Raya Idul Fitri menempati momen yang sangat istimewa di kalender Bangsa Indonesia. Bahkan orang-orang yang merantau di luar kota, di luar negeri pun menjalankan ritual “mudik” untuk kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga tercinta.
Tapi untuk kali keduanya tahun ini saya tidak merasai itu semua. Ramadhan di luar negeri dimana islam menjadi minoritas tidak menawarkan kami semacam aura Ramadhan yang hangat. Aura tersebut harus dimunculkan sendiri di hati kami masing-masing, karena tidak muncul di iklan televisi atau spanduk-spanduk bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan”. Pun dengan lebaran tahun ini, saya sendiri tidak tahu mau ngapain kecuali sholat Ied dan berkunjung ke tempat sahabat di Newcastle hari kedua lebaran nanti. Saya hanya tidak mau sendirian dan merasa mellow di hari yang fitri. Kebetulan teman saya bersama PPI New Castle di Newcastle akan ada acara di Alnwinck castle (tempat syutingnya film Harry Potter) hingga pas sekalian saya menonton acara tersebut.
Menjelang lebaran, sahabat dekat saya di Aussie yang tengah menempuh pendidikan masternya dan tidak bisa pulang, akhir-akhir ini sering berkata :
            Aku sedih dan mellow baca status-status temen di FB, pengen nggak baca semua itu.” Bilangnya suatu kali padaku.
Saya paham perasaannya, walaupun saya sekarang tidak terlalu merasa demikian. Bukan saya tidak “berhati”, namun ada semacam perasaan “menerima” yang saya rasakan. Menerima kondisi yang ada sekarang pada saya dan mencoba tetap bersuka cita bagaimanapun keadaannya. Menginginkan suasana  ramadhan seperti di Indonesia tentu saja hanya akan membuahkan kesedihan karena tak bisa didapatkan. Seperti juga mendambakan suasana lebaran bersama keluarga dan auranya terasa di mana-mana juga harapan yang kosong belaka.
Ada suatu titik orang-orang yang hidup di tanah rantau seperti kami untuk belajar the art of accepting. Menerima kondisi yang ada pada kami, dan berusaha bagaimana caranya agar bisa menjalani hidup dengan tetap suka cita. Menerima harus melewatkan lagi lebaran jauh dari keluarga tercinta, tanpa makanan-makanan berlimpah ruah yang biasanya disediakan di rumah. Tanpa bisa bersilaturahmi dan saling meminta maaf secara langsung dengan kerabat dekat, dan sahabat-sahabat yang pulang kampung. Biasanya ada reunian, kumpul-kumpul ataupun acara-acara silaturahmi lebaran. Tentu saja saya harus menerima bahwa lebaran kali ini, tak bisa merasai itu semua. Saya tidak mudik lebaran karena jadwalnya pas dengan rentang waktu assessment kenaikan tahun studi doktoral saya yang jadwalnya tidak pasti, menyesuaiakan waktu dua penguji saya. Sedangkan harga tiket PP Glasgow-Indonesia pun menjadi salah satu pertimbangan tersendiri. Pulang beberapa hari kemudian balik ke sini lagi sepertinya bukan pilihan yang dapat saya ambil sekarang ini.
Minggu menjelang lebaranpun saya masih masuk, bahkan piket lab yang harus membersihkan lab dan menyiapkan alat-alat sebelum yang lainnya memulai pekerjaan jam 9 pagi.  Eksperimen sayapun minggu ini tetap berjalan. Saya rencananya akan mengambil libur hari kamis dan jumat saja nanti, kemudian jumat sorenya saya pergi ke Newcastle. The art of accepting bukannya nerimo, pasrah lalu bermuram durja karena keadaan. Tapi lebih pada bagaimana saya belajar menerima kondisi saya dan berupaya menciptakan suasana “hidup” tetap dalam atmosfer yang membahagiakan.
Saya mencoba masak takjil, mencobai menu menu baru untuk mengobati kerinduan makanan-makanan khas lebaran tanah air. Buka puasa bersama teman-teman PPI Glasgow ataupun di masjid sekitar. Kemudian merencanakan jalan-jalan dan aktivitas yang membuat saya bahagia saat libur hari raya nanti. Bukankah tidak ada seorangpun yang bertanggungjawab atas kebahagiaanmu selain dirimu sendiri? Kita bisa menciptakan bahagia kita sendiri. Dengan cara kita sendiri. When you argue with the reality, you lose!
Menerima keadaan yang ada, yang membuatnya menjadi hal terbaik yang yang bisa kita ciptakan sepertinya akan membuat hidup lebih membahagiakan.

Selamat menikmati aura menjelang lebaran kita masing-masing, dan menaruh rasa syukur yang berlimpah atasnya.

Lots of Love, Glasgow 5 August 2013
SiwiMars