Jumat, 11 Oktober 2013

Dua Dekade



Kamu akan tahu suatu saat cinta tak lagi muda,
Ia bukan lagi cinta kemarin sore, yang malu-malu dan merah merona saat di dekatmu.
Walau terkadang masih saja begitu dengan alasan yang tak pernah kutahu.
Mungkin benar, bahwa cinta bisa terbaca dari secangkir teh atau kopi yang kusiapkan untukmu.
Bahwa mungkin saja benar, tak perlu banyak kata. Hanya cinta yang diselusupkan dalam rasa tiap masakan yang kau lahap itu
Dan mungkin saja tak salah, bahwa cinta itu tak lagi melulu soal tawa, canda.
Aku yang diam-diam merajuk, kesal hati tapi masih saja berkata “ obatnya jangan lupa diminum” dan mengambilkan segelas air putih untukmu.
Kita dan gelombang emosi yang berarakan tiap harinya. Tapi kenapa selalu tangan kita bergandeng bersama.
Dua Dekade.
Dan bilapun dua dekade lagi, mungkin masih saja kadang kupandangi engkau dari jarak sepersekian meter, dan kutanya pada hatiku : “apa yang membawaku menjatuhkan hati padamu?”
Bila cinta sudah tua suatu saat. Masih ingin kubawakan secangkir teh yang kau minum cepat-cepat. Lalu kuprotes untuk kesekian kalinya. “minum teh itu dinikmati setiap sesapannya, biar terasa rasanya. Bukan kayak minum air putih”
Lalu kau bilang : “Sudah kudengar seribu seratus tujuh kali” sambil tersenyum jahil.
Dan bila cinta sudah tua suatu saat. Mungkin rasa biasa menjadikan kita mencari-cari cinta yang dulu menggelora. Kemana perginya?
Bila saat itu datang mari kita cari bersama-sama.  Mungkin kita akan belajar mengolah cinta seperti adonan roti, yang harus terus dibuat lagi. Diperbaharui lagi.
Dua dekade
Aku tidak mau menghitung angka-angka.
Kebersamaan mungkin lebih banyak bicara tentang senyuman yang kita bagi bersama. Tentang masalah yang kita hadapi bersama. Tentang hidup yang banyak memberikan kejutan pada kita. Tentang kenang yang tersimpan di hati kita.
Tentang hari ini, detik ini.
Kita.
Itu saja.
***


Bila dua tahun..humm tiga tahun ini dikorelasikan dengan dua dekade, tiga dekade. Suatu saat kau akan mengerti betapa ambigunya waktu.

With Lots of Love
--

Jumat, 04 Oktober 2013

Tentang Cukup


 

Kira-kira sebulan yang lalu, sahabat saya bertanya tentang satu hal. Di sela bincang-bincang hangat di flat saya,
            “ Mba, kalau ada tempat yang ingin banget kamu kunjungi, mana mba? “ tanyanya sambil tetap selonjoran di karpet flat saya. Sementara spring roll hangat penuh sepiring semakin menghangatkan bincang-bincang kami.
Saya terdiam beberapa saat. Berpikir sejenak. Mana ya? Pikirku.
            “ Humm, mana yaa..nggak ada lagi kayaknya,” jawab saya pada akhirnya setelah belum juga menemukan jawabannya. Tempat mana yang paling ingin saya kunjungi sekarang? Saya tidak bisa menemukan jawaban. Tidak ada.
Memang ada sih satu tempat yang ingin saya kunjungi bersama pasangan saya. Tempat yang anehnya saya tahu “tidak terlalu bagus”, atau bisa dikatakan tidak sebagus di foto-foto itu. Tapi sepertinya memang tempat itu serupa tempat yang wajib dikunjungi. I want to be there someday.
Tapi bukan serupa keinginan meletup letup seperti dulu saat saya ingin menginjakkan kaki di San Siro, ataupun menjejakan diri di daratan Inggris. Bukan sejenis keinginan seperti itu.
Saya sekarang lebih ingin berada dimanapun asal bersama pasangan saya, ataupun sekadar liburan bareng bersama keluarga. Sejenis keinginan yang mungkin terdengar tak “mewah dan mengkilap”, bukan semacam keinginan-keinginan gila seperti menjejakkan kaki di antartika, menikmati pantai-pantai Maldives, mencicipi pesona Santorini di Yunani atau di benua-benua yang belum sempat saya jelajahi. Tapi bagi saya, berada bersama pasangan ataupun keluarga  itu sudah super mewah.
Saya bilang pada sahabat saya itu, mungkin saya sudah cukup dengan keinginan-keinginan pribadi. Dengan pencapaian-pencapaian pribadipun saya pikir sudah cukup. Tsaah berasa sudah simbah-simbah ya ehehe. Bukan berarti saya sudah hidup tanpa obsesi lagi. Saya masih ingin segera merampungkan studi doktoral saya, melahirkan kembali buku-buku, masih ingin menjelajah berbagai daratan eropa dan benua-benua lainnya, terlebih lagi menikmati keindahan Indonesia. Pun menikmati menjalani beberapa profesi sekaligus tanpa merasa sibuk.
Saya masih student fulltime doctoral degree di University of Glasgow, masih aktif  menulis, masih jadi editor Gramedia Pustaka, masih jadi kontributor Wego Indonesia, masih iseng-iseng seperti jadi model brosur kampus, jadi guru ngaji anak-anak pengajian Glasgow, dan masih ngeiya-in tawaran bisnis cetak masal kerjasama dengan sahabat saya. Tapi saya jarang merasa sibuk hihi..
Akhir-akhir ini saya merasa “cukup”. Ah bukan akhir-akhir ini, tapi sudah agak lama juga saya merasa “cukup”.
Saya merasa cukup dengan hidup saya. Menikmati apa yang ada. Walau kadang-kadang tak bisa menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup. Tapi sepertinya menikmati pertanyaan itu juga bagian dari hidup, tanpa tergesa-gesa menemukan jawaban.
“life is too short to be wasted finding answers, Enjoy the questions! Kata Paulo Coelho
Mungkin jawaban akan datang dengan sendiri, selama kita terus berjalan. Berjalan ke dalam diri. Dalam perjalanan saya, mungkin saatnya lebih banyak memfokuskan diri menggali ke dalam. Perjalanan saya ke luar diri rasanya sudah cukup.
After deeply feel enough then stop searching outside start digging inside (GP)
Cukup
Saya masih belajar di jalur-jalur cukup. Bahwa hidup sudah lengkap dengan rasa penerimaan apapun yang terjadi. Menerima jatah. Bahwa jiwa hanya perlu didekapi lebih mesra, dibincangi dengan lebih sering, maka akan terasa lengkap, genap.
 Mungkin ada yang beranggapan jiwa harus berpasangan agar lengkap. Genap. Tapinya nyatanya Tuhan menciptakan kita sebagai manusia tunggal yang pastinya mengandung pesan bahwa kita sudah lengkap. Mungkin pasangan, sahabat, keluarga, orang lain hadir di sekitar kita untuk berbagai kelengkapan, kegenapan, ke”penuh”an, ke”cukup”an.
Kita “lengkap” di saat sendirian, dan kita pun merasa “lengkap” saat bersama orang-orang yang dihadirkan Tuhan dalam hidup kita.
Cukup.
Mari belajar hidup dengan berkecukupan, dan entah mengapa Tuhan rasanya lebih sering memberikan “kelimpahan-kelimpahan”.
Selamat menikmati kelimpahan hidupmu, kawan.


Salam hangat di musim gugur Glasgow. 4 Oktober 2013.

Kamis, 26 September 2013

Tanya Tuhan


 
Hari ini aku dilontari pertanyaan, sebuah pertanyaan yang sebenarnya juga kutanyakan sekian lama pada Tuhan. Belum terjawab. Belum kutemui jawabannya. Hanya isyaratNya yang kutangkap pada suara hujan, pada lengkung lembayung sore, pada rantai-rantai kejadian, pada waktu yang masih memberikan kesempatan.
Aku hanya tersenyum dan menjawab : Tanya Tuhan.
Karena sebenarnya aku memang tidak tahu. Bahwa memang takdir dan rencanaNya bagi tiap manusia bukankah tak bisa terduga setiap detiknya?. Tapi seringkali manusia sepertinya punya kemampuan digdaya untuk bisa menjawab dengan mantap seperti apa kisah, kejadian atau peristiwa di masa depan. Tiap manusia berubah menjadi ahli penerawangan bagi diri mereka sendiri, tanpa mereka sadari. Manusia tahu Tuhan ada, tapi kadangkala manusia merasa Ia terlalu tinggi, terlalu remeh untuk sekedar mengurusi nasibmu. Lalu kapan kau merasai pengalamanmu berTuhan bila berpikir begitu?
Ataukah mereka merasa hidup begitu mudah ditebak? Ataukah ceritanya akan sama seperti tebak mereka. Dan mungkin juga merasa hari-hari seperti berjalan sama. Entahlah.
Jadi tentang pertanyaan, bilakah kejadian kebetulan-kebetulan itu seperti sebuah isyarat, sebuah petunjuk untuk menempuh pilihan tersebut?
Rasa manusiaku menjawab iya. Karena hanya dengan menangkap isyaratNya, petunjukNya, kejadianNya, bisa kuraba-raba jalan yang ingin kutempuh berikutnya.
Tapi siapa yang pernah tahu tentang realita masa depan? Hanya Tuhan. Di titik inilah saya mengalami kemahakuasaanNya.
            “Tuhan Maha Kuasa, Tuhan Maha Tahu” yang sering kita ucapkan itu, apakah memang benar-benar kita alami? Tanyailah dirimu sesekali.
Apa hanya itu seperti sebuah tulisan tanpa makna? apakah seperti kata-kata yang kau ucap berkali kali namun tak pernah kau rasai maknanya? Tuhan yang Maha Kuasa. Namun seringkali manusia merasa punya kuasa membaca masa depan.
 Suatu hari, suatu waktu, suatu saat, Tuhan akan banyak memberikanmu  kejadian kebetulan-kebetulan. Atau yang kau sangka kebetulan, karena mungkin itu hanya sebuah kejadian yang direncanakan Tuhan. Aku lebih suka menyebutnya keajaiban.
Iyah, suatu saat kau akan merasai dan mengalami keMaha KuasaanNya. Bukan hanya kata-kata, atau tulisan yang kau baca di buku agama.
Kadangkala ketidakpastian, ketidaktahuan adalah jalan-jalan yang membawaimu pada pengalaman KeTuhanan.
Seperti hari ini, kala dilontari lagi pertanyaan: Mana ada kebetulan seperti itu? Sepertinya bukan kebetulan.
Entahlah. Aku tidak tahu. Pertanyaan itu saja sudah lama mengendap di pikirku.
Tidak tahu. Tidak kuasa. Dan benar-benar kusadari dan kurasai keMaha KuasaanNya
Tanya Tuhan saja, jawabku.
Tanya Tuhan

Glasgow, 26 Sept 2013.


Rabu, 25 September 2013

What If




Syal ungu lembut dan cardigan hitam disambar Kinan dari lemarinya dan bergegas pergi ke suatu tempat. Dikenakannya cardigan sambil berjalan keluar dengan tergesa-gesa.
            “ Mada ada di kota ini, Kin. Ia ada konferensi di sini, dan hanya tinggal sampai besok malam. Ia menanyakan kontakmu berkali-kali. Sepertinya ia sungguh ingin bertemu lagi denganmu, Kin.” Suara Melia di ujung telponnya sehari lalu.
Mada? Lelaki dengan senyuman itu. Perlukah kutemui ia lagi? Kinara membatin. Mungkin tidak. Untuk apa menemuinya? Waktu telah membekukannya.
Tapi lihatlah kini ia berkejaran dengan waktu menuju Bandara Muenchen. Menemuinya.
What if? Bagaimana bila kesempatan ini adalah satu satunya kesempatan untuk melihatnya lagi? apakah akan ia lewatkan begitu saja?. Apakah setelahnya, hidupnya adalah tentang kenang dan masa lalu Mada. Dan masa depan tak pernah menyisakan cerita dengan nama itu lagi?
Kinar meminta sopir taksi membawanya ke Bandara Muenchen dengan segera. Laju mobil seakan berpacu dengan degub jantungnya. Tidak akan pernah ada lagi What If, bisiknya lagi. Dibenarkan posisi syal ungu yang menghangatkan lehernya, dan disibakkan rambut panjangnya.
            Nada sambung itu akhirnya terjawab dengan suara yang amat dikenalnya di ujung telpon. Suara itu masih sama, hanya terdengar lebih berat.
            “ Mada? Tunggu aku. I just want to see your face,” Kinara mengucapkan kalimat itu seakan bicara dengan seseorang yang tiap hari disapanya.
Tapi Mada, lelaki itu sudah menghilang dari hidupnya empat tahun yang lalu. Ah bukan Mada yang menghilang, tapi Kinarlah yang menghilangkan dirinya dari hidup Mada.
Karena rasanya sudah terlalu penat. Bersamanya dulu terlalu banyak What If. Andaikata, bila...Tak ada hidup yang sebenar-benarnya kala bersamanya, hingga akhirnya Kinar memutuskan untuk menghilang. Pergi mencari hidup yang memberinya banyak pertanyaan dan jawaban, tapi bukan lagi, andaikata.
Ditutupnya telepon dan merasai degub jantungnya yang berpacu lebih cepat. Tangannya berkeringat. Ia gugup. Tidak akan pernah ada lagi What if. Tegas Kinara dalam hatinya lagi.
         Sesampainya di Bandara, matanya mencari sesosok yang empat tahun lalu diakrabinya itu. Belum juga ia temukan. Berkali kali Kinar menengok pada jam tangan di pergelangan, sometimes I hate time!
            “ Hai pipi merahku, tengah mencariku?” suara di belakang Kinar mengagetkannya. Kinar segera berbalik dan menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya.
Lelaki dengan tinggi sedang, berjaket berkerah tinggi, dan syal melilit di lehernya. Kinar terpaku sejenak memandangi syal yang melilit menghangatkan leher Mada. Itu syal dariku.  Aku tak salah lihat, ia bahkan masih memakai syal pemberianku. Bisik hati Kinar yang seketika menghangat.
                                                            ***
            Napcabs ini sungguh teroboson unik di Bandara Muenchen. Ruang tunggu pribadi ini berbentuk kotak dengan perlengkapan yang nyaman yang bisa disewa sambil menunggu jadwal keberangkatan. Agak mahal memang, harga yang pantas untuk sebuah kenyamanan.
            “Masih minum kopi kan, Kin? “ Tanya Mada sambil terlihat menyiapkan dua cangkir kopi untuk menemani mereka ngobrol.
            “ Satu  sendok gula,  dua sendok bubuk kopi dan sedikit cream. Rumus racikan kopimu masih sama kan? “ lanjut Mada dengan cekatan menyiapkan kopi.
Kinar tersenyum samar. Dia masih saja menyebalkan, seru batinnya. Mada baginya menyebalkan karena hampir tahu semua tentang dirinya dan bahkan sampai kini tak berniat melupakannya.
            “Kok diem? Ayo minum kopinya. Dulu kamu suka banget racikan kopi bikinanku. Sudah ada yang bisa menggantikannyakah? “ tanya Mada dengan ringan, lalu tersenyum padanya.
Mada tak menyadari ada gempa bumi kecil di hati Kinar saat memperhatikan cara Mada berjalan, tersenyum, dan bicara. Nada suaranya, caranya tersenyum, gaya bicaranya masih tetap sama. Hey, Kinar ..bukan untuk itu kau menemuinya! Sergah batinnya. Sebenarnya ia lebih mengharapkan pertanyaan Mada padanya seperti : “Kemana saja kau selama ini? Apakah kau baik-baik saja tanpaku? Kenapa menghilang begitu saja tanpa kabar apapun?
Atau sekedar pengakuan sederhana : “Aku sungguh merasa kehilanganmu, Kin”.
Tapi Mada hanya bicara soal kopi.
Kinar hanya tersenyum sambil menggengam secangkir kopi hasil racikan Mada. Matanya melihat lelaki di hadapannya itu lagi, mencari-cari perubahan apa yang dilewatkan setelah beberapa tahun tak melihatnya. Rindu itu sudah beku.
            How’s life? “ hanya pertanyaan singkat itu yang mampu terlontar dari bibir Kinara. Walau terlalu banyak yang ingin ia tanyakan sebenarnya.
            “ Aku masih hidup. Tak dinyana ya. “ jawab Mada lugas. Ah, lelaki penderita cyctic fibrosis yang menunggu jadwal transplantasi hati bertahun-tahun  itu terlihat masih bugar di hadapannya.
Ia bahkan tak pernah mengira akan bisa melihatnya lagi. Lelaki itulah yang dulu sanggup meyakinkannya untuk meraih apapun impiannya. Lelaki yang datang dengan senyuman dan serombongan anak-anak yang memaksanya mengajar di halaman belakang. Tapi penyakitnya itu menggerogoti keberaniannya sendiri, bahkan keberaniannya untuk mencintai.
Mereka kemudian diam membisu. Padahal Kinar hanya ingin menghambur di pelukan lelaki yang aroma tubuhnya bahkan masih dikenalinya itu. Namun melihat lelaki itu masih sanggup menghirup udara, dan hati hasil transplantasi dalam tubuhnya masih mengenalinya, hanya itu saja sungguh sangat membuatnya bersyukur.
Tapi mereka tak bergeming.
            “Kenapa dulu kamu tak pernah berani? Berusaha agar kita tetap bersama? “ akhirnya Kinara menanyakan apa yang ingin ditanyakannya selama bertahun-tahun belakangan ini.
            “ Kin, aku tidak tahu apa aku bisa bertahan atau tidak. Apa transplantasi hatiku akan berhasil atau tidak. Apa setelah itu hatiku masih mengenali hatimu? Aku tidak bisa menjanjikanmu apapun. Sebuah hubungan yang normal, pernikahan, anak-anak. Mungkin saja aku tak pernah bisa,” jelas Mada pada akhirnya.
            “ Kamu masih ingat berapa lama aku bertahan untuk bersamamu? “ ada nada protes pada kalimat Kinan.
Mada membisu. Ia tahu betul lebih dari tiga tahun Kinara bersamanya. Namun ia memang tak pernah berani memutuskan apapun. Apabila aku mati minggu depan? Bulan depan? Bagaimana dengan Kinara? Mungkin terlalu banyak kecemasan dan ketakutan yang menyelimuti hatinya. Kecemasan membuatnya menjadi seorang pengecut.
            “Bukan penyakitmu yang membuatku pergi. Tapi ketidakberanianmu mencintaiku. Terlalu banyak apabila, andaikata. What if” jelas Kinan mengenang kembali luka dalam hatinya.
Entah kenapa lukanya kembali terasa segar. Hatinya sakit.
            “Kau bersama siapa sekarang? “ tanya Mada mengalihkan pembicaraan. Tapi sekaligus pertanyaan yang disimpannya beberapa waktu lamanya. Kinara, perempuan berpipi merah itu, terlalu sulit untuk bisa melupakannya.
            “ Kau tahu aku memutuskan bersama seseorang bukan karena takut sepi, bukan karena takut sendirian,” jawaban Kinar bersayap. Ia kembali membetulkan syal ungunya, lalu menyesap kopi racikan Mada. Ah, bahkan rasa racikan kopinya masih tetap sama. Ia tak pernah lupa sensasi rasa kopi hasil racikan Mada.
            “ Aku menelpon untuk bertemu hanya ingin melihatmu saja. Itu saja. Agar tak pernah ada lagi apabila, andaikata. What if. Aku lelah dengan kata itu dalam hidupku. Kini tak akan pernah ada lagi” lanjut Kinara panjang. Tapi kegugupan melanda hatinya. Disesapnya kopi di cangkirnya lagi.
            “ Kamu dulu itu takut hidup, walaupun kau masih hidup. Mungkin sesekali kau harus membiarkan hidupmu lepas. Mengambil risiko, memutuskan pilihan dan terus berjalan,” Kinara masih berkata dengan acak. Sementara Mada masih memperhatikan perempuan di hadapannya. Pipi chubbynya yang masih tak berubah, rambut panjang lebih dari sebahunya yang tak pernah dipotong pendek, mata hitam bulatnya yang selalu terlihat antusias saat bicara. Ah, ia dulu terlalu takut kehilangan perempuan berpipi merah itu.
Mada meletakkan cangkir kopinya.
            “Kamu mengajariku untuk tak pernah takut lagi. Apalagi yang sanggup aku takutkan? Aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya kehilanganmu? Memangnya ada sesuatu yang lebih pahit dan lebih sakit daripada itu? “ kata Mada dengan suara yang bergetar.
Ditatapinya wajah perempuan yang bahkan masih diingat setiap detailnya. Hidungnya yang kecil, matanya yang bulat, alisnya yang tebal. Ah, si alis ulat buluku, si pipi merahku,  serunya dalam hati. Waktu memang ambigu. Bahkan waktu tak sanggup menyembunyikan rindu.
            “ Sebentar lagi waktu penerbanganmu. Ayo bersiap, nanti terlambat.” Kata Kinara mengingatkan Mada. Oh, lagi-lagi ia membenci waktu.
            “ Kin... selama ini aku nggak  pernah melupakanmu. “ Mada masih saja terus bicara.
            “ Itu udah nggak penting lagi, aku cuma pengen ngeliat kamu baik-baik. Itu saja, cukup.” jawab Kinara sambil menunduk, memainkan syal ungunya. Hatinya teraduk aduk.
            What if..” kalimat Mada menggantung
            “ Uhmm.. tak pernah ada lagi andaikata. Bagaimana jika. Nggak ada lagi What if. Kutanyakan sekali ini saja, masihkah kau mau bersamaku? Hingga tak pernah ada lagi penyesalan. Andai saja dulu aku berani untuk mengambil keputusan? Jika saja aku memutuskan untuk tetap bersamamu? What if..what if..menghantui hidupku.” Kata Mada seakan kata-kata itu berloncatan dari bibirnya.
            “Aku tidak ingin membawa-bawa pertanyaan  yang belum usai dalam hidupku. Sekarang kau jawab, kita selesai atau bersama.” Lanjut Mada tegas.
Kinara sedikit bingung menghadapi pertanyaan Mada yang spontan. Tangannya meremas sofa yang didudukinya. Pikirannya gundah, tapi sebenarnya hatinya tidak.
            “ Pulanglah, jadwal penerbanganmu sudah tinggal sebentar lagi,”jawab Kinar sambil merapikan tas dan mengenakan lagi cardigannya agar terasa hangat. Musim gugur akan segera datang. Udara dingin sudah makin menusuk tulang.
Mada masih menatapnya dalam-dalam. Ada harap yang belum padam. Dan juga cinta yang masih membayang di matanya.
            “ Pulanglah... sehat-sehat ya,” pesan Kinara sambil membenarkan syal milik Mada. Syal pemberiannya di Ulang Tahun Mada yang ke 28. Tangannya yang lembut sedikit menyentuh kulit leher Mada.
            “ Tapi Kin,..” tanya Mada menggantung, ada harap yang sulit disembunyikan.
            “ Pulanglah dulu, nanti kita cari cara bagaimana mengalahkan jarak dan samudra,” kata Kinara mantap. Dan senyum dari perempuan berpipi merah itu kembali merekah. Mereka membenci waktu sekaligus menghormatinya, karena waktu mengajari mereka menaklukkan kecemasannya sendiri.
            Papan elektronik di Bandara Muenchen sudah menunjukkan waktu saatnya penumpang penerbangan menuju Amsterdam check in. Langkah Mada lebar-lebar sambil menggiring koper besar miliknya. Tapi mereka sebenarnya tak kemana-mana. Hati mereka terbang bersama.

What if,   I had never let you go
 Would you be the man I used to know?
 If I'd stayed
 If you'd tried
 If we could only turn back time
 But I guess we'll never know (What If, Kate Winslet)
                       
Glasgow, 24 Sept 2013.

Sabtu, 21 September 2013

Tujuh




Aku mencintai angka tujuh jauh sebelum aku mencintaimu. Jauh sebelum aku bertemu denganmu, mengenalmu.
Bila kau masuk lorong waktu dan melihat hidupku dulu, engkau akan banyak menemukan angka tujuh di situ.
Ah, tapi bukankah tak perlu masuk lorong waktu. Karena Aku, kamu, angka tujuh, dalam detik ini saja sudah cukup.
            “Kenapa harus angka tujuh?” tanyamu. Tanya orang-orang lain juga terkadang. Seringkali hanya kujawab dengan senyuman. Kau selalu cukup dengan senyumku bukan? Dan lupa apapun pertanyaan yang kau ajukan sebelumnya.
Padahal kadang kala ingin kujawab, dengan berkata :
“Mungkin itu nomer punggung.”
“Mungkin juga bukan.”
Ah, iya itu sebenarnya nomor punggung. Ah, kadangkala manusia pada suatu ketika ingin menghapus kekonyolan-kekonyolan masa lalu. Merasa bahwa andai ia langsung menjadi dewasa tanpa melewati tahapan-tahapan yang menyimpan senyum  malu bila diingat.
Ah, baiklah. Bukankah aku juga harus berani untuk tetap menyimpan kekonyolan masa lalu.
Iyah, tujuh itu nomor punggung.
Sudahkah pernah kubilang padamu tentang ini?
Kau hanya tahu aku suka angka tujuh dengan alasan yang tak pasti. Dan melihat angka tujuh tersemat dimana-mana. Nama akun BB, nomer ponsel, password, angka tujuh bertebaran di mana-mana.
            “ Adek kirim semangat 7 kg ya dari siniiii,” kataku seringkali. Dan kamu senang hati tanpa banyak bertanya kenapa apa-apa harus tujuh kilo, tujuh kali, tujuh..dan tujuh.
Tapi beberapa saat lalu, aku kelu. Obrolan tek-tok dan never ending conversation yang biasa kita lakukan mendadak bisu. Aku yang bisu.
Sementara layar penuh dengan celotehanmu yang cerewet.
            “ Bingung mau ngetik apa hehe,” hanya kalimat itu yang terketik di layar ponselku.
Lalu terlihat berbaris-baris kalimatmu lagi. Cerewet!
            “ Ingin bilang sesuatu tapi tidak tahu apa,” lanjutku. Ada yang ingin kusampaikan saat itu tapi tak tahu apa.
Lalu di layar kembali muncul berbaris-baris kalimatmu lagi. Sampai pada kalimat “sehat-sehat ya, baik-baik ya, makan rutin ya. Bla bla..bla..
Dan aku membalas dengan berderet-deret ikon senyuman.
            “ Sudah dulu ya, baik-baik ya. Assalamualaikum,” pungkas kalimatmu.
            “ Walaikumsalam” jawabku mengakhiri obrolan tak jelas malam ini, waktu milikku, dini hari milikmu.
Tapi sedetik kemudian kusadari satu hal, lalu kuketik lagi
            Eh sebentar, senyumannya dikurangi satu, itu delapan. Kurangi satu biar jadi tujuh. Walaikumsalam.
            “ Hahaha hadooh,” dan ikon tepot jidat muncul di layar.
Ah kamu, pahamilah aku dan angka tujuh.
Kau tahu, kini aku tahu apa yang sebenarnya ingin kubilang padamu beberapa saat lalu itu.
            “ Tujuh itu sempurna. Dan Kamu itu..delapan! sempurna dengan segala kurangmu. Lebihmu!”


Tsaaah, abaikan tulisan ini hihiii..

Glasgow dini hari. 21 Sept 2013.