Sabtu, 10 Oktober 2015

Nanti Pasti Ada Jalannya








Semalam saya liat postingan sahabat baik saya di wall ayahnya, mengucapkan selamat ulang tahun dengan tautan lagu “Yang Terbaik Bagimu”. Saya tiba-tiba ingin mendengarkan lagu itu, dan kemudian ada rindu menyeruak. Rindu bapak.
Lelakiku itu, hampir lebih dari dua tahun tidak bertemu muka, walaupun sering kali menyapa lewat bbm ataupun video call via skype. Tapi memang hadir dalam nyata selalu saja menghadirkan perasaan perasaan yang berbeda. Saya jadi semakin menyadari, distance is a matter..jarak tetap saja membatasi pertemuan-pertemuan yang nyata. Walaupun kemajuan tehnologi membantu untuk bisa mengeliminasi keterbatasan-keterbatasan jarak.

Saya merindui lelaki itu, dan kemudian rasanya ingatan melintas menjelajah melewati tahun demi tahun yang telah lalu. Saya mendewasa, dan ia semakin menua. Kadang kala kita ingin menyangkal perubahan, tapi saya menyadari satu-satunya cara berdamai dengan kenyataan adalah menerimanya.

Saya tetap dan selalu mengagumi bapak. Mungkin semacam narsis di bawah sadar, karena saya merasa sepertinya banyak mengcopy sifat-sifat beliau.  Ada satu yang baru saya sadari beberapa waktu ini.  Saya menyaksi banyak perjuangan-perjuangan beliau, bagaimana memperbaiki kehidupan keluarga, menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi dan banyak peristiwa hidup lainnya. Kegigihan, persistensi dan tidak pernah menyerah.

            “Nanti pasti ada jalannya,” kalimat itu sering saya dengar kala menghadapi saat saat sulit ataupun ketidakpastian.
Kalimat itu juga sering beliau sampaikan pada saya kala dulu saya menapaki kehidupan dengan berbagai macam peristiwa jatuh bangunnya kehidupan.
Hidup saya sejak dulu tidak mudah, walaupun saya sangat sadar ada banyak kemudahan-kemudahan yang datang dalam hidup saya. Hampir semua aspek dalam hidup saya, rasanya diperoleh dengan perjuangan. Hidup saya penuh struggle, eh tapi mungkin memang tiap orang struggle dengan kehidupannya masing-masing ya? Walaupun mungkin ada yang naturally hidupnya lebih gampang dibandingkan lainnya..

Atau sebenarnya ini hanya masalah perspektif belaka? Susah-berat-gampang? Memang relatif untuk setiap manusia. Entahlah.
Tapi yang jelas orang tua saya saja sering berkata: “sudah hapal kok, nanti pasti dikasih jalan,” begitu kata mereka. Mereka hapal akan kesulitan-kesulitan yang sering kali menghampiri hidup saya. Kadang-kadang itu melegakan namun juga mendatangkan sebersit rasa bersalah. Karena mau tidak mau, orang-orang tercinta saya juga terkena imbasnya. Ikut mikirin ahahah. Itulah makanya, sekarang ini saya lebih memilih mana-mana yang harus saya ceritakan, mana mana yang harus saya selesaikan sendiri. Saya tidak ingin lagi membebani mereka, walaupun sebenarnya mungkin mereka tak pernah merasa terbebani.
Cinta, begitulah cinta mengejawantah sedemikian rupa.

Saya kini baru tersadar, selama ini orang tua saya  memberikan kesempatan pada saya untuk menghadapi kesulitan-kesulitan, tidak pernah memproteksi berlebihan serta jarang memanjakan. Saya yakin setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anak-anaknya dengan pola asuhnya masing-masing. Dan saya bersyukur orang tua saya memberikan kepercayaan pada saya dengan pola asuh yang demikian. Membiarkan hidup menempa saya.

Nanti pasti ada jalannya,
Nanti pasti ada jalannya,
Nanti pasti ada jalan dariNya,

Semacam mantri sakti pemberi harapan. Mungkin itulah kenapa naturally saya lebih cenderung menganut konsep optimisme dengan menggenggam harapan sebagai tenaga penggerak saya.
Dan saya tidak pernah jauh jauh melihat contoh lain, bapak menjadi contoh hidup yang saya saksikan perjuangannya.

Tapi saya juga menyadari belakangan ini, hidup mencobai dengan banyak hal. Dan saya mendapati salah satu pelajaran yang sulit adalah bagaimana membedakan saat kita harus terus berjuang dengan kapan saat kita harus melepas. Kala jalan masih sulit..saya sering berpikir mungkin kita harus berjuang lebih keras, mungkin waktunya belum tepat, mungkin kita harus lebih banyak berdoa dan merayu Tuhan. Tapi sungguh membedakan pertanda kapan harus terus berjuang dan kapan harus melepas menjadi hal yang sulit untuk saya.

Melepas seringkali berkonotasi dengan menyerah, dan menyerah merupakan kosakata yang jauh dari hidup saya. Walaupun melepas berbeda dengan menyerah, saya tahu itu. Tapi sungguh pelajaran pelajaran ini terus memperkaya lajur lajur hidup.
Saya  lebih memilih untuk terus berjalan berjuang, biar Tuhan nanti yang menunjukkan jalanNya,
Nanti pasti ada jalannya, jalan dariNya.

Bapak.. semakin kuarungi hidup..semakin aku tahu betapa hidup bukanlah hitam dan putih. Hidup bukanlah jalan yang lurus-lurus saja, ada banyak kelokan, banyak persimpangan, banyak onak duri di sepanjang jalan. Tapi hidup pula menganugerahiku dengan orang orang yang selalu ada untuk menemaniku berjalan dan berjuang, membersamaiku menghadapi segala macam perjalanan hidup.

Ah, saya merindui lelakiku itu. Semoga senantiasa diberikan kesehatan dan umur panjang, bapak.
Salam rindu dari Glasgow

 


10 October 2015. Udara mulai mendingin, kala Glasgow senyap dini hari 

 

Minggu, 04 Oktober 2015

"Take and Give" atau "Give and Give"?







Kalian sering mendengar tentang konsep “take and give” kan? Beberapa waktu lalu saya juga terlibat perbincangan mengenai ini dengan sahabat saya.
Menurutnya hubungan haruslah “take and give” agar seimbang, katanya. Saya yakin banyak juga yang mengiyakan apa pendapatnya. Saya pun dulu mengira demikian.
Take and give menjadi wajar dalam suatu hubungan. Hubungan apa saja, entah dengan pasangan, orang tua, sahabat, dalam pekerjaan ataupun yang lainnya.
Namun seiring waktu, saya belajar..nampaknya “take and give” menjadi semakin terlalu memberatkan. Kemudian saya belajar untuk bergeser ke dalam konsep “Give and Give”
            “Oh iya iya..kamu kan udah nggak butuh “take” lagi ya? “ kilah sahabat saya.
Nggak begitu juga sih, hanya saja..memberi dengan rumusan memberi dan harus menerima nampaknya menjadi semakin berat. Bukahlah lebih ringan bila bergeser menjadi memberi dan memberi, tak perlu tanpa banyak memikirkan tentang harus menerima.
Menurut saya, ada perbedaan fundamental di antara keduanya. Mungkin perbedaan itu terletak pada niat. Niat dalam hati, jarang sekali kita meneliti niat-niat dalam hati kita pada apa yang kita kerjakan, apa yang kita berikan.
Padahal niat, yang tersembunyi itu, seringkali menjadi landasan mengapa kita berbuat sesuatu.
Memberi dengan berharap menerima, bukankah menjadi begitu memberatkan?
“If all your “giving” is about “getting” think how fearful you will become?”
                                                                                                (Susan Jeffers)
Jika kita memberikan sesuatu, dengan harapan dapat menerima..bayangkan betapa diri menjadi dihinggapi banyak kecemasan, banyak pengharapan, dan banyak kekecewaan ketika yang terjadi tidak sesuai dengan harapmu.
Sedangkan memberi dengan sekedar memberi karena kasih, bukankah terasa makin meringankan?
Ini bukan bahasan tentang sok mulia atau sebagainya. Ini soal ketentraman jiwa. Bukankah dengan memberi saja tanpa harap menerima membuat perasaan kita menjadi semakin baik dan semakin bahagia?
Sesederhana itu sebenarnya.
Saya jadi ingat saat mendengarkan sebuah ceramah tahun lalu tentang zakat, tentang memberikan sebagian rizki kita. Baru kala itu saya mendengar sebuah pernyataan yang tak biasa saya dengarkan mengenai ceramah-ceramah zakat. Dulu sering kali saya mendengar ceramah seperti misalnya : Zakat itu bisa melancarkan rejeki, mana ada kau lihat orang zakat atau memberi lalu jadi bangkrut? Atau kalau sedekah sekian bisa lekas kaya, bisa cepat dapat jodoh..bla bla..bla..
Lalu kita memberi ataupun berbuat baik karena ada iming iming belaka? Ah, bukankah sering kalian mendengar kalimat-kalimat seperti di atas itu?
            “Manfaat zakat yang utama itu menentramkan hati,” saya masih ingat kalimat itu diucapkan saat ceramah. Nyes rasanya, kenapa jarang sekali yang menyentuh sisi ini?
Memberikan sesuatu ternyata pada dasarnya membuat diri menjadi semakin bahagia. Semakin ringan, dan semakin tentram.
Memberi dalam hal ini bukan hanya memberikan barang, uang atau materi, tapi juga memberikan waktu, informasi, perhatian, kasih sayang.
            When you give from a place of love, rather than from a place of expectation.
            More usually comes back to us than we could ever have imagined
 ( Susan Jeffers)
Yah, walaupun seringkali dengan memberi kita menerima jauh..jauh lebih banyak daripada apa yang kita berikan, namun rasanya akan lebih meringankan dan menentramkan bila memberi tanpa pengharapan.
            “Nggak fair dong, misal dalam hubungan..rasanya kita tuh kasih..kasih terus. Memberikan banyak kompromi, kasih perhatian..kasih hadiah bla..bla..tapi dianya kayak nggak tau terimakasih. Dianya nggak berubah juga.” Mungkin ada ya yang selintasan berpikir demikian. Atau mengalami hal yang demikian.
Menurut saya sih, memberi itu satu hal..kemudian bagaimana engkau memutuskan perlakuan ataupun keputusan pada orang lain itu sepenuhnya adalah hal yang lain lagi. Ada pertimbangan, ada logika, ada nurani. Dan itu terserah bagaimana pilihan pilihan yang kamu ambil. Hubungan bukan bisnis sih, kalau menurut saya.
Well, kadang mungkin konsep ini terlihat sok baik dan sok polos..padahal sih intinya cuma ingin membuat diri lebih ringan dan lebih tentram.
Saya pun masih belajar, kadang konsep masih hanya dalam tataran konsep, sedangkan praktiknya masih tersuruk suruk.
Namun bukankah yang terpenting kita belajar dan terus berjalan?
Mari.

Glasgow menjelang maghrib di musim gugur. Dengan kadar rindu yang agak terlalu.
3 Okt 2015.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Secangkir Kopi Pagi ini


Secangkir kopi pagi ini (Pic : Koleksi Pribadi)



Biasanya ada dua cangkir kopi
Secangkir kopi susu milikku, dan secangkir susu kopi milikmu
Dua cangkir kopi dan cerita-cerita yang kita bagi
Pagi ini, rupanya ada rindu yang menyelinap di antara sesapan- sesapannya
Kala hanya satu cangkir kopi yang tersaji di meja,
Ah, Tak apa,
Kadang yang terpenting kita tetap saling membersamai dimanapun berada,
Dan biarlah, rindu berpadu dalam setiap cangkir kopi yang kuseduh

Glasgow, 3 Oct 2015
 

Selasa, 29 September 2015

Pencarian ke dalam Diri




Saya baru saja melihat tayangan “Satu Indonesia bersama Reza Rahardian” di Net TV melalui Youtube. Silahkan kalau mau ditonton bisa diakses di sini. Iyah, salah satu bonus tinggal di sini adalah akses internet yang super cepat, jadi bisa nonton live streaming ataupun menonton video-video di youtube yang ternyata banyak sekali yang dapat kita ambil manfaatnya. Kali ini saya ingin nonton yang ringan-ringan saja, tapi menyaksikan tanyangan tersebut saya sempet merinding.
Ih, gila keren banget ya kalau orang cinta saya apa yang dikerjainnya. Orang yang berjalan di jalur jalur passionnya. Reza rahardian salah satu contohnya. Dari tayangan yang saya saksikan, jelas sekali bagaimana dia mencintai seni peran dalam hidupnya. Saya jadi teringat dengan pembicaraan saya dengan rekan saya di Glasgow beberapa saat yang lalu. Di sela-sela undangan acara silaturahmi Idul Adha di flat Teh Siska.
            “ Belum tau sih mbak, soalnya setelah setahun di sini aku malah menemukan beberapa hal lain yang aku sukai.” Begitu kata rekan saya tersebut ketika saya tanya apa yang akan dikerjakan setelah dia pulang ke Indonesia nanti.
Dia baru saja merampungkan studi masternya di bidang Public Health, basicnya ia adalah seorang dokter yang sebelumnya bekerja di WHO Jakarta. Tapi kemudian dari percakapan kami, saya menangkap dia masih mencari cari apa yang ingin dia lakukan untuk hidupnya.
            “Tadinya sih aku lanjut S2 karena pengen jadi dosen sih mbak, tapi setelah di sini..bla blaa..” dia banyak bercerita tentang perjalanan dan pencarian-pencariannya. Tentang hobi baru memotretnya. Kalau orang melihat hasil-hasil fotonya, mungkin orang akan mengira kalau dia sudah lama menekuni dunia fotografi. Padahal ternyata baru semenjak di Glasgow katanya.
            “Makanya aku belum tau mbak. Yang jelas aku mau lakukan apa yang aku inginkan dulu” sambungnya.
Aku sih mendukungnya. Hidup terlalu mahal untuk dijalani dengan pilihan salah. Walaupun ada orang yang mungkin pernah bilang : “Cintai apa yang kamu kerjakan, bukan kerjakan apa yang kamu cintai”
Well, kalau bisa cinta sih silahkan silahkan saja. Tapi orang bermacam-macam, ada yang bisa ada yang enggak bukan?
Contoh gampangnya saja soal cinta pada lawan jenis. Sahabat saya  adalah orang dengan karakter yang gampang mencinta orang yang mencintainya lebih dulu, memberikannya perhatian, bla bla bla..udah pasti jadi. Dan ada banyak orang yang memang seperti itu. Tapi ada pula yang lain, kayak saya misalnya hahah..saya bukan tipe orang yang gampang mencintai baik orang atapun hal, bidang. Dan waktu pun bahkan tidak membantu, bahkan dengan mengamati variabel waktu inilah saya menjadi semakin yakin itu, bahwa bertahun tahun kalau nggak suka ya tetep aja nggak suka.
Saya hanya ingin menegaskan sekali lagi bahwa tiap orang berbeda-beda, termasuk dalam menentukan apa yang ingin ia kerjakan dalam hidupnya. Ada yang asal mengerjakan sesuatu, yang penting apa yang dia kerjakan mendatangkan uang, mampu menghidupi dirinya atau keluarganya. Udah, cukup itu. Tapi ada pula yang memerlukan semacam “rasa”, reason, atapun orang biasa menamainya passion untuk menjadi tenaga penggerak untuk apa apa yang dia kerjakan. Saya tidak ingin bilang yang X lebih baik dari yang Y ataupun sebaliknya. Orang berbeda-beda dan bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri-sendiri.
Saya termasuk ke golongan orang yang mempertimbangkan rasa dalam hal-hal yang saya kerjakan. Saya tahu betul mana yang saya sukai mana yang tidak, walaupun begitu saya masih dalam pencarian jalur mana yang harus saya fokuskan. Saya masih belum pasti.
            “ Mbak siwi nggak niat untuk post doc?” beberapa saat lalu Teh Siska bertanya pada saya.
Post Doc? Enggaklah, buat menyelesaikan PhD aja udah struggle begini, apalagi post doc. Saya lebih memilih mengerjakan hal-hal lainnya. Post doc itu semacam researcher di luar negeri yang bekerja dalam suatu  lab group. Tugasnya mengerjakan penelitian, menulis grant dan juga menghasilkan paper. Sangat ilmiah, itu sih pointnya. Saya sih saat ini belum kepikiran sama sekali ke sana. Saya berpikir rada nggak cocok untuk saya.
Setelah selesai studi ini, tentu saja saya kembali ke institusi dan bekerja lagi menjadi dosen. Saya cukup menikmati peran itu, walaupun saya masih merasa belum menemukan jalur yang benar-benar saya cintai. Sesuatu yang bisa saya kerjakan suka rela, nggak kenal waktu, berasa capek tapi seneng, jatuh bangun tapi tetep cinta. Ahaha saya masih dalam perjalanan pencarian.
Saya dulu berpikir kalau mungkin saja saya menemukannya dalam dunia kepenulisan. Yeah I feel it, but..mungkin juga ada di beberapa bidang lainnya. Saya suka mencobai hal-hal yang baru, belajar hal-hal yang baru. Saya mencoba merasai apakah yang saya lakukan itu membahagiakan untuk saya atau biasa saja. Bertumbuh, bertumbuh dan bertumbuh. Mungkin itulah yang semakin saya rasakan menjadi sebuah kebutuhan.
Ada gerak maju, berjalan, mencari, menemukan, merasai, mempertimbangkan. Sepertinya memang hidup adalah perjalanan tak hentinya untuk mengenali diri sendiri. Ah ya, mungkin demikian.

Salam,
Glasgow, 28 September 2015. Saat daun daun sudah mulai berubah warnanya.