Minggu, 14 Januari 2018

Glasgow : Larik Larik Rindu


Ini usai sepedaan keliling Queen's Park



“Reminiscing through old photo, when Life was pretty simple and less drama. Fresh air, pure water, nice weather, beautiful scenery  : Scotland.

Tatapan mata saya terhenti pada foto sahabat saya, Mariam dengan latar belakang pemandangan Glencoe di Highland Scotland, dan tulisan caption seperti di atas di timeline instagram. Saya tersenyum sejenak sebelum menuliskan komentar..
Ah, ya seperti itulah rasa sebagian besar “Alumni Scotland”-para manusia yang pernah menghabiskan hidup di daratan Scotland-. Satu tahun, dua tahun....waktu rasanya tidak jua membuat kami lupa, bagaimana rasanya hidup di sana. Kata sahabat saya, “Scotland akan terus ada dalam hidup kita,”

Mungkin memang benar adanya. Saya tersenyum lagi, ketika mendapati ada komentar di foto tersebut,
--So true! Gosh I’m not mentally prepared for the hectic life soon..scotland really spoil us—
Hahah..begitulaah, persis yang saya rasakan semenjak kembali ke Indonesia. Hidup terasa lebih kompleks..walaupun semua bisa dihadapi dengan baik baik saja. Tapi entah kenapa, rasa rindu  terus ada. Sampai akhirnya saya kembali ke Glasgow lagi selama beberapa minggu September lalu. Tapi habis itu, ya rindu lagi. Duh! :D

Saya kangen dengan hidup di sana yang sederhana, nggak terlalu banyak urusan. Masih terasa lekat dalam ingatan, rutinitas hari-hari di Glasgow. Selain urusan studi, hari-hari dijalani dengan simple. Masak makanan favorit, mencobai resep-resep baru, jalan-jalan ke taman atau tempat yang sekiranya menarik. Kadang sepedaan menyusuri sungai clyde kala cuaca lumayan bagus, lalu kalau sudah lelah duduk duduk di taman sembari makan bekal.
Udaranya yang bersih, sejuk..membuat hidup rasanya terasa lebih tentram. Nggak ada pemandangan sepeda motor yang membanjiri jalanan, ya karena jarang banget ada motor. Paling satu dua saja yang lewat, itupun hanya kala cuaca bener-bener bagus saja. Jalanan juga nggak crowded, karena sebagian besar warganya naik subway, bus, ataupun jalan kaki untuk kemana-mana. Kebayang kan damainya...paling-paling agak ramai kalau di city centre. 
Suasana seperti itulah yang bikin kangen..seloow berasa hidup. Mobilitas juga rendah hehe..kalau di sini sedikit sedikit pergi naik motor gampang. Kalau di sana, kalau yang jarak deket kebanyakan dengan berjalan kaki. Kangen jalan kaki kemana-mana, hidup jadi lebih sehat karena mau nggak mau olahraga tiap hari. 
 
Taman-Tamannya Glasgow yang selalu bikin betah (Victoria Park)

Jalan kaki, udaranya bersih, lalu makanan juga kebanyakan masak sendiri. Kemudian untuk kehidupan sosialnya juga relatif “lebih sehat” dan sederhana. 
“Less drama” istilah sahabat saya itu. Karena kehidupan sosial ya paling berkutat dengan temen-temen yang sama-sama kuliah di sana, atau warga Indonesia yang tinggal di sana plus beberapa sahabat yang kenal karena urusan studi. Selain teman flat, ketemu dengan temen temen Indonesia ya paling dengan yang dekat. Atau pas ada pertemuan PPI (Perhimpuan Pelajar Indonesia) ataupun pengajian bulanan, dan pengajian putri. Kalau ngumpul-ngumpul, isinya ya kebanyakan makan-makan, pengajian, ataupun untuk acara kegiatan PPI.
 
Saat kumpul-kumpul lebaran bersama teman teman Glasgow
 
Usai pentas nari Serampang 12 di acara Indonesia Cultural Day,  2015

Less drama-nya sih karena nggak banyak “polusi” dari orang-orang di sekitar. Kalau di Indo, berasa banyak banget yah orang, dan komentar ini itu juga banyak..Urusan ini itu juga banyak hihi..yaah nikmati saja, jalani saja ehehe..

Rasanya saat hidup di sana, lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas untuk self growth. Saya menemukan banyak hal-hal baru tentang diri saya sendiri. Ternyata saya sangat menikmati memasak, bahkan pernah jualan bakso, nasi padang dll, belajar crochet, pernah nari saman, serampang 12, pengalaman bersama temen-temen bikin acara-acara PPI yang seru-seru. Jejak pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup. Saya bersyukur pernah melewati episode episode itu dalam hidup saya,

Makanya kadang kangen kehidupan yang dulu di Glasgow . Itu juga dirasain temen-temen yang pernah hidup di sana, hampir semua merasai hal itu. Tapi saya tau sih, hidup terus berubah..terus berjalan, dengan segala macam perubahan perubahan. Hidup terus bergerak, dan kita harus terus melentur menghadapi perubahan.
Adakalanya melihat foto-foto scotland dari IG yang saya follow, rindu menyeruak. Dan saya menikmatinya, dan terus menikmatinya. Untuk mengingat, sebuah episode indah yang pernah terjadi dalam hidup saya, dan akan terus ada dalam diri saya.
Mungkin, hidup yang akan datang akan membawa saya kembali lagi..


 

Kamis, 19 Oktober 2017

Secangkir Kopi Pagi di Edinburgh


Megabus yang kami tumpangi merapat ke Edinburgh Bus Station. Ah, akhirnya setelah hampir 2 tahun meninggalkan UK, saya kembali lagi menjejaki Edinburgh, si kota jelita itu. Namun kali ini memang kami rencananya jalan-jalan ke tempat yang belum pernah kami jelajahi. Dulu entah sudah berapa kali ke kota ini, dan hampir semua tujuan wisata sudah pernah kami sambangi. Makanya untuk kali ini, satu tujuan pertama sudah mantap yakni Dean Village, desa yang unik dengan desain desain rumahnya yang menarik. Begitulah saya memang terprovokasi foto-foto Dean Village di Instagram eheh. Tapi setelah dari situ.., entahlah, kami memang biasanya jalan jalan super random. Dari bus station, belum lagi jauh kaki melangkah, aroma kopi semerbak tercium dari sebuah cafe di pinggir jalan,

            “Ngopi yuk”, ajak teman seperjalanan saya. Saya menghentikan langkah sejenak,
            “ Serius? “ tanya saya sekedar mengkonfirmasi ajakannya. Tumben bener dia ngajakin ngopi, dan baru sampai pula. Biasanya jarang-jarang ngajakin ngopi, kecuali saya-nya yang merajuk minta ngopi ngopi heheh. Dan saya kalau diajak nongkrong ngopi, anggukan kepalanya cepeeeet!
Kami masuk ke kedai kopi yang ramai pagi itu, namanya Cairngorn Coffee.Co. Sinar matahari  tumbenan juga bersinar dengan cerahnya. Tadinya kami hendak duduk di kursi bagian teras luar, tapi ternyata brrrr...walau matahari cerah ceria tetap saja hawa dingin menyelinap. Hingga akhirnya kami memilih tempat duduk di dalam, dimana kaca-kaca lebarnya bisa menangkap cahaya matahari yang masuk. Saya melepas coat, dan menikmati secangkir coffee latte dan matahari yang ceria pagi ini. Pilihan kopi saya dari dulu hingga sekarang, belum juga berubah. Coffee latte memang favorit saya! Paduan kopi dan susu yang entah kenapa selalu bikin bahagia, halaah. Daaaan..astaga, ternyata coffee lattenya enak pakai bangeeet! ini konspirasi apa coba. Beneran deh kalau nanti-nanti ke Edinburgh lagi, kudu banget mampir ke sini lagi.
Kopinya Juaraaaaa!

            Kopi dan obrolan hangat, rasanya jalan-jalan bagi saya sekarang memang sudah banyak mengalami perubahan. Enggak lagi ngejar seberapa banyak lokasi yang bisa kita kunjungi, tapi lebih pada menikmati perjalanannya. Ngobrol sambil sesekali menyesap secangkir kopi, rasanya hidup berjalan pelan, santai dan menenangkan. Harus saya akui, selama  kembali ke UK ini rasanya jiwa dan pikiran saya tenang, tentram. Kalau agak agak dramatis sih saya akui, ini fase tertenang dan terileks selama 2 tahun terakhir!! hahah..hidup di Indonesia memang banyak banget ya distraksinya *eh ini ngeluh ya :D enggak kok, cuman bilang doang.
Sejak pulang ke Indonesia, jadwal pekerjaan memang bertambah padat merayap. Makanya, perjalanan ke UK ini semacam hadiah bagi diri sendiri. Awalnya agak ragu untuk berangkat atau tidak ke International Meeting of Arboviruses di Glasgow itu, soalnya saya nggak dapat scholarship. Tapi setelah ditimbang-timbang, saya nekad berangkat juga dengan dana sendiri dan dana  penelitian.
          " Bener mbak, priceless itu...nggak bisa diukur pakai uang" kata Mona, sahabat saya ketika saya mengabarinya tengah berproses mengurus visa UK.
Dan bener! kita memang harus menyempatkan diri mengambil jeda. Memberikan waktu bagi diri sendiri. Bagi saya yang sebagian waktunya habis untuk pekerjaan, saat-saat seperti ini rasanya seperti istirahat yang "sangat berkualitas".
             Hidup itu mengalir cepat yah. Kalau tidak sesekali kita tengok, rasanya kok berlarian terus. Tapi yang berbahaya adalah ketika kita merasa berlarian, namun jangan-jangan kita "tidak kemana-mana". Saya kangen kembali sesekali menulis tentang senja, prosa, lengkung senyumnya atau petualangan-petualangan gila. Ada pula fase dalam hidup saya mempertanyakan pada diri sendiri, apa bener passion kamu menulis? sementara blog beberapa akhir ini kosong melompong haha. Waktu saya lebih banyak seharian di kampus, dari senin hingga sabtu. Berkutat dengan ngajar, meneliti, publikasi, nulis proposal, laporan penelitian dan administrasi tetek bengek lainnya. Tapi entahlah, karena kerja keraslah saya bisa pula kembali ke UK sih *pembenaran :D
Ketika beberapa orang menyangka saya "ambisius", saya sendiri menilainya hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan waktu. selagi waktu saya masih milik saya sendiri.
            Saya memandang sekeliling, orang orang yang tengah asyik menyesap kopi. Ada yang sambil membaca koran pagi, ada  yang sambil bekerja di depan laptopnya. Sementara saya, kembali menyesap sisa sisa tegukan terakhir sambil menikmati kebersamaan bersama teman seperjalanan saya. Ada tawa di sela selanya. Dan kenang baru yang kembali tercipta.
Hidup, selalu saja penuh kejutan kejutan di setiap lajurnya. Bila saja kita melihatnya.
Bila saja, kita menciptanya.


 

Rabu, 13 Januari 2016

Glasgow is (Still) my home

 
River cylde-Glasgow. Foto Koleksi Pribadi



Megabus menuju London yang saya tumpangi sudah jauh bergerak meninggalkan Buchanan Bus Station, Glasgow semenjak pukul 10.45 malam tadi. Kali ini terasa lebih berat dibandingkan saat pergi ke Belanda akhir Desember lalu. Mungkin karena kali ini saya sudah merasa waktu untuk tinggal di Glasgow sudah semakin sedikit. Sudah sedikit terasa ada sesak dan ngilu itu. Ah, ya Glasgow adalah rumah yang selalu memberi saya rasa pulang. 

Lebih dari empat tahun hidup di kota ini menjadikan kota ini menjadi salah satu bagian dalam hidup saya. Kau pernah mempunyai keterikatan tertentu pada suatu tempat? Seperti apa yang pernah dan masih saya rasakan pada Jogya. Dan ternyata saya tidak sendirian. Saya termangu saat membacai blognya Timo di posting yang berjudul Taize isnt my home di link ini

Saya nemu blog ini saat dulu mencari informasi mengenai Glasgow. Dulu dia pernah menjadi relawan di Glasgow. Nah ternyata dia juga mengalami gagal move on pada Taize, sebuah kota kecil di Paris. Butuh waktu tujuh tahun lamanya untuk dia bisa “move on” dari Taize. Ah, tujuh tahun tentu saja waktu yang cukup lama. Akankah saya juga akan mengalami hal yang sama dengan Glasgow? Entahlah.  

Kadang kadang untuk hidup dalam “kekinian” juga membutuhkan latihan dan kesungguhan. Ada tarikan tarikan pikiran yang selalu saja bisa mengombang ambingkan upaya untuk to live in the present. Tapi Glasgow bukan masa lalu, belum menjadi masa lalu. Nantinya ia akan menjadi kekinian yang berbeda, karena saya tidak lagi hidup di sana. Jadi PR yang harus saya taklukkan nantinya adalah bukan menghilangkan ataupun melupakan Glasgow dari hidup saya. Tentu saja bukan demikian. Namun lebih pada menghindari perasaan semacam “ Andai aku masih di Glasgow, pasti aku lebih bahagia”-ataupun sejenis pemikiran yang serupa lainnya.

Karena hal tersebut berarti menolak perubahan yang terjadi dan tidak bisa menikmati hidup dengan kekinian. Hidup kembali di tanah air dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sepertinya tidak susah ya?hahah..yakin?jangan jangan nantinya akan banyak lahir tulisan nostalgia wkwkk. Sudahlah, bukankah hal yang paling nyata dalam hidup ini adalah hari ini, dan inilah yang harus kita hadapi.

Megabus sudah merapat di Victoria Coach Station. Hujan deras mengguyuri London dini hari menjelang pagi ini. Saya sudahi postingan ini, dengan sejumput rindu pada Glasgow.

-Dalam perjalanan Glasgow-London, 7 Januari 2016

 

Rabu, 06 Januari 2016

Catatan Awal Tahun 2016





Waktu sudah beranjak dari Tahun 2015 ke Tahun 2016. Salju belum turun juga di Glasgow, walaupun prediksinya akan datang akhir pekan ini. Namun rencananya akhir pekan ini saya habiskan di London, untuk mengurus keperluan ke KBRI sekalian bertemu dengan sahabat baik saya, Mita *plus jalan-jalan tentu saja. Pertemuan pertama bagi dua manusia boleh saja dibilang kebetulan, keajaiban, ketidaksengajaan atau entah apa istilah lainnya. Namun saya meyakini bahwa pertemuan berikutnya adalah cerita tentang kemauan untuk bertemu di antara dua manusia. Sahabat, saudara, guru, orang tua, kekasih..siapa saja, apakah engkau menyadari bahwa pertemuanmu dengan mereka pada akhirnya adalah cerita tentang seberapa upayamu untuk menciptakan pertemuan. Ah, memang sepertinya bagaimana hidup kita pun sedikit banyak adalah tentang cerita bagaimana upaya kita dalam menciptakannya.

Tahun 2015 telah berlalu, sederet peristiwa terjadi, dan tentu saja banyak cerita dan pelajaran yang datang menghampiri. Tahun lalu boleh dibilang tahun yang berat. Saat awal tahun 2015 lalu, saya sempat berpikir “melewati tahun 2015 dengan baik saja sudah bagus”—hal tersebut menggambarkan prediksi saya tentang tahun 2015 yang kemungkinan akan penuh dengan saat saat sulit. Nyatanya? Jauh lebih sulit dari apa yang saya siapkan sebelumnya. Dimulai dari awal tahun, saya harus mengembalikan energi, impian, rencana, harapan yang (rasanya) tiba-tiba karam. Sepertinya saat itu adalah salah satu saat yang paling berat pernah saya alami. Kemudian setelah itu, saya jatuh terpeleset di jalanan yang sudah berlapis es saat turun dari bus, hingga tangan kiri saya retak. Ke rumah sakit, check up dan recovery yang memakan waktu sekitar 1 bulan lamanya untuk tangan saya bisa berfungsi kembali. Kemudian kenyataan yang datang menghampir adalah bahwa perpanjangan beasiswa saya tidak diterima, membuat saya harus banyak memikirkan tentang bagaimana membiayai hidup saya sampai studi saya selesai. Studi PhD-saya juga banyak kesulitan, hasil di lab yang tak kunjung positif, writing yang lambat progressnya.

Tapi tahun yang berat bukan berarti tanpa kesenangan, kebahagiaan ataupun keberlimpahan. Tuhan tetap (selalu) saja memberikan saya banyak keberlimpahan. Ada orang orang yang selalu ada saat saya harus menghadapi masa-masa sulit. Keuangan yang sulit saat itupun malah mendorong saya untuk latihan berbisnis kecil-kecilan. Pengalaman jualan makanan di bazar, bikin bakso, tempe, jualan setiap minggu ke Edinburgh saat bulan Ramadan lalu,  semua itu sungguhlah membuat saya kaya pengalaman. Tahun lalu juga diisi dengan kebersamaan dengan rekan-rekan di Glasgow, ikut serta nari sama di ASEAN festival di Stratclyde University, ngamen saman bareng-bareng di Buchanan Street, ikutan ICD dan sebagainya. Semua itu juga kenangan yang luar biasa buat saya. Tahun 2015 pula banyak diisi dengan mencobai banyak resep-resep masakan baru. Hehe semenjak dua tahun terakhir memang memasak menjadi aktivitas yang mendatangkan kebahagiaan. Untuk menulis, sayangnya saya belum juga berhasil melahirkan karya lagi, hanya nulis mengisi blog dan juga ada proyek buku yang saya garap untuk PPI Glasgow, itupun belum selesai juga di akhir tahun kemarin. Memang fokus saya lebih pada riset, nulis dan thesis dan menyelesaikan PhD saya.

Dan highlight utama di Tahun 2015 tentu saja selesai PhD. Itu merupakan pencapaian dan kelegaan terbesar saya tahun lalu. Di saat harus menghadapi banyak masa masa sulit, saya bersyukur bisa menyelesaikan PhD dengan baik. Rasanya puas bisa memberikan dan mengupayakan yang terbaik di saat saat akhir studi saya. Dulu ternyata saya “terserang” penyakit excuse yang nggak saya sadari. Excuse semacam “mengkambinghitamkan” masa masa sulit yang hampir mewarnai perjalanan PhD saya sejak awal—untuk menjadi alasan untuk tidak menjadi high achiver-. Saya membaca tulisan mbak Fitri Ariyanti (yang akhirnya sekarang saya follow blognya) di link ini.  Dan juga saya banyak membaca tulisan-tulisan beliau lainnya. Menurut saya sangat bagus untuk yang ingin belajar parenting, psikologi dll.  Setelah membaca tulisan beliau, saya jadi semangat dan nggak mau excuse-excuse lagi lah. Kemudian highlight utama lainnya yakni akhirnya saya punya rumah ahaaay. Tentu saja bagi saya hal tersebut juga merupakan pencapaikan yang harus saya syukuri. InsyaAllah pulang ke tanah air, sudah ada rumah tinggal yang tetap.

Rencana Apa di Tahun 2016?
Awal tahun mungkin banyak orang membuat resolusi. Saya sendiri sudah tidak terlalu memusingkan tentang resolusi. “ Resolusi apa nih di tahun 2016?” tanya seorang sahabat yang menyapa via whataps. Di kepala saya, yang terlintas hanya ingin menikmati segala yang datang dalam hidup. Tentu saja bukan berarti tanpa rencana. Saya tetap membuat rencana rencana walaupun saya tahu Tuhan bisa membelokkan kapan saja, tapi membuat rencana dan mengupayakannya adalah hal yang bisa saya lakukan. Pulang ke tanah air di akhir bulan ini, rasanya seperti memulai hidup baru lagi. Akan ada banyak adaptasi, dan juga saya sudah mengantisipasi sindrom “gagal move on dari Glasgow” ahaha. Banyak sekali teman, sahabat yang mengalami hal ini, dan saya pun sepertinya akan mengalami hal yang sama. Untuk yang satu ini, saya ingin menghadapinya alami saja. Ada beberapa hal yang membuat saya  masih akan terikat dengan Glasgow selama beberapa tahun ke depan. Well, sepertinya tahun ini akan menjadi tahun yang menarik untuk dihadapi. We’ll see!


 

Kamis, 17 Desember 2015

Racauan Musim Dingin

Suasana Pasar Malam di George Square--Foto Koleksi Pribadi



Hawa dingin menyelusup, suasana masih gelap kala tirai jendela di samping kamar tidur ku sibakkan. Sudah jam 8 pagi, sementara waktu subuh masih sampai pukul 8.30. Bisa kau bayangkan waktu subuh baru berakhir pukul 8.30 pagi? Kabut tipis menutupi pemandangan di luar jendela. Nampak satu dua lampu-lampu kamar di gedung seberang yang menyala. Musim dingin memeluki Glasgow dengan eratnya. Ah, musim demi musim berganti. Mungkin saja ini musim dingin terakhir yang bisa saya rasai di Glasgow. Sepertinya saya masih ingin merayu Tuhan untuk memberikanku kesempatan  untuk merasai kembali berbagai musim di tahun tahun berikutnya. 

            “ Aku nggak yakin bisa nggak ya ke luar negeri lagi, buat conference atau training apa gitu? Soalnya kayaknya universitasku di Indonesia nggak mensupport biaya-biaya untuk aktivitas seperti itu,” kata sahabat saya, yang dosen juga di Indonesia.
            “ Bisa lah.” Jawabku mantap. Walaupun memang kenyataannya begitu kembali ke Indonesia, tentu saja fasilitas fasilitas yang biasanya kami dapatkan akan hilang atau berkurang. Selama S3 di sini, saya tinggal email ke supervisor-yang biasanya tinggal bilang oke-oke saja- kalau saya mau konferensi dimanapun, asal abstract saya diterima. Masalah biaya tidak pernah jadi persoalan, saya cukup mengisi form dan beliau tanda tangan. Mulai dari tiket, akomodasi dijamin dibayari full. Tentu saja, sekarang saya harus berpikir beberapa kali untuk pergi-pergi ke luar negeri untuk konferensi dan semacamnya, yang bayarin siapa ? ehehe. Universitas saya di Indonesia memang memberikan bantuan biaya untuk konferensi international namun banyak syaratnya dan juga belum tentu dibiaya semuanya. 

Namun begitu, saya yakin pasti ada berbagai macam jalan dan cara untuk bisa ke luar negeri lagi. Iyah, kadang-kadang saya ini terlalu yakin. Nggak ada salahnya juga kan? Ehehe. Siapa tau bisa apply funding lain? Siapa tau dibayari lembaga apa lah..itulah..

Ah, perasaan saya kadang kadang berada di antara bersiap siap kembali di tanah air, dan juga bersiap meninggalkan Glasgow. Ataupun kadang, saya hanya ingin menikmati saja saat ini, apa yang ada dijalani dan disyukuri. Ada berbagai macam kecemasan-kecemasan untuk kembali ke tanah air. Ada pula banyak rencana-rencana yang berderet di kepala sekembalinya saya ke tanah air. Begitu pula banyak kehilangan kehilangan serta perasaan yang entah namanya apa menjelang waktu-waktu terakhir saya berada di Glasgow. Kota ini sudah terasa seperti rumah. Tentu saja berat meninggalkan Glasgow, tapi hidup harus terus berjalan dan berjalan. Pada akhirnya, saya hanya ingin menikmati apa yang masih ada. Minggu depan rencananya saya akan ke Belanda, liburan sekaligus menemui sahabat baik saya, Nuning-yang dulu pernah kami sama-sama bermimpi untuk bertemu di dunia biru. Kali ini, saya ingin mewujudkan pertemuan itu. Saya insyaAllah akan ke Belanda sekitar satu minggu dan jalan-jalan di beberapa kota di sana. Agak deg-degan sih, hihi karena saya nggak pakai visa ke sana. Menurut peraturan untuk pemegang paspor biru, nggak perlu visa kesana. Namun tetep berasa deg-degan juga, semoga lancar-lancar di imigrasi. Sebenarnya pengen juga sih eurotrip, yang sampai saya mau pulang pun belum kesampaian ehehe. Tapi sekarang ini kantong sudah cekak, semoga suatu saat ada rejeki untuk bisa eurotrip. Yang penting yakin dulu #halaaah ehehe..

Begitulah, nikmati saja apa yang ada. Syukuri apapun yang menghampiri. Hadapi apapun yang harus dihadapi. Saya tidak bilang itu mudah, sepertinya itu semua pelajaran-pelajaran yang akan terus dipelajari sepanjang usia.
            “ Kamu apa kabarnya? Any update?” tanya sahabat saya di Indonesia.
            “ Biasa aja, sedang menikmati apa yang ada,” jawab saya.
         “ Wuih bagaimana bisa? Tips dong,” begitu tanya dia. Kami masing masing tahu sedang berada dalam keadaan yang sulit, kadang sering kali berdiskusi tentang hidup. Tapi kami masing-masing tidak tahu apa keadaan yang sedang dihadapi masing-masing. Sorry, aku nggak bisa cerita. Kami masing-masing punya hak apa hal hal yang mau dishare-dan apa apa yang nggak bisa, di situlah saya merasa sangat appreciate dengan sikapnya. 

            “ Tips apaan yak, kayaknya udah capek deh protes-protes eheh..ya udah, akhirnya menikmati saja yang ada. Syukuri apapun, not comparing to others. Yah, kayak gitu-gitulah standar. Aku tahu kamupun udah tau itu kan.” Begitu jawab saya. Dan memang begitu, kebanyakan kita tahu apa yang seharusnya dilakukan, tapi memang praktik tak semudah apa yang terkatakan. Cukup janganlah terhenti untuk terus berjalan.

Begitulah musim dingin kali ini. Di Glasgow, suasana menjelang natal masih semeriah tahun tahun yang lalu. Seperti biasa, George Square sudah penuh dengan hiasan lampu-lampu yang semarak. Ada pasar malam yang digelar selama sebulan. Komidi putar, area ice skating, serta aneka permainan khas pasar malam tersedia untuk merayakan libur dan suasana natal. Christmas market juga seperti biasa sudah berjajar di kawasan St. Enoch. Setiap kota berhias diri secantik cantiknya di Bulan Desember. Di sini, menyambut natal seperti suasana menyambut lebaran di Indonesia. Meriah, semarak, dan penuh dengan rona-rona kegembiraan.

Semoga begitulah hidup, senantiasa diisi dengan kemeriahan kebersyukuran akan hidup, dan rona kegembiraan atas banyaknya kasih dan anugerahNya.



Salam hangat dari musim dinginnya Glasgow,
17 Dec 2015