Selasa, 19 Maret 2013

Cinta di Antara Dua Huruf O


Cerpen ini diterbitkan dalam buku antologi cerpen “Balada Seorang Lengger”. Bernafas tentang pemenuhan diri manusia.

“Tak peduli seberapa banyak energi yang kita capai sendirian. Kekuatan cinta kasih dan ketenangan batin kita baru dapat diuji saat kita berada dalam suatu hubungan. “

***
Riuh rendah kentongan Banyumasan terdengar, tetabuhan yang mengetuk pangkal rasa itu, membuat aku dan dia, larut dalam pesona. Festival kentongan yang digelar berkala, setidaknya mengingatkan manusia-manusianya bahwa leluhurnya dulu pernah mencipta, mencipta budaya yang diturunkan melalui generasi penerusnya. Ini tahun kedua kami bersama, festival kentongan kedua yang kami tonton, dan untuk kali kedua pula kami saling bertukar tanya, bila manusia ditakdirkan mencipta budaya, apakah kau tahu untuk apa?
“Mungkin saja hanya untuk memperturutkan rasa, rasa berbudaya, mempunyai karya, atau sekedar memanusiakan manusia,” kataku setelah festival kentongan itu usai. Kami memesan secangkir kopi panas, mendoan dan jagung bakar sambil “nongkrong” di alun-alun Purwokerto. Memang terlalu banyak untuk porsi selingan setelah makan malam, tapi dingin telah menguras habis cadangan energi kami.
“ Fiuuh, bahasamu selalu saja rumit! Menurutku budaya dicipta untuk memberikan kesenangan, titik.” katanya lugas. Dan bisa diduga sedetik kemudian, aku siap-siap membuka mulut untuk mendebatnya. Sementara itu dia malah tertawa menyeringai, berlagak menantangiku. Begitulah persenyawaan kami berdua. Arya, lelakiku, yang bisa menjadi sahabat untuk berbagi tentang apa saja, menjadi guruku bila harus berurusan dengan ilmu eksakta, musuhku bila harus mendebatnya, kasihku bila aku melihatnya sebagai manusia biasa, dan separuh jiwaku bila harus meninggalkannya. Hingga tak kuasa, setengah tahun lalu kuucapkan selamat tinggal padanya.
“Aku pergi”
***
Edinburgh, September 2010
“Apa kabar  Purwokerto kita? Masih sering berkabut saat pagi butakah? Masih riuh rendah dengan teriakan kernet angkot-angkot mini warna oranye itukah? Aku kangen makan mendoan hangat yang ternyata rasanya tak ada duanya di dunia itu, pengen makan Soto Sokaraja yang mak nyus, atau sekedar nongkrong-nongkrong di Alun-alun Purwokerto sambil menikmati jagung bakar dan ngobrol soal urusan negara sampai soal yang remeh temeh sekalipun. Kapan kita nonton festival kentongan lagi?menyelusup di lapak-lapak Pasar Wage, lalu menawar barang dengan kesadisan tingkat tinggi, atau menyambangi Yu Tarmi yang asyik membatik. Kapan kita jalan kaki menghirupi sejuknya udara Baturraden? membincangi alam disaksikan deburan air Curug Ceheng?telingaku juga sudah rindu mengakrabi lagi bahasa ngapak-ngapak itu. Inyong, koe, kepriben,  dan terlebih lagi, aku merinduimu” eegh ingin rasanya kuberondong dia dengan pertanyaanku, bicara sampai berbusa-busa. Menjadikan waktu diam sejenak dan meringkas jarak.
            Hatiku ngilu mengingat hal itu. Kenangan adalah penjara bagi pikiran yang membututiku kemana-mana. Dan makin lama, ia membuatku kehabisan daya. Memikirkannya hampir membuatku gila, mencemaskannya membuat syaraf-syarafku kehabisan daya impuls. Edinburgh-Purwokerto, dan jarak serta ketidakbersamaan menjadi semakin nyata. Aku kehilangan daya. Apakah sebenarnya dayaku ada pada dayanya? Aku kecanduan. Kecanduan aliran energinya yang membuatku meletup letup seperti bunga api, melesat-lesat selalu bila ia ada bersamaku, dan sebuah persenyawaan yang berubah menjadi tawar bila dia tak ada.
            “ Heiii…nona manis, dicari-cari eeeh.. ngumpet di sini..kamu lagi kenapa sih Kin? kok pucet gitu mukanya? Belum makan?” Tanya Arinda mengagetkanku. Ia sahabat satu flatku. Dengan paduan jaket panjang berwarna hijau tosca dan syal yang berwarna senada, Arinda selalu saja nampak mempesona.
            “ Enggak, pengen nyepi aja. Enak di sini udaranya, sejuk, kayak Purwokerto” jawabku singkat, sambil menggelengkan kepala. Mataku kembali memandangi Kastil Edinburgh yang gigantis di atas bukit itu. Angin musim gugur menciumi syalku, memainkan lagu rindu dalam hatiku. Eeggh, ini rasa paling aneh yang pernah kurasai, mendesak-desak dadaku sampai ngilu.
            “ Hayooo..mesti lagi kangen sama Arya ya? “ tebak Arinda, dan sayangnya tebakannya kali ini tepat.
Aku masih duduk diam mematung, kehabisan daya. Energiku habis untuk merindu. Tugas-tugas kuliah masterku masih belum kusentuh, rasanya otakku ngambek untuk berpikir. Ada paduan rasa resah, harapan yang membuncah serta realita yang tak kuasa kukendalikan. Eghh kemana hilangnya seorang Kinanthi yang selalu cerah ceria, berbinar binar, tertawa renyah, dan canda tawanya yang selalu dirindukan dunia itu? Hilang, ditelan rindu. Rindu yang ditelikung jarak dan waktu, aku tergugu kelu.
            “ Iya nih, aku jadi nggak jelas gini” jawabku singkat. Walau aku tak yakin kata “nggak jelas” bisa mewakili campur aduk rasa yang tengah melandaku kini.
Angin musim gugur berhembus lagi, menerbangkan daun-daun maple yang gugur, dan bersamaan itu aku berharap angin sanggup menerbangkanku untuk pulang sejenak saja. Menjumpai sebagian jiwaku yang terbelah. Menggenapkan diriku yang hilang separuh. Sudah hampir setengah tahun aku melewatkan waktu di Edinburgh, Skotlandia, tempat yang lebih mirip negeri dongeng itu. Kastil-kastil menjulang tinggi di perbukitan, serta langit yang nampak terbentang lebih luas dibandingkan tempat lain di muka bumi ini. Hidup bermil-mil jauhnya dari tanah kelahiran demi kuliah jurnalismeku di University of Edinburgh. Tapi, semakin lama energi mimpi yang membawaku kemari hampir surut habis. Kemana larinya dayaku? Fisikku melemah, sakit, ngilu, kehilangan daya juang, daya karya dan daya hidup.
*Bandara Soetta, 29 April 2010.
            “ Arya, kau tahu..ada beberapa hal dalam hidupku yang layak untuk kuperjuangkan, dan kau adalah salah satunya” sebaris kalimatku terlontar saat waktu terasa hanya menyisakan detiknya yang begitu sedikit bagi kami.
Ia diam, menatapku dalam-dalam, tak bicara. Dan aku sungguh tak dapat menerka apa yang ada dalam hatinya. Ruang, jarak, waktu, mungkin adalah hantu yang selama ini telah menakuti kami sebelum waktunya. Kami benci berpisah, kata yang beberapa bulan sebelum keberangkatanku ke negeri nan jauh itu membuat dadaku sesak. Aku benci pergi, tepatnya aku benci merasa kehilangan, kehilangannya.
            “ Kin..jaga kesehatan ya, salatnya jangan lupa, makannya harus teratur, istirahatnya juga ya,” katanya dengan suara parau. Kenapa suaranya mendadak menjadi parau? Aku ingin menguping apa yang dikatakan hatinya detik itu. Sebentuk rasa kehilangankah? Kenapa aku harus mempertanyakan itu. Apakah hatiku akan sedikit puas bila ia merasa kehilangan? Yang itu berarti bahwa aku berarti baginya?ah..aku egoistis, batinku.
Airmataku menderas, kenapa harus begini, lagi dan lagi. Kenapa aku yang harus terus membalikkan punggung dan meninggalkannya sambil menatapi punggungku sampai di penghujung pandangan matanya?tahukah engkau, hal itu adalah hal terbenci yang harus kulakukan.
            “ Kau kan pergi untuk sebuah alasan yang baik. Rihlah, talabul ngilmi..kenapa harus berat melepasmu pergi?” kalimat itu lamat-lamat kudengar di ujung telpon kala itu. Ia sama sekali tak merasa kehilangan bilaku pergi, yakinku dalam hati. Dan kenapa seperti ada yang tercerabut dalam hatiku. Sepi.
                                                                        ***
Edinburgh, Januari 2011,
            “Yen ing tawang ono lintang cah ayu, Aku ngenteni tekamu”
             Marang mego ing angkoso. Sung takon-ke pawartamu”
Suaranya berjuang  menyeberangi samudra, melintasi tanah-tanah yang jauh, menuju hatiku. Tak peduli suaranya dikacaukan dengan sendatnya jaringan internet, sejenak menghilang, terdengar lagi, dan dikacaukan suara desis angin. Tetap saja tembang yen ing tawang ono lintang-nya itu mengalirkan energi maha dahsyat bagiku.
Hingga tak sadar, mataku bertaburan kaca, sesak rasaku, dan sedetik kemudian air mataku menderas. Kenapa harus begini, dan begini lagi. Kenapa hadirnya, suaranya, ocehan yang tidak jelasnya itu selalu mampu menyembuhkan penyakit gilaku ini. Penyakit kecanduan energi, aih, sampai kapan harus ketergantungan terus padanya?
            Please..contact me at 5 pm waktu purwokerto, need to talk to you soon. Energiku hampir habis..911,” tulisku tadi siang dengan tangan sedikit gemetar di layar skype pada accountnya yang berstatus offline. Begitu, selalu dan selalu. Aku sakaw bila lama ia tak ada. Energiku low berkedip-kedip kayak ultraman kehabisan daya bila lama tak bersamanya. Walau bersama dalam kejauhan, karena batas makna kebersamaan semakin memuai karena teknologi.
             “ Heiii…kok diem, sudah mandi, Kinan?” tanyanya. Kenapa justru pertanyaan seperti itu yang ia lontarkan? Tapi kenapa juga pertanyaan remeh temehnya itu yang selalu kutunggu. Hatiku, otakku, kehilangan intelektualitasannya. Kuseka air mataku, dan menjawabnya.
            “ Dingin tau, mandi itu kan aktivitas fungsional, kulakukan sesuai fungsinya, membersihkan diri, bukan kewajiban mandi dua kali sehari ” kilahku. Uff cobain ke sini, emangnya dia sanggup menahan dingin ?fiuuh..
            “ Aku kan cuma nanya, sudah mandi belum?jawabannya kan sederhana sudah atau belum. Selesai, dan terjawab. Dan aku tau kau pasti belum mandi ehehe,” kudengar tawanya renyah, menyeberangi samudra, menyelusup dalam telinga dan menghangatkan hatiku. Tapi sampai kapan aku mengandalkannya untuk menstabilkan suasana hatiku? Ada yang tidak beres dengan diriku.
            “ Aku kecanduan, aku kecanduan akanmu. Aku tanpamu adalah pribadi yang hilang, yang separuh, kau membuatku nggak jelas” racauku. Nggak jelas, kata lain dari hampa, hilang daya dan karya tanpanya. Aku benci, mengatakan itu. Mungkin dengan kalimatku itu rasa kelelakiannya akan terbang meninggi sampai puncaknya. Menguasaiku, seperti penjara.
            “Masa kau samakan aku dengan narkoba, kecanduan..ehehe..ada-ada saja” guraunya. Risikoku, mencintai seorang yang begitu lugas, dan polos terkadang. Aku sedang mellow begini rupa, tak bisakah kau sedikit berdrama?. Seperti kisah cinta jarak jauh yang romantis, yang saling mengharapkan?
“ Aku lelah. Kini aku mengerti, aku lelah karena aku diracuni kata menuntut. Menuntutmu ada, tapi tiada. Menuntut aliran energi dari celotehmu, racauan tak jelasmu, tapi kadang aku harus berkompromi. Aku keracunan, aku kecanduan, eghhh…aku mau sembuh!” sambungku dengan nada yang semakin meninggi, meracau lagi.
            “ Kalau lelah dengan kuliahmu, jalan-jalanlah di akhir minggu, ke Glasgow barangkali. Kau kan punya banyak kenalan di sana. Kau mungkin penat dengan urusan kuliahmu, rehat sejenak, nanti juga baikan lagi. Oh ya jangan lupa, beliin kilt pesenanku loh ya” katanya datar, seakan tak terjadi apa apa denganku. Padahal aku hampir gila rasanya karena susah mendeskripsikan apa yang tengah melandaku.
“ Sudah dulu ya, hidung kecilku, jangan lupa mandi ya, maemnya kudu teratur, jangan kebanyakan ngopi, istirahatnya juga..eits, salat malamnya juga” katanya seperti kalimat itu sudah kuhapal di luar kepala. Kalimat itu rasanya sudah ratusan kali kudengar, tapi entah kenapa, ingin kudengar lagi..dan lagi. Bliip..sambungan skype terputus. Aku tercenung. Kenapa selalu ada yang hilang saat ia pergi?

                                                            ***
Angkringan Jalan Kampus, Purwokerto, 7 Agustus 2011
Terkadang tanah air adalah segala tentang keistimewaan. Istimewanya bisa duduk lesehan di pinggir jalan, memesan secangkir kopi panas dan mendoan hangat. Merasakan lagi hiruk pikuk kota yang sebenarnya tak terlalu padat ini, teriakan bahasa ngapak-ngapak yang khas dan canda tawa yang polos penuh keterusterangan. Bagaimana aku tak merinduinya. Dan yang membuat tanah air lebih istimewa, karena bisa kupandangi lagi si lelaki yang ngapak tulen ini,
            “ Arya, aku sadar satu hal, aku takkan pernah bisa memperjuangkanmu, sendirian” ungkapku pelan-pelan.
            “ Maksudmu, kau ingin kita…putus?Kinan..maksudmu kepriwe?…dulu kau berkata kau akan memperjuangkanku?dan kini kau berubah?” kalimatnya memburu. Aku memberikan jeda, supaya kalimat yang keluar dapat tercerna.
            “Bukan..aku hanya menyadari satu hal, aku takkan pernah bisa memperjuangkanmu, sendirian” kataku hati-hati, tahu pasti kalau lelaki bertipe lugas ini selalu mencerna kalimatku dengan begitu polosnya.
            “Atas dasar kekuatan apa aku bisa memperjuangkanmu? Dengan cara apa? Aku kini sadar takkan bisa” kalimatku menggantung di udara. Kudengar ia mendesah, menanti kalimatku selanjutnya.
            “ Bayangkan bila aku menelponmu, bila aku mengirimkan email padamu bercerita sampai berbusa-busa, menyapamu di YM tiap kali aku online. Pernahkah terpikir olehmu, apa jadinya bila kau tak ingin menjawab telponku dan beralasan kau sedang sibuk, tak menjawab email-emailku dan tak menjawab chat-ku di YM atau skype?perjuangan macam apa yang bisa kulakukan?nggak ada” jelasku panjang lebar. Selama ini cinta selalu diikatkan dengan keabadian, diharuskan selamanya tak berubah, padahal cinta terus bergerak, selalu baru. Dan di samping seringnya cinta menjadi hiperlogika dan semaunya sendiri, ternyata ia tetap membutuhkan suatu mekanisme untuk tetap bertahan.
            “ Lalu apa maksudmu Kin?” tanyanya lugu.
            “Hubungan hanya bisa berjalan bila ada kesediaan untuk terus terhubung di antara dua orang. Selama ini aku bersedia, dan kau bersedia, sebegitu sederhana mekanismenya. Kenapa aku baru menyadarinya. Aku terlalu merasa adikuasa untuk bisa mempertahankan cinta kita” aku merasa baru saja menjelaskan sebuah teori penemuan besar tentang sebuah hubungan. Menurutku sebuah penemuan teori yang luar biasa, tapi runtuh seketika ketika mendengarnya bicara,
            “ Hadeeeh..selama ini kan aku bersedia, kenapa sih kamu? Aku kan selalu bisa kalau kau mau bercerita lewat skype, bisa chat di YM walau kadang-kadang jarang bisa online kalau aku lagi  sibuk. Kan kamu ngerti banget jadwal kerjaanku. Koe kok dadi aneh. Jauh dan dekat kan hanya soal relativitas, kayak teori rumitmu itu. Semuanya kembali ke rasa, seperti katamu juga. Hadeeeh aku ketularan bahasamu yang rumit itu” kelakarnya.
            “ Eghhh…ngerti nggak sih maksudku?nyebelin” aku gusar. Lebih tepatnya, gemas.
            “ Ehehe iya ngerti, hidung kecilku” katanya singkat. Ufff, nggak romantis banget sih dia. Susah diajak ngomong serius, tapi begitulah, entah mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang membuat segalanya bisa terkompromikan.
            “ Kinan..dengar baik-baik, karena takkan kuulangi lagi. Hatiku hilang separuh saat kutatapi punggungmu pergi sampai menghilang di bandara kala itu. Kehilangan, mungkin itu yang kau sebut. Tak bisa melihat senyum merekahmu yang mencerahkan hariku, tawa renyahmu yang mampu menghilangkan penatku, tak bisa berbagi kapanpun kumau. Aku, terkadang tak yakin akan mampu mengalahkan jarak, waktu dan ruang. Aku lelah, kehilangan energi.” Wait..Itu kalimatnya?benarkah itu dia yang bicara? Lelaki pragmatis itu?
            “ Rupanya kita masih separuh yang bersama untuk menjadi utuh. Kita masing-masing merasa hilang bila kehilangan satu sama lainnya.” Lanjutnya lagi. Aku melongo, masih tak percaya mendengar kalimatnya.
            “ Itu kau? Benar kau yang ngomong, nyontek kalimat darimana? “ candaku. Sebenarnya beneran bertanya dengan penuh penasaran. Hadehh..tadi aku mengharapkan dia beraksi demikian, kenapa aku merusak drama ini dengan komentarku.
            “ Inyong laaaah sing ngomong, masa selama ini bersamamu tak mampu menciptakan kalimat sing mandan ruwet sepertimu ehehe” tawanya semakin terasa hangat di hatiku.
            “ Kita masih menjadi dua huruf C, yang mencari keutuhan dengan bergabung menjadi menjadi lingkaran O yang utuh. Karena itu kita habis daya, menuntut dan selalu takut kehilangan bila terpisah. Jiwaku merasa makin tak sehat” simpulku.
            “ Omongan kita keren yak? Filosofis ehehe” candanya selalu merusak suasana. Eghhh…baru saja mau ngomong rada serius, dia mulai lagi dengan tingkah asalnya. Aku tertawa tergelak.
            “ Jiah..ampun deh, biasa aja kali, ngomong ruwet nggak jelas. Tapi aku ingin  menjadi huruf O utuh untukmu. Eh..untuk diriku sendiri terutama. Kata buku yang kubaca…Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi. Aku menimpalinya.
            “ Kau kebanyakan baca buku nggak jelas. Tapi okelah..kalo begitu huruf O-ku harus lebih besar dari huruf O punyamu ehehe,” kelakarnya. Kupaham benar maknanya, kalimat itu bukan untuk menantang, atau memantik sebuah ketidaksepahaman. Hanya untuk memancingku untuk protes, menentangnya, meributinya. Dia yang selalu suka protesku, penentangan “pura-pura”ku dan keributan manis di antara kami.
            “ Mari kita rayakan, dua huruf O yang pacaran, yang utuh bukan separuh.” ungkapnya lugas dan tandas. Mengangkat segelas jahe susu dan mengajak toast denganku. Aku tersenyum, lega.
Di lesehan angkringan itu, kami menemukan cinta di antara dua huruf O. Karena kami mencoba menjadi dua pribadi yang utuh yang saling mempertinggi energi masing-masing kami, bukan sebentuk dependensi.

*kilt  : rok tartan asli Skotlandia
 

Sabtu, 02 Februari 2013

Detik Terakhir



Sore ini udara Kota Solo terasa gerah. Mendung menggelayut tapi tak kunjung hujan. Air hujan selayaknya air mata yang tertahan pada pelupuk mata. Menunggu tertumpahkan.
            “ Mas, bisa pinjam jaketmu?” tanyaku. Masih dalam langkah kaki menyusuri jalan menuju Terminal Tirtonadi. Berharap jalanan memperpanjang dirinya agar kami bisa berjalan bersama semakin lama.
“Adek sakit?” tanyamu. Langkahmu terhenti, lalu memandangku dengan gurat kecemasan yang sulit kau sembunyikan. Mukaku pasti pucat. Yang sebenarnya memucat karena mengetahui detik yang tersisa bersamamu  hanya tinggal sedikit.
Seandainya tak pernah ada kata pergi.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum. Lalu segera melapisi tubuhku dengan jaketmu, hatiku menghangat.
Detik berlarian. Hatiku beringsut, gundah.
Bukankah ritual pergi telah sering kualami berkali-kali? Kenapa masih saja hatiku menggamang. Seakan tak pernah rela melepasmu pergi.
Kami telah sampai ke Terminal Tirtonadi, berdiri di antara puluhan orang yang tengah sibuk dengan rasa datang dan pergi.
Terminal, Bandara, Stasiun adalah tempat-tempat dimana manusia-manusia melepas dan menyambut. Tempat –tempat itu begitu akrab dengan pertemuan dan perpisahan. Awal dari kebersamaan ataupun ketidakbersamaan. Ada cium tangan, apa pelukan melepas orang-orang terkasih, ada lambaian dengan harap semoga Tuhan dengan waktuNya mempertemukan kita kembali. Dan aku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat saat jiwaku turut menghilang separuh, terbawa bersamamu yang melangkah pergi meninggalkanku, namun turut membawa hatiku pergi.
Seperti saat ini, di tempat duduk ruang tunggu menunggu bus yang akan membawamu pergi. Seperti malaikat maut.
            “ Kenapa sih dek? Sedih ya mas mau pergi?” tanyamu mengamati wajahku. Mungkin kau menyadari binar di mataku makin meredup seiring detik yang terus berlarian, menyisakan waktu yang semakin sedikit tersisa.
Aku tersenyum, ada getir yang pias pada senyumanku.
            “ Enggaklah, mas kan sudah sering pergi. Sudah biasa begini,” begitu jawabku, sambil merapatkan jaketmu ke tubuhku. Ingin hangatmu selalu ada dalam diriku. Selalu.
Kau mengusap-usap rambut panjangku perlahan, kemudian terdiam. Apakah kau juga ingin memperpanjang waktu, mas? tanya hatiku. Tak tahu.
Jam dinding besar di terminal sudah menunjukkan jam 18.45 malam, lima belas menit lagi waktu yang tersisa. Kupandangi engkau lagi seperti memandangimu terakhir kali. Betapa sering aku dianugerahi momen seperti ini.
Manusia bisa memandang orang lain seperti biasa, bahwa nanti akan bertemu lagi. Siang nanti, malam nanti, esok, atau paling beberapa jam mendatang. Mereka tak mengalami apa yang kurasai, memandangi seseorang seperti terakhir kali akan melihatnya. Karena ke depan adalah ketidakpastian. Kapan bisa bertemu engkau lagi? hanya berharap Tuhan dan waktu akan berbaik hati.
Waktu kali ini berbaik hati. Petugas bus menghampiri para penumpang yang tengah menunggu bis menuju Surabaya bahwa bis pada jadwal 19.00 tak bisa dioperasikan. Kami harus menunggu bis pukul 20.00 malam. Hatiku tersenyum, perpanjangan waktu. Berarti masih tersisa sekitar 3600 detik lagi bersamamu.
            “ Adek pulang saja ya, udah malem. Biar mas tunggu bis-nya satu jam lagi. Mas carikan taksi ya?” tanyamu. Dengan wajah lelah karena seharian menantangi hari.
Aku menggelengkan kepala. Waktu sudah berbaik hati, bagaimana mungkin aku pergi sebelum kau pergi.
            “ Tapi adek lagi nggak enak badan, nanti malah sakit?” ucapmu dengan nada khawatir yang sulit kau sembunyikan.
Aku tersenyum, menyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Walau menunggu saat jiwaku akan tinggal separuh dibawa pergi bersamamu.
Di kejauhan, kembali terlihat ritual melepas dan menyambut bergantian di depan mata. Senyuman ataupun air mata yang tertahan. Hujan turun perlahan, airmata di pelupuk langit akhirnya turun ke bumi. Dalam rintik-rintiknya yang membawakan rindu yang gagu. Tak terucap. Bagaimana mungkin seseorang bisa rindu bahkan dengan orang yang masih ada di sampingnya, bersamanya, di dekatnya. Tapi itu aku. Aku telah merinduimu sebelum kau pergi lagi.
            Dan engkau, seperti biasanya mulai meracau lagi dengan kalimat-kalimatmu yang selalu sanggup menerbitkan senyumku. Aku khawatir bila suatu saat engkau berhenti membadut di depanku. Tingkah badutmu yang sanggup membuat tangisku bercampur tawa dalam satu waktu. Bersamamu selalu membuat detik waktu serasa cepat sekali berlalu. Seharusnya engkau melakukan perjanjian dulu dengan waktu sebelum kau bertemu denganku. Mengapa setiap kali denganmu, waktu berlari terburu-buru.
            “ Bis nya sudah datang dek,” katamu pada akhirnya, Malaikat maut datang merebutmu dariku. Senyumku menghilang sejenak. Tapi sedetik kemudian kuterbitkan lagi, karena aku ingin kau melihatku terakhir kali dengan senyuman, walau dengan air mata yang tertahan.
            “ Hati-hati ya mas” kataku. Maksudku hati-hati menjaga hati dan jiwaku yang kau bawa pergi. Kau tahu itu walau tak terucap.
 Kucium tanganmu dan kau melangkah pergi. Dalam setiap langkah yang membuat hatiku luruh, menyadari bahwa jiwaku telah hilang separuh. Kupandangi punggungmu pergi, sampai menghilang naik ke atas bus. Dan tetap kupandangi bis itu sampai akhirnya ia bergerak perlahan meninggalkanku yang tetap berdiri mematung.
Kau pergi, seperti ritual yang kita jalani berkali-kali. Seharusnya hatiku terbiasa dengan ini. Seharusnya aku bersyukur, mungkin tak semua orang pernah mengalami, betapa sempit waktu hingga betapa berharga sebuah kebersamaan. Bila sepasang manusia lainnya yang saling mencinta diberikan jatah waktu sekian lama untuk bersama, tapi kita harus bersyukur dengan jatah waktu yang kita punya. Karena dengan begini, aku bisa mencintaimu sampai detik terakhir. Detik terakhir yang diberikan oleh Tuhan dan waktu.
Aku masih berdiri mematung walau beberapa detik bis yang membawamu pergi meninggalkanku.
Hpku bergetar. Namamu ada di layar, lalu sedetik kemudian suaramu terdengar.
Kita selalu sanggup memperpanjang waktu. Sampai detik terakhir.

Usap air matamu
Dekap erat tubuhku
Tatap aku sepuas hatimu

Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup aroma tubuhku
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu...
(Detik Terakhir, Lyla)




(Sebuah Flash Fiction = karya fiksi yang sangat singkat).

Ndalem Pogung, Jogya. 2 February 2013. 12. 19.

Rabu, 11 Juli 2012

Di Ujung Senja


Malang, kota ini masih saja seperti saat terakhir kali aku meninggalkannya, walau lebih ramai, dan beberapa bangunan modern mewarnai tata kotanya. Namun satu hal, kota ini terlalu penuh kenangan, hingga menjadi salah satu kota yang sangat kuhindari untuk kukunjungi, walau sejujurnya aku merinduinya setengah mati. Andini, perempuan bermata binar dan berpipi merah itu menyesaki hatiku. Sepertinya setiap jengkal dan sudut kota ini menyimpankan kenanganku bersamanya, itu terkadang yang membuat hatiku sesak.
            “Terserah mas saja, Andin akan nungguin mas pulang,” rasanya masih terngiang-ngiang kalimatnya itu. Lalu aku mengulurkan tanganku untuk menggengam tangannya, ia nampak terkesiap, namun membiarkan tangan mungilnya kugenggam lembut, hingga rasanya tak ingin pernah kulepaskan lagi. Lalu dengan jelas kulihat perubahan mukanya, semburat merah yang tiba-tiba menjalari pipinya, lalu ia memalingkan muka, berpura-pura memandangi pak kebun yang tengah merapikan taman di kejauhan. Ah, aku hapal setiap perubahan mimik mukanya itu, dan sering menduga-duga hatinya dari teorema-teorema yang kususun setelah hampir tiga tahun bersamanya.
Kala itu dengan gamang kusampaikan kabar bahwa aku berhasil menggenggam beasiswa master ke University of Maastricht di Belanda, impianku sejak dulu, akhirnya mewujud. Namun justru dengan binar dan pekik bahagia perempuan itu begitu bahagia mendengar kabar itu,
            “ Andin seneeeeng banget. Andin selalu ingin mas mendapat apa yang mas inginkan. So happy for you..really happy for you, dear.” Katanya dengan matanya yang semakin nampak berbinar-binar saat kuberitahukan kabar itu.
Tapi itu berarti harus meninggalkannya, perempuan itu, yang memberitahuku bagaimana rasanya hidup yang sedemikian berwarnanya. Meninggalkan Andini adalah perkara tersulit yang harus kulakukan.

                                                                    
                                                                                                       ***


            Belanda ternyata menghilangkanku, aku hilang tertelan dalam pesona hingar bingar tanah antah berantah yang membuatku kehilangan diriku sendiri. Impian kadang bisa meracuni bila terlalu banyak ditelan, dan aku tak sanggup menjagai diriku dari hasrat untuk menaklukkan tantangan-tantangan yang rasanya semakin kutaklukkan, semakin muncul tantangan-tantangan baru lagi. Semuanya mengaburkanku dari bayangan Andini yang menungguiku. Sampai akhirnya,
            “ Mas, Andin tak bisa menunggui Mas terus bila tak ada kata pasti. Ibu dan Bapak menanyaiku, Mas Pras melamarku. Bila mas tak juga mengambil keputusan, Andin akan patuh kata Bapak dan Ibu,” tulis Andini kala itu di emailnya. Jarak memang kadang membutakan, dan keinginan yang terlalu tinggi kadang melenakan. Bagaimana bisa waktu itu kupikir, aku bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain yang jauh lebih baik, lebih cantik dan lebih berpendidikan tinggi dibandingkan Andini. Aku mendiamkan email itu berkarat tanpa balasan di inbox emailku.
            Waktu berlalu, berempat musim datang silih berganti,  jadwal kuliah yang berlarian, dan gelar pendidikan tinggi yang telah tersemat, kemenangan-kemenangan hidup yang akhirnya tergenggam oleh tangan-tanganku. Namun tiba-tiba, hatiku hampa. Ada yang kurang menghiasi hari, tak ada lagi senyum sapa Andini yang manis, candaannya yang lembut, pipinya yang merona saat kugodai, atau diamnya yang justru terkadang menggemaskan. Hatiku kosong. Pulang ke tanah air, aku kembali ke Bandung, tanah kelahiranku. Sesekali terlintas untuk mengunjungi Malang, mencari Andini. Tapi, rasa bersalahku terlalu dalam pada perempuan berpipi merah itu. Aku kalah, bertahun-tahun hidup dalam sejarah bersamanya, tanpa mampu mencipta sejarah baru, mungkin itu kutukan untukku.
                                                                                                      ***
            “ Dhan, elu sudah denger kabarnya Andini belum? Kaget kayak disamber geledek aku denger info dari Mutia tadi pagi,” Ninit, sahabat karib Andini saat kuliah tiba-tiba menelponku. Deg! Hatiku bereaksi.
            “ Memang kenapa?ada apa dengan Andini?” tanyaku dengan nada memburu.
            “ Andin dan suaminya meninggal, Dhan, kecelakaan mobil tadi pagi. Aku nggak bisa layat, besok aku terbang ke Hanoi, urusan kerjaan. Kasian Galuh, Dhan, semata wayang dia sekarang. Kalau ada waktu, pergilah ke Malang,” kata-kata Ninit seperti menghantam dadaku, langitku menggelap seketika. Semuanya terlihat hitam. Kelam.
                                                                                                     ***
Galuh, gadis kecil itu menggamit lenganku, seperti tak ingin melepaskannya. Kemudian dengan muka cerianya ini mengajakku memasuki rumahnya yang tertata rapi, dengan sentuhan-sentuhan tradisional Jawa yang kental.
            “ Om mau minum apa? Nanti Galuh ambilin,” Galuh menawariku minum. Hujan di luar sudah mereda. Aku seperti memasuki dunia antah berantah, walau inilah risiko dengan memberanikan diri mencari jejak-jejak Andini di kota Apel ini.
            “ Apa saja om suka kok,” jawabku sambil tak lepas mengamati setiap sudut rumah ini. Andini, kehidupan seperti apa yang kau jalani setelah berpisah denganku? Hatiku menderu bertanya. Foto berpigura, gambar keluarga kecil itu terpampang di ruang tengah. Ah senyum itu, senyum Andini, masih saja seperti dulu. Senyum yang bahkan masih tetap manis walau telat menjemputnya karena ban sepeda motorku kempes. Lalu gambar lelaki di sebelahnya itu, hanya sekilas kutatap, karena tak kuasa hatiku menahan rasa tertohok yang dalam kala melihat lelaki itu. Dia lelaki yang sungguh sangat beruntung, kilas pikirku sejenak.
            “ Om Ardhan itu temannya Bunda pas kuliah yah?” Galuh, gadis kecil nan manis itu datang membawakan secangkir teh hangat untukku.
            “ Iya, tapi beda fakultas, “ jawabku singkat, karena tak yakin Galuh sudah mengerti apa itu istilah fakultas.
            “ Kalau beda fakultas, kok Om sama bunda bisa saling kenal?” tanya Galuh yang tiba-tiba menggamit lagi lenganku, duduk dekat-dekat denganku. Entah mengapa aku terkesiap dengan sentuhan tangan si gadis kecil  itu yang nampak begitu manja menggelayut di lenganku. Aku tergeragap, seperti hatiku yang baru saja digenggamnya.
            “ Humm..kenal pas ada acara-acara kampus gitu deh,” Hanya itu yang mampu kujelaskan pada gadis berumur tujuh tahun itu. Ada sesuatu pada gadis kecil itu yang mengingatkanku pada Andini, ya..senyum itu benar-benar menjelma ada pada putri kecilnya.
            “ Bunda cantik enggak pas kuliah Om?pinter enggak? Om nggak nakalin Bunda kan dulu pas kuliah?” Ceriwis tanya Galuh yang memberondongku dengan pertanyaan. Pertanyaan itu mau tak mau mengulik sejarah lama yang walau telah dibawa lari waktu, tapi rasanya kenangan itu tetap ada di sana, di hatiku.
            “ Manis, seperti Galuh. Dan pinter juga loh, makanya Galuh harus rajin belajarnya, biar pinter kayak bunda,” Kujawab sambil mengusap-usap lembut rambut hitam panjang si gadis kecil itu. Galuh malah makin erat menggelayut pada lenganku, dan merebahkan kepalanya di bahuku. Dan anehnya hatiku berdenyar, namun beberapa detik kemudian merasakan ketenangan luar biasa. Entah mengapa ada rasa ingin melindungi gadis kecil ini.
            “Eh Om, Galuh mau kasih makan si Mimi sama Momo di taman belakang, ikut yu Om,” Galuh tiba-tiba menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya ke taman belakang.
Taman yang hijau dan asri, nampak damai saat kakiku melangkahkan kaki. Mataku beradu pada kandang-kandang mungil di pojok, dimana Galuh dengan sigap membuka pintu kandang lalu hap..hap..keluarlah kelinci-kelinci berbulu putih berlompatan di rumput yang basah sehabis hujan. Lalu aku jongkok, menikmati melihat betapa telatennya gadis kecil itu memberi makan, sambil sesekali mengelus-elus punggung kelinci-kelinci itu.
            “ Lucu kan Om, Bunda yang kasih hadiah Mimi dan Momo pas Galuh ulang tahum, seneng banget Om, soalnya mereka lucu-lucu,” terang Galuh dengan ceria. Aku tersenyum mendengarnya. Lalu aku menyalangkan mata mengamati taman belakang ini, lalu hatiku terkesiap, saat pandangan mataku tertumbuk pada dua buah kursi taman kayu dan sebuah meja bundar tertata di sana. Ada vas bunga dengan bunga yang telah layu terdapat di sana.
Perlahan aku bangkit dan mendekati kursi taman itu, lalu pelan-pelan duduk di kursi itu. Hatiku merasa Andini begitu dekat, ada di situ.
            “ Mas kalau nanti suatu saat kita punya rumah, mas mau rumah seperti apa?” tanya Andini dengan matanya yang berbinar-binar, hampir selalu mampu menyilaukan hatiku.
            “ Mas pengen punya taman belakang yang asri, ada kelinci-kelinci lucu, trus ada kursi taman dan meja, jadi kalau pagi-pagi kita berdua bisa minum teh bersama, sambil ngobrol-ngobrol pagi hari, pasti romantis kan?” paparku kala itu.
Seingatku dulu Andini hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum manisnya, kemudian pipinya tiba-tiba bersemu merah, merona. Tak berkata apa-apa setelahnya, hanya memainkan bilah-bilah rambut hitam panjang dengan tangan kecilnya. Memang begitulah Andini, tak banyak bicara. Tapi sanggup membuatku melakukan apa saja untuknya, untuk menjaganya, mencintainya, menyayanginya.
            Dan rasanya ada yang menyesak dalam dadaku, menyaksi sebuah gambaran indah dulu yang pernah kuutarakan. Andini mewujudkan gambaran rumah yang dulu ingin dibangunnya bersamaku. Kelinci-kelinci lucu dan kursi taman tempat kami bicara berdua, persis seperti gambarannya. Ah, Andini..rindu mendesak-desak dadaku.
            “ Om kok ngelamun, betah ya Om duduk di sini. Ini tempat favoritnya Bunda loh, Om. Bunda tu sering bawa laptopnya ke sini, lalu menulis sambil bawa secangkir teh. Galuh sering sungkan kalo mau ngajak main Bunda kalau bunda lagi duduk lama-lama di sini, nggak tau juga kenapa Bunda betah banget di tempat ini,” Galuh tanpa diminta berbicara banyak, ah terlalu banyak tentang bundanya itu.
Mataku berembun, dadaku sesak, hatiku penuh seketika, penuh kenangan seorang perempuan yang dulu mengisi hidupku. Kupeluk tubuh gadis kecil itu erat-erat, ingin kujagai dan kulindungi gadis kecil itu, seperti dulu aku ingin menjagai ibundanya, tapi tak bisa.
Di ujung senja yang merona, seperti jiwaku yang terasa hidup kembali, hidup karena sinar dari mata gadis kecil ini, dimana aku melihat Andini dalam dirinya. Hidupku selanjutnya adalah tentang aku dengan gadis kecil ini. Kupeluk ia lebih erat lagi, kuusap rambut hitam panjangnya dengan penuh sayang. Andini, akan kujagai engkau yang kini ada dalam diri putri kecilmu ini. ***