Kamis, 23 Agustus 2012

Sebaris Doa Untuk Setanggi Timur



Sehabis shubuh ini aku mengintip tulisan di blogmu lagi. Sepertinya jemariku sudah mempunyai gerakan bawah sadar untuk membuka link itu di Hpku, dan segera membacai tulisanmu lagi. Terkadang  berharap kau menulis tentang aku lagi, walau tak pernah kau sebutkan sebuah nama, tapi aku tahu pasti sosok yang tengah kaubicarakan itu aku. Aku yang telah menjadi hantu-mu bertahun-tahun lamanya. Namun pada saat yang sama, ada harapan untuk tak lagi menemukan tulisan tentang aku dalam catatan dunia mayamu itu. Sungguh, walau harapan itu terkadang disertai desir perih dalam hati. Desir itu sepertinya berupa ketidakrelaan yang manusiawi.
Aku, yang selalu diam-diam masih sering menengoki hidupmu sejak 10 tahun terakhir ini. Terkadang hanya memastikan setelah berpisah denganku engkau baik-baik saja. Baik-baik saja, sesederhana itu sebenarnya. Tapi entah mengapa keadaan “baik-baik saja”mu itu tetap salah satu hal yang penting dalam hidupku. Entah, untuk yang satu ini aku tak pernah punya sebuah  penjelasan yang pasti.
Setanggi Timur, perempuan yang dulu kupanggil Anggi. Manis ya namamu, seperti juga parasmu itu. Hidup menciptakan sebuah perlintasan untuk kita agar pernah bertemu dalam sebuah harmoni. Kereta kita pernah melaju beberapa waktu, sampai rel kita terputus. Aku hilang dari duniamu. Kau juga menghilang dari duniaku.
Tapi kau tak pernah tahu bahwa aku sebenarnya tidak pernah benar-benar menghilang. Aku masih mengintipi duniamu. Masih melihat timeline jejaring sosialmu yang untungnya masih kau-set publik, hingga aku masih bisa menengokinya. Ada desir dalam hatiku saat melihat engkau bertumbuh menjadi perempuan yang sebegitu tangguhnya, dan manis tentunya. Desir itu bukan lagi desir keinginan untuk melajukan kereta kita berdua lagi, Anggi. Tapi desir kelegaan bahwa bahwa engkau hidup dalam kebaikan dan kemandirian, walau ada kehampaan yang sayangnya justru aku yang ciptakan.
Kau tahu berapa banyak orang yang mencintai dan akhirnya bisa bersama dengan pasangan yang dicintainya? Aku tidak tahu, tapi mungkin juga tidak terlalu banyak, dengan alasan yang aku tidak tahu kenapa. Tapi aku pernah mendengar bahwa kita akan bersama dengan orang yang lebih membutuhkan kita. Mungkin itu benar, Anggi. Mungkin memang benar bahwa perempuan yang bersamaku kini lebih membutuhkanku dibandingkan kamu. Dan kau mungkin juga lebih membutuhkan lelaki yang saat ini pelan-pelan berupaya menggantikan aku.
Desir di hatiku kembali muncul saat kata “menggantikan” menggema. Aku tak tahu pasti apa. Apakah kita berdua sebenarnya belum benar-benar saling rela? 
Entahlah, aku yang terbiasa menghantuimu, walau tahun-tahun kita sudah lewat. Walau kenangan yang berkarat itu masih juga kau simpan rapat-rapat. Tak tahu jua mengapa engkau masih menggengam erat aku yang walaupun tak kau pasti tahu kabar beritanya. Terkadang aku tak memahami jalan pikirmu. Tapi masih saja kujumpai hantuku yang hadir dalam tulisan-tulisanmu, dan tentu pula masih hadir dalam hatimu. Kau tahu rasanya sedih dan bahagia sekaligus, Anggi-ku? Seperti itu pula rasaku.
Tapi mungkin ini saatnya, hantu itu pelan-pelan menghilang. Biarkan aku mengamatimu dari jauh, dalam diamku yang tak pernah kau tahu. Juga sebaris doa di akhir sujudku yang terlantun juga untukmu selalu. Sebaris doa yang sungguh terbit dari dalam hatiku, entah sebagai apa. “Semoga engkau baik-baik saja, Anggiku-
Ah akhiran –ku itu seharusnya harus pelan-pelan kuhilangkan.
Semoga engkau baik-baik saja, Setanggi Timur.
Terkadang cinta bisa diwujudkan dalam doa. Semoga dengan doa ada ikatan benang antara dua manusia yang walau bagaimanapun takdirNya masih bisa saling menyapa. Saling menyapa dalam doa. 

(Sebuah Tulisan untuk Seorang Sahabat)

 


Kamis, 12 Juli 2012

BEGO


Angin lewat, semilir bergulir, lalu senyap.

I just want to give the best for him” kataku singkat.
Trus kapan dong kapan kamu try to give the best for yourself ? ” tanyanya dengan nada menyudutkan,
“ When I give the best for him” jawabku yakin, dan ditutup dengan sebuah lengkung senyumku.
BEGO” timpalnya, dengan wajah masam. Lalu dia berlalu.

Dalam lalu-nya, aku mendoakannya, semoga suatu saat dia dianugerahi dan diberkahi dengan sebuah ke-bego-an oleh Tuhan.
 Yang mungkin suatu kala tak mampu lagi menghitung untung-rugi, tak peduli lagi menang atau kalah, karena dengan memberi, apapun keadaannya, kondisinya, takdirNya, seseorang akan tetap jadi pemenang. Setidaknya pemenang bagi dirimu sendiri.

BEGO.
Akan kuingat kata itu,
Dan tiba-tiba aku bersyukur menerima anugerah itu.

Salam kasih dengan terus memberi kasih dan menjadi terbaik dari diri kita sendiri.

12 July 2012


Sabtu, 25 Februari 2012

Menepi Darimu, Hujanku

Mendung menggantung lagi sore ini, lagi-lagi begitu. Mungkin hujan sebentar lagi akan turun menderas lagi. Seperti itu terus ritme akhir-akhir ini, biar saja, mungkin hujan tengah pongah menunjukkan betapa ia nampak mempesona untuk selalu kucinta. Seperti kemarin sore itu, ia nampaknya terlalu percaya diri padaku, menunjukkan guyuran dengan intensitas maha tinggi, dengan kilat dan petir menyambar, sementara aku di bawah guyurannya, bersama si hitam manisku dan mantel yang tak lagi kuasa menahan kepongahanmu, hujanku. Lalu aku memilih untuk berhenti, dan menepi.

Apakah sore ini kau akan lagi-lagi seperti itu?
Hujanku, telah kutegaskan aku  mencintai rinai suaramu, sensasi tak tergantikan saat kau membasahi kulitku, dingin yang menyesap dalam hatiku, aku suka hujan, aku cinta hujan, tapi ingatlah, tidak setiap waktu.
Aku gamang dan menepi mencari teduh saat kamu mengguyuri bumi dengan membuta, daratan terdiam, menjadikan suaramu penuh seluruh. Semesta terkesiap begitu melihat engkau marah-marah seperti kemarin sore itu, begitupun aku. Dan aku menepi, harus menepi, karena deraimu tak mampu kutampung lagi.
Dan sore inipun kau isyaratkan pada mendung menggantung, menanda bahwa mungkin deraimu akan mengguyuri bumi lagi.

            “ Perlahanlah, tahukah engkau bila suara derai perlahanmu itu sanggup menciptakan sajak-sajak senja dan puisi menanti pagiku?
Cintaku pada hujan, kenapa kini menjadi bersyarat..aku mencintaimu bila deraimu rinai-rinai di sore hari, menemani senja milikku yang sunyi, tapi aku sungkan dan ingin menepi bila bulir-bulirmu itu berubah menderas, hingga suara yang kau timbulkan tak lagi serupa harmoni. Maaf hujanku, memang cintaku begitu, masih saja penuh syarat..
Tapi sebenarnya, diam-diam ingin kubilang padamu, aku tetep mencintai derai hujanmu, entah rinai-rinai ataupun menderas, tapi menderasmu itu membuatku memilih untuk menepi.
Maka pahamilah, aku menepi..bukan berarti aku tak lagi mencintamu.

GBI, 25 Feb 2012.. di senja yang menggelap, menanda mendung, menyedia hati bahwa engkau akan datang lagi, hujan..

Selasa, 24 Januari 2012

Pinjami Aku Hujanmu

Aku ingin pinjam hujanmu, hujan yang selama ini kucinta. Aku mencintai hujan, apalagi hujan rinai-rinai yang berloncatan riang di luar jendela. Lalu membaui bau hujan di tanah basah, seperti kehidupan berbicara sejenak tentang jeda.
Tentang menghentikan hidup sejenak, dalam mesra dan hikmat suara hujan. Bukankah hujan adalah tentang pertanda alam, agar kita berhenti sejenak, memberikan alasan untuk jeda sebentar. Jeda dari kecepatan-kecepatan yang terjadi pada hidup, orang berlarian, entah mengejar apa. Mengejar bus dengan terburu-buru agar tak terlambat masuk kerja, mengejar deadline pekerjaan yang apakah kamu tahu kapan akan berujung?hujan terkadang adalah cerita tentang memperlambat kecepatan-kecepatan yang terkadang tak perlu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujan yang biasanya membuatku betah memandanginya lama-lama, dari teras rumah, dari balik jendela kampusku, dari teras kosku dulu.
            Sebentar, menunggu hujan mereda
            Nanti, lagi hujan nih..”
Hujan...berbaik hati, mengingatkan akan jeda. Hujan menawarkan peluang untuk mengingat kenangan, bersama secangkir teh dan iringan rinai iramanya menyirami bumi. Hujan itu menentramkan, sepertimu.
Pinjami aku hujanmu!
Tetes-tetesnya yang merindui bumi. Hujan yang mampu ciptakan puisi, prosa, sajak-sajak hati. Aku merindui hujanmu, ingin kudengar lagi rinai suaranya, ingin kurasai lagi tetes-tetesnya. Ingin kucipta puisi dan sajak, lagi
            Sedang hujankah? Biar kudengar suaranya dulu” kataku waktu itu, saat menyeberang ke duniamu, karena sekarang hujanku berbeda dengan hujanmu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujanku di sini, adalah biasaku. Kapan hari yang tak hujan? Hujanku di sini tak sanggup memberikan jeda. Hujanku di sini tak pernah mampu memberikan alasan untuk memperlambat kecepatan apapun. Karena hujanku di sini ada atau tiada, tetap dianggap tiada. Tiada, karena sudah terlalu terbiasa. Hujanku di sini, kesepian dan kasian. Tak pernah dipedulikan, tak pernah diistimewakan. Entah ia turun, entah tidak, mana peduli. Orang tetap berlalu lalang, tetap jogging, tetap melakukan apapun, tak pernah peduli. Mungkin itu sebabnya, hujan di kotaku kadang merajuk, mengubah diri menjadi badai, agar alarm dibunyikan, agar semua memperhatikan, agar tanda peringatan dibunyikan. Betapa memilukan nasib hujan di kotaku ini,
Jadi, pinjami aku hujanmu..
Agar bisa kudengar lagi, suaramu lagi “jangan lupa pake mantel hujanmu”. Itu saja,
Pinjami aku hujanmu...***


--Glasgow, 23 Jan 2012..jam 10 malam, sudah setengah mengantuk..dan membayangkan bila dipinjami hujanmu, humm zzzz....

Kamis, 12 Januari 2012

Badai, Purnama, dan Kamu


Badai terdengar di luar jendela, aku hapal sekali suaranya, suara gemuruh itu. Suara itu rasanya sudah menyatu dengan tempat ini. Badai dan Glasgow telah berteman lama rupanya. Dan anehnya, bila kudengar suara gemuruh itu, dirimu selalu menyelinap dalam ingat.
 Lalu apa yang kau titipkan pada badai? Yang mengantarkan padaku selintas ingatan, kamu. Sudah pukul 11.05 malam yang sudah tua di Glasgow, dan deadline literature reviewku sudah mengintip, esok sudah tinggal beberapa belokan jarum jam.
Tapi suara gemuruh itu membuatku menghentikan ketikanku pada halaman “ilmiah” itu, dan menengok ke luar jendela, menyaksi badai, siapa tau ia membawakanmu padaku. Terbeliak mata berjumpa purnama di atas bubungan bangunan tua di seberang. Bulan milikku, hasil curahan kasih matahari di pagimu. Dan ternyata badai dan purnama itu memang membawakanmu, karena tiba-tiba blip-blip : sebuah bulan kuning itu menyala,
Ayoooo...semangaaatttt...kamis khan hari ini tho...
Kenapa kau tak pernah bilang, bila kau dan badai berteman lama. Harusnya kuminta ia bawakanmu sering-sering.
**Hoaaaaam, ngantuk..diam-diam kuposting tulisan ini saat orang si penghuni bulan kuning itu bilang : “ojo YM ae rapiin dulu Lit reviewnya”....iyaaaa...zzzz..masih ada besok pagi, aku ingin mendengar suara gemuruh itu dulu, mendengarmu dulu.