“Pramugari
di sini nggak mesti cantik ya?” tiba-tiba saja terlontar kalimat demikian, kala
saya melihat pramugari yang berlalu lalang di depan kami.
Kami tengah berada di
salah satu bandara di UK, menyesap secangkir kopi sejenak sembari menunggu
jadwal penerbangan.
“Iyah yah, biasa aja ya.
Bajunya juga sopan,” tukas seseorang di samping saya.
Saya menyesap kembali
secangkir coffee latte yang saya pesan di gerai kopi Costa. Angin bulan September berhembus lumayan kencang menerpa kami yang berada di bagian luar
bandara. Bandara ini tidak terlalu nyaman, tidak ada ruang duduk tunggu kecuali
yang berbayar yang disediakan. Jadi kami akhirnya menghabiskan waktu dengan
memesan kopi dan memilih menikmatinya di luar, di kursi-kursi yang disediakan
gerai kopi itu.
Kami masih mengamati
pramugari-pramugari itu. Penampilannya biasa saja, bajunya sopan, cara jalannya
pun nampak bisa, tidak dibuat buat agar terlihat menarik. Kami akhirnya
terlibat percakapan mengenai penampilan.
“Nyatanya banyak stigma negatif pada
perempuan karena penampilannya dalam pekerjaannya. Kayak SPG misalnya,” lanjut
obrol saya. Masih banyak kan industri-industri yang mengatasnamakan kepentingan
marketing kemudian mengharuskan perempuan untuk berpenampilan “gimana-gimana dalam artian yang jadinya kurang sopan”.
Kalau diamati di
sini, banyak front liner, pegawai yang sejenis customer service itu penampilannya
biasa. Nggak harus yang berkategori cantik, langsing, tinggi, dan sejenis
kriteria lain yang biasanya di Indonesia identik dengan persyaratan pegawai
yang biasanya berurusan dengan konsumen langsung.
“Kadang kala fungsi utamanya yakni
melayani jadi hilang esensinya yah kalau terlalu mengedepankan penampilan, walau nggak
semuanya sih begitu,” sahut teman seperjalanan saya itu.
Iyah sih, padahal
yang yang paling utama itu sifat bisa berkomunikasi dengan baik, nyaman diajak
bicara, luwes, ramah dan bermisi untuk melayani.
Kami sering nggak
habis pikir kenapa kebanyakan pegawai administrasi di Indonesia jutek jutek, harus siap stok
sabar banyak-banyak deh kalau mau berurusan dengan hal-hal seperti itu. Nggak
semuanya sih tentu saja.
Saya juga jadi
teringat pembicaraan kami tentang bagaimana orang-orang sini menujukkan “kelasnya”
atau eksistensi atau apalah yang dibilang keren bagi masyarakat. Kalau di
Indonesia kan kebanyakan masyarakat menilai dari penampilan, ya penampilan
fisik misalnya fashion, tas dll yang bermerk, mobil yang bla bla bla, rumah
mewah, life style yang glamour, dan punya ono lah itulah.
Kami akhirnya jadi
tertarik mengamati apa yang ditunjukkan orang-orang sini untuk menunjukkan
kekerenan mereka ya? Soalnya untuk penampilan relatif biasa saja.
Supervisor saya biasa ke kampus pakai jins dan kaus, atau hem pendek kalau
acara-acara resmi. Begitupun yang lain-lainnya seperti post-doc pun berpakaian
kasual. Belum pernah sekalipun saya melihat mereka pakai pakaian formal dengan
jas, dasi blaser dll, bahkan di acara konferensi internasional. Jadi
ngebayangin sih kalau misal mereka kemana gitu, nggak ada lah yang tau kalau
mereka itu ahli kelas dunia di bidangnya.
Mobil? Kebanyakan
orang sini pergi menggunakan transportasi umum. Okelah, karena fasilitas
transportasinya sudah memadai ya. Tapi dengan itu pun, saya bisa melihat mereka
nggak ada tuh pakai mobil untuk gaya-gaya-an atau ingin menunjukkan kelas
sosial mereka. Kayaknya nggak ada denger-denger cerita rekan-rekan di lab yang
saingan mobil jenis x, y..begitu ada yang beli x, pada mau ganti type ini, type itu.
Kayaknya nggak pernah denger aja sih sejenis pembicaraan yang model beginian.
Kenapa yak di Indo
itu percakapan sejenis di atas untuk sering banget terdengar? Ehehe.
Makanya kami
penasaran, apa “sesuatu” yang mereka tunjukkan untuk menunjukkan mereka keren
nya? Apa memang mereka nggak butuh juga menunjukkan ke-keren-an mereka? Mungkin
juga sih..buat apa juga sih keren ditunjuk-tunjukkan? Ahaha.
Tapi beneran dengan
mengamati fenomena-fenomena seperti itu jadi belajar banyak juga sih. Bukan
untuk membanding-bandingkan di sini begini, di Indonesia begono. Kok kesan-nya
semua yang di Indo jelek, di sini baik. Heheh enggak kok, pastilah banyak yang
baik-baik dari Indonesia. Tapi kalau ingin mempelajari yang baik-baik di sini
boleh juga toh?
Angin mulai berhembus
lebih kencang, saya merapatkan coat yang saya pakai. Dan kami kemudian
memutuskan untuk ke dalam ketika jadwal keberangkatan rekan seperjalanan itu
kian dekat dan saya juga harus kembali ke Glasgow.
Eh kalau kalian
menunjukkan ke-keren-an kalian lewat apa? Ahah iseng nanya ;p
Salam di awal musim
gugur dari Glasgow. 18 Sept 2015