Senin, 17 Mei 2010

Engkau...


Aku adalah engkau

Engkau adalah aku

Aku, cerminmu,

Kau, bayangku

Kau, hilangku yang kutemukan

Kutantang takdir atas rasaku itu

Yang kini menjungkalkanku

Karena engkau adalah Ia

(15 maggio 2010.22.17)

Aku benci aku kalah tanpa peperangan yang gigih, hanya karena aku tidak tahu senjata apa yang harus kupakai, siapa yang harus kubunuh, siapa yang harus kubuat menyerah..dan tiba-tiba menemukan diriku kalah……..Mars, The God of War, kali ini kau harus memaafkan dirimu sendiri. (22.53)

Belok Kanan Barcelona


Judul buku : Traveler’s Tale (Belok Kanan : Barcelona!)

Penulis : Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidayat, Ninit Yunita

Penerbit : Gagas Media

Halaman : 228 Halaman

Blip pesan pendek kuterima, kubuka di sela-sela rapat yang tak jua usai walaupun jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.00 dan perut sudah melilit karena belum makan siang,

“ Belok kanannya ada. Jadi beli?” Heeep..mataku berbinar, tanpa pikir panjang kubalas sms itu, sambil sekilas melihat di arah pimpinan yang tengah memberikan pengarahan.

“ Beliiiii. Nitip ya….tengkiu” blip, sent…Begitulah mengapa buku yang sebenarnya sudah lama terbit ini bisa mampir ke tanganku. Susah payah aku mencari buku ini, awal bulan lalu saat aku mencarinya di taman pintar Yogja, kutanya satu-satu pemilik lapak-lapak toko buku itu,

“ Belok Kanan Barcelona-nya ada Mas?” tanyaku dengan muka serius. Eihhh si mas-mas itu senyum-senyum,

“ belok kiri aja mba….” Jawabku dengan senyum yang kuartikan maknanya “ haduuh mba cari buku kok judulnya aneh-aneh” Huuuff, maka demi mendengar Iinesta, sahabatku yang tengah di pameran buku menemukan buku itu, tanpa pikir panjang…nitiiiiipppp J

Okay, honestly..aku beli buku itu karena judulnya! Sangat pribadi dan subjektif, tapi juga tidak bisa diganggu gugat. Alasan pribadi selalu tidak memunculkan ruang untuk didebat. Titik, kadang kala semuanya menjadi hiperlogika. Okay, don’t talk too much about me, let’s talk about the book

Covernya okey, tapi tidak terlalu luar biasa. Tampilan isinya sangat khas Gagas, ehehe sebagai bekas salah satu penulis di buku terbitannya tentu saja aku paham. Desainnya yang membuat tampilan menjadi menarik, sisipan gambar, sisipan tips..menurutku sangat okey. Tampilan seperti ini tidak kutemukan di penerbit lain yang lebih fokus pada tulisan.

Dan setelah membaca isinya, hmm…I’m afraid to tell you, but…biasa saja. Kecewa? Hmm nggak juga sih. Karena lumayan asyik, soalnya settingnya kota-kota luar negeri. Yap, because I luv travelling

Novel ini merupakan project bersama keempat penulis ini bergenre nge-pop dengan bahasa gaulnya. Yang jujur saja, rada sudah tidak “masuk” untuk bahasa seumuranku ahaha…Aku pun menyadari sudah tidak mampu lagi menulis dengan bahasa gaul anak-anak muda (dari dulupun nggak pernah bisa). Ceritanya tentang persahabatan empat orang yakni Francis, Retno, Farah dan Jusuf. Dan saya yakin satu penulis mewakili satu karakter dalam novel ini. Keempat sahabat ini sebenarnya saling jatuh cinta dengan alur yang rumit ala sinetron. Francis dan Retno saling menyukai sejak kecil, tapi dua kali cinta Francis ditolak karena mereka berbeda keyakinan fiuhhh…Sedangkan Farah sebenarnya mencintai Francis tapi tidak pernah berani mengungkapkan, sedangkan Jusuf justru mencintai Farah, itu juga sampai dewasa belum juga terkatakan. Haduuuh sebenarnya tema yang sedang tidak ingin kubaca. Lagi nggak suka tema beginian…

Ceritanya, akhirnya Francis Lim akan menikahi gadis catalunya dan segera menikah di Barcelona. Ia mengirimkan undangan ke tiga orang sahabatnya itu. Dan kisah mengalir dengan bagaimana ketiga sahabat itu dengan perjalanan dan misinya masing-masing pergi ke Barcelona. Farah setengah mati memaksakan diri ke Barca karena ingin mengatakan perasaan yang sesungguhnya pada Francis, Retno ingin pergi ke Barca karena ia ingin melihat Francis menemukan cintanya. Jusuf harus menghabiskan tabungannya untuk menghentikan Farah, sekaligus ingin menyatakan apa yang selama ini tak terkatakan. Owh, it’s all about love, guys…

Alurnya naik turun, kadang membingungkan. Deskripsinya kurang kuat, kayak membaca orang berlari-lari dari satu kota ke kota lainnya. Nama-nama tokoh-tokoh nggak penting terlalu banyak berhamburan sehingga pembaca bingung. Detail…uhmm sayang sekali, penulis tidak mampu (menurutku) membawa pembaca ikut larut dalam indera penulis. Banyak tempat-tempat bagus tanpa detail yang memadainya, okay..i luv details..karena akan menyebabkan buku menjadi kaya dan berisi. Sisi emosi juga kurang dimainkan, banyak adegan yang sebenarnya bisa dibuat lebih mengharu biru lagi. Terkadang ada kesan plain saat membaca saat-saat yang justru menyentuh.

Kisah ini berakhir dengan bersatunya Francis dan Retno (trus perbedaannya itu apa kabar? Nggak jelas juga), serta Farah dan Jusuf akhirnya menikah, happy ending story. Uhmmm…

Cukup menghibur untuk dijadikan bahan bacaan di kala senggang, santai dan bisa diselesaikan sekali atau dua kali duduk. Ringan, kocak, lumayan seru sih…mungkin sesuai dengan segmen remaja atau dewasa muda. Laris manisnnya sebuah buku juga ditentukan bagaimana buku itu diterima oleh pasar, seperti juga nasib sebuah film. Karya bagus belum tentu laris, karya yang laris belum tentu bagus. Uhmm so, karena buku ini berisi sedikit banyak travelling, so..yah nggak rugi lah beli buku ini, walau agak sedikit overexpected. I don’t find something special about Barca in this book…ehehehe

Sabtu, 15 Mei 2010

Bau Harum Toko Buku


Kemanakah engkau saat tengah jenuh? Bosan dengan keseharianmu? Setiap orang mempunyai tempat favorit untuk menghabiskan waktu. Dan satu tempat yang sudah pasti akan membuat mood-ku membaik adalah pergi ke toko buku!

Bau harum toko buku, yap atmosfer toko buku selalu membuatkku nyaman. Berada di sekeliling buku-buku yang dipajang, dengan judul yang bermacam-macam, puluhan penerbit, ratusan nama penulis. Seperti mengenggam dunia, rasanya seperti itu. Aku mau membaca apa, ingin melihat apa, kemana, semuanya bisa ditawarkan oleh benda ajaib bernama buku, yap…BUKU.

Aku selalu diterpa perasaan nyaman bila melihat buku-buku banyak yang dipajang. Okay, salah satu penyakit gilaku nomer entah berapa. Perasaan nyaman saat melihat buku-buku dipajang, saat melihat lapangan sepakbola, saat melihat langit, saat memeluk tiang atau pohon. Ahaha u think that I need to go to psikolog?ahaha..good point!

Jadi menyadari lagi, ternyata banyak benda-benda mati yang membuat hidupku semakin terasa nyaman. Karena alasan itulah kamarku dipenuhi buku-buku yang sudah kubaca atau yang sudah kubeli dan belum sempat kubaca ehehe. Aku suka membaca, hampir apa saja…uhmm..tidak juga, ada beberapa yang rasanya sudah tidak cocok lagi dengan umurku untuk kubaca :P

Dalam buku bisa kutemukan penghiburan, bisa kutemukan pencerahan, petualangan, cerita-cerita penuh inspirasi. Isi kepala penulis, karakter orang, apapun. Apapun, tergantung buku apa yang kau baca.

Mungkin karena suka membaca, aku jadi suka menulis, atau kebalikannya. Ah ini seperti kisah telur dan ayam.

Tahukah engkau betapa dahsyatnya pengaruh beberapa kalimat yang ditulis oleh seorang penulis yang tentu saja tidak kukenal. Aku hanya tahu namanya, seperti yang tercetak di cover buku itu, atau hanya sedikit deskripsi tentangnya di halaman terakhir. Tapi bagaimana beberapa orang itu mempengaruhi hidupku dengan begitu dahsyat, tidak akan pernah terjadi seandainya aku tidak pernah membaca baris-baris kalimatnya dalam sebuah benda bernama “Buku”.

Misalnya saja, aku harus berterima kasih pada si ikal Andrea Hirata yang menumbuhkan lagi semangat mengejar impian-impianku.

“Beranilah bermimpi, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu” Kisahnya sangat inspiratif, dan lagi bahasa novelnya yang penuh metafor mengejutkan itu sangat menawan. Aku sering membaca ulang, rasanya tanpa merasa bosan. Karena aku merasa gaya penulisannya sangat original. Sulit sekali meniru gaya penulisannya, karena ia mempunyai ciri tersendiri. Aku banyak belajar menulis darinya,

Aku juga harus angkat topi pada karya-karya Paulo Coelho. Ia begitu banyak mengajariku tentang hidup. Bahkan Tuhan menjawab pertanyaanku tentang arti sebuah perjalanan mewujudkan impian dalam bukunya yang legendaris ”the alchemist”. Koleksi karya PC hampir semuanya sudah kubaca, walau memang terkadang bahasa dan penyampaiannya sukar dimengerti, aku tetap salut dengan baris-baris kalimatnya. Bukunya seperti berubah menjadi buku referensi karena sering kuberi tanda underline…

“ Percayalah pada impian-impianmu. Karena seluruh jagat raya akan bersatu padu mewujudkannya” itu salah satu kutipan favoritku di bukunya.

“ahaha..pantas saja, kitab kita sama” komentar Connie, teman kosku setelah lama tidak bertemu. Bulan lalu aku mengunjunginya di Jogja dan menemukan setumpuk buku-buku yang semuanya hampir seperti ‘selera” ku.

Aku belajar untuk terpusat, tak lagi terlalu banyak terguncang oleh kehidupan karena tersentuh oleh kata-kata Gede Prama. Ia mengajarkan padaku bagaimana belajar mencintai dualitas hidup, menang kalah, gagal sukses, pahit manis bahkan hidup dan mati. Banyak buku lain yang mengajariku bagaimana memilih untuk menjadi bahagia, bagaimana memandang hidup, bagaimana mensikapi saat-saat sulit, dan banyak pembelajaran berharga lainnya.

Betapa aku terinspirasi dari mereka, membuatku takjub. Begitu ajaibnya sebuah buku untukku. Karena itu aku mencintainya, dan ingin menulis dan menulis. Menulis buku, karena aku pernah berkali-kali tersentuh oleh buku dan kini aku harus mengembalikan cinta yang diberikan sebuah buku padaku, dengan membaginya kepada orang lain.

Bau harum toko buku, ingin kukenalkan baunya itu pada orang-orang sekelilingku, pada lelakiku, pada anak-anakku kelak. Karena bau itu, aku mencium bau keabadian, dalam baris tulisannya yang akan selalu dikenang zaman ***

Kedungweru, 12 maggio'10 19:52.di meja kamarku yang sudah kutinggali lebih dari seperempat abad.




Sebuah Rasa yang Hanya dikenali Hati


Saat ini menetap di Purwokerto, sambil menunggu persinggahan selanjutnya. Masih terus asyik menulis ditemani secangkir kopi panas dan serentet musik favoritnya. Menikmati bola sebagai bagian hidup, buku-buku sebagai penghibur sekaligus guru besar, dan petualangan sebagai bentuk kehausan jiwa manusianya. Bahagia dengan keluarga serta. Sahabat yang menjadi sumber energinya yang tak pernah lekang. Masih terus melakukan perjalanan jauh ke dalam diri, memaknai hidup sebagai berkah dalam setiap hembusan nafasnya.


Iseng saat membuka halaman blog, aku membaca lagi profilku: About me…tersenyum sejenak. “Aku banget” begitu pikirku saat pertama kali membacanya lagi.

“ sambil menunggu persinggahan selanjutnya” - - - uhm, kemana? Tapi pagi ini aku mendapat bisikan (seperti wangsit saja ahahaha) “ bunyi bisikan itu adalah..setelah kota ini akan segera datang kota berikutnya.

Semoga saja segera. Karena bukan aku tidak menikmati hidup di kota kecil di kaki Gunung Slamet ini, tapi karena kota ini belum juga membuat ruhku, jiwaku merasa melebur dengan tempat ini. Ah, bahasaku semakin absurb saja. Sederhananya, kota ini belum juga mampu membuatku jatuh cinta.

Purwokerto dengan udaranya yang masih bersih, dengan paginya yang tenang, indah dan damai. Sepotong senja yang sendu, yang hangat. Orang-orang di sekelilingku, anak-anakku (baca:mahasiswaku) yang selalu menghiasi hari dengan segala tingkahnya. Everything is fine

FINE _Frustated-Insecure-Neurotic-Emotional?? Ehehe bukan seperti itu…trully fine

Tapi kota ini tidak membuatku merasa bahwa tempat ini adalah “this is where I belong”. Rasa itu..rasa itu belum juga muncul. Berapa tahun aku menjejakkan kaki di tanah-tanahnya? Empat tahun menempuh gelar sarjana, dan saat bekerja…uhmm sudah lebih dari dua tahun. Semuanya lebih dari 6 tahun tepatnya. Tempat ini tidak sanggup membuatku merindukannya, tidak mampu membuat hatiku menemukan rumah.

Kau menyebutku aneh –Ampun deh, masalah tempat aja ribet bener—just say it, it’s okay..Walaupun aku tahu ‘ dimanapun kau tinggal, bukan masalah bagaimana lingkunganmu, tapi bagaimana dirimu sendiri” Maksudnya, damai atau tidak damai,tergantung diri kita sendiri---okay aku mengerti. It’s not the matter most…I definetely agree with that

Karena aku mempunyai kota yang hanya dengan melihatnya sebagai setting sebuah film atau sinetron bisa membuatku merasa berdetak-detak, mendengar kota itu disebut, mendengar lama-lamat sebuah lagu yang judulnya mengambil nama tempat itu, bisa dalam detik itu juga mencerabutku dari segala aktivitasku. Ada detik itu..detik itu yang secara spontan mengambilku dari dimanapun aku berada untuk (dalam detik itu juga) memikirkan kota itu, dan ingin kembali lagi ke sana. Uhmm..ternyata perasaan seperti itu juga hampir mirip dengan cinta.

Nyaman saja tidak cukup, baik saja tidak cukup. Atau bahkan tidak harus nyaman, tidak harus baik. Seperti juga cinta, tidak harus sempurna, tidak harus sesuai dengan standar apapun. Asal ada rasa itu. Rasa yang hanya dikenali hati.

This is where I belong”

(Merindukan tempat itu, yang kini sudah terlalu riuh dengan orang-orang, terlalu padat dan berdebu dengan kendaraan yang berjejal, tapi tetap saja..saat mendengar aksen Jawa kental yang diucapkan sopir TransJogya, saat mendengar obrolan si mbak penjual Gudeg di emperan jalan Kaliurang, bahkan memandangi lanskapnya yang tidak lagi bersih seperti dulu, bisa membuatku merasa di “rumah”. Sebuah rasa yang hanya dikenali hati)

Tak perlu menjadi sempurna, untuk sebuah cinta

Purwokerto, 12 maggio 14:24. Di meja kerjaku, ditemani secangkir kopi yang tinggal separuh


Rabu, 12 Mei 2010

Menjelang Kelahiran koloni Milaniti (2)


Gerimis rintis di luar jendela, sepotong sore yang sendu, serentetan lagu-lagu Jepang dari CD yang dihadiahkan seorang sahabatku terdengar syahdu, uhm..perpaduan yang sempurna untuk menimbulkan kesan mellow di hatiku.

Aku tengah merevisi naskah. Beberapa first reader sudah memberikan komentar, cenut-cenut kepalaku saat mendengar komentar mereka,

“ Alurnya nggak jelas, flashbacknya membingungkan. Klimaksnya yang mana?nggak jelas. Trus karakter tokoh-tokohnya kurang kuat” kata Iinesta.

“ Trus kok nggak ada roman-romannya. Nggak seru ah, kudu ada prikitiw..prikitiwwnya dong” ia berargumen.

Oke…baru dari satu orang

“ Mba…deskripsi tokohnya kurang greget, klimaks ceritanya sudah okey kok. Cuman kurang aura pinky-pinky nya” begitu kira-kira komentar Penny di email yang panjang lebar.

Fiuhhh dua orang.

“ Kalo menurutku, jangan diberi label novel, kasih tulisan catatan perjalanan aja. Kalau novel itu harus jelas alurnya, tokoh-tokohnya dan trus harus ada roman-roman..cinta-cintanya. Bumbu itu bikin cerita jadi sedap. ” komen Intan,salah satu yang ikut baca naskahku.

Fine, tiga orang…

Aku tersenyum, rada pahit. Oke, semua komentar mengenai naskahku aku cukup setuju dengan mereka. Terutama tentang penokohan yang karakternya kurang kuat. Ruh koloni Milanisti yang kurang terlihat. Tidak terlalu sulit untuk merevisi beberapa komentar mereka. Beberapa malam merevisi dengan memoles beberapa bagian membuatku semakin merasa okey dengan naskahku. Ternyata dengan mendengarkan komentar dari orang lain, aku bisa mendapat feedback sudut pandang yang lain, sesuatu yang aku lewatkan.

Tapiiiii….saran untuk memasukkan aura pinky-pinky nya ini revisi terberat. Banyak pertimbangan, sampai kepalaku pusing. Haduuuhhh…it’s hard to write this

Cuman…mungkin benar juga kata mereka.. Awas ya para first reader..kalo jadi enggak bagus ehehehe…

Okey, dengan suasana semellow ini. Aku mencoba merevisi dengan memasukkan aura pinky-pinky (sedikit) ke dalam naskahku. Ughh…beberapa baris kalimat, berhenti sejenak..menarik nafas panjang. Menuliskan lagi dengan mengerak-gerakkan jari jemari di atas keyboard, berhenti lagi..mengacak-acak rambutku. Eggghhh…nggak suka. Tapi harus…menghidupkan yang sudah mati. Fiuuuuhhh…

Selasa, 04 Mei 2010

Happines dan Fulfilment dalam Pekerjaan


Setiap orang mempunyai saat kapan ia mau menyerap informasi dari luar, mendengarkan kata orang, membaca buku, melihat alam sebagai pertanda, untuk dapat mengubah cara pandangnya terhadap hidupnya sendiri. Dan hal itu juga terjadi padaku. Pemahaman baru mengenai kebahagiaan (Happines) dan Fulfillment (Kepuasan/pemenuhan). Ok, pemahamanku akan choice to be Happy, rasanya semua orang juga setuju, yakni dimana kehidupan memilih untuk bahagia, sekarang ini juga, di sini, tanpa menunggu hal-hal yang kita pikir hal itu adalah sumber kebahagiaan kita terwujud.

Tapi aku telah melewatkan kata “pemaknaan”, pemaknaan pada setiap hal yang dilakukan dalam hidup. Dalam kegiatan bekerja, meluangkan waktu untuk diri sendiri, sahabat, dan keluarga.

Apa yang engkau maknai dari pekerjaanmu?

* Aku memaknainya sebagai sesuatu yang harus kulakukan, hal itu memberikanku “rutinitas” yang membuatku merasa berguna, memperoleh penghasilan tetap, kemapanan dan keseimbangan.

* Tapi juga di sana berpenghuni pemantik stress, proporsi waktu yang banyak tersita (entah efektif entah tidak), kompetisi, rutinitas yang membosankan, tekanan, kewajiban sehingga terkadang harus melakukan hal yang tidak kusukai.

* Lalu dimana enjoyment? Fulfillment? Apakah aku cukup puas telah menghabiskan berjam-jam di kantor hanya dengan menerima gaji setiap bulan? Tik tik..tikk..aku berpikir, mungkin aku telah salah memaknai pekerjaanku.

Bagaimana mencintai pekerjaan kita? Begitu tanya seseorang di sebuah acara yang runtut kuikuti setiap malam itu. “ Untuk apa mencintai pekerjaan kita, pekerjaan tidak mencintai kita kembali? Cintailah dirimu, keluargamu, kekasih, sahabat melalui pekerjaanmu”. Jawab Rene Suhardono, si motivator itu. Hmm..jadi pekerjaan adalah alat. Melakukan sesuatu dalam pekerjaan atas dasar kontribusi yang dapat kulakukan, kontribusi seperti kata yang lebih pas daripada pemenuhan kewajiban. Kontribusi memberikan nilai, dimana kehadiran kita dalam pekerjaan saat terasa signifikan bila ada atau tidak ada kita.

Fullfilment/kepuasan/pemenuhan…kadang hal itu terpinggirkan saat kita bekerja. Seperti merasa bahwa yang dapat memberikan kita fulfillment adalah hal-hal lain seperti liburan, jalan-jalan. Padahal dalam pekerjaan kita juga dapat mendapatkan fulfillment, bila kita memaknai pekerjaan dengan lebih mendalam.

Kita terkadang harus melakukan pekerjaan yang tidak semuanya kita sukai, tapi lakukanlah itu dengan penuh suka cita agar kita bisa mempunyai waktu/sarana/uang untuk melakukan hal-hal yang kita sukai. Hehehe…juga uang/sarana adalah alat bukan tujuan. I got his point! Aku tersenyum dan mendapatkan sudut pandang yang baru.

Bagaimana menurutmu, masih mau dibelit rutinitas membosankan dari pekerjaanmu?

Senin, 26 April 2010

Menanti Kelahiran "Koloni Milanisti"


Teh hangat sudah tinggal setengah gelas, malam beranjak naik, dan suara-suara di luar masih sesekali terdengar. Kau bertanya kenapa kali ini segelas teh hangat bukan secangkir kopi seperti biasanya? Humm ya, aku harus menjaga dosis kopiku agar kesehatan tidak terganggu :p

Humm..penat, dengan pekerjaan, dengan pikiran yang berseliweran, dengan hal-hal yang membutuhkan energi. Aku akan memulai rutinitas malamku, berkutat dengan naskah yang aku selalu bilang “tinggal finishing..tinggal finishing!”
Tapi nyatanya, mungkin sudah lebih dari sebulan aku bilang seperti itu dan naskahku belum kelar juga. Makanya saat ini aku membuka lembar word baru untuk menuliskan tulisan ini, beralih dari naskah yang saat ini sudah 237 halaman itu. Kepalaku buntu, terkadang lelah menguras energi untuk menyelesaikannya. Dalam perjalanan menuliskan novel pertamaku ini, sungguh bukan sebuah proses yang mudah. Mood yang naik turun, waktu tersisa yang semakin menyempit, semangat yang terkadang surut. Aku pernah ada dalam suatu titik dimana aktivitas menulis yang biasanya selalu menyembuhkan, mencerahkan dan menentramkan terkadang berubah menjadi menyiksa. Bolak balik kubaca naskah itu lagi, lagi dan lagi…men-scroll naik turun, kuruntuti lagi barisan kalimat-kalimatnya, rasanya tidak pernah puas untuk memperbaikinya. Dan yang lebih memberatkan terkadang saat kepala beku kehabisan energi untuk dibagi untuk menulis.

Menjalankan sesuatu yang membutuhkan konsistensi jangka panjang seperti menulis sebuah buku, memang bukan hanya harus pintar membagi waktu, tapi juga membagi energi. Bagaimana tidak, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, terkadang energiku juga sudah tak lagi penuh. Menjelang malam saat berubah haluan berprofesi sebagai penulis, tapi seringkali mendapati energi sudah hampir habis. Maka eksesnya dopping secangkir kopi hampir tiap malam menemaniku menyelesaikan naskah itu.

Harus kuakui bahwa hampir dua tahun perjalanan menuliskan naskah bukuku memang bukan waktu yang singkat. Deadline yang berkali kali harus mundur, excuse karena pekerjaan, dan urusan-urusan yang harus didahulukan. Dan kini aku sadar pentingnya konsistensi dalam melakukan apapun. Untuk apa aku menulis?untuk apa aku membuat buku itu?
Aku menjawab pertanyaan yang kubuat pada diriku sendiri itu. Aku memvisualisasikannya dalam pikiranku bila pada akhirnya bukuku bila terbit, seperti resep para pemimpi lainnya. Di penghujung kelahiran bukuku ini, aku menyadari bahwa aku menulis karena sebuah misi. Misi keberadaanku di dunia ini, karena aku yakin setiap manusia membawa misinya sendiri. Aku menulis karena ada misi yang harus kusampaikan pada baris-baris kalimatku, pada paragraf-paragrafku, yang semoga sampai pada pembaca yang meruntuti barisan kalimat di bukuku kelak. Semoga!

Kini, tengah menunggu revisi dari first reader dengan sedikit berdebar. Cover awal sudah siap, sinopsis sudah selesai dibuat. Dan sesegara mungkin akan kuserahkan naskahku pada takdir, setelah aku berjuang sampai akhir.

Koloni Milanisti, segeralah lahir….karena engkau lahir membawa misiku