Senin, 06 Februari 2012

Rindu Tahu

Tahu apa engkau tentang rindu? Tanyakanlah pada tahu, karena ia tahu betapa rinduku padanya. Sederhana saja rindu, tak muluk-muluk, hanya ingin makan tahu. Tahu saja, karena bila ngidam tahu gimbal mas aris di Semarang, tentu saja jauh, dan akupun tidak (terpaksa tidak) ngidam tahu petis kesukaanku di depan pasar Gombong yang berjualan mulai jam 4 sore itu. Aku tahu pasti anak-anak Indonesia yang sekolah ke negeri antah berantah ini banyak disergap rindu, entah rindu keluarga, rindu sahabat, kekasih, ataupun rindu makanan. Sudah sering kudapati upaya-upaya gigih mereka dalam rangka menuntaskan satu rasa, rindu. 
Puput, flatmate-ku nyari labu siam kemana-mana untuk bikin lontong opor, bikin pempek. Lalu cerita kegigihan rekan lain pastilah sudah sering kudengar, berbagi bumbu rendang, dan masakan-masakan Indonesia yang lain. Begitulah rindu, kawan, memberimu segala macam daya upaya untuk menuntaskannya, dan kali ini aku rindu tahu.
Tadinya ingin kubuat semacam tahu yang dibikin opor, tapi niat kuurungkan, kayaknya enak bila diolah original saja. Hanya direndam dengan garam dan bawang putih saja, dan digoreng lalu dilahap panas-panas..hasiih..dan kau tahu..itulah tahu terenak sepanjang sejarahku ahaha...lebaaay..
Kubeli tahu itu di toko cina Chunying, yang letaknya jauh dari flat, harus naik bisa dulu ke city center, lalu jalan sekitar 15 menit ke toko tersebut, panjang perjalanan demi kerinduanku pada tahu.  Dan harganya pun, bikin tarik nafas panjang-panjang, hampir 3 pounds (hampir 45rebu) untuk sebungkus tahu berisi 15 biji. Tapi kau tahu, demi rindu, sepertinya semuanya dikesampingkan. Maka akhirnya tersaji juga tahu goreng panas yang kumakan dengan nasi hangat plus tumis teri, dan oh Gusti...nikmatMu sungguh susah kuingkari.
Mungkin tulisanku terdengar berlebihan, tapi rasailah engkau misal sudah sebulan tak makan nasi, lalu engkau akhirnya menemukannya, rasanya akan berkuadrat-kuadrat nikmatnya. Akhir-akhir kusadari hal itu, Tuhan memang punya mekanismenya sendiri agar manusia belajar bersyukur. Tahu di Indonesia adalah makanan murah yang bisa dibeli dimana saja, tak terlihat, kalah saing dibanding makanan-makanan rupa-rupa yang kini naik pamor dengan semakin nge-trend-nya wisata kuliner yang sekarang berubah menjadi lifestyle manusia masa kini. Tapi kau lihat, tahu yang diolah dengan cara paling tradisional itu, mampu menuntaskan rinduku. Sederhana saja , bukan?
Tahu itu mengajarkan padaku, bagaimana menikmati berkahNya dalam setiap detiknya. Dengan caranya yang sederhana.

**Glasgow, 5 Feb 2012,  8.30 malam dengan bulan yang membulat purnama di luar jendela..




Minggu, 05 Februari 2012

Tragedi Masuk Angin

Di negeri antah berantah begini, yang paling merepotkan adalah bila badan sudah mulai protes, dan entah kenapa sudah kedua kalinya, masuk angin, dan mual-mual. Kejadian pertama, juga begini rupa dan berikutnya lebih parah karena harus melakukan 911 sendirian dan akhirnya muntah-muntah...aisssh...sudah kubujuk-bujuk si badan akan bekerjasama dengan baik hari ini. Karena sederet kerjaan lab menanti,ekstraksi RNA, sintesis ke cDNA, lalu fiksasi untuk immunoflourecens serta mengganti media si sel-sel itu. Pengennya kabur ke flat dan tidur, tapi apa daya..jadwal dengan makhluk hidup memang tak bisa ditunda. Lalu iseng, sambil menghilangkan mual, chat dengan sahabat, ikutan bingung dia di seberang sana, dan mulai rewellah dia :

S : “makan banyak, minum banyak, terus tak usah lembur
Aku : Tapi kan nulis membuatku bahagia,
S : iya tapi bukan berarti mengurangi jatah fisik untuk tidur
S : Istirahatlah sebentar, pejamkan mata, atur nafas
Haikk..seperti orang mau melahirkan saja, Jawabku dengan ngakak tertahan. Walaupun perut masih mual. Sepertinya ini gara-gara menghirup powder virkon saat piket tadi pagi, curigaku begitu. Karena sudah kali dua aku mengalami hal serupa, dan  hari ini lebih parah. Tadi pagi masih baik-baik saja, sarapan seperti biasa. Dan setelah piket membereskan lab, dan menyediakan segala keperluan laboratorium termasuk mengganti cairan pembuangan pipet dan sterilisasi, yakni dengan membuat larutan virkon 1% tiba-tiba jadi mual begini rupa. Tapi dasarnya aku tipe yang sering kali mengindahkan rasa sakit, kuanggap ini sakit biasa saja. Mungkin sejenis masuk angin biasa, yang nanti akan sembuh dan baik-baik saja. Jadi dengan mengambil segelas air hangat di lantai 5, kuharap mualnya akan segera sembuh.

Beda lagi dengan adekku, yang tiba-tiba menyapa di chat FB, yang bilang
Ss : Minum wedang jahe sama kunir asem
Hadeeeh ribet bener. Ini kan cuma masuk angin..nanti juga sembuh sendiri. Begitulah, terkadang bila sakit-nya masih dalam kategori ringan sampai sedang, jarang-jarang kuanggap sebagai perkara besar. Dan saat kucerita tentang masuk angin dan muntah-muntah dengan tersangka gara-gara bubuk virkon itu pada si dosen kimia pengampu mata kuliah kesehatan laboratorium untuk bertanya tentang bahaya si bubuk merah jambu itu, komentar awalnya bisa diduga,
            “ Sudah berapa bulan?” fiuuuuh...tapi kalimat berikutnya,baru dia bilang “ banyakin minum susu karena bla..bla..bla..haiiih, selalu saja kebalik, siapa coba yang dosen kesmas..
Cerita tentang masuk angin itu kuanggap berakhir, seiring dengan kembali normalnya badanku dengan nafsu makan yang kian meningkat saja. Tapi tiba-tiba dua hari kemudian, Esther (mahasiswa postdoc di lab) mencari tahu apakah ada sesuatu yang aneh di lab, karena petugas kebersihan yang membersihkan sisa cairan di drum pipet (yang berisi cairan virkon) mengeluh mual dan sakit tenggorokan. Dan akhirnya ceritalah aku tentang masuk angin dan muntah-muntah yang sudah terjadi dua kali dengan tersangka di bubuk merah jambu itu. Semula aku menganggap itu cerita biasa saja, hanya ingin menegaskan lagi, mungkin tersangka si penyebab sakit antara aku dan si petugas kebersihan itu sama, si virkon itu. Tapi siangnya, tiba-tiba Esther berkata bila aku harus menemui Joice, kepala health safety CVR untuk mengisi form. Hiyaaak, sudah mulai curiga aku. Dan dengan manggut-manggut dan sedikit shock mendapati form yang kuisi itu berjudul agak serius : form laporan injury and dangerous occurance..aih mantap kataku dalam hati, masuk anginku masuk injury serius rupanya. Dan lagi, aku diwawancarai seperti korban saja, awalnya bagaimana, saat kejadian kira-kira jam berapa, memakai apa, apakah bercerita tentang kejadian itu ke orang lain, gejala-gejala apa yang dirasakan, tindakan apa yang dilakukan dan sampai berapa lama sembuh. Sementara dia mencatat secara detail pernyataanku. Hohoho kok jadi begini yaaaah...
            “ Baik, form ini akan diajukan ke Uni, nanti mungkin dari pihak health safety uni akan merundingkan dan mungkin akan mengadakan pemeriksaan kesehatan, dikhawatirkan kamu terlalu sensitif terhadap bahan kimia tertentu. Nanti juga saya akan ke Alain untuk memberitahukan tentang hal ini kata Joyce, yang dengan telatennya menghadapi “kasus” ini. Duuuh, ini kan kasus masuk angin doang, kok ceritanya jadi panjang sih, apalagi sampai urusan dengan supervisorku segala, haiiih, paling nggak mau ada perkara dengan supervisor, jadi saat dia bilang akan lapor Alain, kupingku langsung sensitif,
            “ Humm I don’t want to make a trouble” kataku bimbang

Lalu dia tersenyum “ oh bukan, sama sekali bukan masalah, ini hanya sekedar laporan saja, karena dia kan yang bertanggungjawab atasmu di sini, jadi dia harus tahu. Jangan merasa begitu. Kami di sini semua membantu untuk memastikan bahwa seluruh anggota lab baik-baik saja, jadi jangan sungkan bila ada masalah seperti ini “ katanya panjang lebar. (sebenarnya jauh lebih panjang lebar lagi, dengan banyak bumbu-bumbu seperti halnya bagian healthy safety yang tak menginginkan anggota lab-nya cedera seujung kukupun).
Rekan-rekan lab yang lain pun merespon dengan seriusnya,
            “ Why you don’t tell us?” dengan muka bersimpati. Hadeeeh lha wong cuman masuk angin dan muntah-muntah kok yoo...waktu itu aku memang hanya cerita pada susana (rekan mahasiswa phD dari Malaysia) dan Stephanie (mahasiswa postdoc) saja. Aih...aku jadi terharuuu..halaaah lebaay..
hari berikutnya, Joyce dan Esther memintaku untuk sering mengecek email student-ku, mungkin pihak healthy safety Uni akan menghubungiku. Hoho kuharap nggak usah ada pengecekan kesehatan segala...hadeeeeh....


Tapi dari tragedi masuk angin ini, aku menyadari beberapa hal, satu, ternyata aku dikelilingi orang-orang yang perhatian dan menyayangiku...jiaaaah hi hi...dua, ternyata perkara healthy safety di UK ini memang bukan perkara main-main, serius sekali mereka dengan masalah ini. Salut juga dengan sistem mereka yang begitu memperhatikan keselamatan. Bila di Indo, rasanya sering kali peraturan tentang healthy safety hanya berupa lip service yang berakhir dengan tempelan di dinding yang sering diabaikan dan tak dianggap penting. Tadinya, saat pertama kali masuk gedung CVR, heran juga dengan papan larangan memakai sarung tangan lateks yang tergantung di koridor-koridor. Dan sebenarnya jadi ribet, karena harus melepas sarung tangan bila ingin berpindah-pindah untuk memakai alat tertentu. Tapi ternyata peraturan itu dibuat karena ada beberapa anggota dan staff  CVR yang alergi dengan lateks. Hummm...jempol empat deh buat mereka tentang healthy safety, dengan harapan Indonesia bisa menerapkan hal serupa suatu hari, semoga ***

Jumat, 03 Februari 2012

Luka//Lalu//Lupa

Semua luka akan sembuh, tapi tidak semuanya akan hilang. Beberapa luka akan menyisakan bekas—tanda bahwa sebuah peristiwa pernah ada (Luka, Fadh Djibran)

Aku adalah saksi sekaligus pelaku, bahwa luka-luka itu pernah ada. Bukti bahwa kita hanya manusia, yang mungkin saja rentan untuk terluka. Entah itu luka karena seseorang yang sengaja atau tak sengaja, atau bahkan luka yang dicipta sendiri? Entahlah, luka terkadang tetaplah getir yang sering kali ditelan sendiri. Kadang kala  berupa sayatan tak terkendali yang tiba-tiba merobek hati tanpa bisa dicegah lagi. Begitu saja, tiba-tiba, tanpa permisi.
Tak ada guna benteng-benteng, topeng-topeng, atau tameng-tameng yang kita pakai, luka itu terlalu jelas untuk bisa bersembunyi. Mungkin luka bersembunyi di balik senyum yang masih bisa terulas, di balik tawa yang sebenarnya getir, dibalik canda yang sebenarnya hanya dengan cara itulah ingin kau kubur lukamu dalam-dalam. Karena bila tidak, tangismu akan pecah.
Tanda bahwa kata-katamu tak sanggup lagi bicara, senyummu sudah tak bisa lagi terkulum, tawamu hilang ditelan getir yang datang menghampir. Dan hanya tangis yang mampu menerjemahkan luka itu dengan sedemikian fasihnya. Saat kata-kata hilang daya, tangis hampir sempurna mengambil peran itu. Tangismu, yang mungkin tangis sendirian yang sepi. Yang menegaskan bahwa setangguh apapun dirimu, rapuhmu adalah bagian dari dirimu yang tak terbantahkan. Bukan untuk kehilangan ketangguhan dan kekuatan, namun mengambil jeda dari peristiwa, mengambil jarak dari apapun yang kaupikir menyakitimu, dan ingin sendirian dengan dirimu sendiri.
Bila kautengok kebelakang, jejak-jejak luka itu pastilah pernah ada. Mungkin karena memang dalam setiap diri manusia ada jejak-jejak luka yang disimpannya. Ada yang memilih menguburnya, pura-pura melupa, bahwa episode itu adalah sepenggal kisah yang ingin ia hapuskan dari sekuen hidupnya. Ada pula yang membumbui luka, yang justru merawati lukamu, dan hidup di atasnya. Iya, dengan mengenang-kenang terus lukamu itu, luka segores yang dikenali hati itu akhirnya justru menjadi bumbu bumbu yang kau buat dramatis.
Manusia memang terkadang masokis rasa, menyukai sakit, atau luka yang dikorek-korek lagi. Merasai kilasan rasa-rasa itu lagi. Perhatikan deretan-deretan lagu di jetaudio, winamp atau playlist di HPmu. Lagu-lagu kebangsaanmu itu pasti mengingatkanmu akan sesuatu, akan peristiwa atau akan seseorang. Mungkin juga ada jejak-jejak luka bertebaran dimana-mana, namun kau menikmatinya. Kadang malah berubah menjadi kisah begitu dahsyat yang dialami oleh hati kalian. Yang sering dilagukan, sering kali malah seperti dirayakan. Begitulah manusia.
Merayakan luka setelah luka berlalu, namun tetap tak bisa lupa. Luka-luka itu akan sembuh, dengan si penyembuh terdahsyat dan tak tergantikan, waktu. Si detik jarum jam yang berdetak ritmis itu terkadang adalah harapan saat luka menyesakkan dadamu. Dengan mengucap mantra sakti “ dan inipun akan berlalu”.
Seorang sahabat bertanya dalam statusnya “apakah sebuah tangisan akan menyembuhkan luka?” Entahlah, itu mungkin tergantung kadar dan seberapa cepat penerimaanmu pada luka itu. Mungkin hanya butuh sejenak waktu, karena saat luka memenuhi dada, tak ada lain yang terasa kecuali pedihnya. Sesaknya yang menyulitkanmu bernafas, lalu tangis adalah semacam naluri alamiah yang tak harus kau pelajari mengapa bulir-bulir air matamu itu tiba-tiba saja menderas. Sepertinya luka dan tangis mempunya koneksinya yang ajaib. Tangis yang kadang tanpa kata. Mungkin tak perlu lagi kata-kata. Tangismu itu sudah mewakili segalanya. Percayalah nantinya, luka itupun akan lalu, walau mungkin kau takkan pernah lupa. Tak apa bila kau memilih pura-pura melupa, toh dengan penghapus macam manapun luka itu sebenarnya tak pernah bisa benar-benar terlupa. Mungkin luka itu akan sembuh, nanti, seiring dengan dengan pemahaman-pemahamanmu yang baru. Di sinilah justru betapa kadang luka itu adalah sejenis anak tangga yang akan membuatmu melangkah pada tataran pemahaman berikutnya.
Satu hal, sadarilah, bahwa takkan pernah ada sesuatu atau seseorangpun yang sanggup melukaimu, menyakitimu tanpa engkau mengijinkannya. Ya, kau terluka karena engkau mengijinkanmu terluka. Dan sayangnya, orang yang paling berpotensi membuatmu terluka adalah orang-orang terdekatmu, orang-orang tercintamu, orang yang paling yang menduduki porsi-porsi besar di hatimu. Bukankah begitu? Karena  mungkin mereka-merekalah yang kau ijinkan, atau tak sengaja kau ijinkan menjejakkan luka. Entah luka yang kau buat sendiri, atau terluka oleh orang lain. Luka yang kau buat sendiri? Yaa..luka yang barangkali orang yang kau anggap melukaimu itu tak pernah merasa atau bermaksud melukaimu. Luka karena harapmu tak bertemu dengan nyata,  luka karena inginmu tak seperti yang dilakukannya.
Tengoklah lagi jejak-jejak lukamu itu, jangan-jangan banyak luka yang kau buat sendiri, lalu kau usung-usung kemanapun kau pergi, lalu kau coba sembuhkan sendiri. Humm..tapi yakinlah, bahwa tetap ada harga untuk sebuah luka bila engkau mau belajar darinya. Mungkin luka itu akan mengantarkanmu pada pemahaman-pemahaman hidup yang baru. Biasanya seperti itu. Mungkin. Mungkin saja, aku hanya menduga.

Luka karena cinta, bukanlah luka yang mencacatkan, tapi yang menuntunmu untuk mengenali keindahan asli dari jiwamu (Mario Teguh)
Tulisan ini untukku, untukmu, untuk kalian, yang pernah terluka, mempunyai luka, menjagai luka, dan menyembuhkannya, walau mungkin tidak untuk lupa bahwa luka itu pernah ada. Jadikanlah luka itu jejak berharga dalam hidupmu, bahwa pernah ada peristiwa, dan pembelajaran di baliknya.

Sungguh, saya mengajak Anda semua untuk mempercayai rumus ini, bahwa seluruh kepahitan-kepahitan hidup, hanyalah intro bagi sebuah kegembiraan. Maka orang yang tidak pernah menderita, sebetulnya telah kehilangan separoh kebahagiaannya (Prie Gs)


**Glasgow, 2 Feb 2012 yang tengah membeku dengan suhu -7 C, 

Selasa, 31 Januari 2012

Merindu Salju

**Salju kembali turun, kali ini agak terburu-buru, seperti rinduku..yang terburu-buru ingin menujumu (SiwiMars, 26 January 2012)

Merasai bulir-bulirnya jatuh ringan di tubuhku, mukaku, telapak tanganku dan meninggalkan jejak putih di mantelku, rasaku membisu. Ada gelenyar yang tak dikenali hatiku, sebuah rasa “baru”. Bahwa rasaku pun berubah dari tataran “belum pernah merasai salju” berubah menjadi “pernah”. 
Hati-hati dengan perubahan rasa ini, terkadang sebagian besar dari hidupmu itu mendamba untuk mengubah dari belum pernah menjadi pernah. Dan juga bagi perkara saljupun sepertinya berlaku hukum itu. Sebagai manusia yang dihidupkan oleh iklim tropis, yang selama ini terbiasa dengan matahari dan hujan, salju telah lama masuk menjadi kategori “barang antah berantah” yang hanya berakhir pada imajinasi film-film drama romantis, kartun-kartun Disney atau film-film natal. Salju selalu diidentikan dengan Natal, sampai ada sebutan “white christmas”, mungkin karena turunnya salju biasanya terjadi pada Bulan Desember, saat musim dingin tiba. Maka karena termasuk kategori “barang antah berantah” itulah banyak orang mendamba merasai turunnya salju dalam hidupnya, termasuk aku tentu saja. Laiklah bila kami-kami yang baru saja menginjakkan kaki di daratan Eropa, terkana sindrom merindu salju.
Menunggu saat kapan si bulir-bulir putih lucu itu menjatuhkan dirinya dengan beruntun dari langit. Dengan terus memantau perkiraan cuaca, dan menunggu kalo ada tanda-tanda ramalan adanya “snow” walaupun cuma “light snow”. Dan betapa beruntungnya aku yang tinggal di Britania bagian utara yang notabenenya lebih dingin dibandingkan dengan daratan UK lainnya. Sehingga daratan yang kujejaki saat ini lebih cepat mendapat berkah salju dibandingkan daratan-daratan lain di benua biru ini.
Aku masih ingat salju pertamaku, turun tak terburu-buru, seperti rindu yang tak tentu. Hanya rintik rintik putih yang melayang terbang dan menimpa ringan di tubuhku. 

Aku dan Salju

Dan kemarin turun lagi si lucu itu, kali ini seperti serat-serat kapas yang beterbangan di luar jendela. Ah, salju-salju lucu itu...seperti menerbangkan angan, meloncatkan harapan. Memandangi  gumpalan-gumpalan putih terbang melayang sungguh mendebarkan. Hatiku seakan ikut dibawanya terbang, menyeberang samudra, menujumu. Titik–titik putih itu turun satu-satu, menggodaku untuk keluar dan bersama mereka. Merasai bulir-bulirnya jatuh di kulitku, merasai sensasi dingin di wajahku, dan tak terasa tanganku mulai membeku. Dan saat langit telah menggelap, dengan lagu-lagu yang diputar syahdu, plus teh hangat madu, serta salju di luar jendela masih terus turun membawakan rindu, sempurnalah hidupku ehehe. Salju memang cenderung membawakan rasa mellow di hati. Dengan suhu minus, jalanan beku dengan lapisan tipis es, akibat salju yang membeku, memang saat yang tepat untuk ber”hibernasi” di balik selimut.
Namun sayangnya tahun ini, salju tak sering-sering datang, tak seperti tahun lalu (kata mereka). Masih untung si bulir bulir lucu itu sudi turun, karena di bagian UK lainnya, sahabat-sahabatku masih merindu salju.
            “ Aku sudah lelah menantinya”, begitu katanya. Tanda rindu tak bersambut dalam sebuah pertemuan yang indah. Ah, bersabarlah..mungkin nanti salju lucu itu akan segera mampir ke tempat kalian. Agar berubah status hidup kalian, dari belum pernah merasai salju menjadi pernah, sebenarnya itu saja urgensinya. Namun walau hanya sekedar itu, perubahan status itu terkadang membuat orang-orang terkena snowholic..mencandu salju. Mood-nya menjadi tiba-tiba melankolik, bahagia nano nano..ahaha kombinasi yang aneh..sindrom ini terdeteksi dari berbagai status-status FB warga negara Indonesia tercinta yang tengah dilanda “candu salju”. Padahal rekan-rekan Labku yang orang Scottish dan orang Eropa lainnya, memandang salju sebagai sesuatu yang sangat biasa, bahkan menurut mereka “menganggu”. Karena salju bagi mereka adalah jalanan yang licin, mobil yang susah bergerak karena salju, suhu yang makin membuat beku. Ah, lihatlah hanya perkara salju saja sangggup menggerakkan kesadaran kita tentang sesuatu yang biasa dan luar biasa. Salju bagi kita-kita adalah sesuatu yang istimewa, hanya karena kita tak biasa mengalaminya, dan bagi mereka, salju sangatlah biasa. Jadi mereka merindu matahari tropis yang menghangatkan kebekuan mereka yang hampir sepanjang tahun diterpa hawa dingin. Itulah mereka mengganggap negeri tercinta kita itu sebagai surga.
            “why you came here, your country is paradise?” kata tutor les inggrisku pas awal-awal menginjakkan kaki disini.
Ah, begitulah ternyata hidup. Kita sering berteriak-teriak kepanasan, mereka merindukan matahari terik milik kita itu. Sementara kita mencemburui salju milik mereka. Jadi itulah tentang merindu, menantikan sesuatu yang ingin kau rasai, menunggu untuk bertemu seseorang atau sesuatu yang ingin kau temui, mendesak-desak tak tentu.
Salju kembali hilang, tapi kenapa rinduku masih di sini bersamaku.***

 

Kamis, 26 Januari 2012

Catatan Perjalanan : Edinburgh, Menatapi Sejarah Peradaban

Sabtu, 21 jan 2012. 05.30 My flat
Glasgow masih lelap, tak banyak manusia-manusianya yang sudah bangun pada saat-saat jam dimana berkelubut dalam selimut saat dingin menusuki tulang benar-benar menjadi hal yang menyenangkan. Saya memang penggila rasa, bahkan untuk merasai dinginpun, ritual bangun pagi kusisakan beberapa menit untuk sekedar mengumpulkan nyawa, namun selebihnya adalah untuk menikmatinya, merasai rasa dingin dipadu dengan selimut dobel adalah seperti paduan secangkir teh hangat dan hujan, saling menyempurnakan..ehehe
Tapi karena mengingat jadwal bis ke Edinburgh berangkat jam 8.45 maka setidaknya 45 menit sebelumnya aku sudah harus beranjak menuju halte bis menuju stasiun. Maka kutinggalkan dingin dan cerita selimutnya, lalu bersiap-siap. Kali ini ingin menikmati perjalanan dengan santai, karena seringkali liburan atau jalan-jalan tak lebih dari cerita serba terburu-buru. Apa yang kau nikmati dari serba buru-burumu? Maka tas punggung—pacar keduaku- sudah siap dengan segala tetek bengek keperluan selama 2 hari,persis kayak kantong doraemon saja. Bila lapar?ada sekotak Bakmi Kangen, bila ingin camilan? Ada shortbread, cemilan kue khas Scotland favoritku itu, Bila hujan ada payung, bila merinduimu..ada saputanganmu ;p

07.35. Halte bis Great Western Road
Glasgow masih saja menggelap, saat kulangkahkan kaki keluar flat. Iseng memotret Glasgow-ku yang masih terlelap, ternyata mempesona. Dengan santai pula kutunggu bis lewat di halte terdekat di Great Western Road. Aku teringat betapa aku terburu-buru saat akan ke Edinburgh tahun baru lalu, begitu cemas ketinggalan bus di stasiun. Ah, betapa tidak menyenangkannya buru-buru. Dan bis no 20 pun mengantarkanku ke Buchanan Bus Stasiun, sekitar 30 menit sebelum jadwal keberangkatan. Masih sempat duduk santai, masih sempat makan Bakmi Kangenku, dan menulis catatan-catatan kecil di notesku.

Setapak jalan di samping flatku
08.45 Citylink
Bus yang nyaman ini mengantarkanku ke Edinburgh, sebuah perjalanan sendirian, berbeda dengan perjalananku kemarin itu yang bersebelas orang. Tapi kunikmati benar pemandangan di luar jendela. Itulah mengapa selalu saja kupilih posisi di dekat jendela bila aku naik apa saja, entah bis, kereta atau pesawat..entah kapal, aku belum tahu bagaimana rasanya. Karena menurutku dari sebuah perjalanan, terkadang menyenangkan menikmati perjalanan itu sendiri, bukan hanya melulu memusatkan diri pada tujuan. Lalu pemandangan di luar jendela adalah hal-hal yang  tak bisa tertampikkan, begitu mempesonakan. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata, dengan deretan rumah rumah berdesain unik, mungil, sederhana namun nampak nyaman, lalu bukit-bukit menghijau dengan domba-domba yang menunduk sibuk merumput.
Entah kenapa aku menyukai kala memandangi domba-domba lucu itu. Sampai bertanya dalam hati, kenapa semua domba yang kulihat selalu dalam posisi menunduk?apa ia tak lelah makan terus? Tapi pertanyaan itu terjawab setelah beberapa kali melihat si lucu itu mendongakkan kepala..ahaha pertanyaan nggak penting ya. Cuaca hari ini nampak bersinar, membuat hatiku cerah. Humm memang terkadang entah ada hubungan apa antara hati dan cuaca hingga mereka berdua seringkali saling mengkoneksi. Mungkin matahari sedang senang, hingga muncul terang melihatku datang. Jadi sepanjang jalan, betapa kunikmati memandangi landskap mahakarya sang kuasa yang sungguh indahnya. Andai naik kendaraan pribadi, pasti aku ingin berhenti, menikmati pesonanya dengan duduk-duduk di hamparan rumput menghijau itu, mengamati tingkah polah domba domba lucu itu hingga bisa menghitung frekuensi sebenarnya berapa lama ia menunduk dan berapa lama ia mendongakkan kepalanya. Atau menatapi pagar-pagar kayu yang berbaris rapi, menentramkan hati. Mengingatkan bahwa apa saja yang berjalan sesuai batas memang lebih menyamankan nurani.

09.45. Edinburgh Bus Stasiun
Masih agak mengantuk, karena ternyata pemandangan yang mempesonakan dan domba-domba lucu tadi itu sungguh melenakan. Aku terlelap ehehe..dan tersadar saat bis sudah melewati kota Edinburgh menuju bus stasiun. Belum-belum sudah kukagumi sisi-sisi lanskap kota tua ini. Humm..cantik..khas lanskap kota tua yang masih terjaga kelestariannya.
Sampai di bus stasiun, kuambil peta yang disediakan disana, trus mencari jalan ke arah flat-nya Detia. Sebelumnya sudah mem-bookingnya untuk menemaniku jalan-jalan sekaligus numpang nginep di tempatnya. Hiyaaa..kali ini bakat nyasaranku rada sembuh, setidaknya hanya sekali menelponnya, dan akhirnya berhasil sampai di flatnya setelah berjalan sekitar 30 menit. Setelah makan, ngeteh, leyeh-leyeh sambil menunggui detia mandi. Detia ini mahasiswa S1 di Uni Edinburgh, baru semester awal..hadeeeh bisa dibayangkan, baru seumur segitu sudah kelayapan ke negeri antah berantah sini.

11.30. Kawasan Kastil Edinburgh
Menjelang siang kami berangkat jalan-jalan, iyap, jalan-jalan dalam artian sebenarnya, dengan berjalan kaki. Berjalan menyelusuri jalan-jalan Edinburgh rasanya menyenangkan, walau angin bertiup kencang dan gerimis rinai datang sesekali. Cuaca memang aneh, mentari bersinar terang tapi gerimis datang. Ah, mungkin mereka berdua ingin menjumpaiku dalam waktu yang sama ;p Melihat sisi-sisi Edinburgh rasanya ingin lama berhenti, mengamati dan menikmatinya. Coba kalau bisa berlama-lama, hummm maunya. Kami mengarah ke kastil edinburgh, tempat ini adalah hotspot yang paling dicari banyak orang. Belum dikatakan ke Edinburgh bila belum mengunjunginya. Dan juga, tempat ini kujadikan setting cerpenku “Cinta di antara dua huruf “O”” di buku Balada Seorang Lengger, jadi ingin mengecek bagaimana sebenarnya aslinya. Kastil ini menangkup skyline Edinburgh karena letaknya di puncak volcanic Castle Rock, jadi merupakan pusat pemandangan yang bisa terlihat yang mudah dari sudut-sudut kota.
Kastil megah ini menjadi simbol kota Edinburgh, bahkan juga menghiasi logo University of Edinburgh, ada di gambar perangko-perangko dan juga lembaran duit pounsterlingnya scotland (eit..duitnya orang scotland sama orang England beda lho walau sama-sama poundsterling, arogansi memang menjamur dimana-mana kawan, bukan hanya di bumi pertiwi). Angin bertiup kencang, beginilah khas cuaca di Scotland..memang lebih brrrr dibandingkan bagian UK lainnya. Kusempatkan foto-foto di kastil yang dulunya adalah tempat tinggal kerjaan (royal castle) sejak rezim David I abad 12 sampai tahun 1603 itu. Sebagai banteng paling penting di Kingdom of Scotland, tentu saja banteng ini ikut berperan dalam perang kemerdekaan Skotlandia pada abad ke 14. Hummm..selalu merasa bagaimanaa...bila berhadapan dengan bangunan-bangunan yang sudah “simbah buyut” umurnya. Bahwa aku bisa melihat apa yang dulu orang-orang antah berantah, beratus ratus sebelumku lihat juga, rasanya ada yang berdesir di dadaku, entah apa itu. Mungkin karena rasaku yang sedikit rasa “aneh” dengan bangunan-bangunan historis. Mungkin secara genetis aku lahir dengan pecinta “klasik” daripada sesuatu yang mengusung modernitas.
Foto di depan Kastil...cantik ya...kastilnya hihi ;p
Sayangnya belum sempat masuk ke dalam kastilnya, untuk tiket masuk seharga 14 pounds..heuu cukup mahal ya, dan saat itu antrean sudah mengular, akan memakan waktu lama untuk mengantri. Jadi lebih baik nanti masuk kalau ke sini lagi, agar ada alasan untuk kembali lagi hihi. 
Kemudian kami berjalan meninggalkan kastil, aku dan Detia menikmati berbagai atraksi. Banyak atraksi menarik para seniman jalanan, mulai dari si bapak-bapak yang berdandan ala William Wallace yang terkenal dengan film Brave Heart itu  
Lalu di sepanjang jalan bisa ditemukan gambar dari seniman-seniman local ataupun toko-toko souvenir khas Scotland yang menjual berbagai pernak pernik nan lucu. Humm..berharap kurs rupiah dan poundsterling lebih mesra lagi saat melihat harganya, hadeeeeh....ehehe tapi akhirnya kubeli juga beberapa souvenir Scotland yang unik,dan nggak ada di Glasgow. Sepertinya lebih banyak variasi di sini, dan harganya lebih rasional.
ini dia si bapak-bapak yang berdandan ala William Wallace

2.00 pm- Old College-Kitchen Mosque-Central Mosque-Uni Edinburgh
Kemudian, kami meneruskan perjalanan ke kawasan University of Edinburgh, mantan calon kampusku hihi. Di tengah jalan, kami mampir di Old College dengan arsitekturnya yang waw..cantik dan klasik, betah banget berlama-lama memandanginya. Kemudian juga iseng masuk ke museumnya, hum museum di sini memang selalu terawat dan dikelola dengan baik, pokoknya ngiriiii. Setelah agak puas kami mampir makan siang, karena perut sudah keroncongan. Detia menunjukkan Kicthen Mosque di dekat Uni, yang menyediakan masakan halal dengan harga yang lumayan. Aku memesan nasi briyani dan sayur, sedangkan detia memesan Nasi dan Ayam Curry. Harganya standard, sekitar 5 pounds seporsi , tapi hebatnya Detia habis.

Di Old College...waw, betah banget di tempat ini
            “ pertama kali makan di sini nggak habis mba, tapi lama-lama habis juga, sepertinya perut sudah menyesuaikan” katanya sambil tersenyum, dan kembali merampungkan nasi dan ayam di piringnya.  Aku menyerah, dan minta sisanya dibungkus ehehe.
Nasi Briyani..enaaaak bangeeet...
Dari situ, kami melewati Central Mosque, lalu ke kawasan Uni Edinburgh. Dan ke university shopnya...hyaaaa..mata langsung berbinar-binar melihat pernak-pernik uni. Hihi nakal, padahal belum satupun pernak pernik Uni Glasgow yang kubeli, tapi demi melihat pernak pernik Uni Edinburgh langsung berhasrat untuk membeli, kadang-kadang cinta memang terlalu jelas, tak sanggup disembunyikan. Apalagi ada diskon, kaus merah dengan lambang Uni Edinburgh-pun akhirnya berpindah ke tanganku, ahaaaay..5 pounds, harga yang rasional setelah diskon lumayan. Untuk urusan souvenir, pikirku, yang bikin mahal adalah tulisan, lambang, logo dan sebagainya ehehe..begitulah kira-kira hipotesisku.
Setelah itu kususuri bangunan-bangunan Uni yang antik dan telah berumur ratusan tahun itu, sampai gelap. Jam 4 sore saja, langit sudah menggelap menjadikan hari terasa begitu singkat. Akhirnya kami beranjak pulang, tapi di tengah jalan, tetep mampir ke beberapa toko dan akhirnya sampai di flat dengan keresek belanjaan. Entah, biasanya tidak begitu..hihi, mungkin karena menjelang pulang, jadi pikirannya beli oleh-oleh terus ;p

6.30. Flat Detia
Di Flat-nya Detia, bersama Minfi
Humm...kaki rasanya pegeeeeel setelah berjalan sedemikian jauh dan lama. Kaki di sini memang memiliki peran yang sangat penting, karena akan dipakai terus terusan untuk jalan kaki. Nggak ada becak, nggak ada ojek walaupun jalanan kadang becek hihi...makanya saat tubuh bertemu dengan kasus dan boneka minfi (boneka khas belanda) yang pas dipeluk itu, waa nempel terus. Sementara detia asyik memutar lagu-lagunya Ada band sambil bernyanyi-nyanyi, katanya pemanasan sebelum  mengerjakan tugas, tapi pemanasannya lamaaa..nggak sampai inti-nya hihi. Salut juga dengannya, dengan umur yang belum lagi 17 tahun, sudah melalang buana, jauh dari orang tua. Humm..sementara pemuda pemuda lain masih nyaman di “suapi” emaknya. Kuraih buku “cinta padang bulan”nya Andrea Hirata di rak bukunya, dan iseng membacai kalimat-kalimatnya. Haus bacaan Indonesia, semuanya di sini berbahasa antah berantah semua. Menjelang jam 8, karena perut keroncongan..kami segera ke dapur, masak cah kangkung dan tahu goreng, ayeeee...pertama kali makan kangkung di negeri ini. Namun, sayangnya Detia nggak suka  pedes, jadinya nggak ada cabe satu bijipun. Alhasil jadilah cah kangkung tanpa cabai...oh, cintaku pada cabai..hambarku tanpamu ;p

Minggu, 22 Januari. 10.30. Royal Botanical Garden, edinburgh
Humm hijau-hijaunya taman selalu menyejukkan
Tema jalan-jalanku kali ini memang “menikmati”, jadi memang nggak bernafsu untuk menjelajah ke banyak tempat. Masih ada waktu mengunjunginya lagi, pikirku. Jadi, kami menikmati pagi dengan leyeh-leyeh, sarapan dan cerita di ruang dapur. Sambil menikmati mentari Edinburgh yang tersenyum cerah. Entah mengapa bila mentari tersenyum cerah, hati ikutan cerah, mungkin karena kelamaan disuguhi mendung, badai, dan hujan, jadi aku merindui matahari. Menjelang siang kami jalan menuju Royal Botanical Garden, sekitar 20 menit jalan kaki dari flat Detia. Humm, taman saat musim dingin dengan pohon-pohon yang meranggas ternyata tetap cantik juga. Kupikir, pasti taman ini akan punya warna yang khas setiap musimnya. Cantik berwarna warni saat musim semi ataupun musim panas, lalu menguning atau merah kekuningan saat musim gugur. Royal Botanical Garden Edinburgh hampir sama dengan yang ada di Glasgow.. namun lebih luas, lebih lengkap dan variatif. Aku selalu betah berada di lingkungan yang hijau-hijau begini, rasanya segar, udaranya masih bersih. Humm ada danau dengan angsa-angsa, ada hamparan rumput menghijau yang luas, kursi-kursi duduk, tempat pameran, souvenir shop yang menjual pernak pernik, madu dan produk-produk kebun lainnya. Dijamin indah untuk lokasi foto-foto (ahaha teteeeep), enak untuk jalan-jalan, dan juga sip untuk belajar. Ada video tentang alam, ilmu pengetahuan, miniatur, gambar..wuiiii lengkap banget. Belum lagi ada koleksi tanaman dan bunga-bunganya yang belum sempat kulihat. Oh ya, bedanya kalau di Glasgow, masuk ke koleksinya gratis, dan kata Detia kalo masuk koleksi tanaman dan bunga di sini bayar hohoho.
Koleksi madu scotland di souvenir shopnya
Menjelang jam 1.30, kami pulang ke flat karena jam 2.45 tiket bisku pulang menuju Glasgow. Jadi, setelah mengepak semuanya, aku kembali berjalan menuju stasiun. Dengan hati senang, jiwa terang, ehehe. Satu yang pasti, memang suatu kota ada jatahnya untuk selalui dirindui, seperti Jogya. Tapi ada kota yang nyaman dan membuatmu mau pulang, seperti Purwokerto ataupun Glasgow.
04.30. Buchanan Bus Stasiun, Glasgow
Aku kembali menjejakkan kaki di Glasgow, humm rumahku. Mampir sebentar membeli Lamb Kebab di King’s Kebab di Sauchihall Street, karena sepertinya perut sudah tak sabar menunggu bila harus masak lagi. Hihi perutku memang manja akhir-akhir ini . Akhirnya kembali ke flatku, kamarku yang super nyaman. Dan merasa beruntung, aku bisa berjalan-jalan, menikmati semua anugerah Tuhan, sambil mengucapkan, Edinburgh-ku, suatu saat, aku akan kembali lagi ;p




** panjang ya ceritanya...hoho, begitulah kawan, akupun ingin kalian melihat apa yang kulihat.

Selasa, 24 Januari 2012

Yang Mungkin Tak Ingin Kau Kenang

“Betapa ingin saya berani memungut kembali satu-persatu kenangan itu, betapapun ia bikin malu. Karena hidup yang sekarang, pasti tidak disusun cuma berdasarkan kebenaran dan kemuliaan. Di antaranya, ia pasti disusun juga dengan kebodohan, aib dan kekeliruan.
Maka kedudukan aib dan kesalahan itu, sesungguhnya setara dengan kebenaran dan keberhasilan. Ia sama-sama menjadi batu penyangga hidup saya. Jadi ia tak perlu diruntuhkan” (Prie GS)
Satu hal yang menyenangkan saat membacai tulisan Prie GS adalah keterusterangannya, bagaimana ia menulis tanpa label-label. Ia membukakan ruang bagi para pembacanya untuk menertawakan kisah-kisahnya, dan pastinya sedang menertawai diri sendiri, dan dengan begitu kita semua menarik pembelajaran dengan menyenangkan. Betapa terkadang manusia butuh momen seperti itu.
Terkadang ada kalanya, kita ingin “membuang “ beberapa petak sejarah dalam hidup karena kita pikir itu sebuah kesalahan, hal yang memalukan, nggak keren, ndeso atau sebagainya. Betapa bila dikenang, akan ada berbaris baris daftar hal-hal konyol yang telah kita lakukan. Banyak orang yang serta merta ingin men-delete-nya, tapi tulisan Prie GS itu membuatnya tersenyum, terkikik, dan tersadar. Bahwa kenangan sebagaimanapun bentuknya, memang tak seharusnya diruntuhkan. Karena batu-batu penyangga hidup kita ini memang tidak hanya dibentuk dari prestasi-prestasi, kebaikan, kemuliaan, dan kecemerlangan semata, tapi juga kekonyolan laku, kesalahan, serta peristiwa-peristiwa memalukan.
Tak perlu berlama-lama menengok daftar, tingkah kita tempo hari, minggu lalu, tahun lalu saja bisa membuat diri kita tersenyum semu sendiri menahan malu. Apa yang kutulis saja bila kubacai lagi bisa membuatku tak kuasa bila membacainya lagi. Seperti bukuku yang tengah kunanti terbitnya, saat dulu kubacai lagi seluruhnya untuk mengkoreksi naskah, banyak bab yang tak sanggup kubacai saking konyolnya, dan bila tak kuingat lagi misi di balik buku itu, segera ingin kuurungkan penerbitan buku itu karena tak sanggup menahan malu bila orang lain membacainya. Persis seperti sebuah kalimat endorsement dari Sg.Laura Romano...
 I could not stop reading. At least 10 times I was moved to tears and at least as many I was cracking into laughter…
Cerita macam ini pasti juga dialami Prie GS, yang berkata : 
Saya amat gemar menulis surat cinta di zaman sekolah. Dan ketika surat-surat itu saya baca ulang bertahun kemudian, hasilnya adalah aib berkepanjangan. Membayangkan surat-surat ini dibaca orang bisa membuat saya mati berdiri.
 
Bila Prie GS bilang—bertahun kemudian-sedangkan aku baru saja-sebulan kemudian, saat dibacai lagi, sudah mampu membuat aku ingin menghilang kehabisan malu. Merona pipi sampai warna merah kalah terang.
Lalu saat muda dulu—seperti simbah sedang bercerita—daftar kekonyolan rasanya tak akan pernah habis dicentang, bagaimana aku bisa tahan malu, bisa ingat lagi saat dengan hati berdebar menggantungkan permen payung dengan diselipi kertas berisi puisi di motor seseorang kala itu menarik hatiku, menempelkan kertas pengumuman di papan pengumuman kampus yang menggegerkan se-angkatan atas, atau menuliskan pesan-pesan padanya di daftar absen ujian yang tertempel di depan pintu kelas. Cinta memang banyak melahirkan kekonyolan, sekaligus roman yang bahkan kau rela membayar berapapun dan apapun untuk mendapat geleyar rasa itu.
Berapa kali engkau jatuh cinta secara platonik dalam hidupmu? Tidak banyak, terkecuali kau maniak.
Belum lagi bila catatan beranjak ke daftar hal-hal gila, misalnya saat nekad memanjat ruang dosen ekologi hanya untuk mengumpulkan tugas tepat waktu. Kala itu sudah lembur-lembur mengerjakan laporan, dan tiba-tiba dunia seakan runtuh saat file-ku hilang, lalu dengan kesetanan kuketik ulang, sampai tak tidur semalaman. Sementara teman-teman yang lain memang baru selesai saat sore hari, teeeet hari terakhir laporan harus dikumpulkan. Dosen ekologi itu memang tampangnya sedikit sangar, berwibawa dan membuat segan. Dan nilai ekologi kala itupun terkenal menyeramkan, terlambat menyerahkan tugas alhasil nilai terancam mengulang. Maka sore itu, segerombolan kami-mahasiswa yang telat mengumpulkan-mencari cara agar berkas laporan kami yang telah disusun dengan curahan semangat lembur dan tetes darah penghabisan (mulai lebay) dapat tergeletak dengan aman di meja pak dosen ekologi itu. 
Ruang utama dosen ekologi masih terbuka, sayangnya pintu ruangan masing-masing dosen sudah tertutup rapat. Kami kebingungan, lalu muncullah ide gila, manjat sekat ruangan dosen yang terbuat dari papan itu. Sekat setinggi hampir 4 meter itu, tak bisa dipanjat oleh manusia dengan berat badan tertentu, dan aku yang notabenenya masih cungkring kala itu, ketiban sampur. Selain itu, karena memang tidak ada lagi perempuan setengah laki-laki yang mau memanjat selain aku. Maka, jadilah aku pahlawan kesorean dengan usaha setengah mati memanjat papan tinggi itu, dengan membawa sebendel laporan teman-teman. Sementara yang lain, serius mengamati pergerakan, sudah sampai mana si penjaga kampus berjalan hendak mengunci pintu semua ruangan. Dan dengan debaran jantung berpacu entah sampai berapa kecepatan, selamatlah aku kembali dan keluar ruangan dengan tersenyum polos inosen pada si penjaga kampus, agar percaya bahwa aku sejenis mahasiswi penuh sopan santun yang tak akan berbuat nakal.
Dan sekarang, percayakah kau kawan..setelah sebelasan tahun kemudian, dua bulan lalu aku menggarap proyek buku bersama beliau, bersama 18 penulis lain dalam sebuah antologi “Balada Seorang Lengger”. Lalu akupun melakukan pengakuan dosa, dan beliaupun malah tertawa. Apalagi saat kukenangkan lagi saat wawancara mahasiswa berprestasi kala itu, sergahan beliau singkat saja, tapi cukup membuatku yang begitu lugu kala itu menjadi ciut nyali,
            “ Jadi begitu tipe bacaan bukumu? Sejenis Cinderella story?” tanyanya dengan nada mengintimidasi, mengomentari jenis bacaanku yang sejenis roman picisan. Hadeeeh rasanya kala itu aku mau menghilang saja.
Tapi begitulah cara kehidupan bertutur, bahwa ternyata kekinian bukan dibangun serentak dalam sehari, menjadikanmu diri yang seperti ini saat ini. Tapi itu juga  terbentuk dari susunan episode-episode memalukan, konyol, kesalahan, sedih ataupun kegembiraan.
Aku tahu pasti, engkau yang saat ini membacai tulisan ini mulai menengok daftar-daftar kekonyolanmu, tersenyum simpul sendirian, atau bahkan tertawa mengingatnya. Syukurlah kawan, engkau masih hidup normal. Setidaknya itu membuktikan, betapa mentereng dan kerennya engkau saat ini, bila dikupas episode-episode dalam hidupmu..kita semua ini tetaplah manusia biasa, yang penuh dengan kekonyolan-kekonyolan itu, Dan bersyukurlah kita bila masih mampu menertawainya, dan semoga bisa belajar darinya...***

Pinjami Aku Hujanmu

Aku ingin pinjam hujanmu, hujan yang selama ini kucinta. Aku mencintai hujan, apalagi hujan rinai-rinai yang berloncatan riang di luar jendela. Lalu membaui bau hujan di tanah basah, seperti kehidupan berbicara sejenak tentang jeda.
Tentang menghentikan hidup sejenak, dalam mesra dan hikmat suara hujan. Bukankah hujan adalah tentang pertanda alam, agar kita berhenti sejenak, memberikan alasan untuk jeda sebentar. Jeda dari kecepatan-kecepatan yang terjadi pada hidup, orang berlarian, entah mengejar apa. Mengejar bus dengan terburu-buru agar tak terlambat masuk kerja, mengejar deadline pekerjaan yang apakah kamu tahu kapan akan berujung?hujan terkadang adalah cerita tentang memperlambat kecepatan-kecepatan yang terkadang tak perlu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujan yang biasanya membuatku betah memandanginya lama-lama, dari teras rumah, dari balik jendela kampusku, dari teras kosku dulu.
            Sebentar, menunggu hujan mereda
            Nanti, lagi hujan nih..”
Hujan...berbaik hati, mengingatkan akan jeda. Hujan menawarkan peluang untuk mengingat kenangan, bersama secangkir teh dan iringan rinai iramanya menyirami bumi. Hujan itu menentramkan, sepertimu.
Pinjami aku hujanmu!
Tetes-tetesnya yang merindui bumi. Hujan yang mampu ciptakan puisi, prosa, sajak-sajak hati. Aku merindui hujanmu, ingin kudengar lagi rinai suaranya, ingin kurasai lagi tetes-tetesnya. Ingin kucipta puisi dan sajak, lagi
            Sedang hujankah? Biar kudengar suaranya dulu” kataku waktu itu, saat menyeberang ke duniamu, karena sekarang hujanku berbeda dengan hujanmu.
Pinjami aku hujanmu!
Hujanku di sini, adalah biasaku. Kapan hari yang tak hujan? Hujanku di sini tak sanggup memberikan jeda. Hujanku di sini tak pernah mampu memberikan alasan untuk memperlambat kecepatan apapun. Karena hujanku di sini ada atau tiada, tetap dianggap tiada. Tiada, karena sudah terlalu terbiasa. Hujanku di sini, kesepian dan kasian. Tak pernah dipedulikan, tak pernah diistimewakan. Entah ia turun, entah tidak, mana peduli. Orang tetap berlalu lalang, tetap jogging, tetap melakukan apapun, tak pernah peduli. Mungkin itu sebabnya, hujan di kotaku kadang merajuk, mengubah diri menjadi badai, agar alarm dibunyikan, agar semua memperhatikan, agar tanda peringatan dibunyikan. Betapa memilukan nasib hujan di kotaku ini,
Jadi, pinjami aku hujanmu..
Agar bisa kudengar lagi, suaramu lagi “jangan lupa pake mantel hujanmu”. Itu saja,
Pinjami aku hujanmu...***


--Glasgow, 23 Jan 2012..jam 10 malam, sudah setengah mengantuk..dan membayangkan bila dipinjami hujanmu, humm zzzz....