Senin, 12 Maret 2012

Being 30 : Penuh Cinta

“Being 30, you should know : how to fall in love without losing yourself and Why people say life begins at 30 (Errin Kennedy)”


Menjadi 30, berusia dengan awalan tiga bagi seorang saya, apa artinya? Dulu, seorang sahabat menjadi begitu sensitifnya saat memasuki usia berawalan “tiga”setahun lalu, “ rasanya nggak jelas jeng” begitu curhatnya. Dengan statusnya yang masih saja single, dan belum juga menemukan seseorang, wajar saja bila dia curhat seperti itu.
Lalu aku? Ternyata setelah mengalaminya secara langsung...rasanya biasa saja, seperti pergantian hari lahir setiap tahunnya, walau kali ini ada beberapa hal yang terasa istimewa. Saya tidak merasa malu untuk mengakui berusia 30 dan belum menikah. Mungkin Tuhan memberikan kesempatan bagi saya di hal-hal lain yang harus saya optimalkan. Banyak di antara rekan seusia saya yang telah menjadi ibu. Saya, bisa kapanpun menjadi ibu, dan telah merasa menjadi ibu bagi banyak anak-anak. Saya mungkin adalah “ibu” bagi mereka, tempat untuk bicara hal-hal yang mungkin sulit dibicarakan dengan ibu mereka. Mungkin saya hanya menyediakan jembatan yang lebih mudah untuk dilewati bagi mereka untuk berkomunikasi tentang apapun, sehingga mereka mau berbagi kisah dan keluh kesah pada saya. Terimakasih untuk anak-anakku, yang memberitahu seperti apa rasanya menjadi seorang ibu.
Yang terasa istimewa dari Being 30 adalah saya disadarkan bahwa ternyata  ada banyak cinta dalam hidup saya. Baik dari keluarga, sahabat, kolega, anak-anak, ataupun orang-orang terkasih. Saya bukan termasuk orang yang pandai bergaul dengan banyak teman semenjak dulu. Saya (dulu) adalah perempuan yang sering kali minder, pemalu, selalu berada di balik layar, bersembunyi dari permukaan, dan menjadi tak terlihat. Tak percaya? Tanyalah siapa saya pada guru-guru SMP atau SMA saya, tak banyak yang masih ingat saya sebagai muridnya. Saya adalah tipe manusia tak terlihat, yang tak terbiasa untuk show off. Ditambah lagi, saya selalu kesulitan untuk ekspresif menunjukkan perasaan saya, tak biasa menunjukan rasa sayang, ataupun bentuk-bentuk ekspresif lainnya. Sepertinya itu semacam pelajaran fisika, kimia atau matematika yang sulit bagi saya. Tapi sepertinya saya mulai belajar dengan giat ehehe...
Lalu saya kini? Setelah menginjak 30? Setelah jatah umur saya makin berkurang..dimana perjalanan hidup saya di belakang sudah lumayan panjang dan kaya dengan banyak cerita, seperti apa saya?
Saya kini, mungkin masih terkadang seperti dulu, walau tentu banyak telah berevolusi. Setiap manusia berubah setiap waktunya, dan untuk itu dibutuhkan seumur hidup untuk mengenali seseorang, dan begitupun sebenarnya aku. Masih terus belajar mengenali diri sendiri, agar tak sering merasa asing pada diri sendiri.
Dan menginjak usia 30 tahun ini (dan anehnya saya tidak merasa tua ehehe), saya merasa sangat bahagia dengan banyaknya cinta dalam hidup saya. Lewat pukul 00.00 ada pesan BBM masuk, ucapan dari seorang sahabat baik dari Bali..membuat saya tersenyum bahagia, dan ucapan-ucapan di wall FBpun mengalir. Satu demi satu saya runtuti ucapan dan doa-doa mereka, sungguh terasa membahagiakan di hati saya, itu artinya paling tidak saya dianggap “ada” dalam hidup mereka. Sejujurnya saya tak mengira dengan begitu banyaknya orang-orang yang menyempatkan diri untuk menuliskan ucapan di wall FB saya. Ada sahabat-sahabat saya yang telah “hidup” dengan saya semenjak lama, melewati waktu bersama-sama. Mereka semua adalah energi-energi saya, dimana saya bisa “lari” pada mereka, baik dalam keterpurukan ataupun dalam kebahagiaan. Ada sahabat-sahabat baru yang seperlintasan hidup, kenalan-kenalan ajaib, dan orang-orang yang dianugerahkan Tuhan datang pada hidup saya. Tiba-tiba saja saya merasa, betapa banyak cinta sebenarnya yang selalu mengelilingi saya. Ada banyak orang-orang “baru” dalam hidup saya yang ternyata menyempatkan waktunya untuk memberikan ucapan, bahkan mengirimkan message lewat inbox. Di FB khusus mahasiswa juga banjir dengan ucapan-ucapan dari anak-anak. Saya merasa “hadir” dalam hidup mereka, mungkin saya bukan lagi “orang yang tak terlihat” seperti dulu, entahlah.
Kali ini, ulang tahun saya dirayakan bersama keluarga, dengan menggelar sebuah kenduri sederhana bersama para tetangga, sungguh momen menjadi 30 yang istimewa.
Keluarga, bisa jadi sebuah makna keluarga karena pertalian darah, ataupun keluarga karena sebuah silaturahim kehidupan. Seperti sebuah sms yang saya terima berikut :

Assalamualaikum, selamat ulang tahun ya mbak siwi...semoga semakin sukses dalam segala hal dan semua mimpinya dapat terwujud (Keluarga Malang)

Ah, bagaimana mungkin saya tak merasa terharu. Keluarga Malang adalah keluarga yang dulu saya sempat menginap saat pelatihan di Malang, karena jejaring sosial mengenalkan saya dengan seorang sahabat yang kini terasa sebagai adik saya sendiri, Nuning winaris yang kini tengah berada di Wageningen, Belanda. Ajaib kan hidup ini?
Hati saya menghangat, ternyata begitu banyak orang yang peduli. Cinta kalian semualah yang menjadi energi bagi saya untuk terus melangkah, memberikan cinta lebih banyak lagi untuk sesama.

Dan untukmu yang ada di hati saya, saya mungkin masih saja si pemalu yang terkadang menghindar bila bertatap muka denganmu dengan pipi merah bersemu, yang menggigiti plastik bungkus tahu bakso, atau memainkan kunci sepeda motormu untuk menghilangkan grogiku, saya yang jatuh di tangga kos gara-gara menerima kiriman mukena ungu-mu itu dulu, tapi saya tak perlu berkata berbusa-busa untuk menunjukkan  apa yang ada di hati saya padamu. Walau cinta yang kaubawa tidak sederhana, tapi sungguh sampai detik ini saya berterimakasih.
Terimakasih mewarnai hidup saya saat menginjak usia 30 dengan nyanyian Happy B-day dan doa-doa yang kau ucapkan,  saya merasa lengkap. Menjadi genap.

Ulang tahun bagi saya, sering kali berupa meluangkan waktu sejenak untuk refleksi diri, melihat lagi sudah sampai mana “hidup” berjalan, dan yang lebih penting “sebanyak atau seberapa” saya sudah bisa berkontribusi.
Menjadi 30, saya menjadi lebih berani lagi untuk menghadapi apapun dalam hidup, karena ada cinta kalian semua dalam hidupku...

Salam cinta dari hati saya untuk kalian semua yang hadir penuh keajaiban dalam hidup saya.


Kamis, 08 Maret 2012

Orang-orang Tak dikenal, Es Krim Kopi, dan Hujan Gerimisku

“Pekalah..pekalah pada alasan yang dititipkan Tuhan pada senyum orang tak dikenal yang tiba-tiba melengkung berbinar padamu, pada perhatian-perhatian orang terkasih yang menerbitkan semangatmu, atau mungkin pada seporsi es krim kopi yang menyapamu-- hai manisku, aku merindu binar matamu, dimana kulihat betapa berwarnanya hidupmu (Siwi Mars Wijayanti, 8 March 2012)


Hujan masih terus menderas di luar jendela kamarku, suaranya itu, mungkin salah satu suara yang selalu saja kurindui. Kini baru kutahu, ternyata salah satu yang membuatku rindu pada hujan adalah suaranya. Suara derai-derainya yang jatuh menimpa atap, menimpa daun-daun, ataupun permukaan lainnya mencipta sebuah melodi tersendiri, melodi hujanku.
Apa kabar hidup? Humm..masih di antara “peperangan” yang masih saja kuperpanjang, meragu mengambil keputusan. Bolak balik, maju mundur, ehehe...mungkin itulah yang membuat segala macam rasa masakan kehilangan rasa enak, dan membuat badanku mengurus seketika. Aku selalu berani memerangi apa dan siapa saja, segala macam tantangan mana saja, “medan peperangan meraih impian besar” apa saja, tapi ternyata menjadi begitu peragu saat berperang dengan diri sendiri. Aih, ini sejenis “peperangan” baru yang masih butuh banyak belajar untuk bagaimana mensikapinya. Dan karena itu pada sebuah kalimat kusampaikan padaNya :
“ Tuhanku, terimakasih atas kepercayaan dan kesempatanMu mencobaiku dengan ujian ini”

Dan sadar atau tidak, itu membuatku aku kehilangan binar. Mungkin hilang ditelan lelah dengan ritme bolak balik tak pasti itu, mondar mondir di kepalaku, dan hatiku, terkadang, sering. Saat semuanya tak lagi sederhana, upaya penyederhanaan terkadang mengarah pada upaya-upaya melarikan diri, menghindarkan diri, penundaan dan semacam pengalihan isu.

Kau pasti pernah hilang binar, pernah merasai masakan kehilangan rasa enaknya, dan menyadari bahwa rasa enak makanan itu bukan sepenuhnya kuasa lidah. Saat engkau meredup, dan seolah ingin menepi sejenak. Penyakit “redup” ini nampaknya hampir pasti pernah menghampiri setiap manusia, bahkan A Fuadi pada buku “Ranah Tiga Warna”nya pernah menuliskan di adegan setelah ia kehilangan harapan pada Raisa, gadis yang dicintainya :
“Beberapa minggu setelah wisuda itu, badanku rasanya masih lunglai. Aku masih sering terkejut-kejut sendiri setiap mengingat hari ini. Lama aku tidak tahu rasa rendang yang tidak enak”
Ehehe..tertawailah, tertawailah keredupanmu bila engkau masih sanggup untuk tertawa. Tapi hidup beberapa akhir ini mengajariku untuk peka. Pekalah, mungkin Tuhan mengirimkan seribu ataupun lebih alasanNya untuk mencipta lagi binarmu.
Alasan itu salah satunya kutemui pada seorang mahasiswa yang untuk kali pertama melihatku hadir kembali di kampus, ia nampak kaget, mungkin karena disangkanya aku masih di Glasgow. Jujur, aku tidak terlalu hapal namanya, tapi aku ingat wajahnya. Semula dia tengah duduk-duduk di sofa lobi kampus bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya. Mahasiswa lain nampak hanya tersenyum menyapaku yang tengah melintas ke arah Bapendik untuk mengurusi surat ijin penelitianku. Tapi entah mengapa si anak itu –aku masih tidak ingat siapa namanya-tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menghampiriku,
            “ Ibu apa kabarnya? Kapan pulang?” Tanyanya dengan muka yang nampak begitu berbinar, jelas terbaca dari raut mukanya. Aku segera menghentikan langkah dan menjawab sapaannya. Kujawab pertanyaannya, dan kemudian dengan begitu bersemangat ia banyak bertanya-tanya, terutama tentang studi di luar dan pengalamannya. Binar matanya itu berkilat-kilat, tak bisa kusangkal mempengaruhiku, menularkan binarnya padaku. Betapa jawaban-jawabanku membuatnya nampak begitu bersemangat, aku menjadi silau. Ironi terasa, tak tahukah wahai mahasiswaku yang sampai saat ini belum kuingat namanya itu, sebenarnya engkau terbalik saat berkata:
            “ Wah ibu membuat saya bersemangat, saya terinspirasi pengen kayak ibu, sekolah ke luar negeri, hebat” katanya dengan binar yang tak jua berubah.
Engkau terbalik sebenarnya, Engkaulah yang justru membuatku bersemangat, anak muda!!
Begitupun saat, kubuat status di FB, kala itu energiku sebenarnya sudah kedip kedip tanda lowbatt :
**Tuhan ternyata selalu punya cara utk membuat manusianya selalu punya alasan untuk melengkungkan senyuman, mencipta lagi binar, dan membuat terang keredupan..happy weekend, kawan :)
Lalu komen pertama dari seorang sahabat menuliskan :
“And u always help me to find te way to create that smile mba e...happy week end too! :)
Ajaib, bagaimana aku tidak merasa malu bila terus menerus meredup..??

Lalu mungkin juga Tuhan menitipkan alasan untuk mencipta lagi binarku pada orang-orang yang dengan ajaibnya menuliskan kalimat-kalimat yang terkadang terasa berlebihan bagiku :
“itulah rasanya setiap kali menikmati tulisan yang lebih mirip suplemen ini—(Blogku ini maksudnya)”
Es Krim Kopi Brazilku
Padahal sering kali tulisan-tulisanku hanya berupa curhatan efek katarsis untuk sebuah terapi gundah hati. Tapi ajaibnya, ada saja yang bisa membuat mereka betah untuk kembali lagi. Nah, bukankah Tuhan sudah terlalu banyak menitipkan alasan-alasanNya untuk membuatku berbinar lagi?
termasuk menitipkannya pada seporsi es krim kopi yang kunikmati sore ini. Sendiri di kursi toko es krim “Brazil” seperti biasanya, tak usah kulihat daftar menu langsung saja kupesan menu favoritku, yang nampaknya belum pernah berganti “ es krim kopi satu ya mba”, bila kuhitung entah berapa kali dalam hidup aku mengucapkan kalimat itu. Dan sebanyak itu pula, rasa es krim kopiku itu mampu mengalihkan semua gulanaku. Apalagi saat ia menyapaku, Manisku.. aku merindu binar matamu, dimana kulihat betapa berwarnanya hidupmu
Aku malu, lalu sedetik kemudian berkata pada dunia, “ Apakah kalian semua rindu binar-binarku? Di depan es krim kopi ini aku berjanji..karena kalian semualah, aku ingin berbinar..bersinar lagi!! pasti” (dalam hati..enggak teriak kenceng-kenceng di situ ;p)
Lalu iseng kubuka update status FB rekan-rekan melalui ponselku, dan kubacai status seorang sahabat
kalo lagi susah, sakit, gagal, sedih, apalagi rugi. inget aja kata Joker musuhnya Batman: "Why so Serious?" (•Ë†Ë†•)
Lalu diam-diam kubisik-bisik pada Tuhan, karena malu akan terdengar oleh si es krim kopi, “Tuhanku, iya...iyaaa...aku pahaaaam, dan siap bersinar lagi, bukti syukurku pada hidup yang kau hadiahkan padaku ***

--Hujan gerimis di luar jendela masih ritmis menemani malamku, mungkin suara dan derai-derainya yang indah itupun turut menyumbangkan alasan untuk membuatku melengkungkan senyuman dan berbinar lagi, terimakasih...
GBI, 8 Maret 2012. 23.18. dan tawa renyahmu di seberang tadi itupun juga sepertinya titipan Tuhan juga agar aku berbinar dan banyak makan lagi hihi..



Senin, 05 Maret 2012

Nomaden : Mencari Rumah

“ Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan rumah itu untuk kita, apapun bentuknya. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri. Sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun (Windy Ariestanty, Life Traveler)



Hidup terasa mondar mandir akhir-akhir ini, setelah ngabur pulang dari Glasgow, aku harus segera menata hidup lagi, dari awal. Ternyata untuk hidup di suatu tempat dengan kualitas standar, minimal terpenuhinya sandang, pangan, papan, bukan sesuatu yang sederhana untuk dibayangkan, risiko hidup nomaden begini. Basic needs itu, membuatku harus menyempatkan beberapa hari ini menata lagi hidup sesuai dengan standar minimal ehehe. Ada terselip lelah di antaranya, tapi sudahlah. Memang beginilah risiko pilihanku.

Sebuah Rumah Sementara
Memulai hidup dari awal lagi, kembali ke kota ini, Purwokerto-ku..ku?sudahkah terasa kumiliki, kupunyai? Entahlah. Pengalaman pulangku telah memberiku jalan untuk menguji rasa. Pulang ke Kebumen, tanah kelahiranku, ke Purwokerto, kota tempatku bekerja, dan ke Jogya, kota yang kucinta. Perjalanan itupun menjawab, tentang rasa pulang yang kucari. Kebumen—memberiku rasa pulang akan rumah, rumah dalam artian keluarga, saudara-saudara, yang karena alasan sedarahlah kami menjadi dekat. Purwokerto—memberiku rasa rumah tatkala berjumpa lagi dengan rekan-rekan sejawat yang hangat menyambutku pulang, mungkin sedikit memberi penghiburan, aku bukan seseorang yang tak pernah dirindukan jiaaaah. Bahkan beberapa saat lalu, sudah kucari-cari rumah dalam artian sebenarnya, aku ingin segera berumah.
Pulang ke Jogya, tentu saja serasa pulang..pada cinta, pada luka, pada segala macam rasa, tapi tetap saja membuatku merasa pulang.
Sore itu, dengan sepeda motor kususuri jalanan jogya, dan dengan selintas dapat kulihat seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dengan tas yang diselempangkan ke samping, mengenakan seragum putih abu-abu, berdiri di depan gerbang sekolah menanti angkutan kota. Lalu dengan jelas pula kulihat, seorang bapak-bapak paruh baya mengenakan pakaian adat jawa lengkap di pinggir jalan, pasti setelah menghadiri sebuah acara tradisional. Rasanya, semuanya bisa kulihat, mataku dan rasaku bisa melihat dan merasa, semuanya. Jogyaku, masih seperti yang dulu, walau banyak yang berubah seiring waktu, tapi tetaplah menjadi jogyaku.
Tapi rumah yang benar-benar tak pernah berubah, adalah rumah di dalam diri, tempat kita bisa pulang kapanpun. Sayangnya adakalanya, rumah dalam diri itu terasa asing, ada bagian-bagian dari kita yang tak lagi dikenali, mungkin karena tarikan-tarikan perbedaan yang tak bisa dihindari. Tapi, ingin kuajaki bagian diriku pulang, agar dimanapun aku berada, tak lagi merasa asing, entah di Glasgow, di Indonesia atau dimanapun, aku bisa selalu menemukan rumah. Rumah bagi diri***


Senin, 27 Februari 2012

Memanggil diriku pulang

“ Aku. Orang yang begitu dekat, kalau tidak salah ingat. Diriku. Pintu hatiku juga akan selalu terbuka untuk diriku sendiri. Aku ini, tak peduli apapun yang telah kulakukan, ayo masuk!” (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya-Ajahn Brahm)


Aku menguat-nguatkan nyali untuk bicara begini pada diriku sendiri, memanggil sebagian dari diriku untuk pulang. Pulang dalam diriku sendiri, bagian yang beberapa saat lalu sepertinya terusir. Sudahlah, redakan peperangan itu, aku lelah. Apapun yang telah kau lakukan, wahai sebagian dari diriku, engkau tetaplah aku. Manusia yang terkadang pada suatu titik kehilangan kendali, tapi sekarang aku punya nyali, untuk berkata : apapun yang telah kau lakukan, pulanglah..ayo masuk..aku selalu siap menerimamu pulang.

Lama aku tak berani mengajakmu pulang, lama aku memandangimu dari kejauhan, wahai sebagian dari aku. Aku meragu, sungguh meragu. Bisakah selanjutnya kita seiring bersama lagi, melupakan peperangan kita yang membuatku terkadang merasa lelah, membuat seluruh makanan kehilangan rasa enak, membuatku mengurus seketika.

Wahai sebagian dari diriku, yang rasanya seperti diriku yang lain, sesungguhnya beberapa waktu ini aku berpikir. Untuk menggandengmu lagi, dan kita berjalan bersama lagi seperti sebuah manusia yang utuh, dimana selalu kita tantangi segala macam impian-impian kita.

Kini, dengan pintu yang kubuka lebar-lebar, aku memanggilmu pulang. Redakan rasa bersalahmu, lupakan galau dan gundahmu, terimalah bahwa engkau bisa salah, pahamilah engkau adalah manusia biasa yang bisa melakukan hal yang membuat kita bertentangan rasa, pulanglah..terimalah ini adalah bagian dari sejarah diri kita, dan sejatinya kita harus berterimakasih pada Tuhan karena telah mempercayakan pada kita, bahwa kita harus menjalani pertentangan seperti ini. Agar aku, berani memanggilmu pulang, apapun yang telah kaulakukan..
Wahai diriku, aku memanggilmu pulang,  dengan apa adanya dirimu...***

Sabtu, 25 Februari 2012

Menepi Darimu, Hujanku

Mendung menggantung lagi sore ini, lagi-lagi begitu. Mungkin hujan sebentar lagi akan turun menderas lagi. Seperti itu terus ritme akhir-akhir ini, biar saja, mungkin hujan tengah pongah menunjukkan betapa ia nampak mempesona untuk selalu kucinta. Seperti kemarin sore itu, ia nampaknya terlalu percaya diri padaku, menunjukkan guyuran dengan intensitas maha tinggi, dengan kilat dan petir menyambar, sementara aku di bawah guyurannya, bersama si hitam manisku dan mantel yang tak lagi kuasa menahan kepongahanmu, hujanku. Lalu aku memilih untuk berhenti, dan menepi.

Apakah sore ini kau akan lagi-lagi seperti itu?
Hujanku, telah kutegaskan aku  mencintai rinai suaramu, sensasi tak tergantikan saat kau membasahi kulitku, dingin yang menyesap dalam hatiku, aku suka hujan, aku cinta hujan, tapi ingatlah, tidak setiap waktu.
Aku gamang dan menepi mencari teduh saat kamu mengguyuri bumi dengan membuta, daratan terdiam, menjadikan suaramu penuh seluruh. Semesta terkesiap begitu melihat engkau marah-marah seperti kemarin sore itu, begitupun aku. Dan aku menepi, harus menepi, karena deraimu tak mampu kutampung lagi.
Dan sore inipun kau isyaratkan pada mendung menggantung, menanda bahwa mungkin deraimu akan mengguyuri bumi lagi.

            “ Perlahanlah, tahukah engkau bila suara derai perlahanmu itu sanggup menciptakan sajak-sajak senja dan puisi menanti pagiku?
Cintaku pada hujan, kenapa kini menjadi bersyarat..aku mencintaimu bila deraimu rinai-rinai di sore hari, menemani senja milikku yang sunyi, tapi aku sungkan dan ingin menepi bila bulir-bulirmu itu berubah menderas, hingga suara yang kau timbulkan tak lagi serupa harmoni. Maaf hujanku, memang cintaku begitu, masih saja penuh syarat..
Tapi sebenarnya, diam-diam ingin kubilang padamu, aku tetep mencintai derai hujanmu, entah rinai-rinai ataupun menderas, tapi menderasmu itu membuatku memilih untuk menepi.
Maka pahamilah, aku menepi..bukan berarti aku tak lagi mencintamu.

GBI, 25 Feb 2012.. di senja yang menggelap, menanda mendung, menyedia hati bahwa engkau akan datang lagi, hujan..

Telaga Sunyi : Pesona Wisata Banyumas yang Sepi Promosi

“ Jalan-jalan terkadang merupakan cara mujarab untuk menyembuhkan diri, mengusir gundah hati, dan mendekatkan diri pada Gusti ” (Siwi Mars, February 2012)

            Bila seseorang ditanya, kalo di jogya...wisata mana saja yang bisa disambangi? Dengan fasih orang bisa menyebut berbagai tempat, baik wisata alam, wisata budaya, wisata kerajinan sampai wisata kuliner. Tapi bila menyebutkan nama Kabupaten Banyumas ataupun Purwokerto, mungkin hanya satu tempat yang akan disebut orang, Baturaden. Aku yang notabene-nya penghuni kabupaten inipun bingung bila ditanya wisata mana yang patut dikunjungi untuk sekedar memandangi pesona lokal. Maka marilah kuajak kalian jalan-jalan ke Telaga Sunyi, yang terletak sekitar 3 km ke arah timur dari wanawisata Baturaden.
Untuk menjangkau tempat ini sangatlah mudah, bisa dengan kendaraan pribadi maupun dengan kendaraan umum (angkot) yang bisa langsung sampai ke daerah Baturaden. Yang paling gampang dan menyenangkan tentu saja mbalap pakai motor, sambil memandangi pemandangan sepanjang jalan yang asri dengan udaranya yang masih segar, dengan hijau-hijau landskap yang membuat riang hati. Wisata telaga sunyi ini memang jauh dari hingar bingar promosi, maka tak heran banyak yang tidak tahu tentang wisata telaga ini, padahal letaknya tak begitu jauh dari hotspot, Baturaden.

Sepinya promosi inipun pastinya berimbas dengan sepinya pengunjung, tak banyak wisatawan yang terlihat mengunjungi tempat ini. Pengelolaan kawasan wisata inipun terkesan minimalis, semuanya masih terlihat tanpa sentuhan tangan-tangan kreatif. Padahal sebenarnya telaga sunyi menyimpan pesona alami yang potensial. Memasuki gerbang wisata telaga sunyi, kita hanya membayar tiket seharga Rp. 3000 rupiah, dan bisa segera memarkir sepeda motor di tempat yang dijaga beberapa orang lokal (belum ada parkiran motor hoho). Rindangnya pepohonan hijau membuat suasana adem, cocok untuk jalan-jalan menyembuhkan diri dari segala macam apapun yang membuat “redup” hati. Bisa sambil nongkrong-nongkrong, ataupun memuaskan hasrat narsisme dengan mengambil foto berbackground hijaunya alam telaga sunyi.



Hotspot tempat ini tentu saja si telaga sunyi-nya...untuk menuju tempat ini, kita berjalan kaki melewati jalan setapak, melewati sungai kecil dan akhirnya sampailah di telaga sunyi, yang dilatarbelakangi sebuah curug/air terjun kecil. Suasananya memang cocok untuk “semedi”, berlama-lama duduk di dekat air terjun, dengan kaki direndam di air yang masih segar. Suara rinai air terjun, paduannya dengan alam menghijau, dan udara sejuk yang menentramkan hati mungkin mujarab bagi siapapun yang berniat menyembuhkan diri.
Mungkin tak banyak yang bisa ditawarkan oleh tempat ini, tapi setidaknya kesederhanaan dan keaslian tempat ini mungkin sanggup membekaskan kenangan di hati.
**sempat bertanya dalam hati, bila promosi wisata tempat ini kemudian membuat banyak pengunjung menyambangi telaga sunyi ini, akankah telaga itu tetap sunyi? Hihi **


Jumat, 24 Februari 2012

Meredup

Bila masanya aku harus meredup, biarkan aku mengambil waktu dan pergi sejenak
Bila saatnya aku redup, mungkin karena binar yang terlalu menyilaukan
Menyisakan kegamangan
Bila tak bisa kucegah diriku meredup, biarlah, mungkin begitulah sebuah siklus berjalan
Tak usah kau risaukan
Bila suatu saat aku redup, mungkin sedang susah payah kucoba nyalakan binar itu
Binar diri, bukan menyerap binar-binarmu, ataupun binar orang lainnya
Tak apalah aku sejenak meredup, hilang binar, biar kucipta lagi
Perlahan-lahan
Tapi redupku seketika menghilang, bila menemukanmu meredup
Karena aku ingin menjadi binar dalam segala redupmu

GBI, 24 Feb 2012..

Kamis, 23 Februari 2012

Kembali


“Keber-ada-an itu ternyata lebih masuk ranah rasa, dibandingkan soal kehadiran wujud”
                                                                                                         (Siwi Mars, Februari, 2012)


Pulang, mungkin tentang “meninggalkan” dan soal “kembali”. Aku meninggalkan Glasgow dengan suhunya yang masih minus, dengan dialek Glaswegian supir taksi yang mengantarkanku ke Bandara, dengan tanpa ketergesa-gesaan. Aku tak ingin terburu-buru, beberapa saat ini aku ingin belajar untuk membaiki penyakit “terburu-buru dan ketergesaan”ku, dan sejauh ini lumayan berhasil. Ketergesaan terkadang memporakporandakan rasa, bercampur-campur, mondar mandir hingga hidup menjadi chaotic. Mungkin aku sudah terlalu “tua” untuk sering-sering mengalami situasi mondar mandir tak jelas itu. Hingga ingin kutempatkan pikirku tetap di tempatnya, itu saja.

12 Feb 2012. 2.30. Glasgow Airport.


Glasgow Airport
Gate 27 C masih lengang, hanya aku yang duduk menungu waktu boarding yang masih lumayan lama itu. Sebelumnya saat masih di flat, aku sudah check in online, sehingga saat di bandara prosesnya sangat singkat. Bagasiku lolos dengan tanpa masalah,

          Rayulah Tuhan agar semuanya di perjalanan lancar. Biar nggak over bagasi, dan tidak ada masalah administrasi di bandara” Kata Pak Ustadz Nanung saat menitip oleh-oleh untuk keluarganya di Jogya.
Aku terhenyak sejenak, hampir saja tergelak sebenarnya. Karena semenjak lama bentuk hubunganku dengan Tuhan sering kali berbentuk protes, ngeyel, baik-baik saja, keterdiaman, penghambaan, ke-berserahan, tapi belum pernah dalam sebentuk “rayuan” seperti kata Pak Ustadz. Bukankah berdoa dengan menyebutkan nama-nama kebesaran Tuhan dengan Asmaul Husna-nya pun salah satu bentuk “rayuan” kita padaNya? Ataupun bisa dengan meminta dengan bahasa yang “manis-manis” hihi, Tuhan suka dirayu-rayu, begitu lanjut pak ustadz.
Heuu, selama ini bila tengah berbincang denganNya, aku selama merasa bahwa aku dan Dia sudah tahu sama tahu, bahwa Ia-lah Maha Besar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan segala Ke-Mahaan-nya yang lain. Tapi karena rasa tahu sama tahu-itulah yang membuat jarang merayuNya.
Padahal pada orang yang kita sayang, biasanya kita memanggil dengan panggilan sayang, walau terkadang hanya berupa penegasan-penegasan remeh yang berefek besar. Ehehe, mungkin harus mulai belajar merayu Tuhan.
          Hasil merayu sedikit (masih belajaran ;p) Tuhan, bagasiku pas ditimbang hanya 22 kg, dari jatah 23 kg. Dan hand luggage-ku enggak ditimbang hihi..plus si pacarku-tas export yang berisi laptop dan buku pun tanpa dilihat lolos dengan mulus. Lalu menunggulah aku di Gate 27 C dengan membacai buku Pinnochio, kepergianku ternyata tenang, walau di taksi sempat ditelpon suzana (rekan labku) menanyakan sudah sampai mana, dan sebagainya. Aku tahu pasti, hanya sedikit orang-orang yang kehilanganku saat aku meninggalkan Glasgow. Karena aku dan Glasgow, selama ini hubunganku hanya berupa masalah menjejakkan kaki, belum menjejakkan hati.

19.30. Amsterdam Airport
Dengan langkah bergegas kubawa hand luggage-ku yang lumayan berat untuk berpindah Gate di Amsterdam airport. Heuu tadinya kupikir waktu transit sekitar 2 jam, tapi melupa kalau beda waktu UK dan Belanda selisih 1 jam, sedangkan penerbangan dari Glasgow terlambat 20 menit. Ah ternyata, sudah direncanakan agar tidak tergesapun ada saja hal tak terduga yang membuat ketergesaan. Hingga tak sempat melihat-lihat seperti apa rupa Amsterdam airport, karena hanya berjalan berganti dari gate E3 ke Gate 20 karena sudah masuk waktu boarding menuju Jakarta.

13 Feb 2012. 4.20 KL Airport
Aura yang terasa di KL airport sudah membuatku merasa hidup di dunia yang berbeda. Wajah-wajah melayu, bahasanya, perilakunya sudah membuatku terlempar lagi dunia yang berbeda dari kehidupan yang kujalani sekitar 15 jam yang lalu. Coat pendek dan syal sudah kulepas, karena suhunya sudah cukup membuatku merasa kebakaran. Panaaaas....
Mahkluk di sebelah duduk di pesawat selama 18 jam lebih itu, ternyata seorang anggota LSM dari Belgia yang concern di bidang pelanggaran HAM di bidang pertambangan. Perbincangan kami hanya sekedar saling menyapa, dan ternyata pada saat kutanya, so you can speak Indonesian languange?
dijawabnya : sedikit..sedikit..ahaha, mungkin dia telah lebih banyak menjejalahi daratan-daratan Indonesia, dibandingkan aku..heuu

6.30. Bandara Soetta.
Akhirnya pesawat KLM mendarat dengan selamat di Bandara Soetta. Perasaanku?entahlah..akhir-akhir ini rasa tak bisa terdefinisi dengan baik. Setelah mengambil bagasi, pemeriksaan melalui jalur khusus (diplomatik) yang lebih cepat dibandingkan jalur biasa, semuanya mulus dan lancar. Dua misscall ada di Hpku, satu dari bapak dan satu dari Mba Sur, sahabat yang selama ini baru ber-dunia maya saja. Dan saat kulangkahkan kaki keluar, sudah berderet menyambutku, bapak, ibu, adekku, dan mba sur. Aku kembali. Lagi. Paduan rasa, antara senang, lega, lelah, panas..mondar mandir tak pasti.



Ketemu pertama kali secara "nyata" dengan Mba Sur

** 23 Feb 2012..beberapa hari setelah aku pulang, aku masih saja mencari pulang, ingin menemukan rasa pulang. Dan mungkin soal rasa keber-ada-aan itu telah masuk ranah rasa, bukan lagi hanya sekedar wujud saya yang pulang. Dan kini aku menyadari bahwa bisa kembali pulang kapan saja. Mungkin aku sudah kembali, jauh sebelum saya pulang. Mungkin.




Kamis, 09 Februari 2012

Kata Tuhan Padaku Hari ini

Bersama-Baturaden 2011
Mataku masih kriyip-kriyip saat bangun pagi hari ini, nyawa belum kumpul benar, dan ditambah lagi brrrrr...dingin, padahal sudah tidur berlapis-lapis dengan sleeping bag lalu ditimpa duvet setebal hampir 5 cm itu. Kugapai HP di meja di sebelah ranjang, untuk melihat jam berapa untuk siap-siap salat shubuh. Masih gelap karena lampu kamar kumatikan dan di luar Glasgow pastilah masih juga pekat.  Jam masuk waktu shubuh sudah berubah, kalau biasanya jam setengah tujuh pagi baru masuk subuh, sekarang sudah lebih pagi lagi. Kulihat jam di HP menunjukkan jam setengah jam pagi, dan ada sms masuk, dan masih dengan keadaan sadar dan tidak, kubuka smsnya..tulisannya singkat, tapi seketika saat kubaca membuatku terlonjak, kaget, senang, dan terharu :
            “ Siwi Glasgow, Cuu lulus ADS
Whui...tak pikir panjang aku segera menelponnya, seingatku paket gratisan dari Vodafone masih, kalau habispun ku tak peduli. Hanya beberapa dering, langsung diangkat..dan terdengarlah suaranya yang renyah di ujung sana, riang karena tengah dimabuk gembira. Mungkin karena haru, atau entah kenapa justru dirikulah yang mewek..menangis bahagia. Sungguh, detik itu Tuhan sepertinya berkata lagi padaku, Dia, sungguh Sang Maha Perencana yang baik.
Aku, dia, Sudewi namanya, tapi kebanyakan kami memanggilnya dengan sebutan “Cu’u”, sudah belasan tahun bersama dalam persahabatan, sungguh sebuah kebahagiaan tak terkira saat mendengar ia sudah berhasil menggenggam impiannya. Perjalanan yang panjang, berdarah-darah, sungguh berbuah manis terasa hari ini. Lama, ya telah lama sebenarnya langkahnya menapaki mimpi-mimpi itu. Tapi dengan konsistensi dan persistensi kawan, tak ada yang tak mungkin untuk digapai. Lama dia mulai secara autodidak mempersiapkan diri belajar bahasa inggris, kala ke Bali mengunjunginya akhir januari tahun lalu, kudapati dia rajin belajar toefl online. Lalu dengan semangatnya bolak-balik Bali-Purwokerto untuk mendaftar dan tes beasiswa unggulan S2 di Fakultas Biologi Unsoed. Masih ingat saat dia menginap di kos, jalan-jalan ke Baturaden seusai tes wawancara. Aku dan dia, begitu optimis dan yakin bahwa dia akan diterima, dan melanjutkan hidup di Purwokerto sebagai persinggahan selanjutnya.
            “ Mungkin sudah ada yang menungguku di sini” begitu ucapnya dengan mantap, dan juga tes wawancaranya nampak tidak bermasalah. Dari 20 kursi beasiswa yang tersedia, dengan hanya 25 peserta kala itu, dengan posisinya sebagai alumni, dengan proposal risetnya yang sudah mantap, dengan background pekerjaannya di Balai Riset Gondol sementara banyak yang lain masih baru lulus S1, sepertinya tak ada alasan yang terlihat dapat menghalangi jalannya mendapat beasiswa itu. Tapi dengan begitu mengherankan, saat pengumuman tiba, dia gagal mendapatkan beasiswa itu, heuuu..Tuhan mungkin mempunyai rencana yang lebih baik lagi untukmu, sahabat..begitu yang kuyakinkan saat itu padanya.

Bersama--Bali, 2011

Lalu waktu berjalan, perjuangannya pun juga terus berjalan, dan walau terpisah samudra, aku berusaha untuk tetap ada seiring langkahnya berjalan. Dia melamar ADS dan beasiswa prestasi Amerika, yang kuingat, form-form berbahasa inggris yang bercerita tentang perspektif diri, pengalaman, rencana ke depan, konstribusi komunitas yang berlembar lembar itu, aku ikut andil dalam editing dan menambahinya dengan bahasa rayuan “jual diri” yang lebay dan memabukkan ahaha. Satu hal dalam hal meraih beasiswa, kau harus tunjukkan pada si pemberi dana itu bahwa engkaulah kandidat yang tak kuasa ditolak ehehe.... Oh ya, surat rekomendasinya dari kepala Balai Riset sebenarnya adalah kata-kata manis penuh keju-ku, yang meyakinkan bila salah satu staffnya adalah kandidat jempolan yang layak mendapat kesempatan, dan si bapak kepala balai tinggal mencantumkan tanda tangannya saja. Dan ternyata semua itu berhasil hihi, loloslah dalam seleksi administrasi. Berikutnya adalah tes IELTS dan wawancara. Maka ngebutlah dia dalam waktu kira-kira sebulan untuk mempersiapkan diri tes IELTS, yang masih asing baginya. Belum pernah sekalipun ikut tes IELTS dan juga belum pernah kursus IELTS. Maka selain dia belajar sendiri, kursus privat jarak jauh lewat YMpun dilakukan ehehe, kukirimi kitab-kitab IELTS zaman bertempur dengan IELTS dulu, dan mengecek serta komen hasil belajar writingnya. Bila kukenang sekarang, ternyata jalan sudah sedemikian panjang. Sampai akhirnya berita menggembirakan itu datang, bahagiaku untukmu, sahabat.
Dia, sama saja denganku, cah ndeso yang rumahnya terletak di desa yang jarang disebut orang. Bila aku dan bala-bala lain ingin mengunjunginya kala ia mudik dari Bali, kami naik motor menyusuri jalanan yang lengang, dan bila tengah musim hujan tiba, dipastikan motor-motor kami belepotan karena jalanannya yang becek. Desanya sepi, kecuali agak ramai oleh lenguhan sapi-sapi. Bila kami kesana, pasti disambut ibunya yang telah lanjut usia dengan senyuman ramah namun sederhana. Tapi dengan gupuh pasti disiapkannya kami rupa-rupa makan siang, yang beliau masak dengan tungku tradisional. Yang kuingat, selalu tersedia ikan di meja, karena desanya dekat dengan laut, sehingga gampang sekali mendapatkan ikan segar. Bila menginap, pastilah deburan ombak dari luat terdengar kala malam menjelang. Sedangkan bapaknya juga sama sederhananya, walau lebih banyak berbicara dibandingkan ibunya yang pendiam. Kala main ke sana, masih ingat dengan semangatnya beliau memanen petai-petai di samping rumah untuk oleh-oleh kami sepulang dari laut. Laut dekat desanya sangat menyenangkan, apalagi bila masih sepi, seperti layaknya pantai pribadi, dimana kami bebas berceloteh ke sana kemari, dan bernyanyi-nyanyi sesuka hati. Plus ada penjual sate dan mendoan favorit kami, rasanya tak usah jauh-jauh ke karimun jawa, pantai itu bisa menyamainya.
Hari ini, kami semua bala kurawa  merayakan keberhasilannya, turut berbahagia dan bersyukur untuknya.
Dan satu hal, peristiwa ini sekaligus sekali lagi membukakan ruang kesadaran bagiku, Tuhan sudah mengatur sebaik-baiknya rencana untuk kita. Betapa Dia memutuskan untuk dia gagal beasiswa unggulan yang rasanya sudah di depan mata, menggantinya dengan beasiswa ADS karena Tuhan memberikan yang lebih baik, lebih tepat untuknya. Seperti dulu, dia gagal mendapat beasiswa BPPS UGM dan kemudian mendapatkan berkah diterima CPNS di Balai Riset Perikanan Bali. Tuhan, Maha Misterius untuk memberikan kesempatan pada manusiaNya untuk mencari, berjuang sampai akhir dan berserah diri, mungkin juga dengan menanti. Karena Dia, Gustiku, setahuku Maha Perencana yang baik. Bersiaplah dan ijinkanlah keajaiban-keajaiban terjadi dalam hidupmu...

Begitulah kata Tuhan padaku hari ini, melangkahlah terus, menanti, mencari, menerima, mengabdi, berkontribusi, mengoptimalkan karya diri..
Hari ini aku merayakan kemenanganmu, kemenanganku, kemenangan kita semua***

*Salam kasih dari Glasgow, 9 Feb 2012. Di meja kerja ruangan student yang sebentar lagi kutinggalkan, sebentar.



Selasa, 07 Februari 2012

Tentang Pulang


Malam yang lumayan brrr...dingin, pasti suhunya minus lagi, ditambah dengan kabut yang terus turun di luar jendela. Entahlah, anomali rasanya, bila kota-kota lain membeku dengan turunnya salju, di Glasgow malah sejak dini hari tadi turun kabut. Jadi berasa bagaimanaaa begitu, bangunan-bangunan terselimuti kabut, dan jarak pandang menjadi terbatas, terasa misterius. Tapi beginilah, kunikmati saja. Karena sebentar lagi mungkin aku merindui kabutnya, merindui dinginnya, merindui badainya. Ah..ya karena tak terasa, hanya dalam hitungan hari lagi saya akan pulang, pulang..walau memang hanya beberapa bulan saja, tapi setidaknya saya pulang. 
Seperti biasa, saya selalu “nggak sadar diri” bahwa akan pulang, seperti halnya dulu “nggak sadar diri” kalau akan segera berangkat. Ternyata sudah lebih dari empat bulan saya menjejakkan kaki di negeri antah berantah ini, di kota yang berbelok 51.3 mil dari kota tujuan saya, Edinburgh. Kesadaran seseorang memang kadang kala mengenal kata terlambat, mungkin memang keterlambatan itulah yang justru menghadirkan ruang-ruang kesadaran. Bila semuanya berjalan baik-baik saja, tepat waktu, mulus tanpa onak duri, tak terbayangkan betapa hambarnya rasa hidup. Mungkin begitulah polanya, keterlambatanpun bisa menjadi loncatan kesadaran. Sadar bahwa mungkin selama ini saya belum “benar-benar hidup” di sini.
 Masih banyak tarikan-tarikan lain yang menyebabkan saya “membuta” ehehe. Mungkin karena fokus mikirin riset (haiiih cari alasan ilmiah) jadinya nafsu jalan-jalan dan menjelajahnya rada berkurang. Saya belum benar-benar mengenal Glasgow, kota yang saya tempati ini dengan baik. Seperti hanya numpang hidup, celakanya itupun cuma siang doang. Karena kebanyakan setelah pulang dari lab, dan pulang ke Flat, hidup saya rasanya di Indonesia saja. Dengan nonton tivi Indonesia dengan mivo tv, lalu dilanjut nulis atau melakukan hal lain sambil mendengarkan radio Swaragama lewat Jogya streamer. Belum lagi ditambah chat dengan sahabat-sahabat di Indonesia, rasanya di luar Glasgow, tapi di dalamnya Jogya..ahaha. Begitulah kawan, ritme hidup selama beberapa bulan ini. Sebenarnya tak masalah, hanya saja aku ingin mengenali tempat yang kutinggali ini dengan lebih pribadi lagi.
Mungkin karena saya tidak terlalu excited dengan tempat ini, itu awalnya yang membuat saya sok “angkuh” enggan melirik seperti apa sebenarnya Glasgow. Berbeda saat saya datang ke Itali, sepertinya tak sesuatupun ingin terlewatkan dari pengamatan saya. Walau hanya tinggal selama 3 bulan di sana, namun rasanya hampir semua tentang Itali dapat tertangkap melalui mata, telinga dan rasa. Tapi Glasgow benar-benar masih terasa asing di hati saya, walaupun setidaknya saya merasa nyaman tinggal di sini. Tipe-tipe kawasan yang tak terlalu modern, nggak terlalu ramai, udara masih bersih dan segar, everything seems okay. Tapi bila ditanya, makanan khasnya Glasgow apaan? Budayanya orang situ yang unik apa? Oh..memalukan, saya tidak tahu, belum tahu. Nggak kepikiran..ehehe..
Duuh benar-benar payah saya.
Padahal beberapa saat lalu, dosen saya di UGM dulu tiba-tiba mengirimkan pesan lewat inbox FB :
hebat ya..bagus deh foto-fotonya, jadi kangen kuliah lagi. jangan lupa pelajari heritage-nya
Begitu kira-kira isi pesan beliau yang dulu pernah kuliah di Liverpool School of Tropical Medicine.
Ah, begitulah. Makanya kemarin saya sempatkan untuk mengunjungi Edinburgh, jadi paling tidak sudah menjelajahinya. Oh, saya belum kemana-manaaaa...ahaha...parah. Saya juga tidak tahu lari kemana daya penjelajahan saya, atau sekarang merasa “sensasi jalan-jalan” sudah tak semenggairahkan dulu lagi. Ahaha entahlah...
Pulang ini juga membukakan kesadaran, bahwa Tuhan sudah memberikan saya kesempatan berharga yang tak semua orang bisa dapatkan untuk melihat, merasai kehidupan lain, dan seharusnya bisa belajar dari itu. Sudah sih sebenarnya, tapi belum-belum total rasanya ehehe..Jadinya, akhir-akhir ini bila saya sedang jalan-jalan sendiri menyusuri kota, saya benar-benar menikmatinya. Ternyata ada banyak hal yang selama ini tak terlihat oleh saya. Lambang kota ini yang lucu, yang hampir ada di setiap jalan, tentang keramahan penduduknya, tentang cuacanya yang unik, apalagi tentang akses bahasa inggris orang sini yang..hadeeeh..berasa nggak pernah belajar bahasa inggris deh, aksen Glaswegian memang terkenal bahasa planet, orang Inggris saja nggak ngerti mereka ngomong apa. Tapi bagaimanapun, saya yakin Glasgow pastilah mempesona, karena tempat ini yang dipilihkan Tuhan untuk saya.
Selalu saja begitu, kepergian, terkadang membukakan kesadaran betapa berartinya apa yang kita tinggalkan. Seperti Indonesiaku, yang saya tinggalkan, kini aku melihat Indonesia, keluarga, pekerjaan, anak-anakku, orang-orang yang kusayang, serta banyak hal dengan sebuah pemahaman baru, dengan sudut pandang yang baru, dengan rasa yang baru. Hal itu mungkin tak bisa kudapat bila aku tidak “pergi”. Pergi, meninggalkan, mungkin justru adalah saat memberikan ruang untuk menghargai sesuatu, seseorang, apapun. Saya akan pulang dengan rasa “baru” pada Indonesiaku, dan semoga saat saya balik lagi ke sini, saya juga datang dengan rasa “baru pada Glasgow. Mungkin itulah peran kata “pergi”, untuk menjadikan pulang terasa indah..

Banyak ijazah hidup, memang kadang bisa dibentuk oleh pergi. Di dalam pulang, manusia memperoleh arti-artinya yang baru, bobot hidupnya yang baru..(Prie GS)


**Glasgow masih saja sepi, sementara adzan subuhmu baru saja berkumandang di Swaragama, saya baru saja shalat isya dan menyantap dessert saya yang sebentar lagi aku saya rindukan, Strawberry Trifle, semacam puding strawberry dengan tiga lapis dan atasnya dilapisi whipped cream, rasanya jangan ditanya, selalu menggoda lidah, apalagi harganya, bikin tak usah pikir panjang membelinya, cuman 98 pence, nggak ada 1 pounds, sepertinya di Indo saja nggak dapet si penggoda lidah ini dengan harga segitu. Beginilah, saya sedang mengalami sindrom doyan makan tingkat tinggi, rasanya belum pernah saya serakus ini. Bila ditanya berapa kali kamu makan hari ini? Hihi lima kali..ekekek..setelah bangun pagi, sebelum berangkat ke lab, pas makan siang di lab, lalu setelah pulang lab, dan kemudian makan malam sesi kedua, plus diakhiri dengan si strawberry trifle ini..
Salahkan cuaca yang minus-minus itu, pastilah karenanya saya doyan makan ;p;p
 Selamat menyambut hari barumu kawan, sementara kasur dan duvet itu rasanya sudah memanggil-manggil saya untuk segera zzzz....enjoy ur life..


Glasgow, 6 Feb 2012, 9.45 pm.