Kamis, 23 Februari 2012

Kembali


“Keber-ada-an itu ternyata lebih masuk ranah rasa, dibandingkan soal kehadiran wujud”
                                                                                                         (Siwi Mars, Februari, 2012)


Pulang, mungkin tentang “meninggalkan” dan soal “kembali”. Aku meninggalkan Glasgow dengan suhunya yang masih minus, dengan dialek Glaswegian supir taksi yang mengantarkanku ke Bandara, dengan tanpa ketergesa-gesaan. Aku tak ingin terburu-buru, beberapa saat ini aku ingin belajar untuk membaiki penyakit “terburu-buru dan ketergesaan”ku, dan sejauh ini lumayan berhasil. Ketergesaan terkadang memporakporandakan rasa, bercampur-campur, mondar mandir hingga hidup menjadi chaotic. Mungkin aku sudah terlalu “tua” untuk sering-sering mengalami situasi mondar mandir tak jelas itu. Hingga ingin kutempatkan pikirku tetap di tempatnya, itu saja.

12 Feb 2012. 2.30. Glasgow Airport.


Glasgow Airport
Gate 27 C masih lengang, hanya aku yang duduk menungu waktu boarding yang masih lumayan lama itu. Sebelumnya saat masih di flat, aku sudah check in online, sehingga saat di bandara prosesnya sangat singkat. Bagasiku lolos dengan tanpa masalah,

          Rayulah Tuhan agar semuanya di perjalanan lancar. Biar nggak over bagasi, dan tidak ada masalah administrasi di bandara” Kata Pak Ustadz Nanung saat menitip oleh-oleh untuk keluarganya di Jogya.
Aku terhenyak sejenak, hampir saja tergelak sebenarnya. Karena semenjak lama bentuk hubunganku dengan Tuhan sering kali berbentuk protes, ngeyel, baik-baik saja, keterdiaman, penghambaan, ke-berserahan, tapi belum pernah dalam sebentuk “rayuan” seperti kata Pak Ustadz. Bukankah berdoa dengan menyebutkan nama-nama kebesaran Tuhan dengan Asmaul Husna-nya pun salah satu bentuk “rayuan” kita padaNya? Ataupun bisa dengan meminta dengan bahasa yang “manis-manis” hihi, Tuhan suka dirayu-rayu, begitu lanjut pak ustadz.
Heuu, selama ini bila tengah berbincang denganNya, aku selama merasa bahwa aku dan Dia sudah tahu sama tahu, bahwa Ia-lah Maha Besar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan segala Ke-Mahaan-nya yang lain. Tapi karena rasa tahu sama tahu-itulah yang membuat jarang merayuNya.
Padahal pada orang yang kita sayang, biasanya kita memanggil dengan panggilan sayang, walau terkadang hanya berupa penegasan-penegasan remeh yang berefek besar. Ehehe, mungkin harus mulai belajar merayu Tuhan.
          Hasil merayu sedikit (masih belajaran ;p) Tuhan, bagasiku pas ditimbang hanya 22 kg, dari jatah 23 kg. Dan hand luggage-ku enggak ditimbang hihi..plus si pacarku-tas export yang berisi laptop dan buku pun tanpa dilihat lolos dengan mulus. Lalu menunggulah aku di Gate 27 C dengan membacai buku Pinnochio, kepergianku ternyata tenang, walau di taksi sempat ditelpon suzana (rekan labku) menanyakan sudah sampai mana, dan sebagainya. Aku tahu pasti, hanya sedikit orang-orang yang kehilanganku saat aku meninggalkan Glasgow. Karena aku dan Glasgow, selama ini hubunganku hanya berupa masalah menjejakkan kaki, belum menjejakkan hati.

19.30. Amsterdam Airport
Dengan langkah bergegas kubawa hand luggage-ku yang lumayan berat untuk berpindah Gate di Amsterdam airport. Heuu tadinya kupikir waktu transit sekitar 2 jam, tapi melupa kalau beda waktu UK dan Belanda selisih 1 jam, sedangkan penerbangan dari Glasgow terlambat 20 menit. Ah ternyata, sudah direncanakan agar tidak tergesapun ada saja hal tak terduga yang membuat ketergesaan. Hingga tak sempat melihat-lihat seperti apa rupa Amsterdam airport, karena hanya berjalan berganti dari gate E3 ke Gate 20 karena sudah masuk waktu boarding menuju Jakarta.

13 Feb 2012. 4.20 KL Airport
Aura yang terasa di KL airport sudah membuatku merasa hidup di dunia yang berbeda. Wajah-wajah melayu, bahasanya, perilakunya sudah membuatku terlempar lagi dunia yang berbeda dari kehidupan yang kujalani sekitar 15 jam yang lalu. Coat pendek dan syal sudah kulepas, karena suhunya sudah cukup membuatku merasa kebakaran. Panaaaas....
Mahkluk di sebelah duduk di pesawat selama 18 jam lebih itu, ternyata seorang anggota LSM dari Belgia yang concern di bidang pelanggaran HAM di bidang pertambangan. Perbincangan kami hanya sekedar saling menyapa, dan ternyata pada saat kutanya, so you can speak Indonesian languange?
dijawabnya : sedikit..sedikit..ahaha, mungkin dia telah lebih banyak menjejalahi daratan-daratan Indonesia, dibandingkan aku..heuu

6.30. Bandara Soetta.
Akhirnya pesawat KLM mendarat dengan selamat di Bandara Soetta. Perasaanku?entahlah..akhir-akhir ini rasa tak bisa terdefinisi dengan baik. Setelah mengambil bagasi, pemeriksaan melalui jalur khusus (diplomatik) yang lebih cepat dibandingkan jalur biasa, semuanya mulus dan lancar. Dua misscall ada di Hpku, satu dari bapak dan satu dari Mba Sur, sahabat yang selama ini baru ber-dunia maya saja. Dan saat kulangkahkan kaki keluar, sudah berderet menyambutku, bapak, ibu, adekku, dan mba sur. Aku kembali. Lagi. Paduan rasa, antara senang, lega, lelah, panas..mondar mandir tak pasti.



Ketemu pertama kali secara "nyata" dengan Mba Sur

** 23 Feb 2012..beberapa hari setelah aku pulang, aku masih saja mencari pulang, ingin menemukan rasa pulang. Dan mungkin soal rasa keber-ada-aan itu telah masuk ranah rasa, bukan lagi hanya sekedar wujud saya yang pulang. Dan kini aku menyadari bahwa bisa kembali pulang kapan saja. Mungkin aku sudah kembali, jauh sebelum saya pulang. Mungkin.




Kamis, 09 Februari 2012

Kata Tuhan Padaku Hari ini

Bersama-Baturaden 2011
Mataku masih kriyip-kriyip saat bangun pagi hari ini, nyawa belum kumpul benar, dan ditambah lagi brrrrr...dingin, padahal sudah tidur berlapis-lapis dengan sleeping bag lalu ditimpa duvet setebal hampir 5 cm itu. Kugapai HP di meja di sebelah ranjang, untuk melihat jam berapa untuk siap-siap salat shubuh. Masih gelap karena lampu kamar kumatikan dan di luar Glasgow pastilah masih juga pekat.  Jam masuk waktu shubuh sudah berubah, kalau biasanya jam setengah tujuh pagi baru masuk subuh, sekarang sudah lebih pagi lagi. Kulihat jam di HP menunjukkan jam setengah jam pagi, dan ada sms masuk, dan masih dengan keadaan sadar dan tidak, kubuka smsnya..tulisannya singkat, tapi seketika saat kubaca membuatku terlonjak, kaget, senang, dan terharu :
            “ Siwi Glasgow, Cuu lulus ADS
Whui...tak pikir panjang aku segera menelponnya, seingatku paket gratisan dari Vodafone masih, kalau habispun ku tak peduli. Hanya beberapa dering, langsung diangkat..dan terdengarlah suaranya yang renyah di ujung sana, riang karena tengah dimabuk gembira. Mungkin karena haru, atau entah kenapa justru dirikulah yang mewek..menangis bahagia. Sungguh, detik itu Tuhan sepertinya berkata lagi padaku, Dia, sungguh Sang Maha Perencana yang baik.
Aku, dia, Sudewi namanya, tapi kebanyakan kami memanggilnya dengan sebutan “Cu’u”, sudah belasan tahun bersama dalam persahabatan, sungguh sebuah kebahagiaan tak terkira saat mendengar ia sudah berhasil menggenggam impiannya. Perjalanan yang panjang, berdarah-darah, sungguh berbuah manis terasa hari ini. Lama, ya telah lama sebenarnya langkahnya menapaki mimpi-mimpi itu. Tapi dengan konsistensi dan persistensi kawan, tak ada yang tak mungkin untuk digapai. Lama dia mulai secara autodidak mempersiapkan diri belajar bahasa inggris, kala ke Bali mengunjunginya akhir januari tahun lalu, kudapati dia rajin belajar toefl online. Lalu dengan semangatnya bolak-balik Bali-Purwokerto untuk mendaftar dan tes beasiswa unggulan S2 di Fakultas Biologi Unsoed. Masih ingat saat dia menginap di kos, jalan-jalan ke Baturaden seusai tes wawancara. Aku dan dia, begitu optimis dan yakin bahwa dia akan diterima, dan melanjutkan hidup di Purwokerto sebagai persinggahan selanjutnya.
            “ Mungkin sudah ada yang menungguku di sini” begitu ucapnya dengan mantap, dan juga tes wawancaranya nampak tidak bermasalah. Dari 20 kursi beasiswa yang tersedia, dengan hanya 25 peserta kala itu, dengan posisinya sebagai alumni, dengan proposal risetnya yang sudah mantap, dengan background pekerjaannya di Balai Riset Gondol sementara banyak yang lain masih baru lulus S1, sepertinya tak ada alasan yang terlihat dapat menghalangi jalannya mendapat beasiswa itu. Tapi dengan begitu mengherankan, saat pengumuman tiba, dia gagal mendapatkan beasiswa itu, heuuu..Tuhan mungkin mempunyai rencana yang lebih baik lagi untukmu, sahabat..begitu yang kuyakinkan saat itu padanya.

Bersama--Bali, 2011

Lalu waktu berjalan, perjuangannya pun juga terus berjalan, dan walau terpisah samudra, aku berusaha untuk tetap ada seiring langkahnya berjalan. Dia melamar ADS dan beasiswa prestasi Amerika, yang kuingat, form-form berbahasa inggris yang bercerita tentang perspektif diri, pengalaman, rencana ke depan, konstribusi komunitas yang berlembar lembar itu, aku ikut andil dalam editing dan menambahinya dengan bahasa rayuan “jual diri” yang lebay dan memabukkan ahaha. Satu hal dalam hal meraih beasiswa, kau harus tunjukkan pada si pemberi dana itu bahwa engkaulah kandidat yang tak kuasa ditolak ehehe.... Oh ya, surat rekomendasinya dari kepala Balai Riset sebenarnya adalah kata-kata manis penuh keju-ku, yang meyakinkan bila salah satu staffnya adalah kandidat jempolan yang layak mendapat kesempatan, dan si bapak kepala balai tinggal mencantumkan tanda tangannya saja. Dan ternyata semua itu berhasil hihi, loloslah dalam seleksi administrasi. Berikutnya adalah tes IELTS dan wawancara. Maka ngebutlah dia dalam waktu kira-kira sebulan untuk mempersiapkan diri tes IELTS, yang masih asing baginya. Belum pernah sekalipun ikut tes IELTS dan juga belum pernah kursus IELTS. Maka selain dia belajar sendiri, kursus privat jarak jauh lewat YMpun dilakukan ehehe, kukirimi kitab-kitab IELTS zaman bertempur dengan IELTS dulu, dan mengecek serta komen hasil belajar writingnya. Bila kukenang sekarang, ternyata jalan sudah sedemikian panjang. Sampai akhirnya berita menggembirakan itu datang, bahagiaku untukmu, sahabat.
Dia, sama saja denganku, cah ndeso yang rumahnya terletak di desa yang jarang disebut orang. Bila aku dan bala-bala lain ingin mengunjunginya kala ia mudik dari Bali, kami naik motor menyusuri jalanan yang lengang, dan bila tengah musim hujan tiba, dipastikan motor-motor kami belepotan karena jalanannya yang becek. Desanya sepi, kecuali agak ramai oleh lenguhan sapi-sapi. Bila kami kesana, pasti disambut ibunya yang telah lanjut usia dengan senyuman ramah namun sederhana. Tapi dengan gupuh pasti disiapkannya kami rupa-rupa makan siang, yang beliau masak dengan tungku tradisional. Yang kuingat, selalu tersedia ikan di meja, karena desanya dekat dengan laut, sehingga gampang sekali mendapatkan ikan segar. Bila menginap, pastilah deburan ombak dari luat terdengar kala malam menjelang. Sedangkan bapaknya juga sama sederhananya, walau lebih banyak berbicara dibandingkan ibunya yang pendiam. Kala main ke sana, masih ingat dengan semangatnya beliau memanen petai-petai di samping rumah untuk oleh-oleh kami sepulang dari laut. Laut dekat desanya sangat menyenangkan, apalagi bila masih sepi, seperti layaknya pantai pribadi, dimana kami bebas berceloteh ke sana kemari, dan bernyanyi-nyanyi sesuka hati. Plus ada penjual sate dan mendoan favorit kami, rasanya tak usah jauh-jauh ke karimun jawa, pantai itu bisa menyamainya.
Hari ini, kami semua bala kurawa  merayakan keberhasilannya, turut berbahagia dan bersyukur untuknya.
Dan satu hal, peristiwa ini sekaligus sekali lagi membukakan ruang kesadaran bagiku, Tuhan sudah mengatur sebaik-baiknya rencana untuk kita. Betapa Dia memutuskan untuk dia gagal beasiswa unggulan yang rasanya sudah di depan mata, menggantinya dengan beasiswa ADS karena Tuhan memberikan yang lebih baik, lebih tepat untuknya. Seperti dulu, dia gagal mendapat beasiswa BPPS UGM dan kemudian mendapatkan berkah diterima CPNS di Balai Riset Perikanan Bali. Tuhan, Maha Misterius untuk memberikan kesempatan pada manusiaNya untuk mencari, berjuang sampai akhir dan berserah diri, mungkin juga dengan menanti. Karena Dia, Gustiku, setahuku Maha Perencana yang baik. Bersiaplah dan ijinkanlah keajaiban-keajaiban terjadi dalam hidupmu...

Begitulah kata Tuhan padaku hari ini, melangkahlah terus, menanti, mencari, menerima, mengabdi, berkontribusi, mengoptimalkan karya diri..
Hari ini aku merayakan kemenanganmu, kemenanganku, kemenangan kita semua***

*Salam kasih dari Glasgow, 9 Feb 2012. Di meja kerja ruangan student yang sebentar lagi kutinggalkan, sebentar.



Selasa, 07 Februari 2012

Tentang Pulang


Malam yang lumayan brrr...dingin, pasti suhunya minus lagi, ditambah dengan kabut yang terus turun di luar jendela. Entahlah, anomali rasanya, bila kota-kota lain membeku dengan turunnya salju, di Glasgow malah sejak dini hari tadi turun kabut. Jadi berasa bagaimanaaa begitu, bangunan-bangunan terselimuti kabut, dan jarak pandang menjadi terbatas, terasa misterius. Tapi beginilah, kunikmati saja. Karena sebentar lagi mungkin aku merindui kabutnya, merindui dinginnya, merindui badainya. Ah..ya karena tak terasa, hanya dalam hitungan hari lagi saya akan pulang, pulang..walau memang hanya beberapa bulan saja, tapi setidaknya saya pulang. 
Seperti biasa, saya selalu “nggak sadar diri” bahwa akan pulang, seperti halnya dulu “nggak sadar diri” kalau akan segera berangkat. Ternyata sudah lebih dari empat bulan saya menjejakkan kaki di negeri antah berantah ini, di kota yang berbelok 51.3 mil dari kota tujuan saya, Edinburgh. Kesadaran seseorang memang kadang kala mengenal kata terlambat, mungkin memang keterlambatan itulah yang justru menghadirkan ruang-ruang kesadaran. Bila semuanya berjalan baik-baik saja, tepat waktu, mulus tanpa onak duri, tak terbayangkan betapa hambarnya rasa hidup. Mungkin begitulah polanya, keterlambatanpun bisa menjadi loncatan kesadaran. Sadar bahwa mungkin selama ini saya belum “benar-benar hidup” di sini.
 Masih banyak tarikan-tarikan lain yang menyebabkan saya “membuta” ehehe. Mungkin karena fokus mikirin riset (haiiih cari alasan ilmiah) jadinya nafsu jalan-jalan dan menjelajahnya rada berkurang. Saya belum benar-benar mengenal Glasgow, kota yang saya tempati ini dengan baik. Seperti hanya numpang hidup, celakanya itupun cuma siang doang. Karena kebanyakan setelah pulang dari lab, dan pulang ke Flat, hidup saya rasanya di Indonesia saja. Dengan nonton tivi Indonesia dengan mivo tv, lalu dilanjut nulis atau melakukan hal lain sambil mendengarkan radio Swaragama lewat Jogya streamer. Belum lagi ditambah chat dengan sahabat-sahabat di Indonesia, rasanya di luar Glasgow, tapi di dalamnya Jogya..ahaha. Begitulah kawan, ritme hidup selama beberapa bulan ini. Sebenarnya tak masalah, hanya saja aku ingin mengenali tempat yang kutinggali ini dengan lebih pribadi lagi.
Mungkin karena saya tidak terlalu excited dengan tempat ini, itu awalnya yang membuat saya sok “angkuh” enggan melirik seperti apa sebenarnya Glasgow. Berbeda saat saya datang ke Itali, sepertinya tak sesuatupun ingin terlewatkan dari pengamatan saya. Walau hanya tinggal selama 3 bulan di sana, namun rasanya hampir semua tentang Itali dapat tertangkap melalui mata, telinga dan rasa. Tapi Glasgow benar-benar masih terasa asing di hati saya, walaupun setidaknya saya merasa nyaman tinggal di sini. Tipe-tipe kawasan yang tak terlalu modern, nggak terlalu ramai, udara masih bersih dan segar, everything seems okay. Tapi bila ditanya, makanan khasnya Glasgow apaan? Budayanya orang situ yang unik apa? Oh..memalukan, saya tidak tahu, belum tahu. Nggak kepikiran..ehehe..
Duuh benar-benar payah saya.
Padahal beberapa saat lalu, dosen saya di UGM dulu tiba-tiba mengirimkan pesan lewat inbox FB :
hebat ya..bagus deh foto-fotonya, jadi kangen kuliah lagi. jangan lupa pelajari heritage-nya
Begitu kira-kira isi pesan beliau yang dulu pernah kuliah di Liverpool School of Tropical Medicine.
Ah, begitulah. Makanya kemarin saya sempatkan untuk mengunjungi Edinburgh, jadi paling tidak sudah menjelajahinya. Oh, saya belum kemana-manaaaa...ahaha...parah. Saya juga tidak tahu lari kemana daya penjelajahan saya, atau sekarang merasa “sensasi jalan-jalan” sudah tak semenggairahkan dulu lagi. Ahaha entahlah...
Pulang ini juga membukakan kesadaran, bahwa Tuhan sudah memberikan saya kesempatan berharga yang tak semua orang bisa dapatkan untuk melihat, merasai kehidupan lain, dan seharusnya bisa belajar dari itu. Sudah sih sebenarnya, tapi belum-belum total rasanya ehehe..Jadinya, akhir-akhir ini bila saya sedang jalan-jalan sendiri menyusuri kota, saya benar-benar menikmatinya. Ternyata ada banyak hal yang selama ini tak terlihat oleh saya. Lambang kota ini yang lucu, yang hampir ada di setiap jalan, tentang keramahan penduduknya, tentang cuacanya yang unik, apalagi tentang akses bahasa inggris orang sini yang..hadeeeh..berasa nggak pernah belajar bahasa inggris deh, aksen Glaswegian memang terkenal bahasa planet, orang Inggris saja nggak ngerti mereka ngomong apa. Tapi bagaimanapun, saya yakin Glasgow pastilah mempesona, karena tempat ini yang dipilihkan Tuhan untuk saya.
Selalu saja begitu, kepergian, terkadang membukakan kesadaran betapa berartinya apa yang kita tinggalkan. Seperti Indonesiaku, yang saya tinggalkan, kini aku melihat Indonesia, keluarga, pekerjaan, anak-anakku, orang-orang yang kusayang, serta banyak hal dengan sebuah pemahaman baru, dengan sudut pandang yang baru, dengan rasa yang baru. Hal itu mungkin tak bisa kudapat bila aku tidak “pergi”. Pergi, meninggalkan, mungkin justru adalah saat memberikan ruang untuk menghargai sesuatu, seseorang, apapun. Saya akan pulang dengan rasa “baru” pada Indonesiaku, dan semoga saat saya balik lagi ke sini, saya juga datang dengan rasa “baru pada Glasgow. Mungkin itulah peran kata “pergi”, untuk menjadikan pulang terasa indah..

Banyak ijazah hidup, memang kadang bisa dibentuk oleh pergi. Di dalam pulang, manusia memperoleh arti-artinya yang baru, bobot hidupnya yang baru..(Prie GS)


**Glasgow masih saja sepi, sementara adzan subuhmu baru saja berkumandang di Swaragama, saya baru saja shalat isya dan menyantap dessert saya yang sebentar lagi aku saya rindukan, Strawberry Trifle, semacam puding strawberry dengan tiga lapis dan atasnya dilapisi whipped cream, rasanya jangan ditanya, selalu menggoda lidah, apalagi harganya, bikin tak usah pikir panjang membelinya, cuman 98 pence, nggak ada 1 pounds, sepertinya di Indo saja nggak dapet si penggoda lidah ini dengan harga segitu. Beginilah, saya sedang mengalami sindrom doyan makan tingkat tinggi, rasanya belum pernah saya serakus ini. Bila ditanya berapa kali kamu makan hari ini? Hihi lima kali..ekekek..setelah bangun pagi, sebelum berangkat ke lab, pas makan siang di lab, lalu setelah pulang lab, dan kemudian makan malam sesi kedua, plus diakhiri dengan si strawberry trifle ini..
Salahkan cuaca yang minus-minus itu, pastilah karenanya saya doyan makan ;p;p
 Selamat menyambut hari barumu kawan, sementara kasur dan duvet itu rasanya sudah memanggil-manggil saya untuk segera zzzz....enjoy ur life..


Glasgow, 6 Feb 2012, 9.45 pm.

Senin, 06 Februari 2012

Rindu Tahu

Tahu apa engkau tentang rindu? Tanyakanlah pada tahu, karena ia tahu betapa rinduku padanya. Sederhana saja rindu, tak muluk-muluk, hanya ingin makan tahu. Tahu saja, karena bila ngidam tahu gimbal mas aris di Semarang, tentu saja jauh, dan akupun tidak (terpaksa tidak) ngidam tahu petis kesukaanku di depan pasar Gombong yang berjualan mulai jam 4 sore itu. Aku tahu pasti anak-anak Indonesia yang sekolah ke negeri antah berantah ini banyak disergap rindu, entah rindu keluarga, rindu sahabat, kekasih, ataupun rindu makanan. Sudah sering kudapati upaya-upaya gigih mereka dalam rangka menuntaskan satu rasa, rindu. 
Puput, flatmate-ku nyari labu siam kemana-mana untuk bikin lontong opor, bikin pempek. Lalu cerita kegigihan rekan lain pastilah sudah sering kudengar, berbagi bumbu rendang, dan masakan-masakan Indonesia yang lain. Begitulah rindu, kawan, memberimu segala macam daya upaya untuk menuntaskannya, dan kali ini aku rindu tahu.
Tadinya ingin kubuat semacam tahu yang dibikin opor, tapi niat kuurungkan, kayaknya enak bila diolah original saja. Hanya direndam dengan garam dan bawang putih saja, dan digoreng lalu dilahap panas-panas..hasiih..dan kau tahu..itulah tahu terenak sepanjang sejarahku ahaha...lebaaay..
Kubeli tahu itu di toko cina Chunying, yang letaknya jauh dari flat, harus naik bisa dulu ke city center, lalu jalan sekitar 15 menit ke toko tersebut, panjang perjalanan demi kerinduanku pada tahu.  Dan harganya pun, bikin tarik nafas panjang-panjang, hampir 3 pounds (hampir 45rebu) untuk sebungkus tahu berisi 15 biji. Tapi kau tahu, demi rindu, sepertinya semuanya dikesampingkan. Maka akhirnya tersaji juga tahu goreng panas yang kumakan dengan nasi hangat plus tumis teri, dan oh Gusti...nikmatMu sungguh susah kuingkari.
Mungkin tulisanku terdengar berlebihan, tapi rasailah engkau misal sudah sebulan tak makan nasi, lalu engkau akhirnya menemukannya, rasanya akan berkuadrat-kuadrat nikmatnya. Akhir-akhir kusadari hal itu, Tuhan memang punya mekanismenya sendiri agar manusia belajar bersyukur. Tahu di Indonesia adalah makanan murah yang bisa dibeli dimana saja, tak terlihat, kalah saing dibanding makanan-makanan rupa-rupa yang kini naik pamor dengan semakin nge-trend-nya wisata kuliner yang sekarang berubah menjadi lifestyle manusia masa kini. Tapi kau lihat, tahu yang diolah dengan cara paling tradisional itu, mampu menuntaskan rinduku. Sederhana saja , bukan?
Tahu itu mengajarkan padaku, bagaimana menikmati berkahNya dalam setiap detiknya. Dengan caranya yang sederhana.

**Glasgow, 5 Feb 2012,  8.30 malam dengan bulan yang membulat purnama di luar jendela..




Minggu, 05 Februari 2012

Tragedi Masuk Angin

Di negeri antah berantah begini, yang paling merepotkan adalah bila badan sudah mulai protes, dan entah kenapa sudah kedua kalinya, masuk angin, dan mual-mual. Kejadian pertama, juga begini rupa dan berikutnya lebih parah karena harus melakukan 911 sendirian dan akhirnya muntah-muntah...aisssh...sudah kubujuk-bujuk si badan akan bekerjasama dengan baik hari ini. Karena sederet kerjaan lab menanti,ekstraksi RNA, sintesis ke cDNA, lalu fiksasi untuk immunoflourecens serta mengganti media si sel-sel itu. Pengennya kabur ke flat dan tidur, tapi apa daya..jadwal dengan makhluk hidup memang tak bisa ditunda. Lalu iseng, sambil menghilangkan mual, chat dengan sahabat, ikutan bingung dia di seberang sana, dan mulai rewellah dia :

S : “makan banyak, minum banyak, terus tak usah lembur
Aku : Tapi kan nulis membuatku bahagia,
S : iya tapi bukan berarti mengurangi jatah fisik untuk tidur
S : Istirahatlah sebentar, pejamkan mata, atur nafas
Haikk..seperti orang mau melahirkan saja, Jawabku dengan ngakak tertahan. Walaupun perut masih mual. Sepertinya ini gara-gara menghirup powder virkon saat piket tadi pagi, curigaku begitu. Karena sudah kali dua aku mengalami hal serupa, dan  hari ini lebih parah. Tadi pagi masih baik-baik saja, sarapan seperti biasa. Dan setelah piket membereskan lab, dan menyediakan segala keperluan laboratorium termasuk mengganti cairan pembuangan pipet dan sterilisasi, yakni dengan membuat larutan virkon 1% tiba-tiba jadi mual begini rupa. Tapi dasarnya aku tipe yang sering kali mengindahkan rasa sakit, kuanggap ini sakit biasa saja. Mungkin sejenis masuk angin biasa, yang nanti akan sembuh dan baik-baik saja. Jadi dengan mengambil segelas air hangat di lantai 5, kuharap mualnya akan segera sembuh.

Beda lagi dengan adekku, yang tiba-tiba menyapa di chat FB, yang bilang
Ss : Minum wedang jahe sama kunir asem
Hadeeeh ribet bener. Ini kan cuma masuk angin..nanti juga sembuh sendiri. Begitulah, terkadang bila sakit-nya masih dalam kategori ringan sampai sedang, jarang-jarang kuanggap sebagai perkara besar. Dan saat kucerita tentang masuk angin dan muntah-muntah dengan tersangka gara-gara bubuk virkon itu pada si dosen kimia pengampu mata kuliah kesehatan laboratorium untuk bertanya tentang bahaya si bubuk merah jambu itu, komentar awalnya bisa diduga,
            “ Sudah berapa bulan?” fiuuuuh...tapi kalimat berikutnya,baru dia bilang “ banyakin minum susu karena bla..bla..bla..haiiih, selalu saja kebalik, siapa coba yang dosen kesmas..
Cerita tentang masuk angin itu kuanggap berakhir, seiring dengan kembali normalnya badanku dengan nafsu makan yang kian meningkat saja. Tapi tiba-tiba dua hari kemudian, Esther (mahasiswa postdoc di lab) mencari tahu apakah ada sesuatu yang aneh di lab, karena petugas kebersihan yang membersihkan sisa cairan di drum pipet (yang berisi cairan virkon) mengeluh mual dan sakit tenggorokan. Dan akhirnya ceritalah aku tentang masuk angin dan muntah-muntah yang sudah terjadi dua kali dengan tersangka di bubuk merah jambu itu. Semula aku menganggap itu cerita biasa saja, hanya ingin menegaskan lagi, mungkin tersangka si penyebab sakit antara aku dan si petugas kebersihan itu sama, si virkon itu. Tapi siangnya, tiba-tiba Esther berkata bila aku harus menemui Joice, kepala health safety CVR untuk mengisi form. Hiyaaak, sudah mulai curiga aku. Dan dengan manggut-manggut dan sedikit shock mendapati form yang kuisi itu berjudul agak serius : form laporan injury and dangerous occurance..aih mantap kataku dalam hati, masuk anginku masuk injury serius rupanya. Dan lagi, aku diwawancarai seperti korban saja, awalnya bagaimana, saat kejadian kira-kira jam berapa, memakai apa, apakah bercerita tentang kejadian itu ke orang lain, gejala-gejala apa yang dirasakan, tindakan apa yang dilakukan dan sampai berapa lama sembuh. Sementara dia mencatat secara detail pernyataanku. Hohoho kok jadi begini yaaaah...
            “ Baik, form ini akan diajukan ke Uni, nanti mungkin dari pihak health safety uni akan merundingkan dan mungkin akan mengadakan pemeriksaan kesehatan, dikhawatirkan kamu terlalu sensitif terhadap bahan kimia tertentu. Nanti juga saya akan ke Alain untuk memberitahukan tentang hal ini kata Joyce, yang dengan telatennya menghadapi “kasus” ini. Duuuh, ini kan kasus masuk angin doang, kok ceritanya jadi panjang sih, apalagi sampai urusan dengan supervisorku segala, haiiih, paling nggak mau ada perkara dengan supervisor, jadi saat dia bilang akan lapor Alain, kupingku langsung sensitif,
            “ Humm I don’t want to make a trouble” kataku bimbang

Lalu dia tersenyum “ oh bukan, sama sekali bukan masalah, ini hanya sekedar laporan saja, karena dia kan yang bertanggungjawab atasmu di sini, jadi dia harus tahu. Jangan merasa begitu. Kami di sini semua membantu untuk memastikan bahwa seluruh anggota lab baik-baik saja, jadi jangan sungkan bila ada masalah seperti ini “ katanya panjang lebar. (sebenarnya jauh lebih panjang lebar lagi, dengan banyak bumbu-bumbu seperti halnya bagian healthy safety yang tak menginginkan anggota lab-nya cedera seujung kukupun).
Rekan-rekan lab yang lain pun merespon dengan seriusnya,
            “ Why you don’t tell us?” dengan muka bersimpati. Hadeeeh lha wong cuman masuk angin dan muntah-muntah kok yoo...waktu itu aku memang hanya cerita pada susana (rekan mahasiswa phD dari Malaysia) dan Stephanie (mahasiswa postdoc) saja. Aih...aku jadi terharuuu..halaaah lebaay..
hari berikutnya, Joyce dan Esther memintaku untuk sering mengecek email student-ku, mungkin pihak healthy safety Uni akan menghubungiku. Hoho kuharap nggak usah ada pengecekan kesehatan segala...hadeeeeh....


Tapi dari tragedi masuk angin ini, aku menyadari beberapa hal, satu, ternyata aku dikelilingi orang-orang yang perhatian dan menyayangiku...jiaaaah hi hi...dua, ternyata perkara healthy safety di UK ini memang bukan perkara main-main, serius sekali mereka dengan masalah ini. Salut juga dengan sistem mereka yang begitu memperhatikan keselamatan. Bila di Indo, rasanya sering kali peraturan tentang healthy safety hanya berupa lip service yang berakhir dengan tempelan di dinding yang sering diabaikan dan tak dianggap penting. Tadinya, saat pertama kali masuk gedung CVR, heran juga dengan papan larangan memakai sarung tangan lateks yang tergantung di koridor-koridor. Dan sebenarnya jadi ribet, karena harus melepas sarung tangan bila ingin berpindah-pindah untuk memakai alat tertentu. Tapi ternyata peraturan itu dibuat karena ada beberapa anggota dan staff  CVR yang alergi dengan lateks. Hummm...jempol empat deh buat mereka tentang healthy safety, dengan harapan Indonesia bisa menerapkan hal serupa suatu hari, semoga ***

Jumat, 03 Februari 2012

Luka//Lalu//Lupa

Semua luka akan sembuh, tapi tidak semuanya akan hilang. Beberapa luka akan menyisakan bekas—tanda bahwa sebuah peristiwa pernah ada (Luka, Fadh Djibran)

Aku adalah saksi sekaligus pelaku, bahwa luka-luka itu pernah ada. Bukti bahwa kita hanya manusia, yang mungkin saja rentan untuk terluka. Entah itu luka karena seseorang yang sengaja atau tak sengaja, atau bahkan luka yang dicipta sendiri? Entahlah, luka terkadang tetaplah getir yang sering kali ditelan sendiri. Kadang kala  berupa sayatan tak terkendali yang tiba-tiba merobek hati tanpa bisa dicegah lagi. Begitu saja, tiba-tiba, tanpa permisi.
Tak ada guna benteng-benteng, topeng-topeng, atau tameng-tameng yang kita pakai, luka itu terlalu jelas untuk bisa bersembunyi. Mungkin luka bersembunyi di balik senyum yang masih bisa terulas, di balik tawa yang sebenarnya getir, dibalik canda yang sebenarnya hanya dengan cara itulah ingin kau kubur lukamu dalam-dalam. Karena bila tidak, tangismu akan pecah.
Tanda bahwa kata-katamu tak sanggup lagi bicara, senyummu sudah tak bisa lagi terkulum, tawamu hilang ditelan getir yang datang menghampir. Dan hanya tangis yang mampu menerjemahkan luka itu dengan sedemikian fasihnya. Saat kata-kata hilang daya, tangis hampir sempurna mengambil peran itu. Tangismu, yang mungkin tangis sendirian yang sepi. Yang menegaskan bahwa setangguh apapun dirimu, rapuhmu adalah bagian dari dirimu yang tak terbantahkan. Bukan untuk kehilangan ketangguhan dan kekuatan, namun mengambil jeda dari peristiwa, mengambil jarak dari apapun yang kaupikir menyakitimu, dan ingin sendirian dengan dirimu sendiri.
Bila kautengok kebelakang, jejak-jejak luka itu pastilah pernah ada. Mungkin karena memang dalam setiap diri manusia ada jejak-jejak luka yang disimpannya. Ada yang memilih menguburnya, pura-pura melupa, bahwa episode itu adalah sepenggal kisah yang ingin ia hapuskan dari sekuen hidupnya. Ada pula yang membumbui luka, yang justru merawati lukamu, dan hidup di atasnya. Iya, dengan mengenang-kenang terus lukamu itu, luka segores yang dikenali hati itu akhirnya justru menjadi bumbu bumbu yang kau buat dramatis.
Manusia memang terkadang masokis rasa, menyukai sakit, atau luka yang dikorek-korek lagi. Merasai kilasan rasa-rasa itu lagi. Perhatikan deretan-deretan lagu di jetaudio, winamp atau playlist di HPmu. Lagu-lagu kebangsaanmu itu pasti mengingatkanmu akan sesuatu, akan peristiwa atau akan seseorang. Mungkin juga ada jejak-jejak luka bertebaran dimana-mana, namun kau menikmatinya. Kadang malah berubah menjadi kisah begitu dahsyat yang dialami oleh hati kalian. Yang sering dilagukan, sering kali malah seperti dirayakan. Begitulah manusia.
Merayakan luka setelah luka berlalu, namun tetap tak bisa lupa. Luka-luka itu akan sembuh, dengan si penyembuh terdahsyat dan tak tergantikan, waktu. Si detik jarum jam yang berdetak ritmis itu terkadang adalah harapan saat luka menyesakkan dadamu. Dengan mengucap mantra sakti “ dan inipun akan berlalu”.
Seorang sahabat bertanya dalam statusnya “apakah sebuah tangisan akan menyembuhkan luka?” Entahlah, itu mungkin tergantung kadar dan seberapa cepat penerimaanmu pada luka itu. Mungkin hanya butuh sejenak waktu, karena saat luka memenuhi dada, tak ada lain yang terasa kecuali pedihnya. Sesaknya yang menyulitkanmu bernafas, lalu tangis adalah semacam naluri alamiah yang tak harus kau pelajari mengapa bulir-bulir air matamu itu tiba-tiba saja menderas. Sepertinya luka dan tangis mempunya koneksinya yang ajaib. Tangis yang kadang tanpa kata. Mungkin tak perlu lagi kata-kata. Tangismu itu sudah mewakili segalanya. Percayalah nantinya, luka itupun akan lalu, walau mungkin kau takkan pernah lupa. Tak apa bila kau memilih pura-pura melupa, toh dengan penghapus macam manapun luka itu sebenarnya tak pernah bisa benar-benar terlupa. Mungkin luka itu akan sembuh, nanti, seiring dengan dengan pemahaman-pemahamanmu yang baru. Di sinilah justru betapa kadang luka itu adalah sejenis anak tangga yang akan membuatmu melangkah pada tataran pemahaman berikutnya.
Satu hal, sadarilah, bahwa takkan pernah ada sesuatu atau seseorangpun yang sanggup melukaimu, menyakitimu tanpa engkau mengijinkannya. Ya, kau terluka karena engkau mengijinkanmu terluka. Dan sayangnya, orang yang paling berpotensi membuatmu terluka adalah orang-orang terdekatmu, orang-orang tercintamu, orang yang paling yang menduduki porsi-porsi besar di hatimu. Bukankah begitu? Karena  mungkin mereka-merekalah yang kau ijinkan, atau tak sengaja kau ijinkan menjejakkan luka. Entah luka yang kau buat sendiri, atau terluka oleh orang lain. Luka yang kau buat sendiri? Yaa..luka yang barangkali orang yang kau anggap melukaimu itu tak pernah merasa atau bermaksud melukaimu. Luka karena harapmu tak bertemu dengan nyata,  luka karena inginmu tak seperti yang dilakukannya.
Tengoklah lagi jejak-jejak lukamu itu, jangan-jangan banyak luka yang kau buat sendiri, lalu kau usung-usung kemanapun kau pergi, lalu kau coba sembuhkan sendiri. Humm..tapi yakinlah, bahwa tetap ada harga untuk sebuah luka bila engkau mau belajar darinya. Mungkin luka itu akan mengantarkanmu pada pemahaman-pemahaman hidup yang baru. Biasanya seperti itu. Mungkin. Mungkin saja, aku hanya menduga.

Luka karena cinta, bukanlah luka yang mencacatkan, tapi yang menuntunmu untuk mengenali keindahan asli dari jiwamu (Mario Teguh)
Tulisan ini untukku, untukmu, untuk kalian, yang pernah terluka, mempunyai luka, menjagai luka, dan menyembuhkannya, walau mungkin tidak untuk lupa bahwa luka itu pernah ada. Jadikanlah luka itu jejak berharga dalam hidupmu, bahwa pernah ada peristiwa, dan pembelajaran di baliknya.

Sungguh, saya mengajak Anda semua untuk mempercayai rumus ini, bahwa seluruh kepahitan-kepahitan hidup, hanyalah intro bagi sebuah kegembiraan. Maka orang yang tidak pernah menderita, sebetulnya telah kehilangan separoh kebahagiaannya (Prie Gs)


**Glasgow, 2 Feb 2012 yang tengah membeku dengan suhu -7 C, 

Selasa, 31 Januari 2012

Merindu Salju

**Salju kembali turun, kali ini agak terburu-buru, seperti rinduku..yang terburu-buru ingin menujumu (SiwiMars, 26 January 2012)

Merasai bulir-bulirnya jatuh ringan di tubuhku, mukaku, telapak tanganku dan meninggalkan jejak putih di mantelku, rasaku membisu. Ada gelenyar yang tak dikenali hatiku, sebuah rasa “baru”. Bahwa rasaku pun berubah dari tataran “belum pernah merasai salju” berubah menjadi “pernah”. 
Hati-hati dengan perubahan rasa ini, terkadang sebagian besar dari hidupmu itu mendamba untuk mengubah dari belum pernah menjadi pernah. Dan juga bagi perkara saljupun sepertinya berlaku hukum itu. Sebagai manusia yang dihidupkan oleh iklim tropis, yang selama ini terbiasa dengan matahari dan hujan, salju telah lama masuk menjadi kategori “barang antah berantah” yang hanya berakhir pada imajinasi film-film drama romantis, kartun-kartun Disney atau film-film natal. Salju selalu diidentikan dengan Natal, sampai ada sebutan “white christmas”, mungkin karena turunnya salju biasanya terjadi pada Bulan Desember, saat musim dingin tiba. Maka karena termasuk kategori “barang antah berantah” itulah banyak orang mendamba merasai turunnya salju dalam hidupnya, termasuk aku tentu saja. Laiklah bila kami-kami yang baru saja menginjakkan kaki di daratan Eropa, terkana sindrom merindu salju.
Menunggu saat kapan si bulir-bulir putih lucu itu menjatuhkan dirinya dengan beruntun dari langit. Dengan terus memantau perkiraan cuaca, dan menunggu kalo ada tanda-tanda ramalan adanya “snow” walaupun cuma “light snow”. Dan betapa beruntungnya aku yang tinggal di Britania bagian utara yang notabenenya lebih dingin dibandingkan dengan daratan UK lainnya. Sehingga daratan yang kujejaki saat ini lebih cepat mendapat berkah salju dibandingkan daratan-daratan lain di benua biru ini.
Aku masih ingat salju pertamaku, turun tak terburu-buru, seperti rindu yang tak tentu. Hanya rintik rintik putih yang melayang terbang dan menimpa ringan di tubuhku. 

Aku dan Salju

Dan kemarin turun lagi si lucu itu, kali ini seperti serat-serat kapas yang beterbangan di luar jendela. Ah, salju-salju lucu itu...seperti menerbangkan angan, meloncatkan harapan. Memandangi  gumpalan-gumpalan putih terbang melayang sungguh mendebarkan. Hatiku seakan ikut dibawanya terbang, menyeberang samudra, menujumu. Titik–titik putih itu turun satu-satu, menggodaku untuk keluar dan bersama mereka. Merasai bulir-bulirnya jatuh di kulitku, merasai sensasi dingin di wajahku, dan tak terasa tanganku mulai membeku. Dan saat langit telah menggelap, dengan lagu-lagu yang diputar syahdu, plus teh hangat madu, serta salju di luar jendela masih terus turun membawakan rindu, sempurnalah hidupku ehehe. Salju memang cenderung membawakan rasa mellow di hati. Dengan suhu minus, jalanan beku dengan lapisan tipis es, akibat salju yang membeku, memang saat yang tepat untuk ber”hibernasi” di balik selimut.
Namun sayangnya tahun ini, salju tak sering-sering datang, tak seperti tahun lalu (kata mereka). Masih untung si bulir bulir lucu itu sudi turun, karena di bagian UK lainnya, sahabat-sahabatku masih merindu salju.
            “ Aku sudah lelah menantinya”, begitu katanya. Tanda rindu tak bersambut dalam sebuah pertemuan yang indah. Ah, bersabarlah..mungkin nanti salju lucu itu akan segera mampir ke tempat kalian. Agar berubah status hidup kalian, dari belum pernah merasai salju menjadi pernah, sebenarnya itu saja urgensinya. Namun walau hanya sekedar itu, perubahan status itu terkadang membuat orang-orang terkena snowholic..mencandu salju. Mood-nya menjadi tiba-tiba melankolik, bahagia nano nano..ahaha kombinasi yang aneh..sindrom ini terdeteksi dari berbagai status-status FB warga negara Indonesia tercinta yang tengah dilanda “candu salju”. Padahal rekan-rekan Labku yang orang Scottish dan orang Eropa lainnya, memandang salju sebagai sesuatu yang sangat biasa, bahkan menurut mereka “menganggu”. Karena salju bagi mereka adalah jalanan yang licin, mobil yang susah bergerak karena salju, suhu yang makin membuat beku. Ah, lihatlah hanya perkara salju saja sangggup menggerakkan kesadaran kita tentang sesuatu yang biasa dan luar biasa. Salju bagi kita-kita adalah sesuatu yang istimewa, hanya karena kita tak biasa mengalaminya, dan bagi mereka, salju sangatlah biasa. Jadi mereka merindu matahari tropis yang menghangatkan kebekuan mereka yang hampir sepanjang tahun diterpa hawa dingin. Itulah mereka mengganggap negeri tercinta kita itu sebagai surga.
            “why you came here, your country is paradise?” kata tutor les inggrisku pas awal-awal menginjakkan kaki disini.
Ah, begitulah ternyata hidup. Kita sering berteriak-teriak kepanasan, mereka merindukan matahari terik milik kita itu. Sementara kita mencemburui salju milik mereka. Jadi itulah tentang merindu, menantikan sesuatu yang ingin kau rasai, menunggu untuk bertemu seseorang atau sesuatu yang ingin kau temui, mendesak-desak tak tentu.
Salju kembali hilang, tapi kenapa rinduku masih di sini bersamaku.***

 

Kamis, 26 Januari 2012

Catatan Perjalanan : Edinburgh, Menatapi Sejarah Peradaban

Sabtu, 21 jan 2012. 05.30 My flat
Glasgow masih lelap, tak banyak manusia-manusianya yang sudah bangun pada saat-saat jam dimana berkelubut dalam selimut saat dingin menusuki tulang benar-benar menjadi hal yang menyenangkan. Saya memang penggila rasa, bahkan untuk merasai dinginpun, ritual bangun pagi kusisakan beberapa menit untuk sekedar mengumpulkan nyawa, namun selebihnya adalah untuk menikmatinya, merasai rasa dingin dipadu dengan selimut dobel adalah seperti paduan secangkir teh hangat dan hujan, saling menyempurnakan..ehehe
Tapi karena mengingat jadwal bis ke Edinburgh berangkat jam 8.45 maka setidaknya 45 menit sebelumnya aku sudah harus beranjak menuju halte bis menuju stasiun. Maka kutinggalkan dingin dan cerita selimutnya, lalu bersiap-siap. Kali ini ingin menikmati perjalanan dengan santai, karena seringkali liburan atau jalan-jalan tak lebih dari cerita serba terburu-buru. Apa yang kau nikmati dari serba buru-burumu? Maka tas punggung—pacar keduaku- sudah siap dengan segala tetek bengek keperluan selama 2 hari,persis kayak kantong doraemon saja. Bila lapar?ada sekotak Bakmi Kangen, bila ingin camilan? Ada shortbread, cemilan kue khas Scotland favoritku itu, Bila hujan ada payung, bila merinduimu..ada saputanganmu ;p

07.35. Halte bis Great Western Road
Glasgow masih saja menggelap, saat kulangkahkan kaki keluar flat. Iseng memotret Glasgow-ku yang masih terlelap, ternyata mempesona. Dengan santai pula kutunggu bis lewat di halte terdekat di Great Western Road. Aku teringat betapa aku terburu-buru saat akan ke Edinburgh tahun baru lalu, begitu cemas ketinggalan bus di stasiun. Ah, betapa tidak menyenangkannya buru-buru. Dan bis no 20 pun mengantarkanku ke Buchanan Bus Stasiun, sekitar 30 menit sebelum jadwal keberangkatan. Masih sempat duduk santai, masih sempat makan Bakmi Kangenku, dan menulis catatan-catatan kecil di notesku.

Setapak jalan di samping flatku
08.45 Citylink
Bus yang nyaman ini mengantarkanku ke Edinburgh, sebuah perjalanan sendirian, berbeda dengan perjalananku kemarin itu yang bersebelas orang. Tapi kunikmati benar pemandangan di luar jendela. Itulah mengapa selalu saja kupilih posisi di dekat jendela bila aku naik apa saja, entah bis, kereta atau pesawat..entah kapal, aku belum tahu bagaimana rasanya. Karena menurutku dari sebuah perjalanan, terkadang menyenangkan menikmati perjalanan itu sendiri, bukan hanya melulu memusatkan diri pada tujuan. Lalu pemandangan di luar jendela adalah hal-hal yang  tak bisa tertampikkan, begitu mempesonakan. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata, dengan deretan rumah rumah berdesain unik, mungil, sederhana namun nampak nyaman, lalu bukit-bukit menghijau dengan domba-domba yang menunduk sibuk merumput.
Entah kenapa aku menyukai kala memandangi domba-domba lucu itu. Sampai bertanya dalam hati, kenapa semua domba yang kulihat selalu dalam posisi menunduk?apa ia tak lelah makan terus? Tapi pertanyaan itu terjawab setelah beberapa kali melihat si lucu itu mendongakkan kepala..ahaha pertanyaan nggak penting ya. Cuaca hari ini nampak bersinar, membuat hatiku cerah. Humm memang terkadang entah ada hubungan apa antara hati dan cuaca hingga mereka berdua seringkali saling mengkoneksi. Mungkin matahari sedang senang, hingga muncul terang melihatku datang. Jadi sepanjang jalan, betapa kunikmati memandangi landskap mahakarya sang kuasa yang sungguh indahnya. Andai naik kendaraan pribadi, pasti aku ingin berhenti, menikmati pesonanya dengan duduk-duduk di hamparan rumput menghijau itu, mengamati tingkah polah domba domba lucu itu hingga bisa menghitung frekuensi sebenarnya berapa lama ia menunduk dan berapa lama ia mendongakkan kepalanya. Atau menatapi pagar-pagar kayu yang berbaris rapi, menentramkan hati. Mengingatkan bahwa apa saja yang berjalan sesuai batas memang lebih menyamankan nurani.

09.45. Edinburgh Bus Stasiun
Masih agak mengantuk, karena ternyata pemandangan yang mempesonakan dan domba-domba lucu tadi itu sungguh melenakan. Aku terlelap ehehe..dan tersadar saat bis sudah melewati kota Edinburgh menuju bus stasiun. Belum-belum sudah kukagumi sisi-sisi lanskap kota tua ini. Humm..cantik..khas lanskap kota tua yang masih terjaga kelestariannya.
Sampai di bus stasiun, kuambil peta yang disediakan disana, trus mencari jalan ke arah flat-nya Detia. Sebelumnya sudah mem-bookingnya untuk menemaniku jalan-jalan sekaligus numpang nginep di tempatnya. Hiyaaa..kali ini bakat nyasaranku rada sembuh, setidaknya hanya sekali menelponnya, dan akhirnya berhasil sampai di flatnya setelah berjalan sekitar 30 menit. Setelah makan, ngeteh, leyeh-leyeh sambil menunggui detia mandi. Detia ini mahasiswa S1 di Uni Edinburgh, baru semester awal..hadeeeh bisa dibayangkan, baru seumur segitu sudah kelayapan ke negeri antah berantah sini.

11.30. Kawasan Kastil Edinburgh
Menjelang siang kami berangkat jalan-jalan, iyap, jalan-jalan dalam artian sebenarnya, dengan berjalan kaki. Berjalan menyelusuri jalan-jalan Edinburgh rasanya menyenangkan, walau angin bertiup kencang dan gerimis rinai datang sesekali. Cuaca memang aneh, mentari bersinar terang tapi gerimis datang. Ah, mungkin mereka berdua ingin menjumpaiku dalam waktu yang sama ;p Melihat sisi-sisi Edinburgh rasanya ingin lama berhenti, mengamati dan menikmatinya. Coba kalau bisa berlama-lama, hummm maunya. Kami mengarah ke kastil edinburgh, tempat ini adalah hotspot yang paling dicari banyak orang. Belum dikatakan ke Edinburgh bila belum mengunjunginya. Dan juga, tempat ini kujadikan setting cerpenku “Cinta di antara dua huruf “O”” di buku Balada Seorang Lengger, jadi ingin mengecek bagaimana sebenarnya aslinya. Kastil ini menangkup skyline Edinburgh karena letaknya di puncak volcanic Castle Rock, jadi merupakan pusat pemandangan yang bisa terlihat yang mudah dari sudut-sudut kota.
Kastil megah ini menjadi simbol kota Edinburgh, bahkan juga menghiasi logo University of Edinburgh, ada di gambar perangko-perangko dan juga lembaran duit pounsterlingnya scotland (eit..duitnya orang scotland sama orang England beda lho walau sama-sama poundsterling, arogansi memang menjamur dimana-mana kawan, bukan hanya di bumi pertiwi). Angin bertiup kencang, beginilah khas cuaca di Scotland..memang lebih brrrr dibandingkan bagian UK lainnya. Kusempatkan foto-foto di kastil yang dulunya adalah tempat tinggal kerjaan (royal castle) sejak rezim David I abad 12 sampai tahun 1603 itu. Sebagai banteng paling penting di Kingdom of Scotland, tentu saja banteng ini ikut berperan dalam perang kemerdekaan Skotlandia pada abad ke 14. Hummm..selalu merasa bagaimanaa...bila berhadapan dengan bangunan-bangunan yang sudah “simbah buyut” umurnya. Bahwa aku bisa melihat apa yang dulu orang-orang antah berantah, beratus ratus sebelumku lihat juga, rasanya ada yang berdesir di dadaku, entah apa itu. Mungkin karena rasaku yang sedikit rasa “aneh” dengan bangunan-bangunan historis. Mungkin secara genetis aku lahir dengan pecinta “klasik” daripada sesuatu yang mengusung modernitas.
Foto di depan Kastil...cantik ya...kastilnya hihi ;p
Sayangnya belum sempat masuk ke dalam kastilnya, untuk tiket masuk seharga 14 pounds..heuu cukup mahal ya, dan saat itu antrean sudah mengular, akan memakan waktu lama untuk mengantri. Jadi lebih baik nanti masuk kalau ke sini lagi, agar ada alasan untuk kembali lagi hihi. 
Kemudian kami berjalan meninggalkan kastil, aku dan Detia menikmati berbagai atraksi. Banyak atraksi menarik para seniman jalanan, mulai dari si bapak-bapak yang berdandan ala William Wallace yang terkenal dengan film Brave Heart itu  
Lalu di sepanjang jalan bisa ditemukan gambar dari seniman-seniman local ataupun toko-toko souvenir khas Scotland yang menjual berbagai pernak pernik nan lucu. Humm..berharap kurs rupiah dan poundsterling lebih mesra lagi saat melihat harganya, hadeeeeh....ehehe tapi akhirnya kubeli juga beberapa souvenir Scotland yang unik,dan nggak ada di Glasgow. Sepertinya lebih banyak variasi di sini, dan harganya lebih rasional.
ini dia si bapak-bapak yang berdandan ala William Wallace

2.00 pm- Old College-Kitchen Mosque-Central Mosque-Uni Edinburgh
Kemudian, kami meneruskan perjalanan ke kawasan University of Edinburgh, mantan calon kampusku hihi. Di tengah jalan, kami mampir di Old College dengan arsitekturnya yang waw..cantik dan klasik, betah banget berlama-lama memandanginya. Kemudian juga iseng masuk ke museumnya, hum museum di sini memang selalu terawat dan dikelola dengan baik, pokoknya ngiriiii. Setelah agak puas kami mampir makan siang, karena perut sudah keroncongan. Detia menunjukkan Kicthen Mosque di dekat Uni, yang menyediakan masakan halal dengan harga yang lumayan. Aku memesan nasi briyani dan sayur, sedangkan detia memesan Nasi dan Ayam Curry. Harganya standard, sekitar 5 pounds seporsi , tapi hebatnya Detia habis.

Di Old College...waw, betah banget di tempat ini
            “ pertama kali makan di sini nggak habis mba, tapi lama-lama habis juga, sepertinya perut sudah menyesuaikan” katanya sambil tersenyum, dan kembali merampungkan nasi dan ayam di piringnya.  Aku menyerah, dan minta sisanya dibungkus ehehe.
Nasi Briyani..enaaaak bangeeet...
Dari situ, kami melewati Central Mosque, lalu ke kawasan Uni Edinburgh. Dan ke university shopnya...hyaaaa..mata langsung berbinar-binar melihat pernak-pernik uni. Hihi nakal, padahal belum satupun pernak pernik Uni Glasgow yang kubeli, tapi demi melihat pernak pernik Uni Edinburgh langsung berhasrat untuk membeli, kadang-kadang cinta memang terlalu jelas, tak sanggup disembunyikan. Apalagi ada diskon, kaus merah dengan lambang Uni Edinburgh-pun akhirnya berpindah ke tanganku, ahaaaay..5 pounds, harga yang rasional setelah diskon lumayan. Untuk urusan souvenir, pikirku, yang bikin mahal adalah tulisan, lambang, logo dan sebagainya ehehe..begitulah kira-kira hipotesisku.
Setelah itu kususuri bangunan-bangunan Uni yang antik dan telah berumur ratusan tahun itu, sampai gelap. Jam 4 sore saja, langit sudah menggelap menjadikan hari terasa begitu singkat. Akhirnya kami beranjak pulang, tapi di tengah jalan, tetep mampir ke beberapa toko dan akhirnya sampai di flat dengan keresek belanjaan. Entah, biasanya tidak begitu..hihi, mungkin karena menjelang pulang, jadi pikirannya beli oleh-oleh terus ;p

6.30. Flat Detia
Di Flat-nya Detia, bersama Minfi
Humm...kaki rasanya pegeeeeel setelah berjalan sedemikian jauh dan lama. Kaki di sini memang memiliki peran yang sangat penting, karena akan dipakai terus terusan untuk jalan kaki. Nggak ada becak, nggak ada ojek walaupun jalanan kadang becek hihi...makanya saat tubuh bertemu dengan kasus dan boneka minfi (boneka khas belanda) yang pas dipeluk itu, waa nempel terus. Sementara detia asyik memutar lagu-lagunya Ada band sambil bernyanyi-nyanyi, katanya pemanasan sebelum  mengerjakan tugas, tapi pemanasannya lamaaa..nggak sampai inti-nya hihi. Salut juga dengannya, dengan umur yang belum lagi 17 tahun, sudah melalang buana, jauh dari orang tua. Humm..sementara pemuda pemuda lain masih nyaman di “suapi” emaknya. Kuraih buku “cinta padang bulan”nya Andrea Hirata di rak bukunya, dan iseng membacai kalimat-kalimatnya. Haus bacaan Indonesia, semuanya di sini berbahasa antah berantah semua. Menjelang jam 8, karena perut keroncongan..kami segera ke dapur, masak cah kangkung dan tahu goreng, ayeeee...pertama kali makan kangkung di negeri ini. Namun, sayangnya Detia nggak suka  pedes, jadinya nggak ada cabe satu bijipun. Alhasil jadilah cah kangkung tanpa cabai...oh, cintaku pada cabai..hambarku tanpamu ;p

Minggu, 22 Januari. 10.30. Royal Botanical Garden, edinburgh
Humm hijau-hijaunya taman selalu menyejukkan
Tema jalan-jalanku kali ini memang “menikmati”, jadi memang nggak bernafsu untuk menjelajah ke banyak tempat. Masih ada waktu mengunjunginya lagi, pikirku. Jadi, kami menikmati pagi dengan leyeh-leyeh, sarapan dan cerita di ruang dapur. Sambil menikmati mentari Edinburgh yang tersenyum cerah. Entah mengapa bila mentari tersenyum cerah, hati ikutan cerah, mungkin karena kelamaan disuguhi mendung, badai, dan hujan, jadi aku merindui matahari. Menjelang siang kami jalan menuju Royal Botanical Garden, sekitar 20 menit jalan kaki dari flat Detia. Humm, taman saat musim dingin dengan pohon-pohon yang meranggas ternyata tetap cantik juga. Kupikir, pasti taman ini akan punya warna yang khas setiap musimnya. Cantik berwarna warni saat musim semi ataupun musim panas, lalu menguning atau merah kekuningan saat musim gugur. Royal Botanical Garden Edinburgh hampir sama dengan yang ada di Glasgow.. namun lebih luas, lebih lengkap dan variatif. Aku selalu betah berada di lingkungan yang hijau-hijau begini, rasanya segar, udaranya masih bersih. Humm ada danau dengan angsa-angsa, ada hamparan rumput menghijau yang luas, kursi-kursi duduk, tempat pameran, souvenir shop yang menjual pernak pernik, madu dan produk-produk kebun lainnya. Dijamin indah untuk lokasi foto-foto (ahaha teteeeep), enak untuk jalan-jalan, dan juga sip untuk belajar. Ada video tentang alam, ilmu pengetahuan, miniatur, gambar..wuiiii lengkap banget. Belum lagi ada koleksi tanaman dan bunga-bunganya yang belum sempat kulihat. Oh ya, bedanya kalau di Glasgow, masuk ke koleksinya gratis, dan kata Detia kalo masuk koleksi tanaman dan bunga di sini bayar hohoho.
Koleksi madu scotland di souvenir shopnya
Menjelang jam 1.30, kami pulang ke flat karena jam 2.45 tiket bisku pulang menuju Glasgow. Jadi, setelah mengepak semuanya, aku kembali berjalan menuju stasiun. Dengan hati senang, jiwa terang, ehehe. Satu yang pasti, memang suatu kota ada jatahnya untuk selalui dirindui, seperti Jogya. Tapi ada kota yang nyaman dan membuatmu mau pulang, seperti Purwokerto ataupun Glasgow.
04.30. Buchanan Bus Stasiun, Glasgow
Aku kembali menjejakkan kaki di Glasgow, humm rumahku. Mampir sebentar membeli Lamb Kebab di King’s Kebab di Sauchihall Street, karena sepertinya perut sudah tak sabar menunggu bila harus masak lagi. Hihi perutku memang manja akhir-akhir ini . Akhirnya kembali ke flatku, kamarku yang super nyaman. Dan merasa beruntung, aku bisa berjalan-jalan, menikmati semua anugerah Tuhan, sambil mengucapkan, Edinburgh-ku, suatu saat, aku akan kembali lagi ;p




** panjang ya ceritanya...hoho, begitulah kawan, akupun ingin kalian melihat apa yang kulihat.