Sabtu, 02 Februari 2013

Detik Terakhir



Sore ini udara Kota Solo terasa gerah. Mendung menggelayut tapi tak kunjung hujan. Air hujan selayaknya air mata yang tertahan pada pelupuk mata. Menunggu tertumpahkan.
            “ Mas, bisa pinjam jaketmu?” tanyaku. Masih dalam langkah kaki menyusuri jalan menuju Terminal Tirtonadi. Berharap jalanan memperpanjang dirinya agar kami bisa berjalan bersama semakin lama.
“Adek sakit?” tanyamu. Langkahmu terhenti, lalu memandangku dengan gurat kecemasan yang sulit kau sembunyikan. Mukaku pasti pucat. Yang sebenarnya memucat karena mengetahui detik yang tersisa bersamamu  hanya tinggal sedikit.
Seandainya tak pernah ada kata pergi.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum. Lalu segera melapisi tubuhku dengan jaketmu, hatiku menghangat.
Detik berlarian. Hatiku beringsut, gundah.
Bukankah ritual pergi telah sering kualami berkali-kali? Kenapa masih saja hatiku menggamang. Seakan tak pernah rela melepasmu pergi.
Kami telah sampai ke Terminal Tirtonadi, berdiri di antara puluhan orang yang tengah sibuk dengan rasa datang dan pergi.
Terminal, Bandara, Stasiun adalah tempat-tempat dimana manusia-manusia melepas dan menyambut. Tempat –tempat itu begitu akrab dengan pertemuan dan perpisahan. Awal dari kebersamaan ataupun ketidakbersamaan. Ada cium tangan, apa pelukan melepas orang-orang terkasih, ada lambaian dengan harap semoga Tuhan dengan waktuNya mempertemukan kita kembali. Dan aku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat saat jiwaku turut menghilang separuh, terbawa bersamamu yang melangkah pergi meninggalkanku, namun turut membawa hatiku pergi.
Seperti saat ini, di tempat duduk ruang tunggu menunggu bus yang akan membawamu pergi. Seperti malaikat maut.
            “ Kenapa sih dek? Sedih ya mas mau pergi?” tanyamu mengamati wajahku. Mungkin kau menyadari binar di mataku makin meredup seiring detik yang terus berlarian, menyisakan waktu yang semakin sedikit tersisa.
Aku tersenyum, ada getir yang pias pada senyumanku.
            “ Enggaklah, mas kan sudah sering pergi. Sudah biasa begini,” begitu jawabku, sambil merapatkan jaketmu ke tubuhku. Ingin hangatmu selalu ada dalam diriku. Selalu.
Kau mengusap-usap rambut panjangku perlahan, kemudian terdiam. Apakah kau juga ingin memperpanjang waktu, mas? tanya hatiku. Tak tahu.
Jam dinding besar di terminal sudah menunjukkan jam 18.45 malam, lima belas menit lagi waktu yang tersisa. Kupandangi engkau lagi seperti memandangimu terakhir kali. Betapa sering aku dianugerahi momen seperti ini.
Manusia bisa memandang orang lain seperti biasa, bahwa nanti akan bertemu lagi. Siang nanti, malam nanti, esok, atau paling beberapa jam mendatang. Mereka tak mengalami apa yang kurasai, memandangi seseorang seperti terakhir kali akan melihatnya. Karena ke depan adalah ketidakpastian. Kapan bisa bertemu engkau lagi? hanya berharap Tuhan dan waktu akan berbaik hati.
Waktu kali ini berbaik hati. Petugas bus menghampiri para penumpang yang tengah menunggu bis menuju Surabaya bahwa bis pada jadwal 19.00 tak bisa dioperasikan. Kami harus menunggu bis pukul 20.00 malam. Hatiku tersenyum, perpanjangan waktu. Berarti masih tersisa sekitar 3600 detik lagi bersamamu.
            “ Adek pulang saja ya, udah malem. Biar mas tunggu bis-nya satu jam lagi. Mas carikan taksi ya?” tanyamu. Dengan wajah lelah karena seharian menantangi hari.
Aku menggelengkan kepala. Waktu sudah berbaik hati, bagaimana mungkin aku pergi sebelum kau pergi.
            “ Tapi adek lagi nggak enak badan, nanti malah sakit?” ucapmu dengan nada khawatir yang sulit kau sembunyikan.
Aku tersenyum, menyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Walau menunggu saat jiwaku akan tinggal separuh dibawa pergi bersamamu.
Di kejauhan, kembali terlihat ritual melepas dan menyambut bergantian di depan mata. Senyuman ataupun air mata yang tertahan. Hujan turun perlahan, airmata di pelupuk langit akhirnya turun ke bumi. Dalam rintik-rintiknya yang membawakan rindu yang gagu. Tak terucap. Bagaimana mungkin seseorang bisa rindu bahkan dengan orang yang masih ada di sampingnya, bersamanya, di dekatnya. Tapi itu aku. Aku telah merinduimu sebelum kau pergi lagi.
            Dan engkau, seperti biasanya mulai meracau lagi dengan kalimat-kalimatmu yang selalu sanggup menerbitkan senyumku. Aku khawatir bila suatu saat engkau berhenti membadut di depanku. Tingkah badutmu yang sanggup membuat tangisku bercampur tawa dalam satu waktu. Bersamamu selalu membuat detik waktu serasa cepat sekali berlalu. Seharusnya engkau melakukan perjanjian dulu dengan waktu sebelum kau bertemu denganku. Mengapa setiap kali denganmu, waktu berlari terburu-buru.
            “ Bis nya sudah datang dek,” katamu pada akhirnya, Malaikat maut datang merebutmu dariku. Senyumku menghilang sejenak. Tapi sedetik kemudian kuterbitkan lagi, karena aku ingin kau melihatku terakhir kali dengan senyuman, walau dengan air mata yang tertahan.
            “ Hati-hati ya mas” kataku. Maksudku hati-hati menjaga hati dan jiwaku yang kau bawa pergi. Kau tahu itu walau tak terucap.
 Kucium tanganmu dan kau melangkah pergi. Dalam setiap langkah yang membuat hatiku luruh, menyadari bahwa jiwaku telah hilang separuh. Kupandangi punggungmu pergi, sampai menghilang naik ke atas bus. Dan tetap kupandangi bis itu sampai akhirnya ia bergerak perlahan meninggalkanku yang tetap berdiri mematung.
Kau pergi, seperti ritual yang kita jalani berkali-kali. Seharusnya hatiku terbiasa dengan ini. Seharusnya aku bersyukur, mungkin tak semua orang pernah mengalami, betapa sempit waktu hingga betapa berharga sebuah kebersamaan. Bila sepasang manusia lainnya yang saling mencinta diberikan jatah waktu sekian lama untuk bersama, tapi kita harus bersyukur dengan jatah waktu yang kita punya. Karena dengan begini, aku bisa mencintaimu sampai detik terakhir. Detik terakhir yang diberikan oleh Tuhan dan waktu.
Aku masih berdiri mematung walau beberapa detik bis yang membawamu pergi meninggalkanku.
Hpku bergetar. Namamu ada di layar, lalu sedetik kemudian suaramu terdengar.
Kita selalu sanggup memperpanjang waktu. Sampai detik terakhir.

Usap air matamu
Dekap erat tubuhku
Tatap aku sepuas hatimu

Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup aroma tubuhku
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu...
(Detik Terakhir, Lyla)




(Sebuah Flash Fiction = karya fiksi yang sangat singkat).

Ndalem Pogung, Jogya. 2 February 2013. 12. 19.

Kamis, 31 Januari 2013

Dejavu



Kota ini tak terlalu terik siang ini. Langkah kakiku satu demi satu dengan santai menyusuri jalanan kampus yang selalu membuat hatiku terasa nyaman. Rumah. Kampus ini seperti rumah untukku. Lintasan-lintasan pikiran di kepala memenuhi rongga kepalaku. Jadwal lab, kerja lapangan, pengen ikut acara bedah buku di togamas nanti sore dan kamu. Kamu, sepertinya selalu sibuk mondar mandir di pikirku.
Kemudian langkahku terhenti, mataku terantuk pandang pada sebuah tempat. Hatiku berdenyut, syaraf rinduku terkejut. Aku berhenti dan duduk di sana. Rasanya Dejavu.
Kuraba permukaan tempat duduk dari batu itu dengan tanganku, rasanya masih sama. Semilir angin berhembus menciumi ujung-ujung jilbabku,  membawakan kenang kembali segar.
Dulu dengan rok batik berwarna coklat dengan atasan senada. Kini dengan celana kain dan blouse hijau lumut bermotif, aku duduk di tempat yang sama. Kupandangi ke arah gedung itu, berharap kamu dengan langkah lebar-lebar muncul dari tingkungan gedung itu. Melangkah untuk menemui seseorang dan itu aku. Kali ini  juga kutoleh berkali kali jalanan itu walau tahu pasti tak akan ada kamu. Tak ada. Yang melangkah dengan senyum manis dari kejauhan.
Tapi tetap saja aku duduk beberapa saat, dan mengalihkan pandang berkali kali untuk mengamati jalanan itu. Kamu tak lagi ada disitu. Tapi tetap di hatiku.
Dejavu. Rasanya baru kemarin. Ah bukan, itu tahun lalu. Ah entah, aku dan waktu memang sering tak saling setuju.
Namun hatiku tahu, saat ini aku disergap rindu.


Jogya, 31 Januari 2013.

Special



Tidakkah kau menyadari bahwa kupandangi wajahmu lama-lama kemarin sore. Mengamati lekuk-lekuk wajahmu seperti layaknya akan terakhir kali memandangimu. Sedikitnya waktu jatah kita ternyata menjadikan rasa mengganda. Ketidakbersamaan dalam tempat dan waktu yang sama nampaknya juga berjasa menambahkan formulasi pelipatgandaan rasa saat bersama. Maka bersyukurlah pada jarak, yang menyediakan rentang pada kita untuk saling merindukan.
Aku, kamu, memang harus sering mengakrabi jarak, ruang dan waktu.
Aku ingin mengambil jatah waktu hari ini dan menambahkan pada waktu hari kemarin. Sayang waktu tak bergeming, ia tak suka menjadikan semenit lebih dari 60 detik.
Tapi walau waktu tetap patuh pada rumusnya, ia bermurah hati memberikan waktu untuk bersama.
Bersamamu.
            Soale ra ono sing liyo” candamu.
Tapi engkau tahu bahwa aku punya pilihan untuk bersama orang lain, tapi tetap memilih untuk bersamamu. 
spe·cial= being a particular one; particular, individual, or certain.
Apapun itu definisi kamus ataupun hasil google. Kamu spesial. Selalu.

Jogya lewat tengah malam. Di penghujung Januari 2013

Sabtu, 26 Januari 2013

Catatan Launching Buku "Catatan Hati Sang Guru"


In action ;p

Pokoknya ntar Januari, saya booking jadi pembicara bedah buku saya ya,” demikian todong ustadz Arian, November tahun lalu saat mengetahui saya akan pulang ke Indonesia untuk beberapa bulan.
Namanya Arian Sahidi, penulis sekaligus guru SMP Al Irsyad yang dulu pertama kali mengontak saya gara-gara mencari tahu tempat tes TOEFL di Purwokerto. Kemudian melalui kontak jejaring sosial barulah saya mengetahui bahwa dia itu seorang penulis juga. Karya-karyanya hampir semua saya sudah baca, karena alhamdulillah berkesempatan menjadi first reader-nya terlebih dahulu. Karya-karya yang selalu menyisipkan pesan-pesan religiusitas tanpa terlihat teoritis dan dogmatis menurut saya salah satu kelebihannya dalam berkarya.
Maka hari ini, 25 Januari 2013 dimulai pukul 07.30 saya menghadiri acara launching buku Catatan Hati Seorang Guru sekaligus rangkaian acara open house yang diadakan SMP Al Irsyad Purwokerto. Suasana saat saya datang sudah meriah dengan riuh rendah suara anak-anak. Saya selalu suka bertemu anak-anak, jadi saya begitu menikmati beberapa sajian seni dan baca puisi yang ditampilkan sebelum acara berlangsung. Melihat anak-anak negeri ini, saya selalu berkeyakinan, Indonesia pasti mampu untuk menjadi sebuah negeri yang hebat. Acara dimulai oleh moderator ustadzah Tantri yang cukup komunikatif dan mampu “meredam” kegaduhan anak-anak sesekali. Kemudian bincang-bincang dengan penulis berlangsung santai, diselingi riuh rendah tepuk tangan anak-anak, atau tawa lepas mereka. Beberapa hal menakjubkan pun saya temui di sini, seperti Nak Abror yang hobi membaca dan penulis favoritnya Paulo Coelho. Widiwww anak SMP bacaannya PC coba, mantep abis.
Nah setelah bincang-bincang dengan penulis, giliran saya tampil ke atas panggung. Tebar pesona, #eh maksudnya menjalankan tugas untuk untuk memberikan komentar terhadap buku CHSG ini. Buku CHSG ini memang tergolong simpel, tapi cukup inspiratif. Pesan moralnya tentang pendidikan karakter, kepedulian terhadap anak-anak dan selalu membiasakan hal-hal baik disampaikan dengan lugas oleh penulis. Bahasanya ringan, kadang diselingi dengan gurauan, tanpa banyak metafora, tapi cukup mudah dipahami pembacanya. Buku ini cocok untuk dibaca oleh siswa-siswa, rekan guru, wali murid ataupun kalangan umum. Isinya pun cukup variatif, mulai dari awal keputusan beliau untuk menjadi seorang guru, kebersamaan dengan anak-anak, serta kisah-kisah unik beberapa anak didiknya. Saya menjadi saksi mata pada acara tersebut, bahwa beberapa anak dengan kebutuhan khusus namun mempunyai potensi, kemampuan serta kemauan yang tak kalah dengan anak normal lainnya.
Banyak kisah-kisah kebersamaan dengan anak-anak baik di kelas ataupun di luar kelas yang menarik disimak, bukan hanya kisah ceritanya namun terutama siratan pembelajaran di dalamnya. Dan hari ini saya punya kesempatan langsung untuk bertatap muka dengan nama-nama yang disebutkan dalam buku. Bahkan foto bareng ehehe...
Acara pembagian doorprize-pun berlangsung meriah, sebuah doorprize buku koloni milanisti saya didapatkan oleh seorang anak berkebutuhan khusus, Nak Jihan yang dengan mantap walau terbata-bata menjawab “ Skot-lan-dia” saat ustadzah Tantri menanyakan dimana saya tengah menyelesaikan studi doktoral saya. Dia ikut mengacungkan jari tinggi-tinggi saat puluhan anak-anak lain berebut menjawab.
Usai acara, anak-anak berebut tanda tangan untuk buku saya, Koloni Milanisti yang saya titipkan di bazar bukunya. Semuanya nampak antusias menyebutkan nama, dan minta duluan untuk bukunya ditandatangani. Ada yang meminta alamat blog, no HP, ataupun foto bersama. Lama-lama saya berasa artis #somboooong ahaha.
Ini dia Nak Abror (paling kiri) yang hobi baca, dan penulis favoritnya itu Paulo Coelho
sok artis, tanda tangan di buku "Koloni Milanisti" ;p
            “ tulisannya dikasih kata-kata yang tadi dong, Miss” pinta seorang anak pada saya. Dan dengan senang hati saya menambahkan kata-kata motivasi di halaman depan buku saya tersebut. Kemudian ada salah seorang ustadzah yang ceritanya nge-fans sama saya #ups sama tulisan saya lebih tepatnya. Dengan malu-malu Ustazah Maya menghampiri saya dan minta foto bersama,
            “ saya senang baca tulisan-tulisan mba di blog, juga buku koloni milanisti-nya,” papar beliaunya. Hadeww selangit deh kalau ada orang yang suka baca tulisan saya ehehe.

Ini dia foto bersama Ustadzah Maya :)
Nah kalau ini foto dengan Faraj, didampingi penulis buku.
Kemudian ada Qois, seorang anak dengan kebutuhan khusus, setelah beberapa saat yang lalu meminta tanda tangan di buku Koloni Milanisti, kemudian beberapa saat kemudian dengan bersemangatnya menyodorkan halaman depan buku tulisnya untuk minta tanda tangan saya,
            “ Jangan tinggalin saya dong,” ungkapnya dengan polos. Saya tersenyum, Ah bagaimana saya tidak jatuh hati pada mereka semua. Lucu-lucu dan menyenangkan. Saya selalu menyukai melakukan sesuatu untuk anak-anak negeri ini, dan hari ini sungguh hari yang membahagiakan untuk saya. Misi saya untuk dunia pendidikan terus saya hidupi dengan tindakan nyata. Saya ingat pesan pak Anis Baswedan pada PPI Dunia beberapa saat lalu yang saya terima di milis
iuran terbesar untuk pendidikan itu bukan beasiswa, bukan buku, bukan fasilitas belajar tapi iuran kehadiran. Kehadiran anda sebagai inspirasi adalah iuran terbesar
Dan dengan apa yang saya lakukan, saya terus untuk mencoba membayar hutang kehadiran saya,

Foto bersama beberapa anak-anak murid SMP Al Irsyad 


*P.S : Danke, Mien Liebster yang selalu memberikan dukungan dengan telepon manisnya sebelum mengisi acara. Semoga bersama untuk saling membaikkan, menghebatkan.

Senin, 14 Januari 2013

Habibie-Ainun : Semacam Review ;p




Jujur saja saya tidak terlalu maniak nonton film, jarang update nonton film-film terbaru. Tapi tetap penasaran dengan riuh rendah pemberitaan tentang film Habibie-Ainun yang katanya fenomenal itu. Maka demi mengobati rasa penasaran saya, saya akhirnya nonton film ini bersama sahabat baik saya di Ambarukmo Plaza, Jogya minggu lalu. Untuk mendapat tiketpun kami terpaksa mundur ke jam tayang 15.30 karena jam tayang 13.55 sudah penuh.  Yaah lumayanlah ditinggal minum di foodcourt sambil ngobrol dan mampir di Batik Keris, beli batik peta Indonesia. Niatnya tahun ini saya mau beli/buat sebuah rumah, dan sebuah rumah itu bisa diawali dengan menyicil hiasan dindingnya LOL #abaikan.
Sebelum nonton film ini, saya terpengaruh oleh komentar teman-teman yang telah menonton film ini, dengan pesan “hati-hati, mesti nangis-nangis deh,” begitu kata mereka.
Oke, saya bersiap-siap untuk sebuah film yang bakal penuh drama ehehe. Hingga  nonton sepanjang film sampai akhir film, lalu melangkah keluar gedung, saya masih mikir. Eh dimana nangis-nangisnya? Kok hambar ya.
            “ Mba, dimana nangis-nangisnya? Hayoo nangis po ra (nangis atau tidak)?” tanyaku pada mba nuk, teman yang mengajakku nonton itu. Pertanyaan klarifikasi, siapa tau syaraf romantis dan dramatisku konslet. Soalnya dari awal sampai akhir enggak nangis sama sekali.
            “ Sekali tok. Pas Habibie mengunjungi hanggar pesawat dan sudah sepi senyap. Sedihnya sebenarnya negeri ini mampu kok hebat, tapi nyatanya seperti itu,” jawabnya sambil melangkah menuju parkiran.
            Ah  sama, di bagian itu juga saya tersentuh, tapi enggak sampai mewek. Jadi kami berdua tersentuh bukan di bagian kisah cintanya Habibie-Ainun tapi di sisi nasionalismenya.
“Untungnya enggak mekso suamiku buat nonton bareng, lah wong biasa wae (untung enggak memaksa suaminya untuk nonton film ini karena ternyata biasa saja),” imbuhnya.
 Ah lega, ternyata saya enggak konslet-konslet amat. Karena menurut saya, ceritanya biasa, terkesan plain dan scene demi scene-nya enggak teramu sehingga mampu menimbulkan efek WOW. Bagi saya, film tersebut lebih terlihat seperti film sejarah yang dibungkus dengan baik, dibandingkan sebuah kisah cinta romantis. Beberapa scene memang lumayan mengesankan, seperti saat Habibie mengejek Ainun saat mereka masih sama-sama sekolah :
            “ Ainun, kamu gendut, item, jelek”
Atau saat Habibie melamar Ainun di becak. Itu lumayan okelah. Selebihnya saya lebih tertarik memperhatikan cerita sejarahnya dibandingkan cerita cintanya. Humm sejenis cerita cinta yang hampir dipunyai setiap orang, dan terlalu lurus, kurang romantika hingga terkesan plain, datar. Yah wajar saja, karena ini kisah nyata, jadi mungkin sulit bagi penulis skenarionya untuk memodifikasi cerita. Film ini seperti kisah happily ever after yang terlalu sempurna, malah jadinya datar. Untuk sisi sejarahnya, saya pun memaklumi kisah ini pun main aman dengan tidak terlalu banyak menyinggung isu-isu yang berbahaya. Padahal nyatanya cerita reformasi, mundurnya presiden soeharto pasti banyak untold storynya.
Film ini mengisahkan cerita seorang Habibie yang ingin mengabdikan dirinya untuk kemajuan negerinya, bahwa ada banyak cara untuk mencintai negeri ini. Bagi Habibie, cita-citanya bagi negeri ini yakni membuat pesawat terbang untuk menghubungkan wilayah Indonesia yang berpulau-pula. Dibumbui dengan kisah cintanya dengan Ainun yang terus setia mendampinginya sekolah di Jerman, menjadi menteri, wakil presiden dan akhirnya menjadi presiden, walau diakhiri dengan kisah sedih kematiannya akibat kanker. Reza Rahardian merupakan poin utama yang menjadikan film ini layak ditonton karena aktingnya yang boleh dinilai luar biasa. Ia sanggup memerankan Habibie dengan sangat baik, benar-benar melakukan studi detail bagaimana pak Habibie berbicara, berjalan, tertawa dan keseluruhan gerak geriknya berhasil diperankannya dengan jempolan. Sedangkan Bunga Citra Lestari lumayanlah memerankan Ainun. Sayangnya film ini banyak dijejali iklan-iklan produk #hadeeeeh...plus make up artis-nya yang kurang oke, misalnya saja BCL kayak muda terus, padahal anak-anaknya sudah dewasa. Enggak ada kerutan ataupun make-up yang menyesuaikan usianya. Hummm...
Tapi overall, enggak rugilah nonton film ini. Walau ternyata enggak sebagus yang diharapkan, pinter juga nih marketing filmnya ehehe bisa membuat orang-orang heboh nonton film ini. Kalau film 5 cm memang ke luar ruangan habis nonton berasa semriwing, tapi keluar nonton Habibie-Ainun efeknya biasa saja. Tapi bagaimanapun saya menghargai karya anak negeri.
Oh ya, satu lagi..original sountracknya saya suka.....

 cinta kita melukiskan sejarah
 Menggelarkan cerita penuh suka cita
 Sehingga siapa pun insan Tuhan
 Pasti tahu cinta kita sejati

Bikin berasa...dudududu...#abaikan ahaha

Purwokerto, 14 Januari 2013. 22.58 dengan badan yang sudah lumayan enakan setelah dipekso2 mandi air anget. Nampaknya saya dan hujan sudah mulai tak berjodoh #nggreges. Malah curcol LOL.#abaikan.

Surga Tersembunyi di Pantai Menganti

Berlatar belakang perbukitan jalan menuju Pantai Menganti



Pantai Menganti, namanya memang tak seterkenal Pantai Logending (Pantai Ayah) di deretan wisata Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Namun setelah pada akhirnya mengunjungi tempat ini, saya benar-benar terpesona dan langsung merekomendasikan siapapun untuk mengunjungi tempat ini. Pantai dengan rating 8,5 dari skor maksimal 10 deh. Sebuah surga tersembunyi di Pantai Menganti.
Tersembunyi, iyap karena untuk menjangkau pantai ini rutenya memang tidak mudah. Pantai ini berjarak 7 kilometer dengan jalan mendaki dari Pantai Logending. Untuk mencapainya, kita bisa menggunakan sepeda motor (usahakan dalam kondisi yang bagus) karena jalanannya sunggup mantap, mendaki dengan sudut-sudut yang lumayan ekstrim. Tapi jalanannya sudah beraspal bagus kok, jadi walau medannya agak susah, namun sekarang lebih mudah dijangkau dibandingkan bertahun-tahun lalu saat kondisi jalannya belum beraspal. Jalannya yang sempit dan naik turun dengan esktrim menyebabkan Pantai Menganti ini masih sulit untuk dijangkau menggunakan mobil.
Begitu mulai menyusuri jalan mendaki dan mulai melihat bentangan pantai dari atas, bersiap-siaplah untuk terpesona. Saat mengunjunginya beberapa saat lalu, entah berapa kali aku turun dari sepeda motor dan menikmati pemandangan pantai dari atas plus foto-foto narsis tentu saja. Kalian bisa duduk-duduk sambil memandangi bentangan pantai maha luas di bawah sana sepuas-puasnya. Ah, betah pokoknya dengan pemandangan super indah seperti yang ditawarkan menuju Pantai Menganti.

Nih pantainya, kalau diintip dari atas
Siapa yang nggak betah mandangin lama-lama coba? pantainya maksudnya ;p
Jalan menuju pantai tak terlalu lebar
Aku, Ilalang dan bentangan pantai
Tuh...ciuman ombaknya ke batu karang dahsyat euy

Takjub benar dengan keindahan tersembunyi yang belum banyak dikenal orang ini. Keindahannya berani diadu dengan cantiknya pantai-pantai di Bali deh. Begitu sampai ke Pantainya, kalian bisa menikmati keindahan pantai yang masih perawan ini. Ombaknya berdebur menciumi batu-batu karang dengan begitu dahsyat mesranya #eh. Gelombang ombaknya yang dahsyat bergelora ini membuat pantai ini pernah digunakan untuk lomba selancar. Pasirnya putihnya masih bersih, bisa dijejaki dengan kaki-kaki telanjang menyusuri pantai. Perahu-perahu nelayan berjajar di bibir pantai, menambah nuansa pantai yang eksotis.
Pokoknya dijamin betah untuk berlama-lama menikmati keindahan pantai ini. Saya sendiripun masih belum puas menjelajahi pantai ini, karena berkali-kali berhenti  di sepanjang jalan sehingga sudah menjelang magrib tiba di pantai. Mungkin sunset dari bibir pantai juga menakjubkan, namun masih mikir juga bagaimana pulang sehabis magrib karena medan jalannya yang lumayan dahsyat itu.
Jadi, mungkin tertarik untuk mengunjungi surga tersembunyi ini? Mari.
 



Kamis, 10 Januari 2013

Jogya//Cinta



Cinta selalu mempunyai bahasanya sendiri yang terkadang hanya bisa dikenali hati. Entah berapa kali kalimat ini kulontarkan. Biar saja. Toh apa salahnya?
Saya kembali menyadari hal itu ketika dalam sekejab memutuskan untuk tinggal di Jogya lebih lama lagi, sampai sebelum saya balik ke Glasgow lagi. Padahal saya baru tinggal di Jogya beberapa hari ini, dan langsung betah...pakai banget ehehe.
Hanya cukup beberapa hari untuk memutuskan terus berada di sini, selama mungkin. Kapan lagi? saya berpikir bila nanti selesai studi dan kembali bekerja, kapan ada kesempatan menjadi penghuni jogya? Paling hanya beberapa hari, dan kembali ke rutinitas lama. Jadi, kenapa tak menggengam kesempatan ini dan mewujudkannya? Hatiku langsung mantap.
Kadang sulit untuk dijelaskan mengapa, padahal aku di sini sudah tak lagi punya komunitas yang bisa diajak nongkrong bareng, jalan-jalan. Hanya beberapa sahabat saja yang sesekali bisa bisa kuajak pergi, atau sekedar makan bersama. Tapi hanya dengan makan di daerah deket kos (daerah pogung lor), saya tak pernah merasa sendirian. Aneh. Saya suka makan di tempat (tidak dibungkus/bawa pulang) walau sendirian, mendengarkan orang-orang bicara dengan dialek bahasa jawa jogya, dan berinteraksi dengan penjual makanannya. Hati saya mengenali rasa itu. Cinta. Saya cinta, itu saja. Entah kenapa kadang sulit untuk dijelaskan dengan kata. 
            “ Ayo dong ngomong ngapak-ngapak, pengen denger” beberapa orang meminta saya untuk bicara dengan logat ngapak.
Hehe saya seringkali menolak, selain susah  bicara ngapak tanpa  partner, juga saya lebih suka menggunakan bahasa jawa biasa. Bukan saya tidak suka atau malu berbahasa ngapak. Sungguh ini hanya masalah preferensi hati.
Telinga saya suka mendengar logat bahasa jawa ala jogya, mata saya suka memandangi kota yang sudah sering macet ini. Apalagi sebenarnya? Kenapa saya cinta? sebenarnya saya sambil menulis tulisan ini juga tengah kembali mengeja alasan saya mengapa cinta pada tempat ini. Tidak tahu, sungguh kadang tidak tahu.
Hanya saja hati saya sanggup merasainya. Saya cinta dan ingin tinggal lebih lama.
Saya tinggal di Ndalem Pogung, daeah Pogung Lor, tempat saya betah lama-lama ber”semedi” di sini. Semuanya serba bernuansa jawa, jadi memang aura-nya sangat cocok dengan saya hehe, betah deh pokoknya. Memang sewa kamarnya terhitung mahal, tapi memang cocok dengan fasilitas yang diberikan yakni sebuah kamar luas, big size bed, meja belajar, kursi, lemari pakaian, kamar mandi dalam dengan air hangat, kulkas, LCD TV dan AC. 
            “ Memang berapa dek sewa sebulannya?” tanyamu,
            “ hummm” aku cuma tersenyum enggan menjawab. Walau akhirnya saya menjawab biaya sewa kos-nya, dan saya merasa seperti istri yang menghabiskan belanja bulanan terlalu banyak LOL. Tapi apa yang mahal untuk cinta? tidak ada.
Maka saya tengah menikmati menjadi penghuni jogya lagi, mengerjakan riset, menulis, sambil sesekali jalan-jalan menyusuri sudut-sudut Jogya. Membiarkan hati saya merasai cinta. ***

Ndalem Pogung, 10 Januari 2013. 14.52.




Selasa, 08 Januari 2013

Uban




Uban,
Bilah-bilah rambut putih itu, seringkali mungkin menakutkan bagi banyak orang. Aku tua. Aku  mulai menua, mungkin begitu pikir manusia.
Tua, menua, hanya soal formalitas hubungan manusia dengan waktu saja.
Mungkin uban hanya sebagai pertanda bahwa umur seseorang tak lagi muda. Tapi bukankah jiwa tetap saja bisa meremaja setiap harinya.
Seperti juga cinta, masih terus bisa meremaja, agar tak pernah ada batas kadaluarsa.
Walau uban di rambutku mungkin akan mulai muncul satu per satu,
Hari ini muncul  satu ubanku, suatu saat nanti bila uban demi uban makin menghiasi rambutku, biarkan saja bilah-bilah itu di situ. Mungkin kau bisa mencipta konversi cintaku dan waktu.
Wanna grow old with you,

I have died everyday, waiting for you
Darlin' don't be afraid, I have loved you for a Thousand years
I'll love you for a Thousand more
(A Thousand Years-Christina Perry)
 
Ndalem Pogung 9 January 2013. 22.56

Sabtu, 05 Januari 2013

And I Luv you more...and more




Malam sudah terlalu tua. Tapi ingatku masih padamu jua. Yang kuberi nama cinta. 
Memang bukan kisah penuh berbunga, bukan pula seperti kisah cinderella. Tak sempurna.
Kadang berisi cerita pagi ke pagi lagi, silih berganti, dengan cerita yang masih kita bagi.
Kesahmu, semangatmu, candamu, pura-pura keluhmu atau setangkup rindu. Cinta masih di situ.
Mengakrabi kurangmu, dan menemukan diriku masih bertahan di situ.
Tunjukkan sisiku, baik setan, manusia atau malaikatku. Dan kau masih sabar di situ.
Melewati jembatan demi jembatan dengan bergerak bersama, walau nampak putus di kejauhan mata. 
Tapi entah kenapa kita masih terus memandang harapan yang sama.
Terluka, tersingkir, tersanjung sering merotasi, bergerak dari sisi ke sisi 
Dan menemukan diriku, hatiku, masih berdiri dan tetap untukmu.
Hingga doa-doa yang terus mengada.
Malam kini sudah semakin menua. Tak ada suara. Hingga tak perlu kuulang kata :
Luv you more and more...

Ndalem Pogung-Jogya 5 Januari 2013 1.32 am

Jumat, 04 Januari 2013

Mari Merambah ke Pantai Ayah


Mengeja senja di Pantai Ayah
Pantai Ayah? Dimana tuh? mungkin begitu saat orang menyebut nama Pantai Ayah. Mungkin karena nama pantai ini masih asing di telinga para traveller. Bila menyebut pantai-pantai di Jawa Tengah, mungkin karimun jawa atau barisan pantai gunung kidul masih menjadi jawara. Tapi bila kalian mengunjungi Kabupaten Kebumen, jangan lewatkan untuk mampir menikmati keindahan Pantai Ayah (Logending). Terkadang orang menyebut pantai ini dengan nama Pantai Ayah (karena terletak di Pantai Ayah, Kabupaten Kebumen), ataupun kadang disebut dengan Pantai Logending. Sebutan nama Logending ini berasal dari kata Lo yakni nama pohon yang bisa dibuat menjadi alat musik jawa, dan Gending. 
Untuk mencapai pantai ini, bisa diakses dengan kendaraan pribadi baik motor ataupun mobil karena jalan menuju pantai sudah mudah diakses. Kalau dari rumah saya, paling-paling 20 menitan ditempuh dengan mobil atau motor dengan kecepatan rata-rata (kalo mbalap lebih cepet). Pantai yang terletak 53 km dari kota Kebumen ini menawarkan beberapa pilihan wisata. Kawasan pantai ini terdapat bumi perkemahan logending dan hutan wisata, wisata kuliner makanan laut dan tentu saja hotspotnya pemandangan pantainya.

Jembatan sepanjang 554 m menuju pantai

Maknyusnya makan di Warung Bu Nanang
Kalian bisa menuju pantai melalui jembatan di atas air sepanjang 554 m yang bisa dilewati sambil menikmati semilirnya angin pantai. Atau bila ingin berwisata perahu menyeberang menuju daratan di seberang pantai juga terdapat perahu-perahu wisata yang siap membawa kalian menyeberang. Baru-baru ini, pengunjung juga bisa menyewa kuda untuk mengelilingi pantai, ataupun bila ingin yang lebih ekstrim, bisa menyewa kendaraan offroad menderu pasir-pasir pantai logending.
Kalau lapar, nah kalian bisa mencobai masakan serba laut. Coba saja singgah di warung Bu Nanang, mungkin ingin mencobai bawal putih bakar, cumi-cumi asam manis, udang goreng tepung plus sambelnya yang sungguh maknyus. Seperti kemaren saat saya bersama ex-mahasiswa-mahasiswa saya yang datang ke rumah di akhir tahun lalu dan menggarap piring-piring yang tersaji ehehe.



itu, saya suka duduk di tepian pantai menjelang senja, bisa pesan secangkir kopi ke penjual-penjual di tepian pantai dan menikmatinya sambil menunggu mentari angslup dengan meninggalkan pendar-pendar kemerahan. Menenangkan, mendamaikan dan menyegarkan jiwa. Mengunjungi pantai itu entah kenapa selalu sanggup mendaurulang kepenatan-kepenatan hidup lalu melabuhkannya pada ombak-ombak laut lalu dibawanya pergi. Ombak-ombak itu bergulung dan menukarnya menjadi semangat-semangat baru dengan membawanya ke tepian pantai, padaku. Pantai juga memberikan jarak pandang yang jauh lebih luas, menghipnotis pikiran bahwa ada bentang harapan maha luas yang seperti ingin berkata “ semua baik baik saja”.
Itulah mengapa saya pecinta pantai. Menjelajah dari pantai ke pantai. Menemukan perjalanan diri saya kembali, setelah sering hilang saat berlarian dalam hidup. Pantai, sering menolong saya untuk menemukan diri kembali.
  
 
 Ndalem Pogung-Jogya, 4 Januari 2013. 22.41