Selasa, 11 Februari 2014

Apalagi yang Kau Cari? #Sebuah Tanya



Di tengah dunia yang riuh rendah ini, pernahkah kalian ditanya ataupun menanyakan sebuah pertanyaan pada dirimu sendiri? Apalagi yang kau cari?
Bahasan ini tiba-tiba kembali mengemuka saat saya iseng melihat video-video tayangan di Youtube, yang menampilkan talkshow bersama Gede Prama. Saat beliau ditanya oleh pembawa acaranya, dengan pertanyaan, “Apalagi sih yang dicari dari seorang Gede Prama?”
Dan  baris-baris berikutnya adalah jawaban yang begitu mencerahkan. Mungkin kurang lebihnya saya kutip demikian :
            “ Hidup saya dibagi menjadi dua tahap, pencarian ke luar dan pencarian ke dalam. Saya tidak bilang pencarian ke luar tidak bagus, bagus. Saya mencari hal-hal untuk membiayai sekolah anak saya dan lain sebagainya. Namun ada waktunya, saat turning point terjadi..ada rasa berkecukupan. Jadi pertanyaan "apalagi yang dicari" sudah tidak relevan lagi. Semuanya terasa cukup,” begitu jawab beliau dengan suaranya yang teduh.
Saya mengenal cara berpikir dan cara pandang beliau sudah cukup lama. Tepatnya saat studi S2 di Jogya saya banyak membaca dan mengoleksi buku-buku beliau. To be honest, saya bukan seorang yang terlalu religius, tapi semenjak dulu memang selalu haus dengan hal-hal pencarian spiritual. Sejak dulu saya merasa bahwa saya butuh untuk belajar untuk memahami hal-hal yang tidak nampak di permukaan. Hal-hal di samping rutinitas dan tuntutan stigma masyarakat, tentang pencarian makna hidup, tentang kebahagian, tentang nilai sukses. Bukan untuk sok-sokan, tapi lebih untuk usaha untuk mengenal diri sendiri. Setiap diri, ada raga, ada pula jiwa. Saya ingin belajar menghidupi keduanya dengan seimbang. Selain belajar dari pengalaman, tentu saja saya belajar dari buku-buku dan dari orang-orang lain. Itulah kenapa saya suka membacai karya Paulo Coelho, menyimak kalimat-kalimat pencerah Gede Prama ataupun telaah-telaah dari Bapak Quraish Shihab. Hidup ini adalah belajar dan belajar, termasuk belajar untuk mengenal dan mengerti diri sendiri.
Saat tahun demi tahun terlewat, saat kejadian demi kejadian dalam hidup berjalan, diri juga bertumbuh.
Apalagi kau cari?
Gelar, Materi, status..?  Ada banyak hal-hal yang bila kita lihat dari nilai substansi akan membawakan sudut pandang yang berbeda.
            “Pa, what do you term by happiness?” begitu tanya putri Gede Prama, saat beliau bercerita.
       “ Inner Contentment, juga pada rasa berkecukupan, saya merasa sangat berkecukupan, sehingga pertanyaan apa yang dicari sudah tidak lagi relevan. Tugas saya berikut adalah berbagi pada orang lain,” jawab beliau.
Ah, sungguh menentramkan dan mencerahkan. Rasa berkecukupan bukan berarti semuanya telah dimiliki, tapi terletak pada rasa syukur dan penerimaaan yang dalam. Sungguh saya ingin sekali belajar untuk mencapai tahapan tersebut.
Tuhan telah memberikan banyak sekali anugerah pada saya. Apalagi yang saya cari? Tanya saya pada diri saya sendiri.
Pasangan? Anak? Rumah? Materi? Karir? Kesuksesan? Apalagi..tidak pernah cukup. Dunia tidak sempurna bila harus sesuai dengan semua apa yang kita inginkan. Tapi dunia sempurna bila disertai dengan penerimaan, dengan rasa berkecukupan.
Saya dikaruniai Tuhan bertemu dengan seseorang yang penuh kasih, menemukan cinta, dan membuat saya merasa bahagia lebih dari apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya dititipi anak-anak yang walaupun bukan lahir dari rahim saya, tapi telah dianggap ibu. Ibu yang belajar mendengarkan apa-apa yang mungkin mereka sungkan untuk berbicara pada ibu mereka, semoga memberikan pembelajaran bagi saya untuk menjadi ibu dari anak-anak saya kelak, bila diberikan titipan Tuhan. Rumah, secara fisik saya belum mempunyai rumah fisik yang tetap tapi Tuhan memberi saya rumah dimana-mana. I’m home, I’m home. Rumah hati saya. Saya diberikan keluarga yang hangat yang selalu menjadi tempat yang nyaman untuk pulang, sahabat-sahabat yang pengertian dan perhatian. Ada banyak sekali anugerah-anugerah lain dari Tuhan  yang terlalu banyak untuk saya sebutkan. Tuhan sungguh Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang. Kalimat yang sering kita sebut-sebut dalam ayat-ayat kitab suci itu mungkin akan lebih terasa bila lebih dipahami dalam jalur-jalur pengalaman, “mengalami” dan menyadari.
Hari ini saya kembali diingatkan untuk belajar mencukupkan, belajar penerimaan, belajar untuk bersyukur. Tugas saya selanjutnya adalah membayar kasih-kasih semesta yang telah diberikan pada saya. Mengabdi pada bumi ini, pada sang Pencipta semesta ini.
Salam

Glasgow, 11 Februari 2014.

Kamis, 06 Februari 2014

Mari Mencicipi Tahu Campur



Saya penggemar berat masakan Indonesia, jadi masakan-masakan yang sering saya coba juga sebagian besar masakan Indonesia. Lidah nggak bisa bohong, mungkin kalimat itu ada benarnya. Lidah dan perut saya walaupun sudah menjelajah kemana-mana, tetap saja selera Indonesia. Seperti juga resep kali ini, super Indonesia banget. Ada yang menyebutnya tahu masak, tahu campur, atau berbagai macam nama-nama lainnya. Saya mungkin lebih ingin menamainya tahu campur, karena tahu dicampur campur ehehe.
Dulu di Indonesia juga saya sering membuatnya, dengan bahan-bahan yang sangat mudah didapat. Namun di Glasgow, kadang-kadang membeli bahan-bahannya yang tidak bisa sewaktu-waktu. Beli tahu naik bis ke city center ehehe. Sebenarnya untuk membuat tahu campur ini sangat sederhana dan simpel.
Bahan-Bahannya :
1  Tahu putih, dipotong dadu kemudian direndam dalam air garam+bawang putih sekitar 5 menit, lalu digoreng sampai kekuningan
2. Kentang dikukus, kemudian dipotong dadu
3. Telur direbus dengan dibubuhi sedikit garam, kemudian kupas kulitnya dan dipotong sesuai selera
4. Kecambah direbus sebentar saja, ditambah garam sedikit untuk perasa
5. Boleh ditambah bahan-bahan lain seperti tempe dipotong dadu, direndam bumbu garam+bawang lalu digoreng kekuningan. Bisa juga wortel, direbus dan dipotong sesuai selera. Pokoknya paduan yang pas boleh dicampurkan, namanya saja tahu campur.
Bumbu yang dihaluskan :
1. Kacang tanah yang digoreng
2. Bawang putih
3. Cabe rawit merah
4. Gula merah
5. Garam

*berapa banyaknya sesuai selera masing-masing ya ahaha *disambit yang baca
 Bumbu dihaluskan kemudian dicampur dengan air panas sampai encer.
 Cara penyajian :
Tata bahan-bahannya di piring kemudian tambahkan bumbu yang sudah diencerkan, kemudian tuangkan kecap sesuai selera. Taburi dengan bawang goreng (di fotonya bawang gorengnya kelupaan ahaha, sudah keburu lapar).
Mudah bukan? Saya sih suka membuat tahu campur ini sebagai variasi menu, maklum di Glasgow nggak ada abang-abang keliling jualan bakso, siomay, tahu campur, mie ayam dll hihi. Oh ya salah satu tips kalau ribet bikin bumbu halusnya, bisa pakai sambel pecel. Biasanya saya encerkan sambel pecel, kemudian ulek bawang putih dan cabai rawit mentah kemudian tambahkan pada bumbu pecel tersebut. Bawang putih dan cabai rawitnya mentah ya, jangan digoreng karena menurut saya rasa tahu campur yang khas adalah bumbunya yang merupakan paduan aroma cabe rawit mentah dan bawang putih tersebut.
Demikian resep sederhana dari dapur Hillhead.
Sajikan masakan istimewa penuh cinta untuk orang-orang tercinta kita.
Salam,
Glasgow, 6 Februari 2014
#Plate of Love-#Resep dari dapur  Hillhead

Berasa Editor # Lagi-lagi tentang Passion



You can never run from your passion, or lie to yourself what your passion is  (@neynarahma)
Lagi-lagi bahasan tentang passion, iyah karena mungkin dengan itulah hidup seseorang terasa hidup. Saya menyaksi orang-orang yang hidup mengerjakan passionnya, dan juga mengamati orang-orang yang menjalani rutinitasnya yang hambar. Ada gurat yang berbeda, ada rasa yang tak sama. Begitu juga diri saya sendiri, saya tak pernah ingin membohongi rasa saya sendiri.
Siapa yang paling tahu kapan saat kita merasa berdaya? diri kita sendiri. Kapan kita merasa mempunyai kemauan dan kemampuan terhadap satu hal? Tentang hal-hal yang kita lakukan tanpa peduli dibayar atau tidak, kadang-kadang jadi lupa waktu, tapi ada selusup rasa bahagia tak biasa yang mengada. Itulah passion.
Rasa inilah yang terus menarik-narik saya untuk terus menghidupi passion saya. Salah satunya mencobai rasa baru dalam dunia kepenulisan yakni menjadi editor. Tawaran yang saya dapatkan saat sedang berada di Maroko dari sahabat lama saya dari Fakultas ilmu Budaya UGM yang sekarang bekerja di Gramedia,itu lekas-lekas saya iyakan, ehehe kesempatan langka untuk belajar merasa menjadi editor, di penerbit yang sudah ternama pula. Pernah jadi editor? Belum pernah sama sekali. Tapi memang saya kebanyakan nekad ahaha, kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Lagian juga saya sangat menikmati kalau ada kerjaan-kerjaan menyangkut tulis menulis. Maka kemudian sahabat saya tersebut memilihkan genre tulisan yang kira-kira pas untuk editor pemula seperti saya. Sebuah naskah berjudul “Call it Love” tanpa nama penulis dikirim ke email saya untuk diedit.
            “Itu beberapa halaman udah diedit, coba dipelajari dulu, lalu kamu coba edit halaman-halaman selanjutnya, ntar aku lihat,” kata sahabat saya itu. Beberapa file tentang editing juga dikirimkan via email. Wah benar-benar langsung praktik ngedit langsung. Awalnya lumayan kaku juga, karena belum terbiasa. Masih bimbang untuk mengoreksi kalimat, apalagi isinya. Beberapa halaman kuedit berkali-kali dan kukirim hasilnya.
            “ Udah oke kayaknya, lanjut aja..cuman kalau ada ini..bla bla..diganti...” itu komentar sahabat saya pas pertama kali saya kirim hasil editan saya. Saya banyak belajar menggunakan bahasa baku, dan baru sadar juga walaupun naskah metro-pop tetap juga menggunakan bahasa baku. Dengan merujuk pada KBBI, saya baru ngeh juga kata-kata yang saya anggap benar ternyata nggak baku dalam KBBI. Seperti kata “pengen” seharusnya “pengin” lalu “enggak” seharusnya “nggak” dan masih banyak kata-kata lainnya. Termasuk bagaimana menghilangkan kata-kata redundant agar lebih efektif, misalnya “masuk ke dalam taksi”, dengan menghilangkan kata tanpa mengurangi arti. Yang lebih penting lagi adalah mengedit konten/isi. Bagaimana alur cerita, serta adegan-adegannya logis atau tidak. Semakin lama mengedit semakin berani untuk main coret-coret di dokumen Word menggunakan track changes.
Ternyata memang rasa menjadi penulis dan menjadi editor berbeda. Biasanya menulis dengan sekehendak hati, kadang sulit untuk mencermati detail-detail kesalahan tulisan sendiri, tapi menjadi editor kita dituntut untuk mengoreksi kesalahan tulisan karya orang lain. Tentu saja ini pengalaman berharga sekaligus belajar mengedit yang menyenangkan. Saya masih ingat saat mengedit “Call it Love” ini saya sampai lembur-lembur karena ingin mengulang dan mengulangi membaca lagi. Tiap kali dibaca, ketemu lagi kesalahan-kesalahan yang ingin diperbaiki, begitu berulang-ulang. Dan kualitas editan yang penuh konsenstrasi itu paling hanya bisa bertahan 2-3 jam, selebihnya sudah nggak fokus karena kelelahan. Mata lelah karena harus menelusuri kata satu demi satu, sampai titik koma, jarak spasi, dan printilan-printilan tulisan harus dilihat. Selain itu otak juga lelah karena harus terus berpikir ehehe jadi biasanya setelah 3 jam, lebih baik naskah ditutup dulu. Tapi rasanya kerja seperti itu sangat menyenangkan, ada rasa bahwa saya ingin mengerjakan sebaik baiknya, tanpa beban, justru dengan antusiasme yang besar.Dan akhirnya, pertengahan Februari nanti buku hasil editan saya akan lahir. Saat melihatnya di website Gramedia, saya baru tahu nama penulisnya dan cukup suka dengan desain covernya. Ada kepuasan sendiri saat melihat buku ini lahir, walaupun bedanya kalau menjadi penulis ada nama kita yang tertera di covernya, sedangkan editor menjadi orang di balik layar karya seseorang.
Pengalaman ini saya merasakan kerja yang nggak berasa kerja, tapi dapat duit ahaha. Mungkin ini rasanya kalau kerja di bidang yang disukai, saya rasanya hanya ingin menghasilkan karya yang terbaik yang saya bisa, plus ada honornya pula. Sebagai penulis juga begitu sih, dulu ada karya yang model “jual putus” artinya dibeli tanpa royalti, ada pula karya yang dicetak masal dan saya jual sendiri, sekaligus masih dibantu dijual oleh penerbit. Sampai sekarang ini saya masih kadang menerima notifikasi transferan dari LeutikaPrio hasil royalti buku saya, Koloni Milanisti.
Tapi terlepas dari nilai honor atau uangnya, kepuasan bekerja, berkarya adalah candu yang tak ada habisnya. Inilah passion saya, dan sangat menikmatinya. Saya memang bekerja di bidang science, tapi tetap menghidupi passion saya di dunia kepenulisan. Kita bisa melakukan banyak hal kok, dengan berkarya sebagai wujud syukur atas detik hidup yang diberikan Tuhan.
Salam
Glasgow, 5 Februari 2014. 

Senin, 27 Januari 2014

Resep Simpel Tempe Bacem




Huah nulis judulnya sambil malu-malu, sok-sok-an bikin resep, padahal cuma kreasi dari hasil googling resep tempe bacem dengan sedikit penyesuaian sana sini. Hitung-hitung sebagai catatan pribadi, menambah postingan resep dari dapur Hillhead. Sambil memuluskan hobi saya, masak. Minggu ini resep dari dapur Hillhead juga menu sederhana *halaah bilang saja masaknya baru bisa yang sederhana-sederhana ahaha. Kali ini resep olahan tempe, karena saya pecinta tempe. Nah, tempe itu bisa diolah dengan berbagai macam olahan dari tempe goreng, tempe mendoan, kering tempe sampai dibikin tempe bacem. Resep ini sangat simpel dan mudah dibuat.
Bahan-bahannya :
1. Tempe –karena di Glasgow adanya tempe dalam bungkus plastik (itupun import dari wigan hihi), jadi saya pakai tempe bungkus plastik. Padahal lebih enak tempe bungkus daun, bumbunya lebih cepat meresap.
2. Air kelapa –-karena di Glasgow susah didapat, saya menggantinya dengan santan.
3. 100 gr gula merah
4. 2 sendok makan kecap.
5. Lengkuas yang dimemarkan atau digeprek
6. Daun salam
Selain itu, kita juga butuh bumbu-bumbu yang dihaluskan :
1. 6 siung bawang merah
2. 3 siung bawang putih
3. Satu sendok ketumbar
4. Garam
Katanya lebih sip ditambah jintan, tapi saya nggak punya jintan ehehe.
Nah cara memasaknya sebagai berikut :
1. Taruh potongan-potongan tempe, bumbu yang dihaluskan, santan, dan bahan-bahan lainnya ke dalam panci. Air santannya jangan terlalu banyak, dikira-kira sekitar 2-3 cm saja dari permukaan tempe supaya bumbunya kental dan meresap. Nah, cicipi campuran bumbu dan santan (atau air kelapa) apakah sudah pas rasanya atau belum. Tambahkan bumbu yang diperlukan bila terasa kurang mantap.
2. Rebus dalam api sedang, sampai bumbunya meresap dan airnya habis.
3. Goreng tempe hasil rebusan dalam minyak dengan api sedang sampai kecoklatan.
Tadaaa tempe bacem siap disajikan. Simpel kan, namun bisa dijadikan ide variasi menu sehari-hari. Untuk bumbu-bumbunya, nggak usah terpatok berapa siung atau berapa sendok, gunakan kreasi kita untuk menentukan rasa yang menurut kita mantap.
Selamat menikmati tempe bacem, sajian khas Indonesia yang kaya rasa.
Demikian resep simpel dari dapur Hillhead

Glasgow, 27 Januari 2014.