Sabtu, 30 Desember 2017

Colmar Tropicale, Replika Desa Prancis di Atas Bukit





Salah satu destinasi rute jalan-jalan saya ke Malaysia-Singapura minggu lalu yakni ke Colmar Tropicale, Pahang Malaysia. Kenapa saya memasukkan daerah tersebut ke list kota-kota yang saya kunjungi? Hehe karena saya rindu suasana ala eropa. Dan konon, menurut beberapa artikel yang saya baca dan foto-foto yang berseliweran di instagram, Colmar tropicale menawarkan area yang mirip desa medieval Prancis. Sayangnya transportasi menuju ke sana relatif sulit. Tidak ada kereta atau bis yang menuju ke sana. Satu-satunya cara termudah untuk mencapai daerah itu yakni dengan shuttle bus yang tiketnya bisa didapat di Berjaya Times Square lantai 8. Sayangnya untuk pemesanan tiket belum bisa secara online, namun kalian bisa mengontak via telp ataupun email. Link lengkap harga dan jadwal keberangkatan shuttle bus nya bisa kalian lihat di sini.

Dan parahnya, kami lupa mengontak untuk reservasi tiket setibanya kami di Malaysia. Sehari sebelum jadwal ke Colmar tropical, kami ke berjaya times square lantai 8 untuk membeli tiketnya. Kami tiba di Berjaya Times Square sekitar pukul 7, dari masjid negara karena terjebak hujan deras cukup lama. Dan setibanya di Lantai 8, ternyata kantor pemesanannya sudah tutup ihiks. Lalu kami memutuskan untuk pagi-pagi ke sana lagi untuk membeli tiketnya. Walaupun saya pesimis apakah tiketnya masih atau sudah habis, mengingat destinasi wisata ini mulai banyak diincar para pelancong.

Ah, benar saja, setelah menunggu sejak jam 8,30 sampai kantor buka jam 9, ternyata tiket untuk hari itu sudah sold habis untuk semua jam pemberangkatan. Ahiks, sedihlah hati kami. Kebetulan saat di counter tiket kami bertemu 2 orang ibu-ibu dari Jogya, Mbak ani dan Mbak Halida. Maka terlintaslah untuk nge-grab ke Colmar Tropicale berlima. Rate harganya 120 ringgit ke colmar, waah masih lumayan murah lah dibagi berlima. Yeaay, akhirnya walaupun tiket shuttle habis kami bisa melancong ke sana.
Jadi, jangan panik dulu bila tiket shuttle habis ya, kalian bisa coba ngegrab dan usahkan sharing dengan beberapa orang sehingga ongkosnya lebih murah. Kami kemarin menggunakan grab yang 6 seater. Jalan menuju ke lokasi lumayan mendaki, dan berkelok kelok jadi lumayan pusing. Plus lupa perut kami kelaparan karena belum sempat sarapan, soalnya buru-buru ke berjaya times square untuk berburu tiket, eh habiss :D

Lokasi Colmar Tropicale ada di Berjaya Hills, Pahang, Bukit Tinggi. Perjalanan dari Kuala Lumpur hampir sekitar 1 jam lamanya. Kemudian ketika memasuki lokasi kami harus membayar tiket sebesar 15 ringgit (ini sudah termasuk tiket ke Japanese Village). Dan yeaaay begitu sampai kami langsung disambut pemandangan ala ala Eropa. Tempat ini memang cocok untuk foto-foto hehe, cocoklah dengan saya yang suka foto foto *halah.

Kami menjelajah lokasi yang memang dibuat mirip banget dengan bangunan bangunan Eropa. Berasa nostalgik banget rasanya melihat bangunan-bangunan ala Eropa. Saya memang berasa betah dengan nuansa eropa-eropa gitu. Dan selain bangunan, ternyata aroma-aroma tertentu juga nostalgik. Aroma croissant dari toko bakery yang masih fresh menguar di udara. Aduh, bikin kangen..iya memang bener sih, aroma tertentu membuat kita teringat akan tempat  atau kenangan tertentu. 

Memang tidak banyak yang bisa kita lakukan selain foto-foto. Karena mungkin lokasi ini memang dikhususkan untuk pengunjung yang ingin menikmati suasana medieval ala desa Prancis. Dan berhubung perut kami keroncongan karena belum sarapan, maka kami menyusur kedai-kedai makanan yang bisa menggajal perut kami. Humm, namun sayangnya harganya ampuuun, mahal euy. Setelah berkeliling survey harga, akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada sebuah kedai yang menjual burger seharga 24 ringgit. Heuu itu 24 ringgit bisa buat makan nasi lemak komplit 3 kali di Kuala Lumpur! Jadi tipsnya kalau mau ngirit, mending makan dulu sebelum ke sini, atau kalian bawa bekal sendiri (beli makanan kemudian di bawa kemari). Soalnya harganya bikin nyesek!

Tapi ya sudahlah yaaa, yang penting bisa menikmati pemandangan di bawah ini. Rasanya familiar banget. Padahal Bulan September lalu mengunjungi Glasgow lagi, tapi berasa udah kangen aja.

Cantik kan? bagi kalian penggemar eropa dan ingin menikmati nuansa lain di Malaysia, wajib banget ke sini sih.
Kalau kantung kalian cukup tebal, bisa sewa hotel menginap di sini, karena sebenarnya lokasi ini merupakan resort. Jadi ada hotel yang bisa disewa untuk menginap. Tapi yaa harganya ituuu...saya belum mampuu haha.

Selain di kawasan Colmar Tropicale, ada shuttle gratis yang bisa membawa kalian ke Japanese Garden. Kami mencobanya ke sana, tapi setelah ke sana, saya agak kecewa sih..karena "begitu doang". Apalagi untuk ke sana, setelah turun dari shuttle kita harus mendaki lumayan pegel. Tapi lokasinya gitu doang, masih kurang pengelolaannya.
Nah. PR kami adalah bagaimana caranya turun pulang ke Kuala Lumpur. hehe, karena kami tidak menggunakan shuttle bus, dan ketika dicek aplikasi grab, nggak ada driver yang available. Ya iyalah, daerah pegunungan. Ketika tanya sana sini, kami disarankan naik taksi. Ketika meminta pesankan taksi ke resepsionis hotel, harga 200 ringgit. Hadududu mahalnyooo..akhirnya kami tunda dulu, mencari alternatif lain. Dan hasil tanya-tanya teman seperjalanan saya ke security..akhirnya si security itu berbaik hati mau mencarikan temannya yang biasa sewain mobil gitu. Akhirnya kami pulang dngan mobil sewaan hasil pertolongan si security dengan harga 170 ringgit (dibagi kami berlima). Wah drama lah buat ke sananya. Coba ya, ada yang buka travel jurusan KL-colmar tropicale..mesti bakalan rame tuh. 

Begitu sampai di Kuala Lumpur, kami berhenti di Central Market, tempat cari oleh oleh gitu, dan kami sebelum cari oleh-oleh mengisi perut dulu. Akhirnya dong nemu ayam penyet komplit seharga 8,5 ringgit sajaaah! 

 

Kamis, 19 Oktober 2017

Secangkir Kopi Pagi di Edinburgh


Megabus yang kami tumpangi merapat ke Edinburgh Bus Station. Ah, akhirnya setelah hampir 2 tahun meninggalkan UK, saya kembali lagi menjejaki Edinburgh, si kota jelita itu. Namun kali ini memang kami rencananya jalan-jalan ke tempat yang belum pernah kami jelajahi. Dulu entah sudah berapa kali ke kota ini, dan hampir semua tujuan wisata sudah pernah kami sambangi. Makanya untuk kali ini, satu tujuan pertama sudah mantap yakni Dean Village, desa yang unik dengan desain desain rumahnya yang menarik. Begitulah saya memang terprovokasi foto-foto Dean Village di Instagram eheh. Tapi setelah dari situ.., entahlah, kami memang biasanya jalan jalan super random. Dari bus station, belum lagi jauh kaki melangkah, aroma kopi semerbak tercium dari sebuah cafe di pinggir jalan,

            “Ngopi yuk”, ajak teman seperjalanan saya. Saya menghentikan langkah sejenak,
            “ Serius? “ tanya saya sekedar mengkonfirmasi ajakannya. Tumben bener dia ngajakin ngopi, dan baru sampai pula. Biasanya jarang-jarang ngajakin ngopi, kecuali saya-nya yang merajuk minta ngopi ngopi heheh. Dan saya kalau diajak nongkrong ngopi, anggukan kepalanya cepeeeet!
Kami masuk ke kedai kopi yang ramai pagi itu, namanya Cairngorn Coffee.Co. Sinar matahari  tumbenan juga bersinar dengan cerahnya. Tadinya kami hendak duduk di kursi bagian teras luar, tapi ternyata brrrr...walau matahari cerah ceria tetap saja hawa dingin menyelinap. Hingga akhirnya kami memilih tempat duduk di dalam, dimana kaca-kaca lebarnya bisa menangkap cahaya matahari yang masuk. Saya melepas coat, dan menikmati secangkir coffee latte dan matahari yang ceria pagi ini. Pilihan kopi saya dari dulu hingga sekarang, belum juga berubah. Coffee latte memang favorit saya! Paduan kopi dan susu yang entah kenapa selalu bikin bahagia, halaah. Daaaan..astaga, ternyata coffee lattenya enak pakai bangeeet! ini konspirasi apa coba. Beneran deh kalau nanti-nanti ke Edinburgh lagi, kudu banget mampir ke sini lagi.
Kopinya Juaraaaaa!

            Kopi dan obrolan hangat, rasanya jalan-jalan bagi saya sekarang memang sudah banyak mengalami perubahan. Enggak lagi ngejar seberapa banyak lokasi yang bisa kita kunjungi, tapi lebih pada menikmati perjalanannya. Ngobrol sambil sesekali menyesap secangkir kopi, rasanya hidup berjalan pelan, santai dan menenangkan. Harus saya akui, selama  kembali ke UK ini rasanya jiwa dan pikiran saya tenang, tentram. Kalau agak agak dramatis sih saya akui, ini fase tertenang dan terileks selama 2 tahun terakhir!! hahah..hidup di Indonesia memang banyak banget ya distraksinya *eh ini ngeluh ya :D enggak kok, cuman bilang doang.
Sejak pulang ke Indonesia, jadwal pekerjaan memang bertambah padat merayap. Makanya, perjalanan ke UK ini semacam hadiah bagi diri sendiri. Awalnya agak ragu untuk berangkat atau tidak ke International Meeting of Arboviruses di Glasgow itu, soalnya saya nggak dapat scholarship. Tapi setelah ditimbang-timbang, saya nekad berangkat juga dengan dana sendiri dan dana  penelitian.
          " Bener mbak, priceless itu...nggak bisa diukur pakai uang" kata Mona, sahabat saya ketika saya mengabarinya tengah berproses mengurus visa UK.
Dan bener! kita memang harus menyempatkan diri mengambil jeda. Memberikan waktu bagi diri sendiri. Bagi saya yang sebagian waktunya habis untuk pekerjaan, saat-saat seperti ini rasanya seperti istirahat yang "sangat berkualitas".
             Hidup itu mengalir cepat yah. Kalau tidak sesekali kita tengok, rasanya kok berlarian terus. Tapi yang berbahaya adalah ketika kita merasa berlarian, namun jangan-jangan kita "tidak kemana-mana". Saya kangen kembali sesekali menulis tentang senja, prosa, lengkung senyumnya atau petualangan-petualangan gila. Ada pula fase dalam hidup saya mempertanyakan pada diri sendiri, apa bener passion kamu menulis? sementara blog beberapa akhir ini kosong melompong haha. Waktu saya lebih banyak seharian di kampus, dari senin hingga sabtu. Berkutat dengan ngajar, meneliti, publikasi, nulis proposal, laporan penelitian dan administrasi tetek bengek lainnya. Tapi entahlah, karena kerja keraslah saya bisa pula kembali ke UK sih *pembenaran :D
Ketika beberapa orang menyangka saya "ambisius", saya sendiri menilainya hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan waktu. selagi waktu saya masih milik saya sendiri.
            Saya memandang sekeliling, orang orang yang tengah asyik menyesap kopi. Ada yang sambil membaca koran pagi, ada  yang sambil bekerja di depan laptopnya. Sementara saya, kembali menyesap sisa sisa tegukan terakhir sambil menikmati kebersamaan bersama teman seperjalanan saya. Ada tawa di sela selanya. Dan kenang baru yang kembali tercipta.
Hidup, selalu saja penuh kejutan kejutan di setiap lajurnya. Bila saja kita melihatnya.
Bila saja, kita menciptanya.


 

Jumat, 27 Januari 2017

Balada Ira Koesno dan Perempuan Lajang





“Owh ternyata si mbak moderatornya masih single toh?” mungkin komentar ini dan disusul komentar-komentar lain, banyak kita dengar dan sempat menjadi trending topik di sosial media setelah debat pertama pilkada DKI Jakarta.  Si mbak Ira Koesno, moderator debat pilkada DKI tahap pertama kemarin memang mencuri perhatian. Tampil cantik, cerdas dan tegas, penonton banyak yang tidak tahu kalau si mbaknya ini usianya sudah 47 tahun. Lalu banyaklah komentar bahkan meme-meme yang berhamburan,
            “What! 47 tahun masih kinclong begitu?”
Saya juga takjub melihat si mbak ira yang masih terlihat cantik, dan sangat terjaga penampilannya di usia yang tak lagi dibilang muda.
            “Lha pantes lah lha wong belum nikah, belum turun mesin,” begitu beberapa komentar lain juga terdengar.
Eaalah belum nikah kemudian dibawa-bawa. Lihat itu lho sofia latjuba, dian sastro..yang sudah punya beberapa anak juga masih nampak mempesona kan?
Okelah, kalau komentar-komentar seperti di atas masih wajar. Namun sedih juga kalau denger/baca komentar-komentar bullying gara-gara status mbak ira yang masih melajang di usia yang sudah tak lagi muda. Seperti yang ada di post di FB berikut :


Kadang bikin geleng-geleng kepala baca-baca komentarnya. Tapi memang begitulah adanya. Saya bisa bilang kalau fenomena tersebut memang terjadi di Indo.
            "Perempuan itu belum dibilang sukses dan bahagia kalau belum nikah dan punya anak"
Hihihi..seriusan, stigma ini kental banget di masyarakat Indonesia. Jadi dengan sebegitu kerennya prestasi mbak ira koesno, ada aja yang dinyinyirin..."ah, buat apa cantik pinter kalau belum juga laku?" humm sedih sih dengernya.

Baca-baca tentang apa yang dialami mbak ira ini, jadi kerasa diri sendiri juga sih #eaaa. Sejak pulang, saya sudah bersiap diri sih bakal dinyinyirin orang ahah..walaupun siapalah saya dibanding Mbak Ira koesno, satu-satunya kesamaan hanyalah kesamaan status saja wkwk. Dan ternyata setahun ini, memang kudu siap mental, kuping dan hati untuk tetap waras, sehat, dan bahagia dengan segala macam tekanan-tekanan seperti itu hihi. Saya sudah merasakan kejamnya lidah-lidah tak bertulang ahahah, 
         " Owh, cuma tinggal beberapa tahun aja tuh untuk bisa punya anaknya," gitu dong bilang seseorang di depan muka pas ulang tahun tahun lalu. Hahah sabaar sabaar..
Yang saya perhatikan tuh, beberapa orang merasa perlu "menjatuhkan" orang lain untuk membuat diri mereka feels good.  
              " Belum jadi nyonya ya belum lengkap," begitu sih sering saya denger. 
Dan berbagai komentar-komentar lainnya, mulai dari yang halus, sedang ataupun halus tapi sadisss. Jadi saya kerasa banget kalau ada stigma "perempuan tuh belum sukses dan bahagia kalau belum menikah dan punya anak" di masyarakat indo. Setinggi apapun pendidikanmu, sekeren apapun prestasimu, kalau kamu masih lajang...kamu tuh belum sukses, belum bahagiaa saudaraaaa. Begitu labelnya..
Halo barisan perempuan kece yang belum nikah, bener nggak yang saya bilang? eheheh..iya kok, saya lihat kalian ngangguk ngangguk ;p

Kadang-kadang kesel, baper wajarlah kalau harus menghadapi komentar-komentar semacam itu. Belum lagi yang ngejudge-ngejudge sok tahu,
             "Karir mulu sih yang dipikirin"
Ini sih judgement paling favorit yang sering banget didengar. Beberapa teman, sahabat yang belum menikah dan merasakan hal yang sama juga sering curhat mengalami hal seperti ini, dijudge kalau carier-minded woman. 
Padahal tuh, coba deh ditelaah..dengan masih adanya waktu yang lebih banyak dibanding perempuan yang sudah menikah, apalagi punya anak, maka perempuan lajang memang terlihat fokus ke karir, lha belum ada yang wajib diurus. Kalau saya sih, mumpung masing banyak waktu memang memaksimalkan potensi untuk mencobai hal-hal yang saya sukai, pergi ke tempat-tempat yang belum saya kunjungi. Ya mumpung gitu lho, masih banyak waktu dan lebih bebas..bukan karena gila kerja. Dari beberapa ngobrol dengan rekan yang senasib, ternyata konklusinya hampir sama, mereka memaksimalkan fokus perhatian dan energi mereka ke karir karena memang belum punya keluarga yang mengharuskan mereka berbagi waktu dan energi. 

"Kamu sih pilih-pilih, sudahlah nggak ada orang yang sempurna" 
eh eh..sering nggak denger kalimat ini..hehe seems familiar ya?. Terus siapa pula yang nyari orang yang sempurna? lha memang enggak ada orang yang sempurna kan. Kalau soal pilih-pilih, lha jelas dong milih..masa memilih pasangan hidup enggak milih?

"Jangan sekolah ketinggian, nanti lelaki pada takut mendekat" 
Ini juga sering didengar kan? terus perempuan nggak boleh sekolah tinggi-tinggi gitu? enggak begitulah. Perempuan itu nantinya kalau diberi amanah, akan jadi madrasah pertama anak-anaknya, jadi harus banyak ilmunya. Perempuan dengan pendidikan yang tinggi, atau wanita karir katanya seringkali dibilang "mengancam" ego laki-laki yang memang alamiahnya itu superior. 

Mungkin ada banyak laki-laki yang merasa ego-nya terancam dengan perempuan yang pendidikannya lebih tinggi, karir-nya oke dll. Tapi ada lho laki-laki spesial yang tidak merasa "terancam" dengan hal tersebut, justru merupakan her biggest supporter untuk meraih impian-impian si perempuan, dan juga "impian mereka bersama". Jadi menurut saya, nggak ada yang salah dengan pendidikan tinggi perempuan, karir dll asalkan bisa menempatkan diri bahwa memang laki-laki itu alamiahnya adalah imam bagi si perempuan. Saya banyak melihat pasangan-pasangan yang "saling" membaikkan, meninggikan. Suka banget lihat pasangan-pasangan yang demikian. Jadi nggak usah risau dibilang standarnya ketinggian lah, itulah..inilah..dan begitulah, risiko hidup di Indonesia yang memang kebiasaan hobi kepo urusan orang lain hihih..ingatlah kalimat di bawah ini deh :

Oh yes, you need a man with bigger hands!
Ada sih rasa nggak fair, bahwa seringkali pencapaian-pencapaian hasil kerja kerasnya "nggak dianggap", nggak ada apa-apanya dibanding "pencapaian" perempuan yang sudah menikah, apalagi yang sudah punya anak.  Itu sih yang dirasakan banget, kadang nyesek ahay. Makanya konsep kesuksesan itu apa, kebahagiaan itu apa, dan pencapaian itu apa, bagi diri sendiri itu penting banget untuk menghadapi badai nyinyiran ahaha.
Kalau masih direndahkan gara-gara belum menikah, ya monggo. Kalau dianggap belum sukses dan belum bahagia gara gara belum menikah ya silahkan. Toh kita (eh saya ding, kok ngajak-ngajak pakai kita) punya konsep sendiri tentang kesuksesan, kebahagiaan..harusnya nggak ngaruh dong dinyinyiran orang gimana. Iya sih, tapi manusiawi lah kalau kadang kadang kezeeeell #curhat haha. Eh ada lho artikel yang menyoal fenomena itu, yang judulnya "Marriage is not an accomplishment" di link ini.

" It’s time for society as a whole to re-evaluate what aspect of women’s lives we put the most value on. “

Weh, ternyata ada juga yaah yang merasakan hal yang sama, bahkan yang menulis artikel ini dari luar negeri, kirain cuma di Indo saja yang hobi nyinyiran.


Memang tidak mudah sih menghadapi tekanan sana sini, peer pressure..society pressure apalagi kalau sudah family pressure. Kudu banyak sabarnya ya teman-teman. Yang penting memaksimalkan potensi dan waktu untuk melakukan hal-hal yang positif. We have our own choice! Kita tidak menikah karena tuntutan sosial, tapi karena ingin bersama seseorang yang "compatible" untuk bersama-sama mengisi hidup dengan banyak karya, bahagia dan cinta (eh kok kita..sayaa ;p). 

Yuk ah, daripada energi habis buat orang yang nyinyir, lebih oke produktif melakukan banyak hal yang positif :)

Kamis, 19 Januari 2017

Hellow 2017 !




Lama sekali rasanya tidak menulis di blog ini. Kenapa sih nggak nulis sekian lama? Nggak ada waktukah? Bohonglah saya kalau bilang tidak ada waktu. Orang akan mencari waktu untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya. Humm..mungkin Tahun 2016 saya sedang ingin rehat menulis eheh. Dan tak terasa kini sudah menginjak Tahun 2017 yaa. Hallooh 2017 *dada dadaa...ehehe udah telat juga sih, udah sampai Tanggal 20an baru hai hai..
Ada nggak ya yang kangen tulisan saya setelah sekian lama rehat? Hayo ngakuuu hihih..

**Kilas Balik 2016
Tahun lalu saya anggap sebagai tahun adaptasi. Pulang kembali ke Indonesia di akhir Januari 2016 membawa banyak sekali perubahan pada hidup saya. Setelah 4 tahunan hidup di Glasgow, kemudian kembali pulang ke Indonesia. Memang bener sih kata beberapa temen, struggle-nya adaptasi itu bukan pas pertama datang ke Glasgow, tapi justru pada saat pulang kembali hidup di Indonesia. Bahkan sampai saat ini pun saya masih berasa hidup di dua tempat, masih punya dua waktu yang berbeda. Seriusan.

Tapi fase adaptasi tahun lalu sebenarnya berjalan dengan baik. Diawali dengan hecticnya pindahan ke rumah sendiri, kemudian mulai lagi dengan ritme akademik kampus dengan segala pernak perniknya. Tapi bulan berikutnya keadaan sudah makin tenang. Dan decoupage nampaknya begitu mewarnai Tahun 2016 saya. Dimulai dengan workshop iseng di sekitar Bulan Februari kemudian tidak sengaja pada akhirnya menjadi bisnis sampingan yang sampai sekarang saya jalani. Mengerjakan pesanan-pesanan setelah seharian kerja di kampus memang menyita waktu saya. Memang sih, rasanya tahun lalu saya kerjanya agak jor-joran. Motif sebenarnya adalah biar nggak banyak waktu diemnya, soalnya kalau banyak waktu luang bawaannya mellow-mellow kangen Glasgow.

Beneran lho, saya memang berencana pengen banget balik ke sana lagi, sebentar saja. Paling 2 mingguan. Itu yang saya upayakan selama Tahun 2016 lalu, bahkan udah hampir beli tiket dan tanya-tanya agen visa UK.  Salah satu penghambat untuk balik ke Glasgow lagi pastinya aplikasi visa UK yang butuh tabungan di rekening yang tidak sedikit. Namun pada akhirnya persis di akhir Tahun 2016 saya mengalihkan tabungan untuk tiket ke Glasgow untuk keperluan investasi. Nampaknya saya harus lebih ikhlas untuk belum bisa ke Glasgow dalam waktu dekat. Saya percaya, bahwa saya akan ke sana pada waktu yang tepat menurutNya. 
Ijazah S3, 2 publikasi jurnal internasional kategori Q1 menjadi salah satu highlight  pencapaian saya di Tahun 2016. Tawaran menjadi reviewer beberapa jurnal ilmiah juga menghampiri, menjadikan tahun lalu memang lumayan syibuukk. Overall Tahun 2016 lumayanlaaah..cuma prestasi ngeblognya jeblok ahaha. Okelah kita perbaiki agar bagaimana bisa membagi waktu untuk bisa aktif lagi di blog ini.
Kadang-kadang bingung mau nulis apa sih..begitu mau nulis, mesti satu-satunya yang muncul di hati dan pikiran cuma kangen Glasgow, trus ga jadi nulis. Itu sih sebenarnya yang terjadi pada Tahun 2016 hahah..

Rasanya pas di sana tuh, gampang aja nyari tema. Pas balik ke sini, mau nulis apa..blank. Ada sebuah artikel yang saya baca, yang bilang bahwa manusia suatu saat mengalami “saat-saat terbaik” dalam hidupnya, nah..manusia tuh bukan hanya seringkali membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain tapi juga membandingkan hidup saat ini dengan hidup pada saat-saat terbaik dalam hidup. Iya sih itu bener banget..Hidup saya di Glasgow adalah salah satu bagian terbaik dari hidup saya. Dan kini saya sudah tidak “berada di masa-masa terbaik itu”.
Itu sih analisa ngawur saya hihi, padahal hidup saya sekembalinya dari Glasgow juga baik baik saja. Happy? Iyalaah bahagiaaa..masa enggak..Happy mana dibanding pas di Glasgow? Tet tooot..haha

** Hi, 2017
Tahun baru, energi baru, rencana-rencana baru. Semoga sih tahun ini akan semakin banyak karya-karya nyata, kontribusi positif, kegiatan-kegiatan super keceh dan momen momen bahagia yang tercipta. Dan semoga yaa, blog ini jadi hangat kembali dengan celotehan tulisan-tulisan saya. Hihih..semoga menjadi tahun yang membahagiakan dan membaikkan!
Salam semangatttts

 

Kamis, 16 Juni 2016

Andai






Beberapa saat ini saya berpikir,
Andai saja manusia tugasnya untuk berbahagia,
Mungkin hidup menjadi lebih sederhana.
Namun sayangnya,
Manusia sering dibebani tugas dan tuntutan yang berjenis jenis itu
Yang seringkali itu terlihat menjadi lebih penting,
Bahkan orang mungkin lupa, untuk mempertimbangkan dan menanyakan
Are you happy?
Andai saja manusia tugasnya cukup untuk berbahagia,
Mungkin hidup menjadi lebih sederhana.

Salam