Senin, 04 Februari 2013

Meet With Tasaro GK


Poster tentang bedah buku “Kinanthi” itu hanya kulihat di laman Fbnya mas Tasaro GK, dan saat kulihat tanggal dan waktunya sepertinya memungkinkan untuk datang. Mengapa tidak? Kapan lagi? mumpung aku di Jogya dengan akses dan kesempatan untuk datang ke acara-acara macam begini yang relatif lebih banyak dibanding Purwokerto. Walau sendirian, tak ada teman, bukan alasan untuk melewatkan kesempatan.
Taufik Saptoto Rohadi, itu nama asliya. Tapi disingkat dengan Tasaro, dan GK adalah singkatan dari asal tempat lahirnya Gunung Kidul.
Belum terlalu banyak orang mengenalnya, tapi kiprahnya di dunia kepenulisan sudah cukup lama walau usianya masih muda. Awal saya membaca buku “Galaksi Kinanthi” karyanya, bukan karena saya kenal siapa itu Tasaro GK. Beda dengan pilihan saya mengambil buku “Rectoverso” di pajangan buku Togamas misalnya, saya kenal siapa dan bagaimana tulisan Dee (Dewi Lestari) yang boleh dijadikan jaminan seperti apa karya-karyanya. Saat saya memutuskan membeli buku Galaksi Kinanthi, saya hanya membaca Judul, Cover belakang dan bab awal buku itu yang kebetulan ada buku yang sudah terbuka. Membacai bab awal satu halaman saja cukup membuat saya tak pikir panjang untuk membeli buku tersebut. Dan pilihan saya jarang salah #pede. Saya langsung jatuh cinta dengan tulisan-tulisannya. Magis.
Dia sanggup mengolah kata, menempatkan diksi dengan baik, mencipta alur sedemikian rupa sehingga pembaca terbawa dalam setiap barisan tulisannya. Deskripsinya sudah kelas wahid, sedang aura romantisnya jarang sekali dibentuk dari pilihan kata yang romantis, tapi sanggup mencuri hati dengan caranya yang magis.
            “ Coba perhatikan baris puisi-nya Sapadi, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  dengan kata yang tak sempat diucapkan  kayu kepada api yang menjadikannya abu”.  Mana ada kata romantis dalam barisan kalimat itu? Hampir tidak ada, tapi puisi itu dikutip dan dihapal oleh ribuan orang yang tengah jatuh cinta,” begitu ujar mas Tasaro pada saat acara berlangsung.
Acara berlangsung dengan hangat di Djendelo Cafe, lantai 2 Togamas Jogya tanggal 31 Januari lalu. Mas Tasaro pembawaannya sederhana, ramah dan kocak. Dengan penampilan khasnya yang selalu memakai topi yang sedikit dimiringkan. Pemandu acara banyak menanyakan soal buku Kinanthi yang sekarang terbit lagi dengan “jiwa baru” dari Galaksi Kinanthi menjadi “Kinanthi Terlahir Kembali”. Memang berganti penerbit dari Salamadani ke Bentang Pustaka. Buku ini  merupakan modifikasi dari kisah nyata seorang TKW di amerika yang akhirnya menuai sukses di negeri paman sam itu. Kisah berbau women trafficking, kisah perjuangan TKW yang kemudian sukses setelah disekolah oleh negara, dibumbui dengan kisah romantis yang agung antara Kinanthi dan Ajuj. Beberapa orang maju sebagai volunter untuk “reading” beberapa baris kalimat di buku tersebut,
Entah mengapa saya menyukai baris-baris di bawah ini, seperti juga mas Tasaro juga memilih baris ini ketika pemandu acara memintanya untuk “reading”.
Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta,
Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa dia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.
Banyak hal yang bisa dijadikan masukan dan pelajaran tentang menulis, tentu saja karena dasar jurnalistiknya mas Tasaro mumpuni. Dia tumbuh dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan sehingga secara teoritik dan praktik memang saling bersinergi untuk mencipta seorang karya yang berkelas.
            “ Menulis fiksi itu biasanya bersumberkan tiga hal, pengalaman, referensi dan imaginasi,” ujarnya saat menuturkan ilmu-ilmu menulis, namun tetap disisipi guyonan hangat.

Saat acara berlangsung

Saat memasuki sesi tanya jawab, entah saking semangatnya saya menjadi penanya pertama di antara beberapa penanya lainnya. Saya duduk di lesehan baris depan sehingga nyaman untuk berinteraksi langsung dengan penulis. Kesempatan langka, kupikir. Kapan lagi bisa “ngangsu kawruh”  langsung dari narasumbernya. Tiga pertanyaan saya dijawab dengan panjang lebar, disusul dengan pertanyaan-pertanyaan dari peserta berikutnya. Sampai pula pada pertanyaan tentang siapa yang menginspirasinya menulis tokoh seperti Kinanthi. Sebelum dia menjawab, terlihat ia menarik nafas panjang, lalu wajah penuh senyum dan canda kocaknya sekilas berganti. Matanya tersaput embun, lalu berkaca-kaca.
            “ Aduuuh kenapa ada yang nanya begitu. Jawabnya saya bisa nangis-nangis,” begitu katanya. Dan detik selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang menginspirasinya menulis tokoh Kinanthi adalah ibunya yang telah meninggal karena stroke setahun yang lalu. Ibunya yang sampai meninggal masih menulis, dan telah membimbingnya menjadi seorang penulis sekaligus ayah dari Senandhika Himada.
            “ Udah-udah nggak usah diterusin, ntar bisa nangis beneran.” Katanya sambil mencoba menguasai dirinya kembali. Nampak matanya masih berkaca-kaca.
Lalu tibalah jua pada pertanyaan.
            “ Kenapa harus tema ketidakbersamaan? Kisah Kinanthi dan Ajuj, yang saling mencintai dalam ketidakbersamaan? Apakah ini adalah isu universal yang banyak sekali dialami manusia di bumi,” begitu kira-kira pertanyaannya.
Tasaro tersenyum sesaat lalu, menjawab.
            “ Suka atau tidak, manusia memuja kisah-kisah ketidakbersamaan. Romeo-Juliet. Layla-Majnun, karena justru bagian itulah yang paling emosional, menguras air mata dan membuat manusia mengerti arti mencintai. Manusia terkadang butuh kehilangan, butuh ketidakbersamaan  untuk menemukan keindahan mencintai dengan tulus. Mencintai adalah satu perkara, dan memiliki adalah suatu perkara yang lain.” Jawab Tasaro.
            “ ah salah siapa pertanyaannya dalem, jawabnya juga dalem,” lanjut Tasaro dengan setengah bercanda.
Seperti sebuah bait kalimat dalam Galaksi Kinanthi :
"Dalam kehidupan nyata, kebersatuan cinta tidak selalu berarti saling memiliki bertemu dalam satu titik. Bahkan terkadang dua orang yg saling mengasihi sepenuh hati, saling menjaga dalam keterpisahan. Ketidakbersamaan.
Lalu ada kata-katanya yang sungguh membekas di kepala saya,
            “ Cinta ya cinta. Boleh menghuni kepala, hati. Ada tempatnya sendiri. Tapi cinta tidak boleh membuat kita lemah, apapun dan bagaimanapun cinta seharusnya menguatkan, dan harus membuat kita harus bersemangat dalam berkarya,” begitu ujarnya.
Ah, seni manajemen cinta seperti itulah yang sedang saya ingin pelajari. Cinta, The Law of Levitation, not the Law of Gravitation. Menerbangkan bukan menjatuhkan.
Ah, tak terasa waktu bedah bukunya sudah hampir habis. Penulis yang juga menulis trilogi Muhammad dan Nibiru ini terasa begitu menikmati interaksinya dengan para pembacanya. Terasa dekat dan sederhana tapi sarat ilmu.
Sebelum acara usai, penyelenggara bagi-bagi doorprize buku bagi yang udah “reading”, yang ngetweet yang gokil dan dari bagi yang sudah bertanya. Dan saya cukup beruntung mendapat doorprize buku sebagai penanya pertama. Asik, saya mendapat buku “Kisah Inspiratif Kick Andy”. 

Kisah Inspiratif Kick Andy adalah hadiah bukunya, sedang Rectoverso-nya Dee dan Muhammad
Para Pengeja Hujan itu buku yang saya beli seusai acara.

Lalu terakhir, acara ditutup dengan book signing. Sayapun segera menghampiri mas Tasaro untuk memintanya membubuhkan tanda tangan pada buku saya yang sudah saya beli akhir tahun lalu. Saya antrean kedua, setelah Tasaro membubuhkan tanda tangan pada orang sebelum saya. Tiba giliran saya,
            “ Namanya Siwi yah?” tanyanya. Pasti Mas Tasaro masih mengingat nama saya saat bertanya tadi. Saya mengangguk mengiyakan. Dia melihat saya sekilas, lalu menuliskan sesuatu dan tanda tangan di buku saya. Kemudian tak lupa saya meminta foto bareng dengan beliau. Alhamdulillah dapat ilmu, dapat buku, dapat tanda tangan dan foto bareng. What a wonderful night kan?

Foto Bareng Mas Tasaro GK

Dan saat saya benar-benar melihat lagi tulisan di halaman pertama buku itu, tertulis disitu :

To Siwi : “Mencintai Seperti Kinanthi”

Ini Tulisan dan Tanda Tangannya di buku saya

Ah, saya tersenyum membacai kalimat tersebut. Tadinya saya berpikir bahwa kalimat tersebut dituliskan sama pada semua buku yang ditandatanganinya. Tapi saya keliru, setelah melihat page Tasaro GK dengan tag beberapa halaman buku yang ditandatanganinya malam itu, ada yang bertuliskan “maturnuwun” dan sebagainya.
Baiklah, semoga saja, saya bisa mencintai seperti Kinanthi, dengan ketulusan yang membuat waktupun bertekuk lutut. Masih terus mencintai, mengasihi baik dalam ketidakbersamaan maupun kebersamaan. Semoga.

Dengan jiwa yang segar saya melangkah ke parkiran, menanti jemputan adik saya. Lalu terlihat mas Tasaro bersama kru-pun meninggalkan Togamas, dan saat melihat saya di parkiran, dia kembali menyapa,
            “ Makasih ya Mba Siwi,” sapanya dengan ramah.
Pribadi yang menyenangkan. Semoga sukses dengan tulisan-tulisannya yang mendatang. Saya pasti akan menanti karya-karyamu berikutnya.
Salam Pena. Salam Kata.


Ndalem Pogung, Jogya 4 Februari 0.49 am. Tengah malam di Jogya. Jogya yang terasa begitu tenang dan hangat.

 

Minggu, 03 Februari 2013

Orgasme Otak


Ups..aku tahu kalian sudah memprotes judulnya. Diamlah saja dulu, tak usah banyak memprotesku kali ini. Diam saja dan nikmatilah. 
Ah, atau kalau protes membuat kalian lebih nikmat, maka proteslah. Saya hanya ingin bercerita, tentang orgasme. Eit, orgasme otak!
            “ Mba, bisa nggak ketemuan sore ini habis aku balik kerja,” kata Widya, seorang sahabat lama. Teman sekamarku saat kami berdua berpetualang selama tiga bulan di Itali tahun 2008 lalu.
Segera kuiyakan, sudah beberapa kali janjian ketemuan gagal terwujud, padahal kami berada di kota yang sama, Jogya.
            “ Udah lama nggak orgasme otak ahaha..masih inget kan istilahnya Trully hihi, susah dapet partner di sini,” katanya sambil terkekeh setelah ia sampai di kamar kosku. Masih cantik seperti biasa, masih dengan kebiasaannya yang selalu maniak cermin. Bila melihat bayangan cermin, ia selalu segera melihat dan mematut-matut dirinya di depan cermin secara spontan.  Ia terlihat lebih dewasa dibanding kali terakhir aku bertemu dengannya. Pernikahan mungkin memang membuat orang menjadi dewasa, beberapa iya, banyak juga yang tidak. Dan saya sering menjadi “tempat sampah bagi kedua jenis tersebut.
Tapi kali ini ia tidak ingin menemuiku untuk menjadi keranjang sampahnya, ia menemui untuk mengajakku orgasme. Orgasme otak!
Istilahnya memang sedikit ekstrim dan nyeleneh. Orgasme otak? Kalian mungkin akan mengerutkan kening? Dulu akupun demikian. Dulu aku menyebutnya momen “bertukar kepala” saat bertemu dengan “lawan” yang berimbang untuk ngobrol tentang hidup. Tapi Trully, sahabat se-flat sewaktu di Italy mengenalkan istilah baru, orgasme otak dan akhirnya sekarang lebih sering menyebut momen itu dengan orgasme otak, karena memang terasa lebih pas.
            Karena dia sengaja menemuiku untuk melakukan orgasme otak, maka aku tahu apa yang harus kulakukan. Cukup dengan menyentil syaraf-syaraf otak berpikir tentang hidup dengan pertanyaan-pertanyaan, maka kami dengan mengalir saling bertukar kalimat. Kalimat-kalimat yang saling berloncatan, saling menemukan, kadang saling melawan, kadang saling bersinergi, ataupun kadang meledak lalu terdiam, relaksasi. Orgasme! Kepuasan tertinggi saat otak dan pikiran mendapatkan lawan yang berimbang untuk melepaskan segala pikiran-pikiran, wacana, sikap, sudut pandang mengenai sesuatu hal yang dibicarakan dan mendapatkan respons dahsyat yang seimbang. Begitulah orgasme otak. Terbayangkan apa yang kujelaskan pada kalian? Atau kalian malah membayangkan hal yang lainnya? LOL
Istilah orgasme memang lebih ke arah konotasi seksual. Tapi lihatlah definisinya hampir sama.  Orgasme berarti pelepasan tiba-tiba ketegangan seksual yang terkumpul, dan orgasme otakpun demikian, pelepasan ketegangan atau kumpulan pikiran-pikiran yang mengendap.
Manusia dipenuhi kumpulan pikiran-pikiran yang seringkali bersembunyi di bawah permukaan, sering tak tergali. Mengendap sekian lama, dan tak semua orang mampu menggalinya. Orgasme otak berbeda dengan sesi “curhat”, dimana curhat seringkali lebih pada bercerita tentang masalah, unek-unek ataupun luapan perasaan yang dialami seseorang. Biasanya satu orang akan bercerita, sedangkan partnernya akan berperan sebagai seorang pendengar. Bisa sepihak, namun bisa juga bergantian setelah seseorang selesai dengan curhatannya. 
Curhat membutuhkan seorang partner yang siap menjadi “tempat sampah”, memberikan saran, pandangannya ataupun hanya sekedar mendengarkan.
Tapi orgasme otak adalah peristiwa saat dua orang atau lebih saling menimpali, saling berupaya memberikan pandangannya, terjadi persilangan, mungkin sedikit perdebatan atau persetujuan, ataupun berakhir dengan pemakluman. Untuk mencapai orgasme otak yang berkualitas diperlukan seorang partner yang seimbang. Inilah yang membuat tak semua orang bisa dijadikan partner untuk melakukan orgasme otak. Bagiku sendiri pun demikian, bahkan sahabat inner circle yang sudah sekian lama bersamapun tak semuanya bisa diajak orgasme otak. Beberapa hanya bisa terlibat dalam sesi “curhat” tapi susah untuk diajak orgasme otak.
Manusia punya banyak pikiran yang perlu dicurahkan,  bertukar pandangan hidup, mendengar pandangan lain, berpikir, mempertimbangkan, ataupun menerima. Cukup dengan satu dua pertanyaan, pembicaraan akan mengalir, saling menimpali, meninggi, memuncak, klimaks. Ada syaraf-syaraf yang menegang melepas, kepalamu akan terasa ringan, jiwamu tersegarkan kembali. Orgasme otak seperti re-charge pikiran dan jiwa sehingga dua orang akan merasa lebih berenergi, bersemangat kembali. Curhat biasanya hanya mampu melegakan bagi satu pihak saja, si “pencurhat” karena ia merelease pikiran-pikiran tentang masalah atau apapun yang menggelayuti pikirannya. Tapi orgasme otak akan berefek positif pada kedua belah pihak, mutualisme.
Tapi bila partner tidak seimbang, biasanya pembicaraan akan mentok, gagal untuk saling meledakkan satu sama lain. Ejakulasi dini.
Nah inilah seninya bagaimana melakukan orgasme otak yang berkualitas. Terus terang aku senang melakukannya, terasa manfaatnya bagi jiwa. Bicara soal hidup, impian-impian, makna hidup, pembelajaran diri, pandangan-pandangan akan suatu hal.
            “ Hidup kini bukan lagi hitam atau putih saja, tapi kadang juga abu-abu. Nggak berani lagi untuk nge-judge orang sebelum tahu latar belakangnya. “ kataku. Lalu ia dengan cepat menangkap umpan, lalu melakukan “serangan balik”
            “ Kontribusi wid, kalau udah umur segini..apalagi yang dipikirin, hidup bukan lagi untuk diri kita sendiri. Cuman selama ini masih sporadis, belum nemu komunitas yang bisa konsisten..bla..bla”  Kalimat yang terlontar saat kami bicara soal makna hidup.
Tentang kenangan, tentang kekinian ataupun masa depan. Tentang impian, keterpurukan, cinta ataupun hubungan. Bukan melulu soal “cerita” tapi pandangan yang saling menyetujui atau bahkan berbenturan. Namun kami tahu, kami berdua mengalami kenikmatan bersama-sama dalam bertukar pemikiran. Di momento cafe itu  tak terasa waktu cepat berlalu,
            “ Duh, kudu pulang mba. Suamiku sudah selesai jadwal ngajar di LIP jam segini, tengkiu ngobrol-ngobrolnya,” pamit Widya mengakhiri sesi malam ini.
Manusia butuh orgasme otak untuk menyegarkan kembali pemikiran-pemikirannya, jiwanya. Ada energi baru saat kami berdua pulang. Terimakasih for the priceless moment, dear friend.***


Ndalem pogung, Jogya. 3 February 2013. 2.20 am.

Sabtu, 02 Februari 2013

Detik Terakhir



Sore ini udara Kota Solo terasa gerah. Mendung menggelayut tapi tak kunjung hujan. Air hujan selayaknya air mata yang tertahan pada pelupuk mata. Menunggu tertumpahkan.
            “ Mas, bisa pinjam jaketmu?” tanyaku. Masih dalam langkah kaki menyusuri jalan menuju Terminal Tirtonadi. Berharap jalanan memperpanjang dirinya agar kami bisa berjalan bersama semakin lama.
“Adek sakit?” tanyamu. Langkahmu terhenti, lalu memandangku dengan gurat kecemasan yang sulit kau sembunyikan. Mukaku pasti pucat. Yang sebenarnya memucat karena mengetahui detik yang tersisa bersamamu  hanya tinggal sedikit.
Seandainya tak pernah ada kata pergi.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum. Lalu segera melapisi tubuhku dengan jaketmu, hatiku menghangat.
Detik berlarian. Hatiku beringsut, gundah.
Bukankah ritual pergi telah sering kualami berkali-kali? Kenapa masih saja hatiku menggamang. Seakan tak pernah rela melepasmu pergi.
Kami telah sampai ke Terminal Tirtonadi, berdiri di antara puluhan orang yang tengah sibuk dengan rasa datang dan pergi.
Terminal, Bandara, Stasiun adalah tempat-tempat dimana manusia-manusia melepas dan menyambut. Tempat –tempat itu begitu akrab dengan pertemuan dan perpisahan. Awal dari kebersamaan ataupun ketidakbersamaan. Ada cium tangan, apa pelukan melepas orang-orang terkasih, ada lambaian dengan harap semoga Tuhan dengan waktuNya mempertemukan kita kembali. Dan aku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat saat jiwaku turut menghilang separuh, terbawa bersamamu yang melangkah pergi meninggalkanku, namun turut membawa hatiku pergi.
Seperti saat ini, di tempat duduk ruang tunggu menunggu bus yang akan membawamu pergi. Seperti malaikat maut.
            “ Kenapa sih dek? Sedih ya mas mau pergi?” tanyamu mengamati wajahku. Mungkin kau menyadari binar di mataku makin meredup seiring detik yang terus berlarian, menyisakan waktu yang semakin sedikit tersisa.
Aku tersenyum, ada getir yang pias pada senyumanku.
            “ Enggaklah, mas kan sudah sering pergi. Sudah biasa begini,” begitu jawabku, sambil merapatkan jaketmu ke tubuhku. Ingin hangatmu selalu ada dalam diriku. Selalu.
Kau mengusap-usap rambut panjangku perlahan, kemudian terdiam. Apakah kau juga ingin memperpanjang waktu, mas? tanya hatiku. Tak tahu.
Jam dinding besar di terminal sudah menunjukkan jam 18.45 malam, lima belas menit lagi waktu yang tersisa. Kupandangi engkau lagi seperti memandangimu terakhir kali. Betapa sering aku dianugerahi momen seperti ini.
Manusia bisa memandang orang lain seperti biasa, bahwa nanti akan bertemu lagi. Siang nanti, malam nanti, esok, atau paling beberapa jam mendatang. Mereka tak mengalami apa yang kurasai, memandangi seseorang seperti terakhir kali akan melihatnya. Karena ke depan adalah ketidakpastian. Kapan bisa bertemu engkau lagi? hanya berharap Tuhan dan waktu akan berbaik hati.
Waktu kali ini berbaik hati. Petugas bus menghampiri para penumpang yang tengah menunggu bis menuju Surabaya bahwa bis pada jadwal 19.00 tak bisa dioperasikan. Kami harus menunggu bis pukul 20.00 malam. Hatiku tersenyum, perpanjangan waktu. Berarti masih tersisa sekitar 3600 detik lagi bersamamu.
            “ Adek pulang saja ya, udah malem. Biar mas tunggu bis-nya satu jam lagi. Mas carikan taksi ya?” tanyamu. Dengan wajah lelah karena seharian menantangi hari.
Aku menggelengkan kepala. Waktu sudah berbaik hati, bagaimana mungkin aku pergi sebelum kau pergi.
            “ Tapi adek lagi nggak enak badan, nanti malah sakit?” ucapmu dengan nada khawatir yang sulit kau sembunyikan.
Aku tersenyum, menyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Walau menunggu saat jiwaku akan tinggal separuh dibawa pergi bersamamu.
Di kejauhan, kembali terlihat ritual melepas dan menyambut bergantian di depan mata. Senyuman ataupun air mata yang tertahan. Hujan turun perlahan, airmata di pelupuk langit akhirnya turun ke bumi. Dalam rintik-rintiknya yang membawakan rindu yang gagu. Tak terucap. Bagaimana mungkin seseorang bisa rindu bahkan dengan orang yang masih ada di sampingnya, bersamanya, di dekatnya. Tapi itu aku. Aku telah merinduimu sebelum kau pergi lagi.
            Dan engkau, seperti biasanya mulai meracau lagi dengan kalimat-kalimatmu yang selalu sanggup menerbitkan senyumku. Aku khawatir bila suatu saat engkau berhenti membadut di depanku. Tingkah badutmu yang sanggup membuat tangisku bercampur tawa dalam satu waktu. Bersamamu selalu membuat detik waktu serasa cepat sekali berlalu. Seharusnya engkau melakukan perjanjian dulu dengan waktu sebelum kau bertemu denganku. Mengapa setiap kali denganmu, waktu berlari terburu-buru.
            “ Bis nya sudah datang dek,” katamu pada akhirnya, Malaikat maut datang merebutmu dariku. Senyumku menghilang sejenak. Tapi sedetik kemudian kuterbitkan lagi, karena aku ingin kau melihatku terakhir kali dengan senyuman, walau dengan air mata yang tertahan.
            “ Hati-hati ya mas” kataku. Maksudku hati-hati menjaga hati dan jiwaku yang kau bawa pergi. Kau tahu itu walau tak terucap.
 Kucium tanganmu dan kau melangkah pergi. Dalam setiap langkah yang membuat hatiku luruh, menyadari bahwa jiwaku telah hilang separuh. Kupandangi punggungmu pergi, sampai menghilang naik ke atas bus. Dan tetap kupandangi bis itu sampai akhirnya ia bergerak perlahan meninggalkanku yang tetap berdiri mematung.
Kau pergi, seperti ritual yang kita jalani berkali-kali. Seharusnya hatiku terbiasa dengan ini. Seharusnya aku bersyukur, mungkin tak semua orang pernah mengalami, betapa sempit waktu hingga betapa berharga sebuah kebersamaan. Bila sepasang manusia lainnya yang saling mencinta diberikan jatah waktu sekian lama untuk bersama, tapi kita harus bersyukur dengan jatah waktu yang kita punya. Karena dengan begini, aku bisa mencintaimu sampai detik terakhir. Detik terakhir yang diberikan oleh Tuhan dan waktu.
Aku masih berdiri mematung walau beberapa detik bis yang membawamu pergi meninggalkanku.
Hpku bergetar. Namamu ada di layar, lalu sedetik kemudian suaramu terdengar.
Kita selalu sanggup memperpanjang waktu. Sampai detik terakhir.

Usap air matamu
Dekap erat tubuhku
Tatap aku sepuas hatimu

Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup aroma tubuhku
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu...
(Detik Terakhir, Lyla)




(Sebuah Flash Fiction = karya fiksi yang sangat singkat).

Ndalem Pogung, Jogya. 2 February 2013. 12. 19.

Kamis, 31 Januari 2013

Dejavu



Kota ini tak terlalu terik siang ini. Langkah kakiku satu demi satu dengan santai menyusuri jalanan kampus yang selalu membuat hatiku terasa nyaman. Rumah. Kampus ini seperti rumah untukku. Lintasan-lintasan pikiran di kepala memenuhi rongga kepalaku. Jadwal lab, kerja lapangan, pengen ikut acara bedah buku di togamas nanti sore dan kamu. Kamu, sepertinya selalu sibuk mondar mandir di pikirku.
Kemudian langkahku terhenti, mataku terantuk pandang pada sebuah tempat. Hatiku berdenyut, syaraf rinduku terkejut. Aku berhenti dan duduk di sana. Rasanya Dejavu.
Kuraba permukaan tempat duduk dari batu itu dengan tanganku, rasanya masih sama. Semilir angin berhembus menciumi ujung-ujung jilbabku,  membawakan kenang kembali segar.
Dulu dengan rok batik berwarna coklat dengan atasan senada. Kini dengan celana kain dan blouse hijau lumut bermotif, aku duduk di tempat yang sama. Kupandangi ke arah gedung itu, berharap kamu dengan langkah lebar-lebar muncul dari tingkungan gedung itu. Melangkah untuk menemui seseorang dan itu aku. Kali ini  juga kutoleh berkali kali jalanan itu walau tahu pasti tak akan ada kamu. Tak ada. Yang melangkah dengan senyum manis dari kejauhan.
Tapi tetap saja aku duduk beberapa saat, dan mengalihkan pandang berkali kali untuk mengamati jalanan itu. Kamu tak lagi ada disitu. Tapi tetap di hatiku.
Dejavu. Rasanya baru kemarin. Ah bukan, itu tahun lalu. Ah entah, aku dan waktu memang sering tak saling setuju.
Namun hatiku tahu, saat ini aku disergap rindu.


Jogya, 31 Januari 2013.

Special



Tidakkah kau menyadari bahwa kupandangi wajahmu lama-lama kemarin sore. Mengamati lekuk-lekuk wajahmu seperti layaknya akan terakhir kali memandangimu. Sedikitnya waktu jatah kita ternyata menjadikan rasa mengganda. Ketidakbersamaan dalam tempat dan waktu yang sama nampaknya juga berjasa menambahkan formulasi pelipatgandaan rasa saat bersama. Maka bersyukurlah pada jarak, yang menyediakan rentang pada kita untuk saling merindukan.
Aku, kamu, memang harus sering mengakrabi jarak, ruang dan waktu.
Aku ingin mengambil jatah waktu hari ini dan menambahkan pada waktu hari kemarin. Sayang waktu tak bergeming, ia tak suka menjadikan semenit lebih dari 60 detik.
Tapi walau waktu tetap patuh pada rumusnya, ia bermurah hati memberikan waktu untuk bersama.
Bersamamu.
            Soale ra ono sing liyo” candamu.
Tapi engkau tahu bahwa aku punya pilihan untuk bersama orang lain, tapi tetap memilih untuk bersamamu. 
spe·cial= being a particular one; particular, individual, or certain.
Apapun itu definisi kamus ataupun hasil google. Kamu spesial. Selalu.

Jogya lewat tengah malam. Di penghujung Januari 2013

Sabtu, 26 Januari 2013

Catatan Launching Buku "Catatan Hati Sang Guru"


In action ;p

Pokoknya ntar Januari, saya booking jadi pembicara bedah buku saya ya,” demikian todong ustadz Arian, November tahun lalu saat mengetahui saya akan pulang ke Indonesia untuk beberapa bulan.
Namanya Arian Sahidi, penulis sekaligus guru SMP Al Irsyad yang dulu pertama kali mengontak saya gara-gara mencari tahu tempat tes TOEFL di Purwokerto. Kemudian melalui kontak jejaring sosial barulah saya mengetahui bahwa dia itu seorang penulis juga. Karya-karyanya hampir semua saya sudah baca, karena alhamdulillah berkesempatan menjadi first reader-nya terlebih dahulu. Karya-karya yang selalu menyisipkan pesan-pesan religiusitas tanpa terlihat teoritis dan dogmatis menurut saya salah satu kelebihannya dalam berkarya.
Maka hari ini, 25 Januari 2013 dimulai pukul 07.30 saya menghadiri acara launching buku Catatan Hati Seorang Guru sekaligus rangkaian acara open house yang diadakan SMP Al Irsyad Purwokerto. Suasana saat saya datang sudah meriah dengan riuh rendah suara anak-anak. Saya selalu suka bertemu anak-anak, jadi saya begitu menikmati beberapa sajian seni dan baca puisi yang ditampilkan sebelum acara berlangsung. Melihat anak-anak negeri ini, saya selalu berkeyakinan, Indonesia pasti mampu untuk menjadi sebuah negeri yang hebat. Acara dimulai oleh moderator ustadzah Tantri yang cukup komunikatif dan mampu “meredam” kegaduhan anak-anak sesekali. Kemudian bincang-bincang dengan penulis berlangsung santai, diselingi riuh rendah tepuk tangan anak-anak, atau tawa lepas mereka. Beberapa hal menakjubkan pun saya temui di sini, seperti Nak Abror yang hobi membaca dan penulis favoritnya Paulo Coelho. Widiwww anak SMP bacaannya PC coba, mantep abis.
Nah setelah bincang-bincang dengan penulis, giliran saya tampil ke atas panggung. Tebar pesona, #eh maksudnya menjalankan tugas untuk untuk memberikan komentar terhadap buku CHSG ini. Buku CHSG ini memang tergolong simpel, tapi cukup inspiratif. Pesan moralnya tentang pendidikan karakter, kepedulian terhadap anak-anak dan selalu membiasakan hal-hal baik disampaikan dengan lugas oleh penulis. Bahasanya ringan, kadang diselingi dengan gurauan, tanpa banyak metafora, tapi cukup mudah dipahami pembacanya. Buku ini cocok untuk dibaca oleh siswa-siswa, rekan guru, wali murid ataupun kalangan umum. Isinya pun cukup variatif, mulai dari awal keputusan beliau untuk menjadi seorang guru, kebersamaan dengan anak-anak, serta kisah-kisah unik beberapa anak didiknya. Saya menjadi saksi mata pada acara tersebut, bahwa beberapa anak dengan kebutuhan khusus namun mempunyai potensi, kemampuan serta kemauan yang tak kalah dengan anak normal lainnya.
Banyak kisah-kisah kebersamaan dengan anak-anak baik di kelas ataupun di luar kelas yang menarik disimak, bukan hanya kisah ceritanya namun terutama siratan pembelajaran di dalamnya. Dan hari ini saya punya kesempatan langsung untuk bertatap muka dengan nama-nama yang disebutkan dalam buku. Bahkan foto bareng ehehe...
Acara pembagian doorprize-pun berlangsung meriah, sebuah doorprize buku koloni milanisti saya didapatkan oleh seorang anak berkebutuhan khusus, Nak Jihan yang dengan mantap walau terbata-bata menjawab “ Skot-lan-dia” saat ustadzah Tantri menanyakan dimana saya tengah menyelesaikan studi doktoral saya. Dia ikut mengacungkan jari tinggi-tinggi saat puluhan anak-anak lain berebut menjawab.
Usai acara, anak-anak berebut tanda tangan untuk buku saya, Koloni Milanisti yang saya titipkan di bazar bukunya. Semuanya nampak antusias menyebutkan nama, dan minta duluan untuk bukunya ditandatangani. Ada yang meminta alamat blog, no HP, ataupun foto bersama. Lama-lama saya berasa artis #somboooong ahaha.
Ini dia Nak Abror (paling kiri) yang hobi baca, dan penulis favoritnya itu Paulo Coelho
sok artis, tanda tangan di buku "Koloni Milanisti" ;p
            “ tulisannya dikasih kata-kata yang tadi dong, Miss” pinta seorang anak pada saya. Dan dengan senang hati saya menambahkan kata-kata motivasi di halaman depan buku saya tersebut. Kemudian ada salah seorang ustadzah yang ceritanya nge-fans sama saya #ups sama tulisan saya lebih tepatnya. Dengan malu-malu Ustazah Maya menghampiri saya dan minta foto bersama,
            “ saya senang baca tulisan-tulisan mba di blog, juga buku koloni milanisti-nya,” papar beliaunya. Hadeww selangit deh kalau ada orang yang suka baca tulisan saya ehehe.

Ini dia foto bersama Ustadzah Maya :)
Nah kalau ini foto dengan Faraj, didampingi penulis buku.
Kemudian ada Qois, seorang anak dengan kebutuhan khusus, setelah beberapa saat yang lalu meminta tanda tangan di buku Koloni Milanisti, kemudian beberapa saat kemudian dengan bersemangatnya menyodorkan halaman depan buku tulisnya untuk minta tanda tangan saya,
            “ Jangan tinggalin saya dong,” ungkapnya dengan polos. Saya tersenyum, Ah bagaimana saya tidak jatuh hati pada mereka semua. Lucu-lucu dan menyenangkan. Saya selalu menyukai melakukan sesuatu untuk anak-anak negeri ini, dan hari ini sungguh hari yang membahagiakan untuk saya. Misi saya untuk dunia pendidikan terus saya hidupi dengan tindakan nyata. Saya ingat pesan pak Anis Baswedan pada PPI Dunia beberapa saat lalu yang saya terima di milis
iuran terbesar untuk pendidikan itu bukan beasiswa, bukan buku, bukan fasilitas belajar tapi iuran kehadiran. Kehadiran anda sebagai inspirasi adalah iuran terbesar
Dan dengan apa yang saya lakukan, saya terus untuk mencoba membayar hutang kehadiran saya,

Foto bersama beberapa anak-anak murid SMP Al Irsyad 


*P.S : Danke, Mien Liebster yang selalu memberikan dukungan dengan telepon manisnya sebelum mengisi acara. Semoga bersama untuk saling membaikkan, menghebatkan.

Senin, 14 Januari 2013

Habibie-Ainun : Semacam Review ;p




Jujur saja saya tidak terlalu maniak nonton film, jarang update nonton film-film terbaru. Tapi tetap penasaran dengan riuh rendah pemberitaan tentang film Habibie-Ainun yang katanya fenomenal itu. Maka demi mengobati rasa penasaran saya, saya akhirnya nonton film ini bersama sahabat baik saya di Ambarukmo Plaza, Jogya minggu lalu. Untuk mendapat tiketpun kami terpaksa mundur ke jam tayang 15.30 karena jam tayang 13.55 sudah penuh.  Yaah lumayanlah ditinggal minum di foodcourt sambil ngobrol dan mampir di Batik Keris, beli batik peta Indonesia. Niatnya tahun ini saya mau beli/buat sebuah rumah, dan sebuah rumah itu bisa diawali dengan menyicil hiasan dindingnya LOL #abaikan.
Sebelum nonton film ini, saya terpengaruh oleh komentar teman-teman yang telah menonton film ini, dengan pesan “hati-hati, mesti nangis-nangis deh,” begitu kata mereka.
Oke, saya bersiap-siap untuk sebuah film yang bakal penuh drama ehehe. Hingga  nonton sepanjang film sampai akhir film, lalu melangkah keluar gedung, saya masih mikir. Eh dimana nangis-nangisnya? Kok hambar ya.
            “ Mba, dimana nangis-nangisnya? Hayoo nangis po ra (nangis atau tidak)?” tanyaku pada mba nuk, teman yang mengajakku nonton itu. Pertanyaan klarifikasi, siapa tau syaraf romantis dan dramatisku konslet. Soalnya dari awal sampai akhir enggak nangis sama sekali.
            “ Sekali tok. Pas Habibie mengunjungi hanggar pesawat dan sudah sepi senyap. Sedihnya sebenarnya negeri ini mampu kok hebat, tapi nyatanya seperti itu,” jawabnya sambil melangkah menuju parkiran.
            Ah  sama, di bagian itu juga saya tersentuh, tapi enggak sampai mewek. Jadi kami berdua tersentuh bukan di bagian kisah cintanya Habibie-Ainun tapi di sisi nasionalismenya.
“Untungnya enggak mekso suamiku buat nonton bareng, lah wong biasa wae (untung enggak memaksa suaminya untuk nonton film ini karena ternyata biasa saja),” imbuhnya.
 Ah lega, ternyata saya enggak konslet-konslet amat. Karena menurut saya, ceritanya biasa, terkesan plain dan scene demi scene-nya enggak teramu sehingga mampu menimbulkan efek WOW. Bagi saya, film tersebut lebih terlihat seperti film sejarah yang dibungkus dengan baik, dibandingkan sebuah kisah cinta romantis. Beberapa scene memang lumayan mengesankan, seperti saat Habibie mengejek Ainun saat mereka masih sama-sama sekolah :
            “ Ainun, kamu gendut, item, jelek”
Atau saat Habibie melamar Ainun di becak. Itu lumayan okelah. Selebihnya saya lebih tertarik memperhatikan cerita sejarahnya dibandingkan cerita cintanya. Humm sejenis cerita cinta yang hampir dipunyai setiap orang, dan terlalu lurus, kurang romantika hingga terkesan plain, datar. Yah wajar saja, karena ini kisah nyata, jadi mungkin sulit bagi penulis skenarionya untuk memodifikasi cerita. Film ini seperti kisah happily ever after yang terlalu sempurna, malah jadinya datar. Untuk sisi sejarahnya, saya pun memaklumi kisah ini pun main aman dengan tidak terlalu banyak menyinggung isu-isu yang berbahaya. Padahal nyatanya cerita reformasi, mundurnya presiden soeharto pasti banyak untold storynya.
Film ini mengisahkan cerita seorang Habibie yang ingin mengabdikan dirinya untuk kemajuan negerinya, bahwa ada banyak cara untuk mencintai negeri ini. Bagi Habibie, cita-citanya bagi negeri ini yakni membuat pesawat terbang untuk menghubungkan wilayah Indonesia yang berpulau-pula. Dibumbui dengan kisah cintanya dengan Ainun yang terus setia mendampinginya sekolah di Jerman, menjadi menteri, wakil presiden dan akhirnya menjadi presiden, walau diakhiri dengan kisah sedih kematiannya akibat kanker. Reza Rahardian merupakan poin utama yang menjadikan film ini layak ditonton karena aktingnya yang boleh dinilai luar biasa. Ia sanggup memerankan Habibie dengan sangat baik, benar-benar melakukan studi detail bagaimana pak Habibie berbicara, berjalan, tertawa dan keseluruhan gerak geriknya berhasil diperankannya dengan jempolan. Sedangkan Bunga Citra Lestari lumayanlah memerankan Ainun. Sayangnya film ini banyak dijejali iklan-iklan produk #hadeeeeh...plus make up artis-nya yang kurang oke, misalnya saja BCL kayak muda terus, padahal anak-anaknya sudah dewasa. Enggak ada kerutan ataupun make-up yang menyesuaikan usianya. Hummm...
Tapi overall, enggak rugilah nonton film ini. Walau ternyata enggak sebagus yang diharapkan, pinter juga nih marketing filmnya ehehe bisa membuat orang-orang heboh nonton film ini. Kalau film 5 cm memang ke luar ruangan habis nonton berasa semriwing, tapi keluar nonton Habibie-Ainun efeknya biasa saja. Tapi bagaimanapun saya menghargai karya anak negeri.
Oh ya, satu lagi..original sountracknya saya suka.....

 cinta kita melukiskan sejarah
 Menggelarkan cerita penuh suka cita
 Sehingga siapa pun insan Tuhan
 Pasti tahu cinta kita sejati

Bikin berasa...dudududu...#abaikan ahaha

Purwokerto, 14 Januari 2013. 22.58 dengan badan yang sudah lumayan enakan setelah dipekso2 mandi air anget. Nampaknya saya dan hujan sudah mulai tak berjodoh #nggreges. Malah curcol LOL.#abaikan.