Kamis, 21 Februari 2013

Rectoverso- Sebuah Ramuan Lengkap Bagi Jiwa-




Membacai tulisan Dee itu membuatku sering menahan nafas, lalu disela-selanya sering ngedumel “ eghh keren banget, gilak!”. 
Lalu terburu-buru kembali menempatkan mataku untuk menelusuri barisan tulisannya lagi. Tulisan Dee selalu cerdas untuk membuat bertanya-tanya sampai akhir, walau mungkin terkadang yang tertinggal hanya pertanyaan itu sendiri. Ia tidak berjanji untuk memberikan ending dengan penyelesaian, ataupun dengan jawaban. Tapi dia dengan tidak sopannya selalu sangup membuat ending yang membuat rasa di hati saya “gleser-gleser” lalu mikir.
Membaca tulisannya seperti siap-siap dengan pijar kembang api, mengejutkan. Bukan hanya  kembang api, tapi juga bisa ledakan yang bikin kecanduan. Saya sungguh jatuh cinta dengan pilihan diksinya yang ajaib dan dalam. Seolah pilihan katanya itu sudah begitu cermat disusun, begitu cerdas mengusung makna yang hendak disampaikan. Butuh kedalaman pikir dan sederet pengalaman untuk bisa menciptakan tulisan seperti itu. Angka topi sekali lagi untuk Dee.
Kedalaman jiwanya untuk menyampaikan tema-tema universal makin ahli ia tuliskan. Kenapa hampir setiap cerita pendek dalam Rectoverso itu sangat berkesan dan langsung melekat pada pembacanya? Karena hampir semua cerita itu dialami oleh setiap manusia. Kisahnya terasa sedekat urat nadi pembacanya. Cinta terpendam pada sahabatnya sendiri mengawali buku ini dalam “ Curhat buat sahabat”. Tema universal yang banyak terjadi antar manusia. Siapapun yang membacanya, gampang sekali untuk merasuki kisah ini, karena kisah ini begitu” dekat” dalam hidup nyata. Entah itu kisah sendiri, kisah sahabat, saudara, tak pelak lagi ini cerita yang sangat universal.
Kisah seorang sahabat yang memendam rasa cinta pada sahabatnya sedemikian lama.

“Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah tahu. Kamu terus menanti. Segelas air putih (Curhat Buat Sahabat).

Tahap “mengalami” inilah yang menyebabkan pembaca seperti merasakan pergulatan-pergulatan batin yang disuguhkan dalam setiap ceritanya. Ada gelenyar rasa, sebentuk pertanyaan, dan jawaban yang dituliskan dengan begitu cerdas dan elegan.
Tulisannya hampir tak pernah terlalu berbunga-bunga, tapi romantisnya terkadang luar biasa.
Bagi saya, kecerdasan tulisannya menyebabkan tulisannya sangat seksi bukan kepalang. Tulisan yang masih sangat langka di antara para penulis Indonesia. Hal inilah salah satunya menyebabkan karyanya tidak pernah membosankan untuk dibaca ulang. Kebanyakan buku sekali baca nasibnya nangkring di lemari buku dan entah kapan lagi dibaca lagi. Tapi bagi saya, untuk karya Dee seperti filosofi kopi, Madre, Rectoverso sangat nikmat untuk dibaca ulang lagi.
Terkadang “rasa” dan “pemahaman” saat membacai lagi pun mempunyai tingkatan rasa yang berbeda saat membacanya saat terakhir kali. Tulisannya itu seperti bertumbuh seiring dengan pertumbuhan diri pembacanya. Itulah ajaibnya karya seorang Dee.
Terutama bila kisah yang dituliskan sedang dialami atau dihadapi, rasanya sungguh sangat tidak sopan dalam mengacak-acak rasa. Tulisannya itu candu. Yang sering membuat saya iri setengah mati, bagaimana bisa mencipta karya cerdas dan seksi seperti itu. Iri yang positif tentu saja. Sebagaimana Tasaro GK yang belajar diksi dari tulisan-tulisan Dee.
Di buku Rectoverso ini nampak Dee sudah semakin bertumbuh dengan kedewasaan dan kecerdasan jiwanya dalam mengulas kisah kisah manusia. Di banding Madre, buku ini ramuannya terasa lebih komplit. Ada pula secuplik kisah cinta ibu pada anaknya yang tanpa batas di “Malaikat Juga Tahu”, cinta yang dipisahkan oleh kematian (Aku ada), rumitnya cinta poliamori (Grow a day older), pasangan dengan kadaluarsa rasa (Peluk) dan kisah-kisah lainnya yang tal kalah mengesankannya.
Kisah favorit saya umm..  Grow a day older, curhat buat sahabat, dan aku ada. Ah, Hampir semuanya saya suka.
Dan saya menunggu untuk menonton film layar lebarnya. Dan rasa saya bersiap-siap diombang ambingkan.***

Mereka yang tak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tak paham energi cinta kan meledakkannya dengan sia-sia (Malaikat Juga Tahu).

Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tak sanggup saya miliki (Hanya Isyarat)

Di pantai itu kau tampak sendiri, Tak ada jejakku di sisimu. Namun saat kau rasa. Pasir yang kau pijak pergi. Aku adalah lautan. Memeluk pantaimu erat. (Aku Ada).

 Ndalem Pogung, Jogya-21 Feb 2013. 1.21. am

Minggu, 17 Februari 2013

Untuk Lelakiku




Untuk Lelakiku,

Bila engkau berpikir aku bersamamu karena ingin berbahagia selama-lamanya, kau salah. Aku tahu bahagia itu melengkapi peran derita, senang itu sudah berkawan lama dengan susah.
Maka kau akan tahu, aku bersamamu karena ingin merasai hidup dengan utuh. Bahagia, derita, suka, senang, ambruk, bangkit, bukankah semuanya tanpa perlu ditarik ataupun dihindari, akan hadir dalam hidup kita? Aku bersamamu bukan untuk menghindari derita, nestapa, susah, air mata atau masa-masa sulit. Tapi aku bersamamu, untuk menghadapi semuanya.

Jingga di bahumu. Malam di depanmu. Dan bulan siaga sinari langkahmu. Teruslah berjalan. Teruslah melangkah. Kutahu kau tahu. Aku ada. (Aku Ada, Rectoverso).

Kalau kau mengira harus berbaik-baik terus agar aku terus bersamamu, mungkin saja kau keliru. Sampai kapan waktu akan pintar menyembunyikan masing-masing kita yang sesungguhnya? Kita membuka selapis-demi selapis diri kita seiring waktu dan kejadian, dibungkus kebersamaan. Karena bersamamu, aku menjadi diriku sendiri.

If you love someone, you have to embrace the whole package, right? Love the person as is.
For me, a perfect chocolate bar should be bitter sweet, and certainly not all bitter, for then you lose all the fun. We’re like dark chocolate bar where you can have four at once without getting jittery (Grow a day older-Rectoverso)

Aku bersamamu juga bukan karena memilih sebuah jalan yang mudah, karena jalan apapun ingin kulewati bersamamu. Entah dalam kuatmu, rapuhku, jatuhmu, tegarku, lalu mengapa gentar menghadapi setiap jalan asal kita masih bersisih-an?
Melewati fase limerence, Blending, Nesting, Self-Affirming, Collaborating, Adapting, Renewing.
Suatu saat ketika, kau bilang kau suka nasi goreng, tapi aku tak begitu suka, tapi aku tetap ingin memasak untukmu dan menemanimu makan.
Suatu ketika, saat pekerjaan mencumbumu lebih mesra dariku. Dan aku akan menyambutmu pulang tetap dengan senyum yang sama.
Suatu ketika, saat masakanku kepedesan, keasinan atau tak enak. Dan kau tak perlu lagi berpura-pura suka, tapi tetap menghabiskannya.
Suatu saat, ketika aku mungkin terlalu sibuk dengan dengan naskah-naskah tulisanku. Mungkin kau akan pura-pura marah, tapi tetap membuatkan secangkir teh manis hangat yang kau letakkan di meja.
Suatu saat, ketika masing-masing kita berdua begitu menyebalkan  dengan ego masing-masing. Mari kita berdoa pada Tuhan dan waktu, agar kita bisa bertumbuh untuk bisa saling mengkompromikan.
Dunia kita yang mungkin berbeda, tapi cinta kita sama.

Seribu jalan-pun kunanti bila berdua dengan dirimu..(Saat Bahagiaku-Ungu-Andien)

Mungkin akan ada marah, ada emosi, apalagi air mata, tapi juga ada maaf dan penerimaan. Lalu adakah yang lebih indah daripada sebuah cinta yang utuh?
Aku bersamamu karena ingin merasai cinta yang utuh. Bukankah menggelikan bila seseorang mencintai seseorang lainnya dengan berharap dibawakan hanya kebahagiaan seperti sesajen? Dilayani dan terus diberi seperti tuan putri.
Cinta mungkin memberi, walau mungkin memberi tanpa diketahui, membiarkan semesta menyimpankannya pada perputaran waktu, siang dan malam. Lalu kenapa harus gentar akan sakit dan airmata kalau engkau sudah memutuskan berani mencinta?

Bukan Cinta Jika Tak Meneteskan Airmata Karena Sedih Luar Biasa Atau Bahagia Tak Terhingga (Platic Heaven-Hilbram Dunar)

Kita kini dengan mesra, malu-malu saling bertukar tanya, Kapan kau pertama kali menyukaiku?
Ah, sepertinya cinta itu semacam konspirasi semesta. dan Tuhan sedang bercanda dengan kita.
Tapi mungkin nanti, mesra kita adalah aroma obat gosok dan pijitanku di bahumu yang renta. Lalu mengingatkanmu betapa gemas dirimu melihat rambutku diikat dua seperti ekor kuda saat remaja, saat nanti ingatmu sudah mulai melupa.

Lelakiku, aku mencintaimu, bersamamu, karena kamu itu kamu.

“Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh” (Perahu Kertas 2)


Ndalem Pogung, Jogya. 17 Feb 2013. 22.59 dalam dekap Jogya yang hangat.

Jumat, 15 Februari 2013

Dansa Lakrimasi




Desak rasa itu secepat kilat menusuk, menggeragap hatiku
Sedetik kemudian, pilu itu merayu-rayu mataku
Aku limbung, mataku mendung
Hatiku terhuyung-huyung
Petir menyambar-nyambar selaput precornealku, hujan lalu menderas
Aku tengadah, agar air mata tak turun ke bawah
Prolaktin, adrenokortikotropik dan leucine enchephalin berhamburan
Kelenjar lakrimasi berdansa lagi
Kita selalu begini,  berkelahi, sampai darah penghabisan,
Tinggal deru nafasku, dan air mata yang mengering
Aku ingin membanting tubuhku sendiri,
Sampai luluh lantak
Lalu perlahan-lahan aku meminta maaf
Diriku, kita impas!!


(Dansa Lakrimasi-Jogya. 15.02.2013)



Catatan :
Selaput precorneal : selaput air mata
Prolaktin, adrenokortikotropik dan leucine enchephalin adalah hormon yang keluar saat mengeluarkan air mata karena desakan emosional.

Kamis, 14 Februari 2013

Pertarungan/Diri




1.
Perempuan itu belum lama saya kenal, namun entah kenapa ia mau membagi hidupnya pada saya. Saya terhenyak mendengar runtut kisahnya di balik senyumnya yang bersahaja. Di samping hidupnya yang nampak sempurna, ada satu hal yang sangat ia inginkan dalam hidupnya. Dalam waktu ia menunggu, dan dalam usaha ia berdoa.
Sampai suatu ketika, mungkin sama yang dialami tiap manusia, tiba pada pertanyaan : sampai kapan harus menunggu? Sejauh mana harus berupaya?
Tuhan menganugerahinya ketidakpastian.
Dengan pilihan, ketidakpastian membuatnya menjauh atau mendekat padaNya. Naik turun, katanya. Kadang menjauh, kadang mendekat. Tapi saya ingin mendekat, begitu ia bilang.
Ada rasa trenyuh, haru, takjub, dan simpati padanya. Semoga malaikat semakin rajin menyampaikan doa-doanya agar mujizat Tuhan yang ia nantikan segera datang.
Semoga ia terus berani menjalani hidup dengan pertarungannya itu.

2.
Saya bertemu dengannya beberapa  bulan lalu. Masih cantik dan dinamis seperti terakhir kali saya bertemu dengannya. Hidupnya penuh warna, beberapa negara telah dijejakinya sementara karirnya tetap saja cemerlang. Hidup dalam kasih keluarga yang menyenangkan, dengan sahabat-sahabat yang membanjirinya dengan kasih dimanapun ia berada. Mungkin orang lain melihatnya sempurna, bahagia.
Senyumnya pun tak lepas dari bibirnya bila bertemu. Tapi siapa yang tahu tangis usai sujud yang ia curahkan padaNya? Harapnya dan perjuangannya selama ini, untuk sebuah keyakinan akan sebuah perwujudan.
Dia tetap yakin, walau ia berdoa dengan menengadahkan tangan sedang kekasih hatinya berdoa yang menangkupkannya.
Tuhan Maha Mampu memungkinkan hal yang tidak mungkin, dan memudahkan hal yang sulit.
Semoga tetap berani dan sabar dalam pertarunganmu.

3.
Ia masih mempersalahkan Tuhan, dulu..entah kini. Mungkin saja sudah bisa berkompromi.Semoga. Tuhan yang dulu ia kultuskan sekarang harus dia persalahkan. Tuhan yang dulu Maha Pemurah kini menurutnya jadi Maha Semena-mena. Ia masih tak terima.
Kepahitan hidup, kegetiran..kalian tak kan benar-benar paham, bila tidak mengalaminya. Bilangnya suatu saat.
Ia masih dengan pertarungannya. Semoga waktu dan Tuhan menyembuhkannya. Dan doaku tentu saja untuknya agar bisa menghadapi semuanya dengan lapang.

Baru tiga manusia, sebenarnya bisa seratus, sejuta. Setiap manusia menghadapi pertarungannya sendiri-sendiri. Tuhan tak pernah salah memberi, tak pernah salah memilih. Lalu mengapa harus gentar dan terhenti?

Saya pun dengan pertarungan saya sendiri. 
Ndalem Pogung, 14 feb 2013. 23.43
 

Senin, 04 Februari 2013

Sederhana


Sepertinya bahagia memang sederhana
Melewati lengkung sore, dan menggantung doa-doa di sana
Tak perlu risau doa itu akan sampai kemana, walau angin mengaburkannya ke penjuru dunia
Akan menuju padamu jua pada akhirnya
Sederhana, karena doaku tak perlu beraneka rupa
Tuhan paham beberapa baris kata yang kutitipkan pada malaikat seusai sujud
Walau tak pernah tahu kapan akan mewujud,
Manusia sesederhana ketidaktahuannya,
Menyulap ketidakpastian menjadi jalan menuju ketaatan padaNya
Sederhana,
Ternyata tidak tahu itu sederhana,
Seperti kata matahari dengan perputarannya, jalani saja
Jalani saja,

Ndalem Pogung, Jogya. 4 February 2013.

Meet With Tasaro GK


Poster tentang bedah buku “Kinanthi” itu hanya kulihat di laman Fbnya mas Tasaro GK, dan saat kulihat tanggal dan waktunya sepertinya memungkinkan untuk datang. Mengapa tidak? Kapan lagi? mumpung aku di Jogya dengan akses dan kesempatan untuk datang ke acara-acara macam begini yang relatif lebih banyak dibanding Purwokerto. Walau sendirian, tak ada teman, bukan alasan untuk melewatkan kesempatan.
Taufik Saptoto Rohadi, itu nama asliya. Tapi disingkat dengan Tasaro, dan GK adalah singkatan dari asal tempat lahirnya Gunung Kidul.
Belum terlalu banyak orang mengenalnya, tapi kiprahnya di dunia kepenulisan sudah cukup lama walau usianya masih muda. Awal saya membaca buku “Galaksi Kinanthi” karyanya, bukan karena saya kenal siapa itu Tasaro GK. Beda dengan pilihan saya mengambil buku “Rectoverso” di pajangan buku Togamas misalnya, saya kenal siapa dan bagaimana tulisan Dee (Dewi Lestari) yang boleh dijadikan jaminan seperti apa karya-karyanya. Saat saya memutuskan membeli buku Galaksi Kinanthi, saya hanya membaca Judul, Cover belakang dan bab awal buku itu yang kebetulan ada buku yang sudah terbuka. Membacai bab awal satu halaman saja cukup membuat saya tak pikir panjang untuk membeli buku tersebut. Dan pilihan saya jarang salah #pede. Saya langsung jatuh cinta dengan tulisan-tulisannya. Magis.
Dia sanggup mengolah kata, menempatkan diksi dengan baik, mencipta alur sedemikian rupa sehingga pembaca terbawa dalam setiap barisan tulisannya. Deskripsinya sudah kelas wahid, sedang aura romantisnya jarang sekali dibentuk dari pilihan kata yang romantis, tapi sanggup mencuri hati dengan caranya yang magis.
            “ Coba perhatikan baris puisi-nya Sapadi, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  dengan kata yang tak sempat diucapkan  kayu kepada api yang menjadikannya abu”.  Mana ada kata romantis dalam barisan kalimat itu? Hampir tidak ada, tapi puisi itu dikutip dan dihapal oleh ribuan orang yang tengah jatuh cinta,” begitu ujar mas Tasaro pada saat acara berlangsung.
Acara berlangsung dengan hangat di Djendelo Cafe, lantai 2 Togamas Jogya tanggal 31 Januari lalu. Mas Tasaro pembawaannya sederhana, ramah dan kocak. Dengan penampilan khasnya yang selalu memakai topi yang sedikit dimiringkan. Pemandu acara banyak menanyakan soal buku Kinanthi yang sekarang terbit lagi dengan “jiwa baru” dari Galaksi Kinanthi menjadi “Kinanthi Terlahir Kembali”. Memang berganti penerbit dari Salamadani ke Bentang Pustaka. Buku ini  merupakan modifikasi dari kisah nyata seorang TKW di amerika yang akhirnya menuai sukses di negeri paman sam itu. Kisah berbau women trafficking, kisah perjuangan TKW yang kemudian sukses setelah disekolah oleh negara, dibumbui dengan kisah romantis yang agung antara Kinanthi dan Ajuj. Beberapa orang maju sebagai volunter untuk “reading” beberapa baris kalimat di buku tersebut,
Entah mengapa saya menyukai baris-baris di bawah ini, seperti juga mas Tasaro juga memilih baris ini ketika pemandu acara memintanya untuk “reading”.
Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta,
Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa dia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.
Banyak hal yang bisa dijadikan masukan dan pelajaran tentang menulis, tentu saja karena dasar jurnalistiknya mas Tasaro mumpuni. Dia tumbuh dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan sehingga secara teoritik dan praktik memang saling bersinergi untuk mencipta seorang karya yang berkelas.
            “ Menulis fiksi itu biasanya bersumberkan tiga hal, pengalaman, referensi dan imaginasi,” ujarnya saat menuturkan ilmu-ilmu menulis, namun tetap disisipi guyonan hangat.

Saat acara berlangsung

Saat memasuki sesi tanya jawab, entah saking semangatnya saya menjadi penanya pertama di antara beberapa penanya lainnya. Saya duduk di lesehan baris depan sehingga nyaman untuk berinteraksi langsung dengan penulis. Kesempatan langka, kupikir. Kapan lagi bisa “ngangsu kawruh”  langsung dari narasumbernya. Tiga pertanyaan saya dijawab dengan panjang lebar, disusul dengan pertanyaan-pertanyaan dari peserta berikutnya. Sampai pula pada pertanyaan tentang siapa yang menginspirasinya menulis tokoh seperti Kinanthi. Sebelum dia menjawab, terlihat ia menarik nafas panjang, lalu wajah penuh senyum dan canda kocaknya sekilas berganti. Matanya tersaput embun, lalu berkaca-kaca.
            “ Aduuuh kenapa ada yang nanya begitu. Jawabnya saya bisa nangis-nangis,” begitu katanya. Dan detik selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang menginspirasinya menulis tokoh Kinanthi adalah ibunya yang telah meninggal karena stroke setahun yang lalu. Ibunya yang sampai meninggal masih menulis, dan telah membimbingnya menjadi seorang penulis sekaligus ayah dari Senandhika Himada.
            “ Udah-udah nggak usah diterusin, ntar bisa nangis beneran.” Katanya sambil mencoba menguasai dirinya kembali. Nampak matanya masih berkaca-kaca.
Lalu tibalah jua pada pertanyaan.
            “ Kenapa harus tema ketidakbersamaan? Kisah Kinanthi dan Ajuj, yang saling mencintai dalam ketidakbersamaan? Apakah ini adalah isu universal yang banyak sekali dialami manusia di bumi,” begitu kira-kira pertanyaannya.
Tasaro tersenyum sesaat lalu, menjawab.
            “ Suka atau tidak, manusia memuja kisah-kisah ketidakbersamaan. Romeo-Juliet. Layla-Majnun, karena justru bagian itulah yang paling emosional, menguras air mata dan membuat manusia mengerti arti mencintai. Manusia terkadang butuh kehilangan, butuh ketidakbersamaan  untuk menemukan keindahan mencintai dengan tulus. Mencintai adalah satu perkara, dan memiliki adalah suatu perkara yang lain.” Jawab Tasaro.
            “ ah salah siapa pertanyaannya dalem, jawabnya juga dalem,” lanjut Tasaro dengan setengah bercanda.
Seperti sebuah bait kalimat dalam Galaksi Kinanthi :
"Dalam kehidupan nyata, kebersatuan cinta tidak selalu berarti saling memiliki bertemu dalam satu titik. Bahkan terkadang dua orang yg saling mengasihi sepenuh hati, saling menjaga dalam keterpisahan. Ketidakbersamaan.
Lalu ada kata-katanya yang sungguh membekas di kepala saya,
            “ Cinta ya cinta. Boleh menghuni kepala, hati. Ada tempatnya sendiri. Tapi cinta tidak boleh membuat kita lemah, apapun dan bagaimanapun cinta seharusnya menguatkan, dan harus membuat kita harus bersemangat dalam berkarya,” begitu ujarnya.
Ah, seni manajemen cinta seperti itulah yang sedang saya ingin pelajari. Cinta, The Law of Levitation, not the Law of Gravitation. Menerbangkan bukan menjatuhkan.
Ah, tak terasa waktu bedah bukunya sudah hampir habis. Penulis yang juga menulis trilogi Muhammad dan Nibiru ini terasa begitu menikmati interaksinya dengan para pembacanya. Terasa dekat dan sederhana tapi sarat ilmu.
Sebelum acara usai, penyelenggara bagi-bagi doorprize buku bagi yang udah “reading”, yang ngetweet yang gokil dan dari bagi yang sudah bertanya. Dan saya cukup beruntung mendapat doorprize buku sebagai penanya pertama. Asik, saya mendapat buku “Kisah Inspiratif Kick Andy”. 

Kisah Inspiratif Kick Andy adalah hadiah bukunya, sedang Rectoverso-nya Dee dan Muhammad
Para Pengeja Hujan itu buku yang saya beli seusai acara.

Lalu terakhir, acara ditutup dengan book signing. Sayapun segera menghampiri mas Tasaro untuk memintanya membubuhkan tanda tangan pada buku saya yang sudah saya beli akhir tahun lalu. Saya antrean kedua, setelah Tasaro membubuhkan tanda tangan pada orang sebelum saya. Tiba giliran saya,
            “ Namanya Siwi yah?” tanyanya. Pasti Mas Tasaro masih mengingat nama saya saat bertanya tadi. Saya mengangguk mengiyakan. Dia melihat saya sekilas, lalu menuliskan sesuatu dan tanda tangan di buku saya. Kemudian tak lupa saya meminta foto bareng dengan beliau. Alhamdulillah dapat ilmu, dapat buku, dapat tanda tangan dan foto bareng. What a wonderful night kan?

Foto Bareng Mas Tasaro GK

Dan saat saya benar-benar melihat lagi tulisan di halaman pertama buku itu, tertulis disitu :

To Siwi : “Mencintai Seperti Kinanthi”

Ini Tulisan dan Tanda Tangannya di buku saya

Ah, saya tersenyum membacai kalimat tersebut. Tadinya saya berpikir bahwa kalimat tersebut dituliskan sama pada semua buku yang ditandatanganinya. Tapi saya keliru, setelah melihat page Tasaro GK dengan tag beberapa halaman buku yang ditandatanganinya malam itu, ada yang bertuliskan “maturnuwun” dan sebagainya.
Baiklah, semoga saja, saya bisa mencintai seperti Kinanthi, dengan ketulusan yang membuat waktupun bertekuk lutut. Masih terus mencintai, mengasihi baik dalam ketidakbersamaan maupun kebersamaan. Semoga.

Dengan jiwa yang segar saya melangkah ke parkiran, menanti jemputan adik saya. Lalu terlihat mas Tasaro bersama kru-pun meninggalkan Togamas, dan saat melihat saya di parkiran, dia kembali menyapa,
            “ Makasih ya Mba Siwi,” sapanya dengan ramah.
Pribadi yang menyenangkan. Semoga sukses dengan tulisan-tulisannya yang mendatang. Saya pasti akan menanti karya-karyamu berikutnya.
Salam Pena. Salam Kata.


Ndalem Pogung, Jogya 4 Februari 0.49 am. Tengah malam di Jogya. Jogya yang terasa begitu tenang dan hangat.

 

Minggu, 03 Februari 2013

Orgasme Otak


Ups..aku tahu kalian sudah memprotes judulnya. Diamlah saja dulu, tak usah banyak memprotesku kali ini. Diam saja dan nikmatilah. 
Ah, atau kalau protes membuat kalian lebih nikmat, maka proteslah. Saya hanya ingin bercerita, tentang orgasme. Eit, orgasme otak!
            “ Mba, bisa nggak ketemuan sore ini habis aku balik kerja,” kata Widya, seorang sahabat lama. Teman sekamarku saat kami berdua berpetualang selama tiga bulan di Itali tahun 2008 lalu.
Segera kuiyakan, sudah beberapa kali janjian ketemuan gagal terwujud, padahal kami berada di kota yang sama, Jogya.
            “ Udah lama nggak orgasme otak ahaha..masih inget kan istilahnya Trully hihi, susah dapet partner di sini,” katanya sambil terkekeh setelah ia sampai di kamar kosku. Masih cantik seperti biasa, masih dengan kebiasaannya yang selalu maniak cermin. Bila melihat bayangan cermin, ia selalu segera melihat dan mematut-matut dirinya di depan cermin secara spontan.  Ia terlihat lebih dewasa dibanding kali terakhir aku bertemu dengannya. Pernikahan mungkin memang membuat orang menjadi dewasa, beberapa iya, banyak juga yang tidak. Dan saya sering menjadi “tempat sampah bagi kedua jenis tersebut.
Tapi kali ini ia tidak ingin menemuiku untuk menjadi keranjang sampahnya, ia menemui untuk mengajakku orgasme. Orgasme otak!
Istilahnya memang sedikit ekstrim dan nyeleneh. Orgasme otak? Kalian mungkin akan mengerutkan kening? Dulu akupun demikian. Dulu aku menyebutnya momen “bertukar kepala” saat bertemu dengan “lawan” yang berimbang untuk ngobrol tentang hidup. Tapi Trully, sahabat se-flat sewaktu di Italy mengenalkan istilah baru, orgasme otak dan akhirnya sekarang lebih sering menyebut momen itu dengan orgasme otak, karena memang terasa lebih pas.
            Karena dia sengaja menemuiku untuk melakukan orgasme otak, maka aku tahu apa yang harus kulakukan. Cukup dengan menyentil syaraf-syaraf otak berpikir tentang hidup dengan pertanyaan-pertanyaan, maka kami dengan mengalir saling bertukar kalimat. Kalimat-kalimat yang saling berloncatan, saling menemukan, kadang saling melawan, kadang saling bersinergi, ataupun kadang meledak lalu terdiam, relaksasi. Orgasme! Kepuasan tertinggi saat otak dan pikiran mendapatkan lawan yang berimbang untuk melepaskan segala pikiran-pikiran, wacana, sikap, sudut pandang mengenai sesuatu hal yang dibicarakan dan mendapatkan respons dahsyat yang seimbang. Begitulah orgasme otak. Terbayangkan apa yang kujelaskan pada kalian? Atau kalian malah membayangkan hal yang lainnya? LOL
Istilah orgasme memang lebih ke arah konotasi seksual. Tapi lihatlah definisinya hampir sama.  Orgasme berarti pelepasan tiba-tiba ketegangan seksual yang terkumpul, dan orgasme otakpun demikian, pelepasan ketegangan atau kumpulan pikiran-pikiran yang mengendap.
Manusia dipenuhi kumpulan pikiran-pikiran yang seringkali bersembunyi di bawah permukaan, sering tak tergali. Mengendap sekian lama, dan tak semua orang mampu menggalinya. Orgasme otak berbeda dengan sesi “curhat”, dimana curhat seringkali lebih pada bercerita tentang masalah, unek-unek ataupun luapan perasaan yang dialami seseorang. Biasanya satu orang akan bercerita, sedangkan partnernya akan berperan sebagai seorang pendengar. Bisa sepihak, namun bisa juga bergantian setelah seseorang selesai dengan curhatannya. 
Curhat membutuhkan seorang partner yang siap menjadi “tempat sampah”, memberikan saran, pandangannya ataupun hanya sekedar mendengarkan.
Tapi orgasme otak adalah peristiwa saat dua orang atau lebih saling menimpali, saling berupaya memberikan pandangannya, terjadi persilangan, mungkin sedikit perdebatan atau persetujuan, ataupun berakhir dengan pemakluman. Untuk mencapai orgasme otak yang berkualitas diperlukan seorang partner yang seimbang. Inilah yang membuat tak semua orang bisa dijadikan partner untuk melakukan orgasme otak. Bagiku sendiri pun demikian, bahkan sahabat inner circle yang sudah sekian lama bersamapun tak semuanya bisa diajak orgasme otak. Beberapa hanya bisa terlibat dalam sesi “curhat” tapi susah untuk diajak orgasme otak.
Manusia punya banyak pikiran yang perlu dicurahkan,  bertukar pandangan hidup, mendengar pandangan lain, berpikir, mempertimbangkan, ataupun menerima. Cukup dengan satu dua pertanyaan, pembicaraan akan mengalir, saling menimpali, meninggi, memuncak, klimaks. Ada syaraf-syaraf yang menegang melepas, kepalamu akan terasa ringan, jiwamu tersegarkan kembali. Orgasme otak seperti re-charge pikiran dan jiwa sehingga dua orang akan merasa lebih berenergi, bersemangat kembali. Curhat biasanya hanya mampu melegakan bagi satu pihak saja, si “pencurhat” karena ia merelease pikiran-pikiran tentang masalah atau apapun yang menggelayuti pikirannya. Tapi orgasme otak akan berefek positif pada kedua belah pihak, mutualisme.
Tapi bila partner tidak seimbang, biasanya pembicaraan akan mentok, gagal untuk saling meledakkan satu sama lain. Ejakulasi dini.
Nah inilah seninya bagaimana melakukan orgasme otak yang berkualitas. Terus terang aku senang melakukannya, terasa manfaatnya bagi jiwa. Bicara soal hidup, impian-impian, makna hidup, pembelajaran diri, pandangan-pandangan akan suatu hal.
            “ Hidup kini bukan lagi hitam atau putih saja, tapi kadang juga abu-abu. Nggak berani lagi untuk nge-judge orang sebelum tahu latar belakangnya. “ kataku. Lalu ia dengan cepat menangkap umpan, lalu melakukan “serangan balik”
            “ Kontribusi wid, kalau udah umur segini..apalagi yang dipikirin, hidup bukan lagi untuk diri kita sendiri. Cuman selama ini masih sporadis, belum nemu komunitas yang bisa konsisten..bla..bla”  Kalimat yang terlontar saat kami bicara soal makna hidup.
Tentang kenangan, tentang kekinian ataupun masa depan. Tentang impian, keterpurukan, cinta ataupun hubungan. Bukan melulu soal “cerita” tapi pandangan yang saling menyetujui atau bahkan berbenturan. Namun kami tahu, kami berdua mengalami kenikmatan bersama-sama dalam bertukar pemikiran. Di momento cafe itu  tak terasa waktu cepat berlalu,
            “ Duh, kudu pulang mba. Suamiku sudah selesai jadwal ngajar di LIP jam segini, tengkiu ngobrol-ngobrolnya,” pamit Widya mengakhiri sesi malam ini.
Manusia butuh orgasme otak untuk menyegarkan kembali pemikiran-pemikirannya, jiwanya. Ada energi baru saat kami berdua pulang. Terimakasih for the priceless moment, dear friend.***


Ndalem pogung, Jogya. 3 February 2013. 2.20 am.

Sabtu, 02 Februari 2013

Detik Terakhir



Sore ini udara Kota Solo terasa gerah. Mendung menggelayut tapi tak kunjung hujan. Air hujan selayaknya air mata yang tertahan pada pelupuk mata. Menunggu tertumpahkan.
            “ Mas, bisa pinjam jaketmu?” tanyaku. Masih dalam langkah kaki menyusuri jalan menuju Terminal Tirtonadi. Berharap jalanan memperpanjang dirinya agar kami bisa berjalan bersama semakin lama.
“Adek sakit?” tanyamu. Langkahmu terhenti, lalu memandangku dengan gurat kecemasan yang sulit kau sembunyikan. Mukaku pasti pucat. Yang sebenarnya memucat karena mengetahui detik yang tersisa bersamamu  hanya tinggal sedikit.
Seandainya tak pernah ada kata pergi.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum. Lalu segera melapisi tubuhku dengan jaketmu, hatiku menghangat.
Detik berlarian. Hatiku beringsut, gundah.
Bukankah ritual pergi telah sering kualami berkali-kali? Kenapa masih saja hatiku menggamang. Seakan tak pernah rela melepasmu pergi.
Kami telah sampai ke Terminal Tirtonadi, berdiri di antara puluhan orang yang tengah sibuk dengan rasa datang dan pergi.
Terminal, Bandara, Stasiun adalah tempat-tempat dimana manusia-manusia melepas dan menyambut. Tempat –tempat itu begitu akrab dengan pertemuan dan perpisahan. Awal dari kebersamaan ataupun ketidakbersamaan. Ada cium tangan, apa pelukan melepas orang-orang terkasih, ada lambaian dengan harap semoga Tuhan dengan waktuNya mempertemukan kita kembali. Dan aku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat saat jiwaku turut menghilang separuh, terbawa bersamamu yang melangkah pergi meninggalkanku, namun turut membawa hatiku pergi.
Seperti saat ini, di tempat duduk ruang tunggu menunggu bus yang akan membawamu pergi. Seperti malaikat maut.
            “ Kenapa sih dek? Sedih ya mas mau pergi?” tanyamu mengamati wajahku. Mungkin kau menyadari binar di mataku makin meredup seiring detik yang terus berlarian, menyisakan waktu yang semakin sedikit tersisa.
Aku tersenyum, ada getir yang pias pada senyumanku.
            “ Enggaklah, mas kan sudah sering pergi. Sudah biasa begini,” begitu jawabku, sambil merapatkan jaketmu ke tubuhku. Ingin hangatmu selalu ada dalam diriku. Selalu.
Kau mengusap-usap rambut panjangku perlahan, kemudian terdiam. Apakah kau juga ingin memperpanjang waktu, mas? tanya hatiku. Tak tahu.
Jam dinding besar di terminal sudah menunjukkan jam 18.45 malam, lima belas menit lagi waktu yang tersisa. Kupandangi engkau lagi seperti memandangimu terakhir kali. Betapa sering aku dianugerahi momen seperti ini.
Manusia bisa memandang orang lain seperti biasa, bahwa nanti akan bertemu lagi. Siang nanti, malam nanti, esok, atau paling beberapa jam mendatang. Mereka tak mengalami apa yang kurasai, memandangi seseorang seperti terakhir kali akan melihatnya. Karena ke depan adalah ketidakpastian. Kapan bisa bertemu engkau lagi? hanya berharap Tuhan dan waktu akan berbaik hati.
Waktu kali ini berbaik hati. Petugas bus menghampiri para penumpang yang tengah menunggu bis menuju Surabaya bahwa bis pada jadwal 19.00 tak bisa dioperasikan. Kami harus menunggu bis pukul 20.00 malam. Hatiku tersenyum, perpanjangan waktu. Berarti masih tersisa sekitar 3600 detik lagi bersamamu.
            “ Adek pulang saja ya, udah malem. Biar mas tunggu bis-nya satu jam lagi. Mas carikan taksi ya?” tanyamu. Dengan wajah lelah karena seharian menantangi hari.
Aku menggelengkan kepala. Waktu sudah berbaik hati, bagaimana mungkin aku pergi sebelum kau pergi.
            “ Tapi adek lagi nggak enak badan, nanti malah sakit?” ucapmu dengan nada khawatir yang sulit kau sembunyikan.
Aku tersenyum, menyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Walau menunggu saat jiwaku akan tinggal separuh dibawa pergi bersamamu.
Di kejauhan, kembali terlihat ritual melepas dan menyambut bergantian di depan mata. Senyuman ataupun air mata yang tertahan. Hujan turun perlahan, airmata di pelupuk langit akhirnya turun ke bumi. Dalam rintik-rintiknya yang membawakan rindu yang gagu. Tak terucap. Bagaimana mungkin seseorang bisa rindu bahkan dengan orang yang masih ada di sampingnya, bersamanya, di dekatnya. Tapi itu aku. Aku telah merinduimu sebelum kau pergi lagi.
            Dan engkau, seperti biasanya mulai meracau lagi dengan kalimat-kalimatmu yang selalu sanggup menerbitkan senyumku. Aku khawatir bila suatu saat engkau berhenti membadut di depanku. Tingkah badutmu yang sanggup membuat tangisku bercampur tawa dalam satu waktu. Bersamamu selalu membuat detik waktu serasa cepat sekali berlalu. Seharusnya engkau melakukan perjanjian dulu dengan waktu sebelum kau bertemu denganku. Mengapa setiap kali denganmu, waktu berlari terburu-buru.
            “ Bis nya sudah datang dek,” katamu pada akhirnya, Malaikat maut datang merebutmu dariku. Senyumku menghilang sejenak. Tapi sedetik kemudian kuterbitkan lagi, karena aku ingin kau melihatku terakhir kali dengan senyuman, walau dengan air mata yang tertahan.
            “ Hati-hati ya mas” kataku. Maksudku hati-hati menjaga hati dan jiwaku yang kau bawa pergi. Kau tahu itu walau tak terucap.
 Kucium tanganmu dan kau melangkah pergi. Dalam setiap langkah yang membuat hatiku luruh, menyadari bahwa jiwaku telah hilang separuh. Kupandangi punggungmu pergi, sampai menghilang naik ke atas bus. Dan tetap kupandangi bis itu sampai akhirnya ia bergerak perlahan meninggalkanku yang tetap berdiri mematung.
Kau pergi, seperti ritual yang kita jalani berkali-kali. Seharusnya hatiku terbiasa dengan ini. Seharusnya aku bersyukur, mungkin tak semua orang pernah mengalami, betapa sempit waktu hingga betapa berharga sebuah kebersamaan. Bila sepasang manusia lainnya yang saling mencinta diberikan jatah waktu sekian lama untuk bersama, tapi kita harus bersyukur dengan jatah waktu yang kita punya. Karena dengan begini, aku bisa mencintaimu sampai detik terakhir. Detik terakhir yang diberikan oleh Tuhan dan waktu.
Aku masih berdiri mematung walau beberapa detik bis yang membawamu pergi meninggalkanku.
Hpku bergetar. Namamu ada di layar, lalu sedetik kemudian suaramu terdengar.
Kita selalu sanggup memperpanjang waktu. Sampai detik terakhir.

Usap air matamu
Dekap erat tubuhku
Tatap aku sepuas hatimu

Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup aroma tubuhku
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu...
(Detik Terakhir, Lyla)




(Sebuah Flash Fiction = karya fiksi yang sangat singkat).

Ndalem Pogung, Jogya. 2 February 2013. 12. 19.

Kamis, 31 Januari 2013

Dejavu



Kota ini tak terlalu terik siang ini. Langkah kakiku satu demi satu dengan santai menyusuri jalanan kampus yang selalu membuat hatiku terasa nyaman. Rumah. Kampus ini seperti rumah untukku. Lintasan-lintasan pikiran di kepala memenuhi rongga kepalaku. Jadwal lab, kerja lapangan, pengen ikut acara bedah buku di togamas nanti sore dan kamu. Kamu, sepertinya selalu sibuk mondar mandir di pikirku.
Kemudian langkahku terhenti, mataku terantuk pandang pada sebuah tempat. Hatiku berdenyut, syaraf rinduku terkejut. Aku berhenti dan duduk di sana. Rasanya Dejavu.
Kuraba permukaan tempat duduk dari batu itu dengan tanganku, rasanya masih sama. Semilir angin berhembus menciumi ujung-ujung jilbabku,  membawakan kenang kembali segar.
Dulu dengan rok batik berwarna coklat dengan atasan senada. Kini dengan celana kain dan blouse hijau lumut bermotif, aku duduk di tempat yang sama. Kupandangi ke arah gedung itu, berharap kamu dengan langkah lebar-lebar muncul dari tingkungan gedung itu. Melangkah untuk menemui seseorang dan itu aku. Kali ini  juga kutoleh berkali kali jalanan itu walau tahu pasti tak akan ada kamu. Tak ada. Yang melangkah dengan senyum manis dari kejauhan.
Tapi tetap saja aku duduk beberapa saat, dan mengalihkan pandang berkali kali untuk mengamati jalanan itu. Kamu tak lagi ada disitu. Tapi tetap di hatiku.
Dejavu. Rasanya baru kemarin. Ah bukan, itu tahun lalu. Ah entah, aku dan waktu memang sering tak saling setuju.
Namun hatiku tahu, saat ini aku disergap rindu.


Jogya, 31 Januari 2013.

Special



Tidakkah kau menyadari bahwa kupandangi wajahmu lama-lama kemarin sore. Mengamati lekuk-lekuk wajahmu seperti layaknya akan terakhir kali memandangimu. Sedikitnya waktu jatah kita ternyata menjadikan rasa mengganda. Ketidakbersamaan dalam tempat dan waktu yang sama nampaknya juga berjasa menambahkan formulasi pelipatgandaan rasa saat bersama. Maka bersyukurlah pada jarak, yang menyediakan rentang pada kita untuk saling merindukan.
Aku, kamu, memang harus sering mengakrabi jarak, ruang dan waktu.
Aku ingin mengambil jatah waktu hari ini dan menambahkan pada waktu hari kemarin. Sayang waktu tak bergeming, ia tak suka menjadikan semenit lebih dari 60 detik.
Tapi walau waktu tetap patuh pada rumusnya, ia bermurah hati memberikan waktu untuk bersama.
Bersamamu.
            Soale ra ono sing liyo” candamu.
Tapi engkau tahu bahwa aku punya pilihan untuk bersama orang lain, tapi tetap memilih untuk bersamamu. 
spe·cial= being a particular one; particular, individual, or certain.
Apapun itu definisi kamus ataupun hasil google. Kamu spesial. Selalu.

Jogya lewat tengah malam. Di penghujung Januari 2013