Selasa, 07 Mei 2013

Memasak dan Obrolan tentang Rasa


Dulu saat saya kecil merasa terpaksa bila disuruh-suruh memasak, cuci piring, cuci baju dan segala macam pekerjaan perempuan. Tapi “rasa terpaksa” itu lama-lama menjadi biasa. Biasa itu ternyata berbahaya. Rasa biasa terkadang membuat kita menekan banyak rasa ke kurva standar, sehingga kadang kita mengabaikan rasa-rasa yang kita punya. Saya juga tak pernah menolak dan protes bila ibu saya bereksperimen dengan rambut saya yang panjang dulu saat SD, tapi paling sampai gerbang saya sudah memburakkan rapi jalinya tatanan rambut saya. Saya tidak punya kebiasaan untuk mengungkapkan apa yang saya sukai atau apa yang tidak saya sukai. Anak baik adalah anak yang penurut, itu pikir saya waktu kecil
            “ Ayo mau beli mainan apa, nanti budhe belikan?” begitu ketika diajak jalan-jalan budhe saat kecil pun saya menggeleng. Tidak usah, kata saya. Anak baik tidak boleh minta macam-macam, itu yang ada di kepala saya.
Kenapa saya tak punya cerita harus dipaksa-paksa berangkat sekolah seperti adik saya yang susahnya bukan main bila waktu pagi tiba untuk ke sekolah? Kenapa saya tak punya kisah-kisah mbolos sekolah, tengilnya ulah-ulah anak beranjak remaja? Anak baik harus rajin belajar, begitu doktrin di kepala saya.
Hahaha kalau dipikir saya lucu ya waktu kecil, pun saya tidak tahu siapa yang mendoktrin itu semua berada di otak saya. Orang tua saya bukan tipe orang tua garis “keras” yang harus begini harus begitu. Dulu, saya memang berpikir begitu, sehingga mostly cerita saya terdengar lebih lempeng dibanding anak-anak yang lain.
Tapi sebenarnya sekarang saya menyadari bahwa butuh sebuah proses panjang untuk bisa menemukan seorang saya yang berani memutuskan apa yang saya suka, atau apa yang saya tidak suka. Dalam hidup, manusia akan ada pada titik-titik dia mengetahui hal-hal apa yang ia sukai, akan dihadapkan pada persimpangan, pilihan-pilihan hidup dan banyak hal lainnya. Banyak yang menemukannya di awal, ada yang sedikit terlambat, ada pula yang terbilang sangat terlambat.
Manusia yang jujur akan perasaannya sendiri. Saya tiba-tiba terpikir akan hal tersebut.
            “Manusia bukan siapa-siapa sebelum ia mewakili perasaannya sendiri” (Fadh Djibran)
Kutipan di atas mungkin tak sepenuhnya tepat kalimatnya, aku lupa bunyi teks aslinya, tapi mungkin kira-kira begitu.
Bukankah sering kita menyembunyikan perasaan kita sendiri, sampai-sampai kadang kita tak lagi peka mendeteksinya. Saya bukan ingin sedang mengatakan agar seseorang harus mengatakan atau mengungkapkan semua rasa yang dirasai masing-masing kita. Saya hanya ingin memastikan bahwa kita mengerti rasa yang kita rasai. Kita mewakili perasaan kita sendiri. Tidakkah kau pikir betapa seringnya kita memerangi perasaan kita sendiri? Tidakkah kau merasa lelah? 
Bukankah berdiri dan hidup dengan perasaan kita sendiri terasa lebih membebaskan? Lebih hidup?
Rasa itu hal yang sangat pribadi, setidaknya menurut saya. Tidak ada satu orangpun yang mampu mengklaim mengetahui rasaku, dan juga saya tak pernah sanggup memastikan bagaimana rasamu, rasa kalian. Kecuali jika saya mengatakannya pada kalian, atau kalian mengatakannya pada saya. Itupun dengan asumsi bahwa apa yang kalian atau saya katakan adalah rasa yang sebenarnya.
Rasa, tiba-tiba saya sangat tertarik dengan satu kata ini. Rasa ternyata begitu unik dan ajaib. Apakah karena ia juga bisa berubah-ubah?
Seperti di awal tulisan ini saya bilang tidak suka bila harus disuruh-suruh masak. Dulu saya berpikir, pasti karena Ibu tidak suka masak jadi saya sebagai anak perempuan satu-satunya harus bisa masak agar saya saja yang bertugas memasak (ahaha beneraan itu yang dulu terpikir). Karena saya ingin jadi anak baik, jadi saya nurut (polosnyaaa hihi).
Tapi sekarang, saya suka memasak. Bahkan terkadang memasak bagi saya adalah terapi jenuh, terapi stress. Seni memasak dengan menghasilkan rasa yang pas menurut lidah saya, sekarang ini menjadi hal yang menyenangkan.
Lihatlah rasa itu bisa berubah terhadap hal yang sama. Tapi setidaknya saya tahu apa yang saya rasakan. Apa menurut kalian kalimatku itu terdengar aneh? Memang ada ya orang yang tidak tahu perasaannya sendiri? Menurutmu? Ehehe..
Ah, betapa randomnya alir pikiran saya. Lebih baik saya merasai masakan saya hari ini sebelum saya bertambah random.


Seperti Cah Bayam Rindu Tahu
                                                             
Kambing dibumbui sesukanya
Random ya menunya seperti randomnya alur pikiran saya? Ehehe masa berkuah dan berkuah. Itu enggak dimakan dalam waktu yang sama kok. Cah bayam tahu itu berkawan telor ceplok tadi siang. Jadi....Ah, tak usah kau tanya berapa kali saya makan hari ini *langsung kabuuur...

Glasgow, 6 May 2013. 8.30 pm menunggu maghrib..hiyaaa jam segini belum juga gelap.
Semoga  saya dan kalian  semua semakin bisa mewakili perasaan masing-masing.

Senin, 06 Mei 2013

Di Sambut Musim Semi Glasgow



Ini daun2 ijo bukan sengaja berseni fotografi, tapi karena kamera nyungsep pake self timer LOL


Pagi ini, cericit burung di pohon  belakang flatku membangunkanku lebih awal dibanding alarm sholat subuhku. Ah Glasgow kadang-kadang memang lebih “ndeso” dibandingkan Indonesia. Di daerah tempat tinggalku, walau dekat sekali (5 menit dari Kampus Utama) namun sangat nyaman untuk tinggal. Tenang, karena tidak ada kendaraan yang lalu lalang, hanya beberapa orang berjalan kaki lewat. Di belakang flatku ini juga masih sering kutemukan tupai berkejar-kejaran ataupun cericit burung. Aku betah di flat ini walau terus saja berpindah-pindah, karena posisiku yang terkadang pulang ke Indonesia untuk riset.
Dan kini kepulanganku ke Glasgow disambut musim semi yang tahun lalu kulewatkan karena tengah berada di Indonesia. Saat kulangkahkan kaki meninggalkan bandara Glasgow, udara masih terasa brrr..musim semi yang palsu. Begitulah cuaca Glasgow, sepertinya nggak jauh-jauh dari dingin.
            “ Spring comes late,” begitu kata bapak pengemudi taksi yang mengantarkanku ke 21 Hillhead street, flatku.
Kembali lagi, rasanya masih aneh. Walau Glasgow sedari awal menginjakkan kaki di sini sudah terasa familiar. Berangkat ke Glasgow kemarin rasanya seperti “hanya” berangkat ke Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia saja. Persiapan juga seadanya, seperti biasa. Mungkin karena aku terbiasa pergi, walau sejujurnya meninggalkan Jogya terasa berat.
Kembali ke Glasgow berarti pula harus memulai hidup lagi dari awal. Menata lagi kamarku karena selama pulang kamarku disewakan. Kali ini aku kembali ke kamar awalku saat pertama kali ke Glasgow, kamar yang berada di bagian belakang flat, lebih kecil dibanding kamar utama. Tadaaa..kamar kosong, flat juga kosong karena Ari sedang di perpus GCU dan tidak pulang, sedangkan Elli (flatmate cinaku) juga tengah keluar.
Untung Ari meninggalkan ayam ungkep di kulkas dan nasi, sehingga bisa mendiamkan perutku yang keroncongan ehehe.
 Ah Glasgow, masih tetap dengan baunya yang sama. Aku sering mengidentifikasi apapun dengan bau, begitu pula kota tertentu mempunyai khas baunya sendiri. Dan kini kuhirupi lagi udara Glasgow, baunya yang khas itu. Dan mulailah aku menata hidup di sini lagi. Kau takkan pernah mengerti ribetnya nomaden bila belum pernah merasainya. Hidup yang menetap itu kadang sesederhana kamu tau dimana kau letakkan penggunting kuku, dimana gunting, penjepit kertas yang biasanya kau letakkan. Bros, dokumen, alat mandi yang selalu sudah tersusun rapi tempatnya. Tapi aku sering kali bergulat dengan hal-hal kecil seperti itu, karena aku selalu berpindah-pindah. Mungkin memang sudah saatnya harus berlabuh #ups.
            “ Kenapa nggak beli lampu emergency? “ katamu suatu saat ketika aku bilang kosan di Jogya gelap saat mati lampu. Sayang, bila aku harus membawa lampu emergency kemana-mana nanti dimana kuletakkan alat mandiku? Aku biasa pergi-pergi dengan tas punggung hanya berisi laptop, alat mandi dan baju ganti. Selama kepulanganku ke Indonesia beberapa bulan lalu, entah berapa kali aku harus pergi ke berbagai kota.
Dan biarlah kini Glasgow memelukku lagi. menyedikan tempat berlabuh sementara waktu. Maka kamar sudah mulai kutata lagi, walaupun masih berantakan.


Paling enggak kasurnya segera bisa kutata dan siap untuk melabuhkan mimpi #zzzzz

Dan mulai menumpuk stok makanan, bumbu-bumbu. Maka segera aku jalan-jalan sebentar menuju Halal Butcher untuk membeli daging kambing, ayam, bayam, bawang dan cabai (ini yang paling penting ehehe).
Kususuri jalanan yang hampir tiap minggu kulalui. Iyah aku ke Halal butcher kalau nggak hari sabtu ya minggu, karena agak susah untuk pergi belanja bila weekday karena harus di lab. Masih tetap sama, hanya saja bunga-bunga sudah mulai mekar warna warni walaupun belum begitu sempurna. Musim semi yang membangunkannya dari musim dingin yang beku. Kafe-kafe pinggir jalan, orang-orang yang berlalu lalang, masih Glasgowku yang dulu. Orang-orang masih banyak yang mengenakan boots walau musim semi sudah tiba. Sedangkan aku, manusia tropis ini dengan pedenya keluar hanya dengan double sweater dan sandal ahaha.

Yak narsis dulu sebelum berangkat belanjaaaa ehehe ;p 

Kafe-Kafe pinggir jalan


Ada juga yang jual sayur dan buah segar lhoo


Ini nih penampakan Halal Butcher El Baracca

barang belanjaaan...masak-masak lalu makaaaan...= ndut
Sampai ke toko halal, belanjaanku masih tetap hampir sama, si bapak penjualnya pun masih sama. Beruntung rasanya walau di negeri antah berantah begini, masih bisa menikmati daging halal dan bahan-bahan masakan yang masih bisa membuatku masak untuk memuaskan lidah jawaku.
Glasgow, menyambutku dengan ke”hangat”annya yang sederhana, tanpa selebrasi yang rupa-rupa. Ia seperti laut, yang selalu menyediakan dirinya menerima aliran sungai dari manapun.
Glasgow, aku kembali lagi. Siap menikmati hidup dengan semua kelokan dan warna warnimu. Merasai semua anugerahNya. 

Bunga-Bunga Glasgow yang mulai bermekaran


21 Hillhead Street, Glasgow,  May 2013

Sabtu, 04 Mei 2013

Titip Rindu




Biar kutitip rindu pada waktu yang kini beralih alih itu
Pada awan yang berarak di langit, siapa tau dibawakannya pada langit di atas tempatmu itu
Kutitip rindu pada matahari yang kini kadang beralih jadi rembulan,
Tak lagi pasti kini,
Kutitip rindu pada jejak jejak langkahmu yang lebar-lebar
Agar rindu menyebar, dan hatiku tetap sabar
Kutitip rindu pada suara batukmu yang sesekali terdengar
Agar semesta bergetar
Kutitip rindu pada udara yang dihirupimu, agar sanggup memasukimu tepat waktu
Ah, Rinduku yang mungkin terlalu terburu-buru,
Ingin segera sampai padamu.

Dubai. 4 May 13.35 waktu Dubai.
 

Mengeja Rasa di Dubai



Salah satu sudut Dubai Airport

Lalu lalang orang-orang di Dubai airport ini, riuh tapi aku sepi. Aku, tas punggung dan tas selempangku dan kamu di kejauhan. Jauh, kata itu nampaknya ampuh membuat hatiku terkadang  sedikit menciut. Bahwa jarak antara aku dan orang-orang yang aku cintai tidak bisa lagi ditempuh dengan hitungan jam yang sedikit.
            " Tetap semangat selalu ya, Have a safe flight ya, " katamu di detik-detik terakhir waktu boarding pesawat Emirates menuju Dubai tiba tadi malam. Ah, aku ingin detik melambatkan lajunya. Tapi waktu tak acuh melarikan detik demi detiknya.
Semangat selalu, aku tak ingin berpura-pura bersemangat selalu. Semangat mungkin juga seperti perasaan perempuan yang mengarak rasa demi rasa dengan begitu bergelombangnya.
           " Kalau aku ikut sedih lalu siapa yang bertugas menyemangati?" begitu kilahnya saat sekali lagi aku memprotesi grafik rasa jenis lelaki yang selalu nampak konstan. Lempeng, kata seorang teman melabeli grafik mood laki-laki.

Namun sepertinya kita memang akan menemukan kekuatan pada rasa lemah orang-orang yang kita sayang. Menemukan keberanian pada kecemasan orang-orang yang kita cintai. Ada energi yang ingin kita salurkan untuk memberi kekuatan, ketegaran dan keberanian. Mungkin memang begitu hukum alamnya.
Seorang sahabat dekat melepasku dengan matanya yang bertaburan kaca. Aku menguatkan dengan seulas senyum, bukan berarti aku tidak sedih. Tapi tak ingin membebani semesta dengan membalas kesedihan. Lagipula aku ingin merasa ini bukan semacam perpisahan. Sampai jumpa lagi, begitu kuharap.
Pergi memang selalu sanggup mengaduk aduk rasa dengan begitu sempurna. Begitu pula rasaku.
            "Nano-nano rasanya" begitu kataku padanya semenjak kemarin pagi. Apalagi keberangkatanku kali ini dari Jogya. Dan meninggalkan Jogya yang kutinggali selama beberapa bulan ini tentu saja bukan perkara rasa yang mudah. 
Dubai kali inipun menangkap rasa gamangku, bahwa hidup kembali berubah. Ah, aku memang tahu bahwa hidup dan perubahan adalah pasangan kekasih tak terpisahkan. Tapi perubahan yang rasanya terlalu hilir mudik ini menyisakan kegamangan. Kemarin aku masih dalam ritme menikmati pagi Jogya, ke Lab dengan jadwal sesuka hati, kemudian wisata kuliner yang mendukung nafsu makanku yang kian menggila. Kini, di ruang tunggu di samping orang-orang yang tak kukenal. Dan beberapa jam mendatang, aku kembali akan menghirupi udara Glasgow sekaligus rentetan tanggung jawab yang telah menungguku.
Ah nikmatilah, nikmatilah wahai diriku. Bila katalog rasa tersedia untuk kita, bukankah hidup menawarkan untuk menikmatinya?
Aku tak perlu berpura-pura tak sedih, tak usah pura-pura kuat ataupun berusaha menyembunyikan kegamangan. Aku sama seperti rasa manusia lainnya, tapi di atas itu semua, rasaku berkata “semua akan baik-baik saja.
Dubai dengan berderet-deret shopping shop itu tak terlalu lagi menarik perhatianku. Aku di sini mengakrabi rasaku sendiri.




Dubai airport, 4 May 2013. Sambil menunggu jadwal penerbangan berikutnya bersama Si Silver manis itu. Alur pikiranku, kecepatan keyboardnya masih saling mengenali. Semoga segera cepat saling berharmoni :)

PS : Foto2nya minimalis, soalnya diambil dari tempat duduk bersila ahaha dan males jalan2 narsis ;p

Kamis, 25 April 2013

Berjalanlah, Ber-arah-lah, Bertumbuhlah




Hidup bagi manusia bila dimatematiskan mungkin serupa kumpulan dari kejadian yang kita jalani per detik, per menit, per hari, per minggu, per tahun. Momen per detik itu tadi suatu saat akan membentuk jejaring sebentuk kenangan. Jalan di belakang kita adalah serangkaian kenangan, hidup sebenar-benarnya adalah pada detik ini, ada jalan ke depan yang masih dalam angan adalah serupa masa depan.
Mungkin ada manusia yang hendak membuang bagian-bagian dari masa lalunya karena mungkin terasa menyakitkan atau tidak mengenakkan. Tapi bila hidup adalah perjalananmu dengan waktu, dan kenangan adalah perjalananmu yang terdahulu, bukankah ada tangga-tangga yang hilang bila ada bagian yang terbuang? 
Misalnya bila suatu saat kita ada dalam suatu perjalanan, lalu ban mobil kita tiba-tiba gembes, tertusuk paku, atau oleng sedikit tiba-tiba menabrak tiang, atau kita salah arah. Apakah kita akan melupakan itu semua karena hal-hal tersebut seringkali adalah hal-hal yang tidak menyenangkan? 
Bukankah hal-hal tersebutlah yang memperkaya perjalanan? Letihnya akan membuat pencapaian akan titik perjalanan tertentu menjadi terasa lebih berharga? Walau manusia lebih cenderung lebih suka mengingat yang sukaria, kegembiraan dibanding dengan kesedihan, kedukaan, ataupun nestapa. Tapi bila kita mau belajar, bukankah semua rasa itu berasal dari sumber yang sama?. Kesedihan adalah kegembiraan yang belum terungkap wajahnya, karena dengan kesedihan, kita mampu menampung kegembiraan sama dalamnya. Bila di jalan kita tidak menyelesaikan masalah ban yang kempes, perjalanan kita di penghujung kota mungkin akan terasa biasa saja. Kesedihan serta masalah adalah cara-cara hidup untuk mempersiapkan kita untuk merasai kegembiraan dan kemenangan dalam porsi yang sama. Jadi bukankah semua rasa bersumber sama bila kita mau berpikir, mau “Iqro” membacai kehidupan?
Bayangkan bila engkau tiba-tiba masuk ke dalam lorong waktu, melesat kemudian tiba-tiba ditempatkan dalam posisi suatu titik, pada suatu tempat? Tanpa adanya cerita perjalanan di setiap jengkalnya, tanpa ada bekal pembelajaran di setiap tikungannya, Bukankah titik tempat kau berdiri kini menjadi terasa begitu hampanya. Apa bedanya dengan titik yang kau injak sebelum memasuki lorong waktu dengan titik yang kau injak sekarang?
Bila menilik hal tersebut, bukan perjalanan dengan segala cerita, segala masalah dan warna warni rasa itu menjadi penting?
Manusia bukan mahkluk yang seharusnya hidup hanya dengan perulangan-perulangan. Rutinitas-rutinitas harusnya pun mengalami transformasi bukan sekedar menjalani hal yang sama setiap harinya. Manusia dibekali cipta, karsa, rasa untuk menggelindingkan perubahan, untuk mewarnai semesta dengan karya-karyanya, untuk memaknai dengan rasa setiap transformasi perjalanan hidupnya. Bertumbuhlah ! 
Hidup ini terus berjalan, bahkan saat kita ingin menghilang pun, hidup ini tetaplah berjalan. Seberapa lama engkau berjalan mungkin sepadan dengan jumlah angka usiamu, bila hidup dimaknai dengan hitungan detik yang telah dijalani. Tapi seberapa jauhnya? Seberapa bermaknanya? Ukuran-ukuran itu akn menjadi berbeda setiap manusia.
Apalagi bila seseorang tidak pernah menyadari bila hidup adalah perjalanan, mungkin ia memandangnya sebagai perulangan rutinitas, sebagai serangkaian hari dimana ia harus bertahan hidup. Ada yang bilang menjalani hidup mengalir seperti air, namun kadang ia lupa bahwa air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Manusia-manusia yang berjalan tanpa peta, tanpa arah mungkin memang akan sampai ke suatu tempat, namun ia gamang karena tak tahu pasti apa sebenarnya ditujunya.
Manusia berlarian, bekerja, berkejaran dengan waktu, dengan deadline, kemudian lelah, istirahat sejenak lalu berlarian lagi. Ada suatu perulangan terus menerus di sini. Hampir setiap manusia bergelut dengan ritme seperti ini setiap hari. Tapi mengapa engkau bisa menemukan seseorang dengan pertumbuhan diri yang terus melaju dengan segala ritme rutinitas dan keseharian hidupnya? namun kadangkala menjumpai pula orang yang terlihat stagnan ataupun hanya pelan bergerak lajunya.
Manusia yang berjalan ke suatu tempat, tahu apa yang hendak ditujunya, tahu apa yang diinginkannya pasti akan merasa bergerak, melaju setapak demi setapak menuju apa yang ditujunya. Berbeda dengan manusia yang bergerak tanpa tahu apa yang ditujunya, untuk apa ia berjalan, untuk meraih apa, ia akan berjalan tanpa arah dan seringkali memaknai perjalanan adalah rutinitas langkah demi langkah.
Kedua jenis manusia itu bukankah sama-sama berjalan? Maksudnya sama-sama menjalani detik demi detik hidupnya? Tapi bukankah ada jurang perbedaan yang begitu dalamnya.?
Bila engkau hampir sampai di penghujung, dan menengok perjalanan di belakangmu lebih panjang dari pada jalan yang mungkin tersisa di depannya. Lalu tiba-tiba menyadari ada jalan-jalan yang semestinya engkau tempuh tapi tidak engkau tempuh. Ah, semoga kita tidak terjebak dalam suatu penyesalan karena ketidakberanian, karena kepengecutan, karena ketidakpercayadirian, karena bersembunyi di balik alasan-alasan. Bukankah lebih baiknya manusia selagi masih diberikan waktuNya, lebih sering menanyai dirinya sendiri kemana ia ingin  melangkah? Hal-hal apa yang memaknai hidupnya? Dan apa yang membuat diri kita dan hidup terasa bermakna. 
Hidup akan berubah menjadi tumpukan detik-detik yang kaukumpulkan tanpa makna bila engkau gagal memaknai semuanya.
Hiduplah, berjalanlah, melajulah, bertumbuhlah ke arah yang lebih baik dan menunjukkan yang terbaik dari dirimu sendiri.
Hingga hidup, adalah perjalanan ke dalam dirimu. Mari berjalan dan terus berjalan, dalam pertumbuhan yang lebih baik.
Saya, dalam perjalanan ke dalam diri saya sendiri.

Ndalem Pogung, 25 April 2013. 

Selasa, 23 April 2013

Menjajal Menu The House of Raminten Yogyakarta


Saya dan pisang bakar strawberry..yahuiii

Bu, ketemu jam 1 siang ya di Raminten” begitu bbm anak saya, si ica. Sudah dari jam 3 pagi dalam perjalanan pulang saya dari Malang si Ica itu sudah menanyakan jadi enggak mau ketemuan ehehe. Anak itu seperti sudah kebelet banget curhat sama simboknya ini. Dia bersama tiga orang temannya jalan-jalan ke Jogya dari Jakarta dan dia menyempatkan untuk ketemu dengan saya. Dan pas Ica menyebut Raminten, saya pun mengajak Mba Rahmi untuk ikut serta. Sudah lama saya pengen mencobai makan di Raminten karena mendengar rekomendasi dari beberapa kawan yang pernah berkunjung ke sana.
The house of Raminten ini terletak di Jalan FM Noto Kotabaru Yogyakarta, didirikan oleh Hamzah HS, dan nama Raminten itu diambil dari nama peran yang diperankan oleh Hamzah di Sitkom Jogya TV. Konsep “Unique, Antique and Elegant” dicoba diusung sebagai trademark The House of Raminten ini. 

Ini dia pesanan tahap pertamaaa...tadaaaaa,,,
Begitu masuk Raminten, aura tradisional memang terpancar kental. Alunan gending jawa, harum wangi dupa dan pelayan-pelayan dengan mengenakan pakaian tradisional jawa. Sedangkan pelayan perempuannya memakai kemben.
            “ Mas tu hobi ke Raminten soalnya pelayannya pake kemben” kata sahabat saya pada pacarnya saat kami berkumpul bersama-sama. Lalu kami tertawa bersama sama waktu itu.
Nah, kali ini kulihat sendiri pelayan perempuannya pakai kemben. Wui seksi dong? Ah enggak juga. Kembennya masih nggak horor, dan juga kesan dan definisi seksi bagi saya mungkin jauh dengan anggapan orang kebanyakan.
            Nah untuk makanan dan minumannya juga bervariasi dan yang penting itu harganya standar kantong deh. Saya memesan es carica, mendoan, pisang strawberry, sate telur, sate rempela ati..eits saya doyan makan amat! Untuk soal rasa, untuk minumannya lumayan di atas rata-rata enaknya. Artinya memang variasi menu minumannya dibilang yahud, porsinya juga large, sementara harganya standar. Pokoknya untuk menu minumannya jempolan deh. Untuk rasa makanannya saya nilai standar saja, artinya memang tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan tempat lainnya. Tapi ada menu-menu unik yang mungkin kalian penasaran untuk mencoba seperti Ayam Koteka (nah lho kayak apa bentuknya?), Es Melankolis, Wedang gajah ndekem, Cunduk Raminten dan masih banyak lagi yang unik-unik.

Pilihan Menunya...Monggo dipilih

Tempat ini memang cocok untuk kongkow ngobrol lama-lama sambil makan dan minum. Tempatnya lumayan nyaman, ada berbagi pilihan tempat yang disediakan, termasuk di tingkat dengan hawa yang lebih segar. Kalian bisa lesehan dengan tatami khas tikar jepang, atau duduk dengan kursi. tKalian tinggal pilih dimana yang nyaman untuk kongkow bersama teman-teman.

With Mba Rahmi

Nah siang itu, kongkow bersama si ica diisi dengan cerita panjang lebar ica yang sudah lama ingin diluncurkan. Begitu pesan makanan, langsung deh cus cerita berhamburan darinya. Dan seperti biasa ritualpun berulang. Harusnya saya pasang tarif yah per sesi konsultasi ahahaha #kidding. Saya memang menikmati tiap orang-orang berbagi ceritanya pada saya. Satu hal yang saya pelajari, bahwa terkadang orang itu hanya butuh didengarkan. Bagaimana diri kita sepenuhnya “ada” untuk mendengarkan orang yang sedang bersama kita. Kadang orang ada tapi sebenarnya sebagian dirinya pergi kemana-mana. Tidakkah familiar di penglihatanmu, bila ada orang yang sedang bersama tapi salah satunya sibuk berulang kali dengan gadjetnya? atau pandangannya terlalu sering mengarah pada arah lain. Dia ada di situ, tapi seutuhnya dia tidak benar-benar ada di situ. Saya belajar bagaimana mendengarkan dengan baik, dengan sepenuh-penuhnya ada bersama orang yang bersama saya. Pandang matanya saat bicara, perhatikan mereka, seakan kita di situ memang benar-benar untuknya. Sebetulnya diri kita juga sangat peka dan merasa, apakah orang yang kita ajak bicara sungguh-sungguh mendengarkan kita atau hanya selintas dengar saja.
Saya masih ingat, sahabat saya Ustadz Arian yang menemui saya di kantor untuk membicarakan acara Launching bukunya, sempat sok protes saat saya mengalihkan perhatian dan beberapa kali membalas whataps di ponsel saya.
            “ Aih Gue dicuekin nih” katanya setengah protes walaupun saya tahu dengan nada bercanda.  Ahaha, ampun deh padahal cuma sesekali saja whataps-an denganmu kala itu #ups.
Begitulah, orang lain akan peka dan merasa kehadiran kita dengan sepenuh kesadaran untuk “ada “ atau tidak. Kemudian selain mendengarkan dengan baik juga saya menghindari untuk melakukan “penghakiman” pada orang curhat pada saya. Kadang kita secara bawah sadar akan segera melontarkan penghakiman ataupun pendapat-pendapat menurut “kacamata” kita dengan nada yang berkesan ofensif.
            “ Kamu nggak bisa dong kayak gitu terus, harusnya kan...bla..bla...”
            “ Stop deh bertindak kayak gitu, apa kamu nggak mikirin diri kamu sendiri bla bla..”
Menurut saya, sebagus apapun, sebenar apapun saran kamu, orang yang kamu ajak bicara lebih cenderung menganggap pendapat atau saranmu sebagai bentuk ofensif yang menyerangnya. Alih-alih akan mendengarkan saranmu, justru orang itu akan cenderung defensif. Dia akan mundur pelan-pelan, dan saya ragu apakah orang itu akan berbagi cerita lagi denganmu. Inilah bagi saya unik dan menariknya seni berkomunikasi sekaligus seni “rasa” berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja saya masih tahap belajaran. Mungkin itulah kenapa sejak kuliah dulu, di antara bala kurawa saya, saya dipanggil “simbah” oleh mereka walaupun saya umurnya paling muda. Dan sekarang saya menikmati dipanggil “Bue”, “Ibu”, “Kak”, “Mba”.
            “ Nggih, Bue” sebut seorang ex-mahasiswa saya yang sekarang bekerja di Kalimantan. Saya sering senyum-senyum membacanya.
Tapi biar kamu saja yang memanggil saya “adek’ #eaah lost focus!

With Ica
Kini saya sering terkaget-kaget dengan curhatan orang-orang yang beraneka macam. Mulai dari yang ABG, Mahasiswa, yang beranjak dewasa, yang sudah menikah, yang punya anak, yang punya mertua unik, yang mau bercerai, yang broken home, dll. Orang bercerita pada kita, karena hanya dengan benar-benar didengarkan saja, bebannya akan berkurang. Orang kadang tak meminta penyelesaian, cukupkan saja pendapat-pendapat kita bila memang diminta. Interaksi saya dengan mereka semua itu semakin meyakinkan saya bahwa kita tak berhak untuk menghakimi siapapun, karena kadang kita tidak tahu cerita di balik si individu tersebut. Kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Jadi siapalah kita yang serta merta menghakimi seseorang?
            “ Bu, kayaknya banyak banget ya yang curhat sama ibu. Lah trus ibu nampung sebanyak itu trus curhatnya sama siapa?” iseng si Ica nanya begitu. Ahaha saya cukup menjawabnya dengan seulas senyum saja.
Sore itu, diiringi hujan di sudut Jogya saya menikmati kebersamaan saya dengan cerita-cerita orang dekat saya. Dan bersyukur mereka hadir dalam hidup saya, dan mau berbagi cerita. Sekitar pukul 4 ica dijemput lagi oleh temannya untuk segera ke Stasiun Tugu menuju Jakarta.
Dan usailah acara temu kangen di Raminten sore itu. Tempat yang lumayan asik untuk kongkow, minum makan dan berbagi cerita.
Di depan The House of Raminten

Semoga hidup kalian semua kaya oleh kasih orang-orang terdekatmu.
Salam kasih.
 




Senin, 22 April 2013

Mengunjungi Malang/Mengulang Kenang (Day 2)



Hari kedua di Malang, paginya diisi dengan bersantai di hotel, membungkus kado dan menikmati secangkir kopi. Oh ya, saya ingin menceritakan tentang penginapan saya ini. Saya tahu tempat ini dari suggest Mba Nurhay, dosen sekaligus teman saya yang memberikan nama Enny’s Guest House dan no kontaknya. Sebelumnya saya sudah ngintip-ngintip dulu di websitenya dan saya pikir cukup lumayan untuk dicoba. Dan setelah menempatinya, kesan saya tidak salah. Terletak di area kota yang mudah sekali terjangkau, di Taman Wilis yang gampang untuk mengakses area-area kota Malang.  Saya masih ingat, dulu sering mampir ke tempat jual buku di Wilis yang harganya miring, atau jalan kaki ke daerah Kawi yang saat malam menjadi kawasan wisata kuliner yang yahud untuk dijajal. Untuk harganya, saya pikir standar dan terjangkau. Untuk kamar yang saya sewa, saya pesan kamar standar dengan bigbed seharga 200 ribu/malam. Fasilitasnya lumayan, ada TV, kipas angin, dan kamar mandi dalam. Untuk air putih, air hangat, gula, teh, kopi, cream tersedia di ruang makan.


Ini dia foto kamarnya :)
Enny’s Guest House sendiri suasananya sangat hommy, itu yang saya suka. Penataannya asri, hijau dan ada kesan tradisional yang kental. Begitu saya memasuki guest house ini, suasana yang menyenangkan langsung terasa. Beberapa bule bersantai di teras dengan secangkir teh dan obrolan hangat. Beberapa orang lainnya ada di lobi nampak hangat berbincang-bincang. Pelayanan stafnya juga cekatan dan ramah. Yah, menurut saya lumayan deh buat kalian-kalian yang membutuhkan tempat menginap dengan fasilitas standar dengan harga yang terjangkau. Setahu saya pilihan kamarnya pun bervariasi, ada yang lebih bagus lagi, atau kalian mau mencoba kamar tradisional dengan bambu? Nah di guest house ini juga ada kamar eksotis bamboo room yang nyaman ini dengan harga 325 ribu/malam. Ini saat saya berfoto di depan kamar tersebut, asik bukan?

Di depan Bamboo Room
Ehehe iyah, sebelum berangkat resepsi saya tak menyia-nyiakan lokasi guest house yang lumayan untuk latar foto. Pegawai-pegawai hotelnya pun sangat ramah, bahkan membantu mengambilkan foto berdua dengan sahabat saya di bungalow santai yang nyaman ini


Bersama Mba Rahmi di tempat leyeh2nya Enny's Guest House


            “ Mba, foto-foto di  atas mba di kamar bambunya..bagus lho mba,” kata si bapak pegawai Enny’s Guest house.
            “  Nanti saya promosikan deh tempat ini, pak” gurau saya pada para pegawai guest house tersebut.
            “ Nanti kalau ke sini lagi, kita kasih diskon mba,” balas gurauan mereka. Jadilah saya menjelajah guest house itu, sampai agak lupa kalau saya harus ke resepsian segera. Setelah check-out, saya menitipkan barang-barang di guest house dulu, dan menelpon taksi.
Dan sambil iseng menunggu taksi, si mba rahmi masih asik asal jepret-jepret saya.




Kalau ini di meja-meja samping bisa buat ngupi2 sambil ngobrol
Lalu taksi membawa kami ke resepsi di Gedung Cakrawala, Area kawasan Abdurahman Saleh. Dan begitu taksi merapat ke gedung, saya bisa melihat Nuning yang ada di deretan penerima tamu. Ah, akhirnya bertemu juga. Begitu saya keluar dari taksi, dia menyambut saya dengan pelukan hangat.
            “ Ah, ada tamu dari Inggris” teriaknya sambil cepat-cepat keluar dari kursi penerima tamu untuk menyambut saya. Ah ah, senangnyaaaaa. Saya dan mba rahmi kemudian masuk ke dalam gedung dan mengucapkan selamat pada Dik Dian dan keluarga. Bapak dan Mama menyambut saya dengan hangat, bahkan Mamanya Nuning masih sempat bilang :
            “ Wah mba siwi, tapi hari ini nggak ada sambel teri lho ya,” kata beliau menggoda saya. Hihi, masih ingat saja masakan kesukaan saya, sambel teri. Dulu saat menginap di rumah, Mamanya Nuning sering memasak sambel teri dan membuat saya makan dengan lahapnya. Usai berfoto bersama, kami menikmati sajian yang disediakan sambil ngobrol dengan Nuning. Lama tidak bertemu rasanya ingin banyak bertukar cerita. Lumayan juga ngobrol-ngobrol sambil dia wara wiri karena banyak yang ingin ketemu. Maklum saja dia pulang tak dinyana dari Belanda, jadi banyak saudara-saudara atau sahabatnya yang ingin bertemu dengannya. Sekitar jam 1 siang, saya menelpon taksi untuk kembali ke guest house, tapi sebelumnya foto berdua dulu dengan Nuning yang begitu cantik dandan dengan kebaya birunya

Reunion with Nuning
Sedangkan saya, mengenakan gamis brukat hijau kekuningan dengan kombinasi opnaisel merah keunguan. Saya naksir pada gamis itu pada pandangan pertama di Carita Jogyakarta. Paduan kombinasi warnanya saya suka, begitu pula model aplikasinya, jadi tak tahan untuk tidak membelinya. Sedangkan untuk kerudungnya, simpel saja saya memakai kombinasi dengan dua kerudung paris segi empat yang saya punya. Cukup dengan memakai kerudung dasar paris warna hijau yang serupa dengan gamisnya kemudian dililit kerudung paris  merah keunguan yang sama dengan warna kombinasinya, lalu tinggal menyematkan bros bunga-bunga. Hihi, saya memang hobi memadupadankan gaun. Biasanya saya jahitkan kain dan sesuaikan dengan model kombinasi yang saya suka. Tapi saat nemu gaun yang bikin naksir hati ini, langsung embat saja hehe. Soal padu padan, saya sering menikmati jadi sok konsultan mode temen-temen yang mau kondangan ataupun menghadiri sebuah acara. Lucu juga bila sahabat bbm pas di tanah abang milih warna batik, aksesoris dan menunjukkan foto tampilan saat acara. Aih, obrolan perempuan sekali!
Usai mengambil barang di guest house, taksi kemudian meluncur ke Toko Oen, tempat janjian saya dengan mba Nurhay. Dia itu sebenarnya dosen pelatihan bahasa Inggris saya dulu di Malang, namun karena seusianya hampir sama (sesama angkatan 99) jadi usai pelatihan, hubungannya layaknya seperti teman saja. Jauh hari saya sudah ngabari kalau mau ke Malang, agar dia bisa menyempatkan waktu untuk ketemu. Hujan deras mengguyur malang kala itu, dan mba Nurhay belum terlihat juga. Saya kirim bbm nggak terkirim, sedangkan hpnya saya telpon juga nggak nyambung. Akhirnya saya dan mba rahmi memesan minum dan makan duluan. 

Pesanan Es Krim Oen
Saya memesan es krim peach, dan soup jagung, telur, kepiting cocok untuk cuaca hujan. Saat menikmati es krim peach saya, tiba-tiba telpon saya berbunyi, no telpon asing dengan kode negara aussie. Humm aneh siapa yang menelpon? tapi pun tetap saya angkat.
Aih, ternyata mba evi (dosen pelatihan di UM Malang juga) yang menelpon dari Aussie mengabarkan bila Mba Nurhay baru saja kehilangan BBnya. Oalaah kasian banget Mba Nurhay yang sambil menunggu waktu ketemuan dengan saya, ia jalan-jalan sebentar. Eh malah Hpnya kecopetan, pantesan saya saya kontak tidak berhasil. Akhirnya Mba Evi berperan sebagai informan pada mba nurhay untuk menemui saya di Oen. Keren banget yak, janjian aja ditelpon dari Ausie ahaha. Sedangkan menurut cerita mba nurhay setelah ia datang, setelah kehilangan BBnya dia segera mencari akses internet untuk memberi kabar. Kebetulan mba evi online, kemudian memintanya untuk menelpon saya. Karena no hp saya ganti, dan mereka nggak tau no hp saya yang baru, maka Mba Evi nelpon dulu ke sahabat saya di Semarang untuk minta no hp saya. Yaah jalannya panjang : Malang-Aussie-Semarang, baru bisa kontak saya. Teknologi memang luar biasa.
Ah, walaupun baru terkena musibah kehilangan HP, syukurlah Mba Nurhay nampak baik baik saja. Ngobrol ke sana kemari layaknya teman lama. Dia memesan sekoteng untuk menghangatkan badan. Sementara saya memesan lagi kopi susu dan kentang goreng sambil menunggu waktu. Hehe kami memang berniat nongkrong menunggu hujan sambil menunggu waktu ke terminal.

With Mba Nurhay

Hampir jam 4 sore, mba nurhay pamit untuk kembali ke rumahnya di daerah Lawang. Ah ah, saya ingat kebun teh Wonosari di daerah Lawang, ingin ke sana lagi suatu saat nanti. Sebelum ke terminal, saya menyulap gamis dengan jeans untuk siap-siap ke terminal. Setelah sholat magrib di terminal, saya dan Mba Rahmi kembali menghampiri bis zena yang akan membawa kami kembali ke Jogya. Tempat tunggunya sudah berbeda dibanding dua tahun yang lalu saat meninggalkan kota ini. Hujan masih saja terus turun, ah..datang dan perginya saya di Malang terus diiringi hujan kota itu. Tepat pukul 19.00 malam, Zena melaju pelan meninggalkan Terminal Arjosari. Tapi saya masih terus menyimpan kota itu dalam hati saya. Suatu saat, saya akan mengunjunginya lagi.

** Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu yang belum sempat saya jawab.