Secangkir coffee latte kupesan dari gerai kopi Costa yang kujumpai di Terminal 3 Abu Dhabi International Airport. Sembari menunggu jadwal penerbangan berikutnya menuju London yang masih beberapa jam lagi. Sayang memang, setelah kutanya pada petugas ternyata tidak memungkinkan untuk membuat visa transit untuk keluar jalan-jalan sebentar memanfaatkan fasilitas free tour airport. Harusnya memang sebelumnya diurus dulu. Ah perjalanan kali ini memang tanpa perencanaan yang jelas hehe. Himpitan jadwal kerjaan menjelang berangkat membuat persiapan ala kadarnya banget. Nggak sempet nyari oleh oleh khas Indonesia untuk supervisor saya di Glasgow nanti. Baru ngeh juga saya ternyata nggak bawa sambungan charger colokon 3. Printilan-printilan seperti itu terlewatkan karena persiapan yang ala kadarnya. Ah ya sudahlah, dinikmati saja segala keseruan keseruan yang ada.Di tengah membalas satu-satu pesan yang masuk dari beberapa orang, ada satu pertanyaan dari sahabat saya yang menggelitik,“Eh, kan sering pergi-pergi gini, biasanya gimana cara move on ketika masa transisi dari satu momen ke momen yang lain?” begitu tanyanya,Ealaah, pertanyaannya berat. Tapi membuat saya berpikir juga sih. Salah satu kesulitan manusia itu memang living in the moment. Living in the now. Bagaimana untuk hidup pada saat ini, fokus pada masa sekarang yang terjadi. Selalu ada tarikan tarikan perasaan dan memang ketika dalam bepergiaan, fluktuasi perasaan perasaan seperti itu memang lebih terasa.Dalam perjalanan saya ke Gambir saja, masih ada beberapa telpon dan whataps-whataps urusan pekerjaan. Dan yang tidak saya menyangka justru di situ saya merasa bahwa saya merindukan pekerjaan dan orang-orang yang biasa bekerja dengan saya. Di momen itu saya tiba tiba merasa beruntung. Mungkin saja banyak di luar sana yang menganggap pekerjaan itu beban berat atau hal yang tidak menyenangkan. Saat itu saya merasa beruntung karena walaupun sering ngeluh karena kebanyakan kerjaan, tapi saya tetap menikmatinya. Menikmati segala lelah, rusuh, dan penatnya kerjaan yang sering kali datang bertubi menghampiri. Dan satu lagi yang membuat saya merasa beruntung, yakni pada saat itu juga saya menyadari, lebih tepatnya kembali menyadari bahwa saya punya rekan rekan kerja yang asik dan menyenangkan. Ini membuat ketika deraan pekerjaan datang, walau lelah namun tetap terasa tidak terlalu memberatkan.Ketika pergi, entah mengapa kita menjadi lebih jelas untuk mengerti perasaan perasaan kita sendiri. Lebih banyak mengamati orang-orang, dan mengamati diri kita sendiri. Dalam pergi ke tempat tempat yang jauh, ada jeda yang istimewa di sana. Yang sering luput kita dapat dalam rutinitas sehari-hari yang rasanya sering berlarian. Waktu cepat berlalu, namun makna sering kali terluput. Dan mungkin dengan pergi dan mengambil jeda, serupa memberikan waktu bagi jiwa untuk kembali lebih mengamati diri sendiri.Kembali ke pertanyaan sahabat saya, “bagaimana caranya untuk move on dari satu momen ke momen yang lain?" Apalagi ketika kita merasai momen yang istimewa, kemudian harus kembali menjalani kehidupan yang lain lagi. Iya bayangkan hanya selang beberapa jam, hidup bisa langsung berubah. Berada di tempat antah berantah, sendirian. Tentu saja hidup berubah, mengadaptasi perubahan demi perubahan. Mungkin itulah mengapa terkadang kita butuh perjalanan. Bagaimana caranya move on? Pertanyaan itu mungkin salah jika dialamatkan ke saya. Saya pun masih kesusahan menghadapi ketika kadang perasaan masih ditarik-tarik oleh momen momen di masa belakang yang tetap hadir di masa kini. Lha Glasgow aja selalu narik narik pulang..seperti saat ini. Membuat saya mengerahkan tabungan dan energi untuk mengurus perjalanan saya pulang ke Glasgow.Ah pulang, bukankah sebuah kata yang istimewa?Semoga saya menemukan pulang.Perjalanan kali ini saya tidak langsung menuju Glasgow. Tapi melalui London, karena ini berjumpa dengan Mita, sahabat saya plus jalan-jalan di London. Lalu lanjut ke beberapa kota sebelum pulang pada Glasgow.Daripada mempertanyakan bagaimana caranya move on dari satu momen ke momen lain yang cepat berganti, saya cenderung untuk lebih banyak belajar menerima. Termasuk menerima ketika beberapa momen enggan pergi dari hati. Biarkan..kalau memang seperti itu adanya. Mungkin memang ada momen momen istimewa yang terus terpatri dalam hati. Ah biarkan saja…Ada sebuah kalimat yang saya lupa kubaca dimana “ketika kita menyangkal suatu perasaan tertentu, maka perasaan itu akan semakin mengekal’.Dan ternyata, belajar menerima pun tidaklah mudah. Apalagi ketika belajar menerima hal hal yang tidak kita rencanakan, tidak kita sukai, atau yang tidak kita inginkan. Tapi kadang hidup, membuat kita harus belajar menerima hal hal tersebut.Coffee lattee saya sudah mulai mendingin, orang orang di depan saya berlalu lalang dengan urusan dan tujuannya masing masing. Saya masih di sini, bersama secangkir kopi dan pikiran pikiran saya sendiri. ***Abu Dhabi International Airport, 30 Agustus 2019
Jumat, 30 Agustus 2019
Kamis, 11 April 2019
Cerita dari Kedai Kopi
Hujan belum lagi reda, saya masih bersama alunan samar musik di
kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi tempat pindah kerja usai dari kampus.
Ritme kerja memang berubah jauh sejak mendapat tugas tambahan sebagai
Sekretaris Jurusan akhir januari lalu. Seharian bisa ngerjain ini itu, tapi di
akhir hari berasanya nggak ngerjain apa apa. Karena yang dikerjakan biasanya
hal-hal administrasi, rapat, urusan panitia ini itu. Habis waktunya untuk
mengerjakan yang bukan “kerjaan sendiri”.
Pekerjaan yang semenjak pulang dari kuliah di Glasgow sudah padat,
sekarang sudah semakin padat merayap. Tapi mungkin kondisi seperti itulah
yang saya butuhkan saat ini.
Makanya, seringkali saya mampir ke kedai kopi ini usai dari kampus
untuk menyelesaikan kerjaan saya sendiri. Seperti nulis manuscript artikel
jurnal yang susah sekali mencari waktu ketika berada di kampus. Selain kadang
waktunya memang nggak sempat, juga distraksinya banyak. Bila di sini,
lumayanlah cukup produktif, dan hasil artikel yang terbit pun mulai bertelur satu
per satu. Saya tidak ingin pekerjaan tambahan menjadi sekjur membuat publikasi
ilmiah saya macet. Banyak orang ketika terjebak dalam tugas tambahan, akhirnya
melupakan atau tak sempat waktu untuk menulis publikasi.
Saya sendiri, tidak menyangka ketika saya pada akhirnya memutuskan
untuk bersedia untuk duduk dengan tugas tambahan. Semenjak jadi dosen, saya
tidak pernah berpikir untuk mau ataupun berkeinginan ke arah situ. Saya menilai
diri sendiri sebagai pribadi yang tidak terlalu bagus jiwa kepemimpinannya.
Saya dulu yang pernah bertanya pada teman-teman semasa kuliah S1 :
“Kerjaan apa ya yang nggak usah ketemu atau ngobrol dengan banyak orang?”
Begitu lontaran pertanyaan saya. Mencerminkan betapa payahnya
kemampuan interpersonal saya dengan orang lain. Dan rasa rasanya berinteraksi
dengan orang lain membutuhkan energi yang banyak dan melelahkan.
“Pegawai perpus tuh, nggak usah ketemu sama orang banyak” jawab sahabat saya
dulu sewaktu jaman kuliah S1.
Tapi hidup terus berubah, mungkin saya juga banyak berubah.
Walaupun secara pribadi, saya masih saja pribadi yang introvert, yang kadang
habis energi ketika banyak berinteraksi dengan orang, kemudian butuh waktu
sendiri untuk mencharge energi. Tapi kehidupan berubah, dan saya harus mencoba
melenturkan diri pada perubahan.
Pada akhirnya saya bersedia untuk menjajal untuk bekerja dengan
tugas tambahan, dengan risiko pekerjaan akan tambah banyak, nggak bisa
"ngilang-ngilang", dan waktunya akan banyak tersita untuk urusan
pekerjaan. Satu hal lagi, risiko nya adalah nggak bisa apply post-doc dikti
atau program lain yang mengharuskan meninggalkan kampus dalam jangka waktu yang
agak lama selama periode dengan tugas tambahan.
Jadinya ketika melihat pengumuman Dikti untuk tawaran post doc 3 bulan
tahun ini saya cuma melihat dengan nanar *risiko harus diterima 😁
Kadangkala, kita harus menjajal untuk keluar dari zona nyaman. Mungkin
saatnya untuk melemparkan lagi titik yang harus saya kejar. Beberapa tahun
belakangan, saya tidak punya titik yang saya kejar. Dulu saya selalu
melemparkan titik ke depan, dan membiarkan diri saya untuk berupaya
mewujudkannya.
Sudah agak lama, saya tidak punya titik itu lagi. Saya kebingungan
ketika akan melempar titik itu...mau ngapain lagi? mau mengejar apa lagi? Kali
ini, saya menemukan titik yang ingin saya tuju.
Karena itulah, saya sering ada di kedai kopi ini, agar mempunyai
lebih banyak waktu dan energi untuk menulis publikasi-publikasi ilmiah dan
hal-hal lainnya.
Karena saya ingin membiarkan diri saya menapaki jalan untuk menuju
titik yang saya lempar itu.
Mungkin ini untuk seseorang yang pernah berkata pada saya
“ Seeing you grow up and jump as high as possible is my happiness”
Atau mungkin ini untuk diri saya sendiri.***
Society, 11 April 2019
Selasa, 05 Februari 2019
Glasgow dan Sepenggal Cerita Hidup
“ Kita cenderung mengingat hal-hal
yang indah yang pernah terjadi dalam hidup kita. Mungkin itulah yang membuat
kita kuat untuk menghadapi kehidupan selanjutnya”
Kalimat itu saya
dengar di serial drama korea “Encounter” yang baru-baru ini saya lihat. Mungkin
benar juga kalimat tersebut.
Kita cenderung
mengingat hal-hal yang indah, dibandingkan ketika menghadapi masa masa sulit.
Itulah kenapa, ingatan tentang Glasgow hampir selalu tentang kenang yang indah.
Tiap kali melihat postingan beberapa akun IG yang saya follow tentang Glasgow,
ada desir rindu itu. Rindu mengenang segala macam kehidupan yang pernah
terjadi. Juga rindu untuk mengunjungi tempat itu lagi.
Padahal
masa-masa itu, bisa dibilang merupakan saat saat yang banyak kesulitan. Saya
sering dihadapkan pada kondisi yang serba tidak pasti. Terutama yang berurusan
dengan studi saya hihi..
“
Please send me asap (as soon as possible-red)”
“
Could you finish it soon..
Kalau udah
membaca email dari supervisor semacam ini. Deg! Saya harus siap sedia. Kuliah
di luar negeri memang tekanannya berbeda. Karena lingkungan dan bahasa yang
berbeda. Seringkali saya merasa “bego” banget, trus mau nanya-nanya rasanya
gimanaa gitu. Stress-nya lumayan nampol pokoknya. Apalagi kalau berurusan dengan kerjaan lab
hehe. Ketika harus presentasi untuk seminar internal atau eksternal, haduuuuh
rasanya deg degan dan mulesnya berhari hari haha..
Beda banget sih
sama kalau kerja di sini. Ibaratnya semua kerjaan di kampus sini masih dalam tataran “ I can
handle it!” cuma butuh kerja lebih keras ataupun lebih lama kalau banyak yang
harus dikerjain.
Tapi selama
studi di Glasgow, rasanya seringkali harus menghadapi situasinya yang saya
nggak tau bisa apa enggak. Mewek malem malem begitu baca email supervisor.. pernah, terus jalan ke lab sambil nangis.. pernah. Ataupun diam diam ke toilet lab karena pengen nangis nggak ketauan pun pernah.
Padahal
supervisor saya sebenarnya baik. Baik banget malahan..cuma agak rewel hehe.
Saya semakin merasa supervisor saya baik banget itu bahkan ketika saya sudah
back for good ke Indonesia. Dia masih ngirimi external hardisk berpasword,
nanyain kabar kalau ada berita bencana di Indonesia, bahkan nanyain gimana cara
memberikan sumbangan untuk korban bencana. Pengalaman mendengar banyak cerita
cerita “menyeramkan” dari beberapa temen yang juga studi PhD membuat saya
bersyukur punya supervisor yang baik.
Tapi tetap aja
ya, hubungan student-supervisor yang hampir 4 tahun tetep aja ada masa-masa
kala dia sensi dan marah. Tapi lagi lagi kalau sekarang lebih terkenang
banyakan yang baik-baiknya.
Saya masih
ingat, betapa melegakannya saat saat jam pulang dari lab. Lab saya pindah ke
daerah Garscube setelah saya menginjak tahun ke-empat studi. Bus nggak ada yang
sampai ke sana. Jadi tiap hari setidaknya saya harus jalan kaki 2 kali 30 menit untuk
pulang dan pergi. Dan letak lab saya itu hampir kayak antah beratah, semacam
daerah pinggiran Glasgow yang jarang pemukiman. Ketika jam pulang dari lab,
berjalan kaki menuju bus stop rasanya pikiran saya sudah senang. Bahkan rencana
untuk mampir ke Morrison –Salah satu nama supermarket di Glasgow-aja bawaannya udah happy!. Mampir ke Morrison untuk beli buah, atau kadang memburu ikan
yang harganya lagi diskon. Salah satu supermarket favorit saya di Glasgow!
Sayangnya waktu
tahun 2017 lalu kembali ke Glasgow, saya tidak sempat ke Morrison dekat bus
stop ke arah lab saya. Waktu itu 2 minggu rasanya singkat dan terlalu banyak
yang ingin saya lakukan.
Saya tidak tahu
kenapa masih saja ada rindu itu.
Padahal hidup
saya di Glasgow adalah barisan hari hari yang sederhana
Rutinitas yang
biasa saja. Memasak seusai pulang lab, berkumpul bersama teman-teman, ataupun
jalan jalan di akhir pekan.
Iya saya rindu.
Untukmu yang Menggangap Hidupnya “Begini gini Aja” #10yearschallenge
Kalian pernah nggak merasa “hidupku kok begini gini aja ya”? hayoo
pernah enggak? hehe jangan khawatir, saya juga kok pernah merasa begitu.
Terkadang melihat kehidupan teman-teman seangkatan yang sudah
begini sudah begitu..jadi rasanya kok saya begini gini aja. Apalagi
dengan era sosial media sekarang ini, semuanya berseliweran tiap harinya yang
menyebabkan benih-benih “comparing to others” itu mudah sekali
menggejala.
Itulah mengapa kita sering merasa “kok hidupku begini gini aja
ya”. Apalagi kalau tidak terjadi perubahan perubahan signifikan dalam hidup di
permukaan. Maksud saya di permukaan itu yang terlihat jelas seperti lulus
kuliah, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak, punya rumah dan hal hal yang
membuat perubahan hidup bisa terlihat dengan jelas.
Sebagian besar orang yang fokus melihat pada perubahan perubahan
di permukaan ini. Saya pun terkadang begitu.
Mari lihat ke dalam. Lihat ke dalam..
Satu-satunya yang tahu pasti
perubahan dalam hidup adalah dirimu sendiri. Namun seringkali kita lebih sering
berfokus pada hal-hal di permukaan dibandingkan perjalanan ke dalam diri.
Look at the details,
Kita sering lupa mengapresiasi diri sendiri, terhadap
keberanian-keberanian yang pernah kita buat dalam mengambil keputusan dalam
hidup. Terhadap kerja keras yang telah kita upayakan. Terhadap upaya upaya kita
untuk menerima kehidupan yang terjadi. Saya, bukan lagi saya 10 tahun yang lalu. Tentu saja kalian juga.
Beberapa waktu lalu sempat menjadi trend 10 years challlenge, yang
menampilkan foto 10 tahun yang lalu dibandingkan dengan foto sekarang. Kita
kebanyakan lebih banyak menilik seberapa orang berubah secara penampilan,
soalnya yang nampak memang hanya gambar dalam foto. Tapi perjalanan selama 10
tahun terakhir yang persis tau pasti adalah diri kita sendiri. Ini yang seringkali kita lupa.
Kalau saya melihat foto di atas, yang sebelah kiri itu ketika saya
sedang short course bahasa Italia di Perugia. Foto tersebut diambil seusai
kuliah di salah satu gedung Universita per Stranieri di Perugia. Saya masih
nampak polos dan kurus di foto tersebut, tapi senyumnya nampak masih sama
dengan foto sebelah. Yang berbeda dan tidak orang lain lihat adalah..senyum
sebelah kiri adalah semacam senyum penaklukan mimpi mimpi, kemenangan atas
perjuangan tak kenal lelah..dan kebanggaan. I proud of myself. Gampang sekali
untuk mencintai diri sendiri waktu itu. Kalian mungkin pernah juga ada dalam tahap itu.
Tapi senyum sebelah kanan, adalah semacam senyum yang mengatakan
betapapun hidup memberikan banyak jalan sulit, kehilangan orang orang tercinta,
bahkan kehilangan harapan..tapi hidup terus berjalan dan dihadapi dengan
senyuman. Dan senyum itu adalah upaya belajar untuk bisa mencintai diri sendiri
kembali. Mungkin juga kalian pernah ada dalam tahap betapa sulitnya kembali
mencintai diri sendiri lagi. Iyah, hidup terkadang berjalan tidak sepenuhnya seperti yang kita
inginkan. Tidak seperti yang kita rencanakan.
Tetaplah berjalan..Tetaplah hadapi. Lalu mungkin.. di sepanjang
jalan ke depan, kita akan menemukan harapan lagi.***
Selasa, 13 November 2018
Kacamata tentang Kebahagiaan
Hari ini tak sengaja
mendapati postingan Mas Andi Arsana, dosen Geodesi UGM di IG story-nya, tentang perjalanannya menuju sebuah meja yang
merupakan titik temu antara tiga negara Slovakia, Hongaria dan Austria setelah
mengikuti lomba the Falling Walls Lab di Berlin, Jerman. Jadi kalau duduk di
meja segitiga itu, kita berada di tiga negara yang berbeda. Untuk sampai di
situ, dari Ig story-nya beliau
bercerita harus terbang dari Berlin ke Wina, kemudian ke Bratislavia naik bus,
lalu menyewa supir taksi untuk menuju ke meja segitiga itu. Sempat mereka
berhenti dan kebingungan untuk mencapai tempat itu. Sepertinya lokasinya sulit
dijangkau, sampai harus jalan kaki..dan sampailah ia ke meja berbentuk
segitiga, dengan tiga kursi panjang yang mengelilinginya. Dengan muka penuh
antusias, beliau mengucap dalam videonya,
“ Hey akhirnya sampai juga...ini adalah meja yang
menandakan tiga negara..bla bla..bla..”
Saya mengeryitkan dahi,
hanya kayak gitu doang tempatnya? Heheh...namun, sedetik berikutnya saya
kembali diingatkan..betapa nilai sesuatu menjadi sangat berbeda bagi setiap
orang. Bagi seorang Mas Andi yang selama ini bergelut di dunia perbatasan,
mungkin itu keinginan yang sudah dipendam sejak lama. Hingga bisa mencapai
tempat itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
Seperti juga saya diingatkan
pada seseorang yang mengirimkan pesan via FB messenger ke saya. Si bapak yang
tidak saya kenal sebelumnya itu bercerita akan ke Edinburgh, dan dia nanya
apakah saya tahu dimana makamnya Adam Smith. Dia tahu kalau Adam Smith itu dimakamkan
di Canongate Kirkyard Edinburgh, tapi dia nanya siapa tau saya tahu
ancer-ancernya. Ya ampun, biasanya orang ke Edinburgh itu ya pengennya ke
tempat seperti Kastil Edinburgh ataupun Calton Hill. Lha ini, niat banget
pengen nyari kuburannya Adam Smith!
“Saya dulu itu terinspirasi Adam Smith gara gara dosen
saya banyak cerita soal Adam Smith,” si bapak itu bercerita.
Hal tersebut semakin
mengingatkan saya bahwa tiap orang punya kebermaknaan hidup yang berbeda
masing-masing.
Hal hal yang menurutmu luar
biasa, bagi orang lain mungkin saja hanya receh. Ataupun sebaliknya, hal hal
yang menurutmu biasa saja, bisa saja menjadi hal luar biasa jadi orang lain.
Ada orang yang merasa
keliling ke berbagai negara itu menantang dan memuaskannya, namun ada orang
yang kepuasannya ada pada membuat kreasi craft, memastikan anaknya hapal Juz
sekian, atau ada pula yang menilai kebermaknaannya pada dedikasi pada pekerjaannya.
Tiap manusia rasanya punya
pijar kebahagiaannya masing-masing, yang tentu saja berbeda-beda.
Namun yang saya jumpai, kadangkala
orang memakai kacamatanya sendiri untuk melihat kebermaknaan orang lain. Orang
memakai standarnya sendiri, untuk melihat orang lain.
Memang dalam perjalanan
hidup manusia, ada hukum yang tak terucapkan bahwa ada beberapa hal yang
dijadikan standar pencapaian hidup seseorang. Dimana ada alur menjalani bangku sekolah,
kuliah, mencari pekerjaan, menikah, punya anak, yang rasanya ada timeline
tertentu yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Hingga orang orang yang
tidak sesuai dengan timeline itu, sepertinya menjadi “orang yang berbeda”.
Saya dalam beberapa kesempatan
interaksi sosial adakalanya merasa “direndahkan” hanya karena belum menikah. Bahasa-bahasa
yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit tersampaikan bahwa “saya sudah,
kamu belum”. Beberapa orang merasa “lebih” karena mereka sudah, dan saya belum.
Memang ada orang orang yang mengganggap menikah itu pencapaian, ada pula yang
enggak lho. Jangan lupa.
Tekanan sosial juga bukan
main derasnya lho bagi para barisan “belum menikah” seperti saya. Masih
ditambahi judgement-judgement mereka sendiri, tanpa ingat bahwa tiap orang
punya ceritanya sendiri yang tidak perlu dibagikan pada orang lain.
Sama halnya dengan pasangan
yang belum punya anak misalnya. Ada sahabat saya yang mengalami tekanan baik
dari sosial umum, bahkan dari keluarganya hanya karena ia belum hamil juga. Ada
sahabat saya lainnya juga yang baru baru ini mengunggah tulisan di IG storynya.
Ia baru saja wisuda PhDnya di salah satu universitas di UK. Sepertinya ada
orang yang berkata padanya begini :
“ Kapan nih mbak punya anak. Apa nggak pengen punya anak
kayak keluarga-keluarga yang lain?”
Ya ampun basa basi-nya sadis
banget sih menurut saya. Kita nggak tahu apa yang telah diupayakan sahabat saya
itu selama ini untuk memiliki momongan. Ataupun kita juga nggak tahu apakah
sahabat saya itu memang pengen punya anak atau tidak. Bukan hak kita untuk
tahu.
Banyak orang bertanya
tentang “Kapan?” yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan.
Menilik lagi pada kisah di
atas tentang Mas Andi dengan meja segitiganya atau si bapak dengan kuburan Adam
Smithnya. Tiap manusia punya ceritanya masing-masing. Punya pijar bahagianya
sendiri-sendiri. Punya apa-apa yang dirasa penting, berharga, bermakna dan apa
yang membuat bahagia..sendiri sendiri.
Tidakkah hidup menjadi lebih
tenang, ketika kita bisa saling menghargai hal-hal yang sangat pribadi itu?
“Mesakke (kasihan banget) mbak , di rumah sendirian. Sepi
banget pastinya”
Orang lupa, bahwa kalau dia
merasa lebih bahagia dengan hidup ramai,
di tengah banyak orang..belum tentu orang lain. Ada orang yang lebih nyaman
sendiri, walau tetap menikmati berinteraksi dengan orang lain, tapi ia butuh
mencharge energinya dengan lebih banyak sendiri. Saya stress lho kalau terlalu
lama harus berada dalam pertemuan banyak orang. Iya, tiap orang punya keunikannya
masing-masing..hal ini yang seringkali dilupakan.
Sayangnya, beberapa orang
masih memandang kebahagiaan orang lain dengan standar kacamatanya mereka sendiri. ***
Minggu, 04 November 2018
Wisata Thailand Bukan Cuma Bangkok, Coba Jelajahi Khao Yai
Angin dari jendela kereta yang
dibiarkan terbuka rasanya garang menampar-nampar muka, ditambah hawa panas membuat
badan rasanya lengket. Keretanya tidak ber-AC, dan tempat duduk-pun tidak
bernomer, asal saja duduknya. Sementara lalu lalang pedagang yang menawarkan
dagangannya terus hilir mudik. Hal ini mengingatkan saya pada kondisi kereta
api tipe ekonomi di Indonesia beberapa tahun silam, sebelum era sekarang ketika kereta api merupakan moda transportasi yang paling diminati.
Kami tiba di stasiun Pak Chong
sekitar pukul 15.30 setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari stasion
kereta api Hua Lamphong, Bangkok. Harga tiketnya memang cukup murah, hanya 36
bath saja sampai ke Pak Chong, kota terdekat dengan tujuan wisata kami, Khao
Yai. Sepertinya ada kereta express ke Pak Chong, sayangnya ketika kami sampai ke stasiun, jadwal kereta tersebut sudah lewat. Mungkin saja kondisi kondisi kereta express itu lebih beradab dibandingkan dengan kereta yang kami tumpangi. Oiya, sebenarnya dari Bangkok ke Khao Yai juga bisa menggunakan minivan, ataupun bis. Kalian bisa mencobanya juga.
Khao Yai, sudah pernah denger kota ini? Iya memang tidak terlalu terkenal, namun
sekarang sedang naik daun karena menawarkan wisata alam dan juga tempat wisata
dengan bangunan ala Italia.
Ketika membaca review di
link ini, kami menyadari bahwa perjalanan kami yang hari 1.5 hari di Khao Yai
terasa kurang waktunya, karena banyak sekali yang bisa dijelajahi. Ada Khao Yai National Park, Primo Piazza, Kebun Bunga Matahari di Saraburi, Rumah hobitt dan banyak lagi lainnya. Kepo-in aja linknya tadi, dijamin pengen berkeliling.
Kami
akhirnya sampai di hotel tempat kami menginap yakni See Sky Camp Resort, setelah
balada nelpon pihak hotel meminta untuk menjemput tapi merekanya nggak bisa
bahasa Inggris hehe. Iya memang tidak banyak penduduk Thailand yang bisa bahasa
inggris, apalagi Pak Chong dan Khao Yai ini terbilang ada di daerah. Transportasinya
masih susah karena nggak ada taxi, apalagi semacam Grab atau Uber. Adanya sewa
mobil dan ojek motor yang bahkan di stasiun enggak ada. Kendala transportasi ini memang begitu terasa. Coba kalau transportasinya gampang, pasti kota ini lebih banyak lagi turis yang akan datang.
Tapi segala drama untuk
sampai sini hilang ketika sampai di resortnya. Cantik banget!
Kami memilih
tempat ini karena kami lagi pengen menikmati liburan dengan suasana berbeda,
soalnya hotel ini menawarkan suasana yang istimewa. Rumah-rumah pastel yang unik,
dan desain exterior yang cantik. Harganya memang lumayan, sekitar 580rb-an
semalam. Itupun kalau tidak salah merupakan harga kamar termurah. Setiap kamar
mempunyai ciri khas desain masing-masing. Kami menyewa kamar dengan tipe “Night
Sky” dengan nuansa pastel kombinasi baby blue dan kuning muda. Nyaman banget,
dan desain shabby itu yang bikin liburan terasa istimewa, sesuailah dengan
harganya.
Kamarnya luas dan nyaman. Desainnya pastel shabby banget |
Jendela-jendela dengan kaca yang lebar langsung bisa lihat pemandangan yang hijau |
Karena hari sudah petang,
dan kami baru bisa menyewa sepeda motor esok harinya, kami memutuskan untuk
beristirahat dan menikmati resortnya. Berkeliling resort sambil foto-foto-an
karena setiap sudutnya rasanya cantik semua, maklum saya memang penggemar shabby yang merupakan tema resort ini.
Malamnya kami ke Bunny Coffee, yang lagi lagi
desainnya bikin betah banget dan foto sana sini hehe. Setiap sudutnya didesain dengan apik, apalagi sajian Tom Yum
ala Thailand yang maknyus diiringi alunan musik, membuat makan malamnya terasa
istimewa. Kebetulan hanya kami pengunjung The Bunny Coffee malam itu, jadinya bebas banget bisa foto-fotoan sepuasnya.
Bunny Coffee-nya ini desainnya semua tentang si Bunny yang lucu |
Lucu banget kan pernak perniknya |
Apalagi Tom Yum-nya Enyaak! |
With si Bunny |
Esok paginya usai kembali
berkeliling resort, kami menyewa sepeda motor. Untuk menyewa sepeda motor hanya
membayar 300 bath per hari, dengan meninggalkan paspor. Rencananya kami ingin
ke Farm Chokcai, semacam ladang peternakan gitu lalu ke Palio Village atau
Primo Piazza yang kata beberapa sumber yang kami baca, tempatnya cantik karena menawarkan bangunan ala-ala Italia.
Kalau mau cek-cek informasi untuk sewa motornya bisa dilihat disini : http://www.khaoyaimotorcycle.com/.
Sebelum ke sini, kami
membayangkan akan berkendara di daerah yang sepi. Tapi ternyata, ya
ampuuun..ternyata jalanan menuju ke tempat wisatanya kayak jalan antar
propinsi. Mana mobil-mobilnya ngebut-ngebut ampun, akhirnya saya menyetir pelan-pelan
di pinggiran. Serem juga euy. Dengan berbekal google maps, dan sekali salah
jalur kami sampai di Farm Chokcai. Hadeew ternyata jauh juga, hampir 45 menit
perjalanan. Tapi seru juga sih tempat ini, bisa kasih makan domba domba yang
lucu lucu. Lanskapnya juga hijau membentang. Sayangnya cuacanya panas teriknya
kebangetan, bikin cepet haus hehe.
Farm Chockcai |
Si domba domba |
Sebetulnya ada tour keliling
farm setiap 20 menit sekali dengan membayar 300 bath. Tapi kami memutuskan
untuk berkeliling saja, menikmati farm, memberi makan domba domba serta mampir
makan karena sedari pagi perut belum diisi.
Jadwal Tour Chokchai Farm
Senin –
Jumat: Jadwal tetap 10.00 dan 14.00 (Jika pengunjung ramai, tour juga akan
diadakan antara 09:00-11:40 dan 13:00-15:40)
Sabtu, Minggu dan hari libur: 09:00-11:40 dan 13:00-15:40 (Tiap 20 menit)
* Hari Senin tidak ada tour, kecuali jika hari libur
Sabtu, Minggu dan hari libur: 09:00-11:40 dan 13:00-15:40 (Tiap 20 menit)
* Hari Senin tidak ada tour, kecuali jika hari libur
Harga
tiket: 300 baht (dewasa) dan 150 baht (anak-anak)
Alamat:
K.M. 159-160 Moo 2 Friendship Highway, Nongnamdang
Pak Chong, Nakhon Ratchasima, Thailand 30130
Tel: +66 44 328 485
Email: info[@]farmchokchai.com
Website: farmchokchai.com
Pak Chong, Nakhon Ratchasima, Thailand 30130
Tel: +66 44 328 485
Email: info[@]farmchokchai.com
Website: farmchokchai.com
Setelah kembali ke hotel,
check out dan menitipkan barang ke resepsionis. Kami motoran lagi ke Palio
Village. Tenyata jaraknya juga jauuuuh, sekitar 1 jam-an euy. Tapi enaknya menggunakan motor, kami bisa mampir-mampir sepanjang jalan.
Kami lihat ada tempat menarik terus mampir hehe. Bisa mampir beli buah, bisa
mampir numpang foto sejenak, atau masuk objek wisata di depannya, nongkrong
sebentar lalu melanjutkan perjalanan lagi. Di sepanjang jalan, ada banyak
resort-resort cantik dan juga tempat makan dengan tema-tema khusus.
“ Ini kalau kita mampir di depannya, trus kita
foto..keliatannya kita ke banyak tempat yaa, “ ujar saya haha.
Nemu tempat menarik trus berhenti, foto foto :D |
Sesampainya di Palio
Village, kami berkeliling melihat lihat barang barang belanjaan sekaligus
foto-fotoan. Palio village ini memang semacam tempat dengan bangunan ala Italia
yang juga dibuat kayak pusat perbelanjaan. Jadi pengunjung bisa foto-foto,
belanja, ada juga tempat-tempat makan. Kami membeli dompet handmade yang
lucu-lucu, dan harganya masih terjangkau di kantong.
Palio Village |
Cafe-Cafe ala Italia |
Sayangnya kami tidak punya
banyak waktu lagi untuk menjelajah Khao Yai, padahal masih banyak tempat tempat
menarik lainnya. Ternyata antar tempat wisata harus ditempuh dengan perjalanan yang lumayan jauh. Memang trip kami ini kebanyakan go show aja, kurang riset hehe karena menjelang berangkat kerjaan rasanya seabrek abrek.
Sekitar jam 4 sore kami harus mengembalikan sepeda motor setelah mengisi full bensinnya lagi dan kemudian mengambil barang di resort lalu menuju
stasiun kereta api untuk kembali pulang menuju Bangkok. Tapi perjalanan ke Khao Yai ini berkesan
karena ngeri ngeri sedapnya motoran di negeri orang, dan yang paling berkesan sih resortnya
yang menawan. Siapa tau ada kawan yang hendak ke sana, resort ini sangat recommended
untuk dicoba.***
See Sky Camp
82 3 Nongkaja Pakchong-subsanun Road, Khao Yai National Park 30310, Thailand
Bunny Garden-nya See Sky Resort |
Minggu, 20 Mei 2018
Menuju Glasgow (Lagi)
I miss The Old ME |
Dalam hidup, pasti kita
punya suatu rentang waktu yang rasanya merupakan “the best moment in life”. Suatu waktu ketika hidup berjalan indah dan membahagiakan. Sehingga ketika suatu saat hidup terasa berat, banyak
dilanda kekecewaan ataupun terasa berjalan membosankan. Ada keinginan untuk kembali “ke
masa-masa indah” itu.
Kalian pernahkah merasakan
seperti itu?
Bagi saya, masa-masa hidup
di Glasgow adalah masa-masa yang membahagiakan, tenang dan damai sekaligus
penuh kenangan indah.
Walaupun sebenarnya bila
ditengok secara mendetail sebenarnya hidup saya di Glasgow termasuk masa-masa berat,
harus menyelesaikan studi S3 dengan segala rintangannya, pun harus berjuang
dengan beasiswa yang mepet serta sering terlambat cair. Ada banyak airmata,
tapi memang lebih banyak tawa ceria.
Sometimes, I miss the old
me!
Saya yang penuh senyum tawa
ceria. Karena walaupun ada banyak masa-masa sulit, tapi ketika saya pulang ke tanah
air, apa yang saya kenang dari kehidupan di Glasgow adalah masa-masa indah.
Kebetulan, dua tahun
terakhir ini saya mengalami banyak hal-hal berat dalam hidup. Kehilangan
bertubi-tubi, pekerjaan yang semakin menyita waktu dan energi, serta rangkaian
peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan bagi jiwa.
Saya sungguh butuh jeda.
Bila sudah seperti itu, ada
terbersit rasa "andai bisa kembali ke Glasgow lagi, mungkin hidup akan lebih
tenang.”
Memang seharusnya
kebahagaian, ketenangan dan kedamaian hidup ditemukan di dalam diri. Sehingga dimanapun kita berada, tidak mengubah ketentraman di dalam diri. Iya, harusnya begitu teorinya. Tapi hidup ternyata tidak
semudah itu. Lingkungan yang toksik, paparan energi negatif ada dimana-mana. Terkadang
itu menjadikan upaya menjaga mood yang baik, bisa tiba-tiba terjun bebas.
Perjalanan saya kembali ke
Glasgow September tahun lalu merupakan jeda yang begitu istimewa bagi saya. Dua
minggu yang sangat berharga. Dua minggu yang saya habiskan untuk menikmati
hidup dengan lebih tenang, dan nyaman.
Dan saya rindu untuk
mengambil jeda kembali.
Tahun ini rasanya begitu
berat, ada banyak kekecewaan, kehilangan harapan, kehilangan seseorang,
kehilangan rencana-rencana ke depan. Hidup memang tak pernah tertebak, bisa
saja kita dilemparkan dalam keadaaan, trus dibilangin kayak pas ngisi bensin,
“Dimulai dari Nol ya” !
Adakalanya hidup bisa penuh
semangat melesat lesat hingga ada banyak energi untuk mewujudkan impian impian.
Namun, adakalanya hidup
meluluhlantakkan semuanya.
Hingga apa yang saya tahu
hanya menjalani hidup, menghadapinya. Saya tidak tahu harus bagaimana, harus
ngapain...ketika hidup kehilangan daya hidupnya.
Saya tidak baik baik saja,
Saya sungguh merindukan
jeda.
Saat ini saya sedang mencoba
mengajukan suatu program dari Dikti untuk kembali ke Glasgow, hanya beberapa
bulan. Saya pun tidak tahu apakah nantinya akan diterima atau tidak.
Yang saya tahu, saya butuh
jeda.
Dan Glasgow, adalah tempat
yang pertama kali muncul dalam pikiran saya.
Doakan saya berhasil ya!